Beranda
Bias Optimisme ‘Berpikir Positif’ Di Masa Pandemi Covid-19
- Details
- Written by Zahroh Rohmatussyifa & Mochammad Sa’id
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol. 6 No. 12 Juni 2020
Bias Optimisme ‘Berpikir Positif’ Di Masa Pandemi Covid-19
Oleh
Zahroh Rohmatussyifa & Mochammad Sa’id
Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang
Pendahuluan
Pandemi covid-19 telah berlangsung selama kurang lebih tiga bulan di Indonesia. Kondisi ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat di seluruh dunia termasuk masyarakat Indonesia. Dampak yang ditimbulkan meliputi bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan sosial. Dampak kesehatan tak hanya terkait jumlah korban, namun juga kesehatan mental. Tak dapat dielakkan bahwa masyarakat juga terdampak secara psikologis akibat pandemi ini. Muncul perilaku panic buying karena takut kehabisan bahan pokok. Cemas, stres dan depresi karena takut tertular virus. Bahkan ada yang merasakan cabin fever yaitu gangguan emosi atau perasaan sedih yang muncul akibat terlalu lama terisolasi atau terkurung di suatu tempat dalam kurun waktu yang lama, dalam hal ini merasa terisolasi di rumah (Priscilla, 2020). Kondisi ketidakpastian ini tentu mendorong masyarakat untuk mencari sumber informasi untuk mengurangi efek negatif tersebut. Masyarakat yang berpendidikan, terutama ahli kesehatan ataupun kesehatan mental, ikut menyuarakan pendapat. Pada Januari lalu, saat kasus infeksi pertama telah diumumkan di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Australia, kasus positif COVID-19 belum dinyatakan terdeteksi di Indonesia, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto memberikan tips berpikir positif untuk menghindari terkena infeksi coronavirus (Zein, 2020). Ketua Aliansi Telemedis Indonesia, Dokter Pumawan, juga mengatakan bahwa yang terpenting saat ini yaitu tetap berpikir positif (Prasasti, 2020). Tak kalah, beberapa pakar kesehatan mental juga memberikan anjuran kepada masyarakat untuk berpikir positif karena mampu menjadi alternatif strategi dalam menghadapi pandemi yang berpengaruh terhadap daya tahan tubuh (Zein, 2020).
Masyarakat Indonesia banyak yang menerapkan strategi berpikir positif tersebut. Namun, ternyata hal tersebut menimbulkan dampak negatif. Berpikir positif ternyata memunculkan bias optimisme di masyarakat. Bias optimisme bisa disebut juga unrealistic optimism atau optimistic bias, yaitu probabilitas subjektif atau derajat kepercayaan yang mendorong individu untuk menafsirkan informasi yang ambigu atau situasi yang tidak pasti dalam arah untuk mementingkan diri sendiri (Rhee, Ryu, & Kim, 2005). Bias optimisme ini membuat masyarakat tidak patuh terhadap anjuran-anjuran dari para ahli kesehatan untuk mencegah penyebaran covid-19. Ketidakpatuhan tersebut seperti tidak menerapkan physical distancing, tetap nongkrong dengan teman-teman, bahkan banyak yang bepergian ke kampung halaman masing-masing yang justru meningkatkan potensi penyebaran virus. Bias optimisme ini muncul dalam tiga bentuk (Zein, 2020). Pertama, ilusi kontrol yaitu keyakinan berlebihan dapat mengendalikan situasi eksternal. Kedua, ilusi superioritas yaitu keyakinan bahwa seseorang memiliki kelebihan daripada orang kebanyakan. Dan ketiga, ilusi kemungkinan yaitu ketika seseorang merasa kecil kemungkinan dirinya akan mengalami hal negatif yang mana dalam konteks ini tertular atau menularkan penyakit. Perlu digarisbawahi bahwa bias optimisme ini tidak hanya pada masyarakat umum, namun juga pada para pengambil kebijakan seperti pemerintah yang membuat pemerintah mengabaikan peringatan dari para ahli kesehatan atau ilmuwan yang menganjurkan untuk melakukan pencegahan sejak dini.
Walaupun berpikir positif menimbulkan bias optimisme dalam merespon pandemi covid-19 ini, tidak dapat dipungkiri bahwa berpikir positif dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Hasil riset di Amerika Serikat menunjukkan bahwa berpikir positif dan kekebalan tubuh memang memiliki hubungan positif, namun hal ini tergantung pada karakteristik sumber stres yang dihadapi (Zein, 2020). Ketika menghadapi ancaman yang ringan (langsung, singkat, dan mudah dikontrol), optimisme memang memberikan efek positif pada kekebalan seluler. Namun bila yang dihadapi adalah ancaman yang lebih serius (kompleks, persisten, dan tak bisa dikontrol), maka yang terjadi justru sebaliknya. Hal ini diperkuat dengan hasil riset-riset perilaku pada kasus epidemi sebelumnya. Dalam kasus wabah flu babi (H1N1) di Italia dan Belanda, serta flu burung (H5N1) di Inggris, para responden dengan persepsi risiko yang lebih tinggi akan lebih patuh pada anjuran ahli untuk melakukan tindakan pencegahan. Oleh karena itu, penerapan berpikir positif pada kondisi pandemi covid-19 saat ini justru membahayakan dan dapat meningkatkan jumlah korban.
Bias Optimisme dan Pengaruh Sosial
Bias optimisme yang disebabkan anjuran berpikir positif merupakan sebuah proses pengaruh sosial yang mengalir dari mayoritas ke minoritas dan minoritas ke mayoritas. Pengaruh sosial adalah proses interpersonal yang mengubah pikiran, perasaan, atau perilaku orang lain (Forsyth, 2010). Dalam proses mayoritas ke minoritas, terdapat pihak yang melakukan konformitas dan tidak melakukan konformitas. Pihak yang melakukan konformitas yaitu masyarakat yang mengalami kecemasan, kekhawatiran, stres, ketakutan, bahkan sampai mengalami cabin fever. Mereka berusaha mencari solusi untuk mengurangi kondisi tidak menyenangkan yang mereka alami. Ketika tersebar pendapat bahwa berpikir positif merupakan hal yang tepat dalam kondisi saat ini, masyarakat –terutama yang mengalami kondisi tidak menyenangkan– mencoba menerapkan hal tersebut. Masyarakat yang awalnya dalam kondisi baik-baik saja juga menerapkan berpikir positif agar terhindar dari emosi negatif serta meningkatkan daya tahan tubuh mereka. Anjuran berpikir positif mampu menarik perhatian masyarakat luas. Melihat kondisi tersebut, tentu bentuk respon sosial masyarakat yang melakukan konformitas atau mengikuti anjuran berpikir positif tersebut adalah penerimaan pribadi (conversion) (Forsyth, 2010). Masyarakat menginternalisasi anjuran berpikir positif tersebut dan ikut menyebarluaskannya. Namun, di sisi lain, ada pihak yang tidak melakukan konformitas, yaitu para ahli kesehatan mental yang menilai bahwa melakukan berpikir positif pada kondisi saat ini kurang tepat. Bentuk respon sosial yang diterapkan oleh para ahli kesehatan mental tersebut yaitu independence atau kemandirian (Forsyth, 2010). Mereka mencoba mengekspresikan pendapat mereka berupa ketidaksetujuan terhadap strategi berpikir positif.
Proses pengaruh sosial minoritas terhadap mayoritas dalam kasus anjuran berpikir positif untuk menghadapi pandemi covid-19 dapat dijelaskan melalui Teori Konversi dari Moscovici (Forsyth, 2010). Teori ini menyatakan bahwa ketidaksepakatan dalam kelompok mengakibatkan konflik, sehingga anggota kelompok termotivasi untuk mengurangi konflik itu yang terkadang dengan membuat orang lain berubah, termasuk mengubah pendapat mereka. Pengaruh minoritas dilakukan melalui proses validasi, yang mana nantinya akan mengarah pada penerimaan diri (konversi). Proses ini terjadi karena minoritas mengguncang kepercayaan mayoritas, sehingga mayoritas perlu melakukan validasi terkait suara minoritas. Proses pengaruh sosial dari minoritas ke mayoritas dalam kasus anjuran berpikir positif untuk menghadapi pandemi covid-19 terjadi ketika para ahli kesehatan mental yang tidak setuju dengan kampanye berpikir positif terus menyuarakan pendapatnya. Upaya menyuarakan pendapat ini yaitu dengan semakin banyaknya artikel yang membahas tentang bahaya dari berpikir positif di tengah pandemi. Proses validasi di sini terjadi karena dua hal. Pertama, pihak minoritas yang menyuarakan ketidaksetujuan adalah pihak yang memang pakar dalam bidang kesehatan mental dan telah terverifikasi. Karena pihak minoritas adalah pihak yang kompeten, maka suaranya mampu mempengaruhi mayoritas masyarakat yang telah lebih dulu setuju dengan kampanye berpikir positif. Kedua, pihak minoritas mampu membuktikan bahwa argumennya berkualitas. Hal tersebut ditunjukkan dengan menyertakan penelitian-penelitian terkait yang valid dan juga terdapat kasus-kasus dimana dengan menerapkan berpikir positif justru masyarakat banyak yang mengabaikan anjuran ahli kesehatan untuk physical distancing, stay at home, memakai masker, dan lain sebagainya. Adanya bukti-bukti tersebut semakin menguatkan argumen pihak minoritas dan memvalidasinya.
Apabila dicermati menggunakan teori dampak sosial dinamis (dynamic social impact theory), proses pengaruh sosial dari mayoritas ke minoritas ataupun sebaliknya di atas telah memenuhi kaidah Dampak = "f (SIN)", yaitu kekuatan (S), kedekatan (I), dan jumlah (N) sumber yang ada (Forsyth, 2010). Teori ini mengasumsikan bahwa pengaruh adalah fungsi dari kekuatan, kedekatan, dan jumlah sumber yang ada. Kedua proses tersebut –mayoritas ke minoritas dan sebaliknya– memiliki kekuatan masing-masing untuk saling mempengaruhi. Pada proses konformitas, kekuatannya yaitu kampanye berpikir positif tersebut sesuai dengan kondisi masyarakat sehingga mampu menarik perhatian dan ketertarikan mereka. Sedangkan pada proses penerimaan terhadap minoritas, kekuatannya berada pada bukti-bukti yang lebih empiris dan nyata. Kemudian terkait fungsi kedekatan, masyarakat Indonesia sedang berjuang bersama menghadapi pandemi covid-19, sehingga meningkatkan kedekatan antarmasyarakat. Terakhir, terkait jumlah sumber, pada proses konformitas, masyarakat yang menerapkan strategi berpikir positif semakin banyak sehingga “sumber” konformitas juga meningkat. Sedangkan pada proses penerimaan terhadap minoritas, artikel-artikel yang membahas tentang bahaya berpikir positif di tengah pandemi covid-19 semakin banyak, sehingga meningkatkan jumlah sumber penerimaan terhadap minoritas. Dua pandangan yang bertentangan ini menyebabkan apa yang disebut dengan “keberagaman berkelanjutan” (Forsyth, 2010). Kenyataan empiris menunjukkan bahwa meskipun banyak yang telah mengetahui bahaya berpikir positif di tengah pandemi, sebagian masyarakat masih tetap menerapkannya karena memang hal tersebut sedikit banyak mampu mengurangi kecemasan dan ketakutan selama pandemi.
Kesimpulan
Proses pengaruh sosial dalam permasalahan berpikir positif di tengah pandemi covid-19 ini memiliki dua proses: proses mayoritas ke minoritas dan proses minoritas ke mayoritas. Pada proses mayoritas ke minoritas terdapat pihak yang melakukan konformitas dan nonkonformitas. Bentuk respon sosial pada pihak yang melakukan konformitas yaitu konversi; menginternalisasi pendapat mayoritas menjadi pendapat pribadi. Sedangkan bentuk respon sosial pada pihak nonkonformitas yaitu kemandirian; mengekspresikan pendapat dan konsisten akan hal itu. Pada proses minoritas ke mayoritas terjadi proses validasi dengan menunjukkan bahwa pihak minoritas adalah pihak yang kompeten serta memiliki bukti-bukti empiris. Proses pengaruh sosial dalam masalah ini juga memenuhi kaidah Dampak = "f (SIN)" sesuai teori dampak sosial dinamis (dynamic social impact theory), yaitu kekuatan, kedekatan, dan jumlah sumber yang ada serta masih menimbulkan keberagaman berkelanjutan.
Saran
Kampanye berpikir positif bukan hal yang salah. Hanya saja berdasarkan fakta empiris, ada batasan yang perlu dipahami oleh masyarakat bahwa berpikir positif akan berdampak positif pada jenis stresor tertentu. Oleh karena itu, perlu sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait hal ini agar tidak menimbulkan bias optimisme kembali yang justru membahayakan nyawa mereka sendiri akibat mengabaikan anjuran para ahli kesehatan.
Referensi:
Forsyth, D.R. (2010). Group Dynamics (5th Ed). CA: Wadsworth Cengage Learning.
Prasasti, G.D. (2020). Cemas karena COVID-19? Hadapi dengan Berpikir Positif, Aktif, dan Tetap Produktif. Diakses 27 April 2020 dari https://www.liputan6.com/health/read/4214031/cemas-karena-covid-19-hadapi-dengan-berpikir-positif-aktif-dan-tetap-produktif.
Priscilla, T. (2020). Cegah Cabin Fever Selama Pandemi Covid-19 dengan Berpikir Positif. Diakses 27 April 2020 dari https://www.borneonews.co.id/berita/166768-cegah-cabin-fever-selama-pandemi-covid-19-dengan-berpikir-positif.
Rhee, H., Ryu, Y., & Kim, C. (2005). I Am Fine but You Are Not: Optimistic Bias and Illusion of Control on Information Security. International Conference on Information System (ICIS) 2005 Proceedings, 32, (http://aisel.aisnet.org/icis2005/32).
Zein, R.A. (2020). Mengapa Anjuran “Berpikir Positif” Saat Pandemi COVID-19 Justru Bahayakan Nyawa Banyak Orang. Diakses 27 April 2020 dari https://theconversation.com/mengapa-anjuran-berpikir-positif-saat-pandemi-covid-19-justru-bahayakan-nyawa-banyak-orang-135686.
Modern Marriage
- Details
- Written by Sri Juwita Kusumawardhani
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 11 Juni 2020
Modern Marriage
Oleh
Sri Juwita Kusumawardhani
Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila
“Saya sadar bahwa pasangan adalah menantu yang baik bagi keluarga. Ia memiliki penampilan yang menarik, sikap yang sopan santun, serta penghasilan yang stabil. Tapi, rasanya ada yang kurang dalam pernikahan kami. Ia tidak mampu diajak berdiskusi dan memberikan saran yang signifikan dalam kemajuan karir saya. Ia tidak memiliki visi misi yang jelas dalam membangun rumah tangga ini. Saya harap kami dapat menjadi power couple yang bisa membanggakan di depan teman-teman. Entah sampai kapan saya dapat bertahan dalam hubungan ini”
– A, 29 Tahun
Ilustrasi di atas merupakan sebuah kasus nyata yang semakin sering didengar di ruang praktek para psikolog pernikahan. Artinya, sudah tidak menjadi aneh ketika klien mempertimbangkan untuk berpisah atas dasar alasan kebutuhan kompleks (contoh: personal growth atau kebutuhan untuk tumbuh menjadi individu yang mengaktualisasikan potensinya) yang tidak terpenuhi. Di sisi lain, untuk para orangtua yang berusia 60 tahun ke atas, tentunya keluhan seperti itu sulit untuk dimengerti karena hampir tidak pernah terjadi di generasi mereka.
Merujuk pada Finkel dkk (2015) pernikahan di Amerika sudah menunjukkan tiga era yang berbeda, yakni Institutional Era, Companionate Era, dan Self-Expressive Era. Di era yang pertama, Institutional Era terjadi pada rentang waktu tahun 1776 hingga 1850 ditandai dengan pemenuhan kebutuhan dasar karena kehidupan ekonomi dan institusi sosial seperti kepolisian masih lemah atau tidak ada.
Fungsi utama pernikahan adalah saling membantu pasangan untuk memenuhi produksi makanan, adanya tempat tinggal dan perlindungan dari ancaman dunia luar. Memasuki era kedua, Companionate Era di rentang tahun 1850 hingga 1965, dimana industri sudah mulai maju sehingga keluarga tidak perlu memproduksi kebutuhan dasar secara mandiri, kebutuhan pernikahan menjadi lebih menyasar aspek emosional dan sensitivitas perasaan. Fungsi utama dari pernikahan di era tersebut adalah memenuhi kebutuhan cinta dan saling memiliki, serta pengalaman yang romantis.
Era terbaru yakni Self-Expressive Era dimulai pada tahun 1965 hingga saat ini, dipengaruhi oleh gerakan feminis, munculnya pil KB, dan kemajuan psikologi humanis yang memiliki fokus pada penemuan diri/ekspresi diri. Hal ini membuat individu bukan hanya mencari cinta dari pernikahan, melainkan pemenuhan kebutuhan harga diri, kemandirian dalam memilih, serta pertumbuhan diri.
Jika dikaitkan dengan teori kebutuhan hierarki Maslow, kebutuhan yang disasar pada pernikahan era Institutional hanyalah kebutuhan fisiologis dan rasa aman, dua kebutuhan paling dasar bagi manusia. Hal ini tentunya membuat individu lebih mudah merasa puas terhadap pernikahannya, karena tolak ukur yang konkrit dan mudah terukur. Memasuki era Companionate, individu memasuki tahap kebutuhan yang ketiga yakni kebutuhan cinta dan perasaan saling memiliki. Pernikahan mulai menghadapi tantangan karena individu perlu merasakan adanya pengalaman romantis dan perasaan cinta dari seseorang yang dinikahinya - kebutuhan dasar yang terpenuhi saja sudah tidak cukup untuk dapat menikah. Mulai banyak yang membangkang dari perjodohan atau melakukan perselingkuhan karena merasa tidak memperoleh cinta dari pernikahan tersebut.
Di era Self-Expressive, kebutuhan yang perlu dipenuhi semakin naik tingkat, yakni aspek kebutuhan penghargaan (Esteem) dan aktualisasi diri. Hal ini yang membuat individu semakin sulit dipuaskan dalam pernikahan. Individu perlu saling memahami lebih dalam atas kebutuhan pasangannya, serta melakukan investasi waktu dan energi yang lebih besar di dalam hubungan - sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan di era-era sebelumnya. Salah satu dampak buruk dari kondisi tersebut adalah ketidakpuasan terhadap pernikahan yang semakin tinggi hingga berakhir pada perceraian. Di Indonesia sendiri, tingkat perceraian menunjukkan kenaikan sekitar 10.000 kasus pada setiap tahunnya. Pada data BPS (2018), angka perceraian di tahun 2017 berjumlah 374.516 kasus.
Dual Career Couple
Salah satu aspek yang sering muncul dari pernikahan modern adalah dual career couple atau pasangan yang keduanya bekerja. Adanya isu kesetaraan gender yang lebih diperhatikan dibanding era-era sebelumnya membuat perempuan memiliki kesempatan lebih besar untuk bekerja saat ini.
Bekerja atas dasar memang harus ikut membantu perekonomian keluarga ataupun pilihan pribadi untuk memenuhi potensi dirinya sendiri. Seringkali hal ini dianggap sebagai alasan banyaknya perceraian terjadi - karena perempuan bekerja dianggap kurang mampu menghormati suami atau lebih memiliki kesempatan untuk melakukan perselingkuhan.
Berdasarkan hasil penelitian Etemadi dkk (2017), permasalahan yang muncul dari pasangan yang keduanya bekerja adalah stres kerja yang dibawa ke rumah dan sebaliknya - beban pekerjaan rumah tangga yang mempengaruhi performa kerja di kantor. Hal ini dipengaruhi kurangnya kemampuan membagi tugas rumah tangga dan pengasuhan anak, serta habisnya energi dan waktu sehingga sulit untuk bermesraan dengan pasangan. Dampaknya, pasangan yang keduanya bekerja seringkali menurun kebahagiaannya di dalam pernikahan. Di sisi lain, jika pasangan tidak bekerja maka mereka merasa tidak mengaktualisasikan diri dan kurang memperoleh penghargaan dari lingkungan sekitar dan diri sendiri.
Penting untuk pasangan yang keduanya bekerja bersikap layaknya tim di dalam keluarga (Groysberg and Abrahams, 2015). Yang pertama perlu ada dalam pernikahan/keluarga adalah adanya nilai-nilai yang serupa (Shared Values). Konflik tidak terelakkan di dalam pernikahan, namun pasangan yang memiliki nilai serupa akan lebih mudah dalam penyelesaian konflik yang dimilikinya karena fokusnya adalah bagaimana menyelesaikan konflik bukan apa dan mengapa mereka memiliki konflik tersebut.
Kedua, mempertahankan peran dan tanggung jawab yang jelas namun tidak kaku di dalam pernikahan. Pasangan perlu fleksibel dalam membagi tugas, fokus pada efektivitas dan efisiensi, serta membuat hidup keduanya menjadi lebih mudah. Jika hanya salah satu pihak saja yang dibebani oleh pekerjaan domestik maka ketidakpuasan pernikahan akan mulai dirasakan oleh individu tersebut.
Ketiga, adanya dukungan emosional dari pasangan. Beban dan stres kerja yang dirasakan di kantor akan terasa lebih ringan ketika memiliki pasangan yang mampu mendengarkan dan memberikan semangat serta dukungan.
Keempat, menyediakan waktu dan ruang untuk bersama pasangan. Seperti yang dipaparkan Gottman (2015) bahwa pasangan memiliki minimal waktu yang perlu dihabiskan bersama agar pernikahannya dapat bertahan dengan bahagia, yakni 5 jam seminggu disebut juga 5 Magic Hours. Total waktu ini tidak dihabiskan dalam sekali pertemuan, tetapi dipecah-pecah menjadi sekian menit per harinya.
Saat partings (perpisahan di pagi hari), pasangan perlu saling menginformasikan rencana dan jadwalnya pada hari tersebut, waktu yang dibutuhkan sekitar 2 menit/harinya (dikalikan dengan 5 hari kerja = 20 menit). Lalu, ada bagian reunions (pertemuan kembali di malam hari setelah pulang kerja), keduanya saling berbagi cerita mengenai hari yang telah dilalui masing-masing kepada pasangannya, waktu yang diperlukan sekitar 20menit/harinya (dikalikan dengan 5 hari kerja = 100 menit).
Kemudian, ada admiration dan appreciation, yakni saat pasangan memberikan pujian dan penghargaan satu sama lain. Hal ini bisa ditujukan untuk hal-hal sederhana yang telah pasangan lakukan seperti memasak, membayar listrik, atau merapikan tempat tidur serta terhadap penampilan fisik pasangan. Waktu yang dibutuhkan sekitar 5 menit dikali 7 hari = 35 menit. Berikutnya, waktu untuk menunjukkan afeksi melalui sentuhan dan candaan, waktu yang dibutuhkan sekitar 5 menit dikali 7 hari = 35 menit.
Yang terakhir, kencan yang dilakukan secara mingguan, kurang lebih membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Ingat, standar 5 jam ini adalah waktu minimal, artinya boleh lebih namun jangan sampai kurang, jika Anda ingin mempertahankan rumah tangga yang sehat dan bahagia.
Melihat tantangan yang lebih kompleks dalam pernikahan modern, tentunya penting untuk cermat dan bijak dalam memilih pasangan yang akan dinikahi. Bukan hanya atas dasar tuntutan dari lingkungan sekitar, usia kronologis yang dianggap sudah cukup, atau durasi pacaran yang sudah tergolong lama, tetapi fokus pada kualitas hubungan dan kesinambungan visi misi rumah tangga yang hendak dibangun.
Kondisi yang dialami dalam pernikahan bukan hanya berkaitan dengan kepuasan pernikahan namun juga mempengaruhi kualitas hidup Anda secara vital. Seperti yang terpapar dalam laporan Mental Health Foundation (2016), kualitas hubungan pernikahan memiliki asosiasi dengan keuntungan secara fisik dan mental, termasuk menurunkan tingkat kematian. Lebih jauh, individu yang berada di pernikahan sehat dan membahagiakan cenderung memiliki kepuasan hidup yang lebih besar, tingkat stress yang lebih tinggi, dan kesehatan yang lebih baik dibandingkan yang belum menikah. Oleh karena itu, menikahlah dengan pertimbangan yang rasional dan matang, karena ini tentang siapa yang tepat bukan mana yang cepat.
Referensi:
Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Indonesia 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik
Etemadi, O. Et al (2017). The Pathology of the Dual-Career Couples: A Qualitative Study. Global Journal of Health Science, 9(5), 226-233.
Finkel, E.J. Et al (2015). The Suffocation Model: Why Marriage in America Is Becoming an All-or-Nothing Institution. Association for Psychological Science, 24(3),238–244.
Gottman, J.M. (2015). The Seven Principles for Making Marriage Work. London: Orion Books LTD.
Groysberg, B., and Abrahams, R. (2015). Marriage and the Marketplace: Dual-Career Couples in the 21st Century. Harvard Business Review, 1-16.
Mental Health Foundation. (2016). Relationship in 21st Century: The Forgotten Foundation of Mental Health and Wellbeing. London: Mental Health Foundation
Bagaimana Psikologi Menjelaskan Sabar: Bersabar Saat Karantina Diri
- Details
- Written by Subhan El Hafiz
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 08 April 2020
Bagaimana Psikologi Menjelaskan Sabar: Bersabar Saat Karantina Diri
Oleh
Subhan El Hafiz
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Saat ini saya dan keluarga sudah menjalani karantina diri hampir selama sebulan. Bosan!? Tentu saja. Belum lagi anak-anak kami yang usia SD perlu aktifitas di luar rumah dan mudah merasa bosan karena sepanjang bulan hanya di dalam rumah. Sebagai catatan tambahan, rumah yang kami sewa di lantai 2, tanpa halaman jadi semua aktifitas harus dilakukan di dalam rumah. Bermain, olahraga, berjemur, makan, dan tentu saja istirahat semua dilakukan dalam area sekitar 36 meter persegi.
Lalu bagaimana kuncinya sejauh ini kami bisa bertahan untuk diam di dalam rumah? Sabar mungkin salah satunya? Tapi saya tidak cukup kompeten membahas sabar dari perspektif agama karena latar belakang keilmuan saya pun sangat terbatas dalam bidang agama. Oleh karena itu saya coba jelaskan bagaimana teori-teori dan penelitian-penelitian Psikologi menjelaskan sikap dan perilaku sabar.
Sabar termasuk kajian Psikologi
Sudah umum diketahui bahwa sabar adalah konsep yang banyak diajarkan dalam agama. Tidak hanya agama tertentu, sebagian besar agama juga mengajarkan umatnya untuk bersabar (Subandi, 2011). Namun yang seringkali tidak diketahui adalah sabar juga termasuk konsep Psikologi dan tidak hanya dibahas di Indonesia. Sebagai contohnya penelitian Curry, Price, dan Price (2008) yang diterbitkan disalah satu jurnal prestisius dalam bidang Psikologi. Juga penelitian Fowler dan Kam (2006) tentang sabar dalam politik dan kajian Goldwasser (2003) mengenai sabar dalam bidang ekonomi.
Dalam bidang psikologi bahkan sabar juga sudah di teliti sejak lebih dari tiga dekade yang lalu (lihat Anderson & Gouda, 1990). Walaupun hingga saat ini penelitian mengenai kesabaran masih minim, namun bukan berarti konsep ini di luar kajian Psikologi. Selain itu, penelitian tentang sabar juga sudah dilakukan sejak lama walaupun baru-baru ini ilmuan Psikologi di Indonesia turut meramaikan penelitian dengan tema ini. Dengan demikian, konsep sabar juga dapat dikaji dan dijelaskan oleh ilmuan psikologi berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan.
Hal-hal berkaitan dengan Sabar
Kupfer (2007) menjelaskan bahwa sabar adalah menunggu dan beliau menjelaskan bahwa sabar merupakan salah satu nilai kebaikan (virtue) yang sangat berguna bagi seseorang. Hal yang sama disampaikan oleh Anderson & Gouda (1990) yang menyatakan bahwa berdasarkan penelitiannya program menulis ternyata membutuhkan perilaku yang berfungsi menahan tindakan. Dengan kata lain, tanpa perilaku sabar program yang dimaksudkan tidak akan bisa dijalankan.
Beberapa penelitian terbaru yang menarik diantaranya penelitian Curry dkk. (2008) yang menunjukkan bahwa orang sabar adalah orang mudah diajak bekerjasama. Sedangkan dalam bidang Psikologi Politik, Fowler dan Kam (2006) berhasil menunjukkan bahwa partisipasi seseorang dalam pemilu juga dipengaruhi oleh tingkat kesabarannya. Artinya, makin sabar seseorang maka makin besar kemungkinannya untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Kembali pada kondisi karantina diri, kesabaran saat berdiam diri di rumah, menunjukkan bahwa dirinya adalah orang-orang yang mudah bekerjasama. Selain itu, dalam perspektif politik, orang-orang yang sabar di rumah selama karantina diri adalah orang-orang yang peduli dengan politik di negaranya. Secara sederhana, menurut saya, melihat tingginya partisipasi politik di Indonesia dan semangat gotong royong bangsa Indonesia, hal ini mengarah pada asumsi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sabar.
Penutup
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sabar bukan hanya pembahasan agama semata, perspektif psikologi justru bisa memperkaya pemahaman kita tentang sabar. Dengan perspektif psikologi, kita dapat memahami karakter dan dampak kesabaran dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam rangka mendukung gerakan bersama menghadapi Covid-19, mari tetaplah bersabar #dirumahsaja dan kuatkan kesabaran kita karena hal ini menunjukkan jati diri kita, bangsa Indonesia.
Referensi:
Anderson, J. H., & Gouda, M. G. (1990). The virtue of patience: Concurrent programming with and without waiting. University of Texas at Austin, Department of Computer Sciences.
Curry, O. S., Price, M. E., & Price, J. G. (2008). Patience is a virtue: Cooperative people have lower discount rates. Personality and individual differences, 44(3), 780-785.
Fowler, J. H., & Kam, C. D. (2006). Patience as a political virtue: Delayed gratification and turnout. Political Behavior, 28(2), 113-128.
Goldwasser, M. H. (2003). Patience is a virtue: The effect of slack on competitiveness for admission control. Journal of Scheduling, 6(2), 183-211.
Kupfer, J. H. (2007). When waiting is weightless: The virtue of patience. Journal of Value Inquiry, 41(2-4), 265.
Subandi, M. A. (2011). Sabar: Sebuah konsep psikologi. Jurnal Psikologi, 38(2), 215-227.
Di Rumah Aja
- Details
- Written by Selviana
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 06 Maret 2020
Di Rumah Aja
Oleh
Selviana
Fakultas Psikologi, Univesitas Persada Indonesia YAI
Hastag atau tagar dirumahaja (#dirumahaja) ramai di media sosial (medsos). Tagar ini muncul sebagai kampanye agar orang menghindari kerumunan. Sejumlah artis, selebgram, selebtwit, influencer, dan figur publik menyerukan agar masyarakat berada di rumah. Melalui beragam laman medsos, para pesohor mengajak semua orang agar tak mendatangi kerumunan. Tindakan ini penting dilakukan untuk memutus rantai persebaran virus Covid-19 agar tak semakin meluas (Malang pos, 2020). Hastag #dirumahaja medadak viral sejak imbauan pemerintah untuk melakukan physical distancing kepada semua masyarakat Indonesia. Physical distancing sendiri berarti menjaga jarak secara fisik dengan orang lain untuk melindungi diri dari potensi penularan covid-19. Apalagi semenjak diberlakukannya kerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah dari rumah yang membuat banyak orang berkerumun di suatu tempat menjadi sangat terbatas. Bahkan linimasa warganet mulai ramai dengan meme-meme seperti: “Pertama kali dalam sejarah, bersatu kita sakit-berpisah kita sehat” atau “dari pada di rumah sakit, apalagi di rumah duka, mendingan di rumah aja”, ada lagi meme-meme tenaga medis yang ramai di medsos dengan kalimat “kami tetap di rumah sakit demi anda, tolong anda tetap di rumah demi kami” dan “tetap di rumah atau kita bertemu di rumah sakit”. Meme-meme tersebut selain menjadi peringatan juga menjadi hiburan dikala merebaknya pandemi covid-19 ini. Oleh karena itu, keputusan di rumah aja menjadi hal terbaik untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19.
Namun dibalik viralnya hastag #dirumahaja, banyak juga masyarakat yang mulai mengeluhkan keterbatasannya dalam beraktivitas, seperti mulai merasa bosan karena sehari-hari berada di rumah atau merasa rindu karena kehilangan waktu untuk bertemu teman serta kerabatnya. Ditambah lagi imbauan physical distancing ini masih belum jelas batas waktunya mengingat penderita covid-19 di Indonesia jumlahnya masih terus bertambah. Keadaan ini membuat masyarakat Indonesia mulai mencari cara untuk tetap dapat berinteraksi satu-sama lain dengan menggunakan aplikasi-aplikasi online seperti zoom, whatsapp, meet google, skype, facebook, dan aplikasi-aplikasi lainnya. Hal ini dilakukan agar dapat tetap berinteraksi satu sama lain dan meningkatkan intensitas perilaku oleh kehadiran orang lain. Sarwono (2005) menjelaskan bahwa peningkatan intensitas perilaku oleh kehadiran orang lain dalam psikologi sosial dinamakan fasilitasi sosial (social facilitation). Berkaitan dengan hal ini, Zajonc (dalam Sarwono, 2005) turut menambahkan bahwa kehadiran orang lain saja sudah menimbulkan arousal (pembangkitan), terlepas dari ada atau tidak adanya penilaian. Dalam kasus physical distancing, seseorang yang dapat tetap terhubung dengan orang lain secara online dapat membuat orang tersebut lebih bersemangat, lebih positif dan tetap produktif saat menghadapi badai pandemi covid-19 yang terjadi karena semua orang mengalami hal yang sama dan hadirnya orang lain melalui interaksi secara online, membuatnya dapat saling berbagi, bekerjasama, berkordinasi dalam menyelesaikan tugas-tugas, bahkan menggalang solidaritas untuk lebih peduli terhadap sesama.
Lebih lanjut, pada dasarnya manusia memiliki dorongan untuk berteman. Dorongan berteman itu sendiri sebagian disebabkan oleh faktor biologis, yaitu bahwa manusia memang tergolong jenis yang membutuhkan kawan (Wright dalam Sarwono, 2002). Kecenderungan manusia yang selalu ingin berinteraksi satu-sama lain tentu saja membuatnya bisa mengalami berbagai reaksi emosi saat terpisah oleh jarak dan waktu seperti yang dialami pada masa-masa physical distancing. Sarwono (2002) menyatakan bahwa interaksi antar pribadi dapat mempengaruhi afek (perasaan atau emosi). Sama halnya saat seseorang terbiasa beraktivitas di luar rumah, melakukan banyak kesibukan, berinteraksi dengan banyak orang dan tiba-tiba harus menjalani physical distancing dengan lebih banyak berdiam diri di rumah atau menjaga jarak saat bertemu dengan orang lain, sehingga hal itu mempengaruhi afeknya dan timbullah rasa bosan, rasa rindu, rasa bingung atau rasa cemas. Hal ini merupakan reaksi-reaksi yang bisa terjadi saat terbatasnya interaksi antar pribadi yang tak lain karena sebagian besar dari kehidupan manusia dihabiskan bersama sanak saudara dan kerabatnya (Sarwono, 2002).
Namun demikian, ada beberapa hal yang dapat dilakukan di rumah agar dapat membuat reaksi emosi menjadi lebih positif selama masa physical distancing, antara lain:
1. Beribadah
2. Mengerjakan tugas-tugas kantor/sekolah
3. Meditasi/Yoga
4. Sharing dengan anggota keluarga
5. Membaca buku
6. Berolah raga
7. Mendengarkan musik atau berkaraoke
8. Bermain musik
9. Belajar online
10. Games online
11. Chatting atau video call
12. Menonton tayangan-tayangan yang positif dan menghibur
13. Membersihkan rumah
14. Membuat tulisan/artikel ringan
15. Memasak
16. Tidur/Istirahat cukup
17. Merawat tanaman
18. Merawat hewan perliharaan
19. Dan lain-lain
Daftar aktivitas di atas masih bisa ditambahkan sesuai hal-hal yang biasa dilakukan saat berada di rumah. Yang pasti kita harus terus melanjutkan hidup, mendorong diri untuk tetap sehat dan produktif di masa-masa seperti ini.
Penutup
Dunia sedang berduka karena covid-19. Sampai saat ini, para ilmuwan kesehatan masih terus meneliti dan berusaha menemukan vaksin untuk mengatasi pandemi covid-19. Virus ini tergolong baru dan berbahaya bagi kesehatan manusia tanpa pandang bulu. Beberapa pejabat daerah di Indonesia positif terinfeksi covid-19, beberapa dokter meninggal dunia, banyak pedagang yang mengalami penurunan omset karena usahanya ditutup sementara dan banyak pekerja harian yang penghasilannya terancam. Begitu besar dampak yang terjadi akibat covid-19 bagi kelangsungan hidup manusia khususnya bagi kesehatan, ekonomi dan sosial. Jangan sampai kasus ini semakin besar, putuskan mata rantainya agar kita semua bisa kembali hidup normal. Sisipkan kejadian ini setiap hari dalam doa-doa kita. Dukung pemerintah, tenaga medis, aparat dan stakeholder lainnya untuk segera memulihkan kondisi ini. Adalah baik bila kita dapat berkontribusi lebih dengan berdonasi atau menjadi relawan, tapi ada hal paling sederhana yang kita semua bisa lakukan: #dirumahaja.
Referensi:
Malang Pos. (2020, Maret 28). Hastag Dirumahaja. Diakses dari https://malang-post.com/berita/detail/hastag-dirumahaja
Sarwono, S.W (2005). Psikologi sosial: Psikologi kelompok dan psikologi terapan. Jakarta: Balai Pustaka.
Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.