Beranda
Gambaran Kesiapan PJJ Tahun Ajar 2020-2021: Dari KPIN untuk KPIN
- Details
- Written by Eko A Meinarno dan Christiany Suwartono,
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol. 6 No. 17 September 2020
Gambaran Kesiapan PJJ Tahun Ajar 2020-2021: Dari KPIN untuk KPIN
Oleh
Eko A Meinarno, Universitas Indonesia
Christiany Suwartono, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Pendahuluan
Bulan September atau Oktober 2020 sebagian besar dari para dosen akan menjalankan proses belajar mengajar/PBM dengan kondisi pembelajaran jarak jauh (PJJ) utuh. Ini berbeda dengan semester lalu (genap 2019/2020) yang separuhnya kita jalani separuh konvensional. Kita tahu bahwa situasi ini terjadi pada semua pelaksanaan PBM dari tingkat PAUD sampai universitas.
Beranjak dari pengalaman setengah semester lalu, banyak hal yang tidak terduga dan bahkan menimbulkan keresahan bagi dosen dan mahasiswa. Bagi penulis, sangat terasa banyak hambatan. Bahkan sampai saat ini, ada juga yang masih bergelut dengan hambatan, meski ada juga yang lambat laun bisa mengatasinya. Beberapa hambatan yang dialami seperti ada yang belum paham penggunaan teknologi, kesulitan menjaga interaksi antara dosen dan mahasiswa, lelah karena harus menjalankan kelas sekaligus menjalani hidup baik keluarga maupun social secara bersamaan, dan lain-lain. Padahal penggunaan teknologi lebih maju daripada pembelajaran di kelas merupakan salah satu dari beberapa hal yang dianggap penting dalam PJJ (Zhu & Kaplan, 2011).
Masalah
Kesemua keadaan tadi belum terselesaikan, tapi semester esok penyelenggaraan PJJ utuh akan dilaksanakan. Hal ini tentunya menggelitik Kembali dan menimbulkan pertanyaan dalam benak. Bagaimana menjalankannya? Perlukah perubahan-perubahan khusus, semisal apakah kompetensi yang dicapai perlu berubah? Perlukah ganti RPS/silabus? Atau apa yang kita lakukan kemarin bukan seutuhnya PJJ atau hanya berubah bentuk menjadi blended learning?
Hal-hal yang membingungkan ini timbul karena pada awalnya, Sebagian besar dari kita, sebagai dosen, tidak membayangkan bahwa harus menyelenggarakan kuliah dengan cara PJJ 100% sebelumnya. Selalu ada desain pengajaran menggunakan desain klasik yang mengutamakan pertemuan di kelas dari waktu ke waktu. Belum banyak yang menjalankan PJJ bahkan untuk metode pembelajaran campur atau yang lebih dikenal sebagai blended learning (Dwiyogo, 2018).
Hal-hal Dasar Dalam Pengajaran
Membuat RPS tetap menjadi hal penting (Meinarno, 2017). Hal ini tidak dapat dihindari. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang berubah? Ini yang sangat menantang.
Jika selama ini di media massa, perhatian terbesar dalam PBM adalah siswa atau mahasiswa, maka dalam artikel ini kita perlu tahu apa yang harus dijalankan dosen. Dalam metode belajar aktif, PBM berorientasi pada mahasiswa. Di sisi ini dosen juga dapat percaya pada mahasiswa (Meinarno, 2018). Percaya bahwa mahasiswa dapat menjalankan cara kerja dan pikir sebagaimana pembelajar dewasa.
Di sisi lain dosen adalah faktor penentu dalam pembelajaran dalam jaringan. Peran utama dosen adalah membangun dan mempertahankan keterlibatan mahasiswa (student engagement) (Soerjoatmodjo, 2020). Dosen dengan pendekatan yang fleksibel dan responsif di semua aktivitas dalam proses pembelajaran menjadi sangat penting (Soerjoatmodjo, 2020). Jika dulu yang kreatif mahasiswanya, sekarang kedua belah pihak juga harus kreatif untuk PJJ, agar tujuan belajar tetap tercapai (Meinarno & Lidiawati, 2020).
Metode
Kami memulai survei ini pada gruup perwakilan dari anggota Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN). Lima pertanyaan dalam tulisan ini kemudian dibuat dalam survei yang diunggah pada situs https://www.questionpro.com/t/ADCrmZiHDw. Ada sembilan pertanyaan yang perlu dijawab oleh para rekan yang menggeluti atau pakar di bidangnya. Kesembilan pertanyaan itu dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah pertanyaan untuk masalah dari artikel ini, yakni
1. Adakah beda online learning (belajar secara daring), distance learning (PJJ), dan blended learning (belajar dengan metode campuran)?
2. Apakah perlu mengubah RPS/silabus untuk menjalankan PJJ utuh?
3. Bagaimana kajian emosi-motivasi dari dosen dalam menghadapi PJJ semester depan?
4. Apakah ada bentuk kreativitas pengajaran selama PJJ kemarin
5. Perlukah kerja sama dalam membuat materi ajar bersama, sehingga beban dapat dipanggul bersama agar terasa ringan?
Kelompok kedua terdiri dari tiga pertanyaan yakni mengenai nama-nama mata kuliah yang diampu pada semester genap 2019/2020, nama-nama mata kuliah yang akan diampu pada semester ganjil 2020/2021, dan asal universitas. Untuk kelompok pertanyaan ketiga adalah satu pertanyaan mengenai komentar para dosen mengenai PJJ secara umum.
Pengisian dimulai 15 Juli 2020 sampai dengan tanggal 29 Juli 2020. Para dosen diajak melalui grup WA untuk mengisi kuesioner. Dari 101 anggota grup WA, 93 orang membuka tautan, 59 orang memulai untuk mengisi, dan 22 orang menyelesaikan isian secara penuh. Ke-22 partisipan ini berasal dari 11 institusi perguruan tinggi.
Data kemudian diolah menggunakan frekuensi dan persentase. Atas bantuan fasilitas dari QuestionPro, dibuatlah awan kata (word cloud). Awan kata ini merupakan bentuk visual dari label yang dibuat berdasarkan konten kata dari respon pertanyaan terbuka. Label ini biasanya berupa kata tunggal dan biasanya dicantumkan menurut abjad. Tingkat kepentingan label ditunjukkan dengan ukuran huruf yang semakin besar atau warna. Peneliti mengeliminasi kata sambung seperti: dan, dengan, dan lain sebagainya dari perhitungan untuk menghasilkan awan kata.
Apa Kata Para Dosen KPIN?
Sebagai gambaran awal, para dosen ini sebagian besar mengajar Psikologi Sosial (18,18%), Psikologi Umum (13,64%), Psikologi Perkembangan (13,64%), Psikologi Kepribadian (13,64%), dan Psikologi Lingkungan (13.64%) pada semester genap 2019/2020. Kemudian pada semester ganjil 2020/2021, sebagian besar mereka akan mengajar Psikologi Pendidikan (18,18%) dan Psikologi Sosial (13,64%).
Berikut merupakan gambaran umum dari tiap pertanyaan survei lainnya. Untuk pertanyaan “Adakah beda online learning (belajar secara daring), distance learning (PJJ), dan blended learning (belajar dengan metode campuran)? Jawaban yang mengemuka adalah learning dan online.
Pada pertanyaan pertama adakah beda online learning (belajar secara daring), distance learning (PJJ), dan blended learning (belajar dengan metode campuran)? Para partisipan menjawab ada perbedaan. Namun dari penjelasan partisipan tampak ada hal-hal tertentu yang tampaknya belum jelas. Tentu hal ini perlu untuk diketahui perbedaannya dengan cukup tegas. Ketiga metode ini mungkin bersinggungan dalam penggunaan teknologinya, tapi prosesnya tampaknya tidak sama. Apakah perlu mengubah RPS/silabus untuk menjalankan PJJ utuh? Ternyata dijawab dengan kata “perlu”. Yang kemudian menarik adalah kata-kata kunci yang mengikutinya yakni “metode” dan “RPS”.
Respon pada pertanyaan kedua apakah perlu mengubah RPS/silabus untuk menjalankan PJJ utuh? Ternyata dijawab dengan kata “perlu”, “metode”, “RPS”, dan “tidak”. Kata-kata yang muncul ini perlu diperhatikan. Sebagaimana proses pembuatan RPS, para dosen menuliskan setidaknya tujuh komponen (Meinarno, 2017). Salah satu bagian yang dapat diadaptasi adalah pada bagian tahap pembelajaran, penugasan, dan evaluasi. Walau kata “tidak’ juga muncul, tetap saja banyak keadaan yang selama ini normal tidak dapat lagi dilakukan, padahal proses pendidikan tetap berjalan. Dengan demikian proses adaptasi tetap dibutuhkan.
Bagaimana kajian emosi-motivasi dari dosen dalam menghadapi PJJ semester depan? Pertanyaan ini dijawab dengan “motivasi” dan belajar. Kata lain yang sering muncul adalah kata-kata sambung.
Dari membaca respon-respon yang masuk, para dosen ini sebagian besar merasa netral terhadap emosi yang dirasakan (36,36%) dan berubah-ubah – naik turun (27,27%). Jumlah para dosen yang menyatakan mengalami emosi positif sama dengan jumlah para dosen yang menyatakan mengalami emosi negatif yaitu sebesar 18,18%.
Bagaimana kajian emosi-motivasi dari dosen dalam menghadapi PJJ semester depan? Pada bagian ini jawaban partisipan tidak menunjukkan satu jawaban yang dapat mewakili keadaan emosi para partisipan. Namun bukan berarti hal ini tidak ada, hanya mungkin tidak terekspresikan dalam survei ini. Sebagai perbandingan, pengalaman penulis selama mengajar dengan metode PJJ darurat selama ini lebih terasa melelahkan. Kelelahan fisik sering berdampak pada ekspresi emosi yang berbeda dan jika berlanjut terus-menerus tidak tertutup kemungkinan motivasi juga menurun.
Untuk pertanyaan “Apakah ada bentuk kreativitas pengajaran selama PJJ kemarin?” Jawaban yang mengemuka adalah “mahasiswa” dan “video”.
Rekan-rekan partisipan dalam merespon pertanyaan apakah ada bentuk kreativitas pengajaran selama PJJ kemarin? adalah “mahasiswa” dan “video”. Jawaban ini menyiratkan adanya hubungan kreativitas PJJ dengan mahasiswa, dan wujud produknya adalah video. Mahasiswa menjadi isu utama respon sangat mungkin dikarenakan merekalah yang lebih aktif dalam PJJ. Hal ini pernah diajukan oleh Lidiawati dan Meinarno (2020). Menurut mereka, mahasiswa sasngat perlu menyadari bahwa ketiadaan pertemuan di kelas fisik membutuhkan kemauan dan kemandirian. Untuk itu maka para mahasiswa sangat perlu untuk mandiri. Hal yang masih belum terungkap adalah bagaimana membuat mahasiswa menyadari keadaan dan permintaan itu dari dosennya?
Mengenai video hal ini dipahami karena adanya kemudahan penggunaan teknologi perekaman yang semakin mudah dan relatif murah. Para mahasiswa mengikuti jejak para pengunggah video amatir (bahkan professional) ke saluran YouTube. Produk ini bukan hal yang mudah dibuat, tapi bantuan perangkat lunak mempercepat orang untuk membuatnya. Namun dalam penelitian ini, peran dosen belum terungkap dalam masalah kreativitas pengajaran.
Perlukah kerja sama dalam membuat materi ajar bersama, sehingga beban dapat dipanggul bersama agar terasa ringan? Jawaban terbanyak adalah “perlu”. Jawaban yang mengemuka dari partisipan adalah perlu. Hal ini terkait dengan penyesaian RPS/silabus dan kreativitas dosen. Seperti kita ketahui bahwa ada banyak mata ajar yang nyaris sama (jika tidak disebut sama) yang diajarkan di semua kampus yang tergabung dalam KPIN.
Ungkapan “perlu kerja sama” ini dapat dianggap mewakili permintaan yang jujur dan terbuka bahwa keadaan pandemi ini mempunyai dampak terhadap proses belajar mengajar. Sebagaimana kita ketahui pula bahwa ketika menghadapi keadaan sulit secara bersama dan bersamaan akan lenih ringan jika dilakukan dengan semangat gotong-royong yang berarti hubungan timbal balik yang mendorong individu untuk saling menolong untuk menyelesaikan pekerjaan yang membutuhkan orang lain pada satu waktu, baik untuk tujuan perorangan maupun kelompok (Meinarno & Fairuziana, 2019). Dengan demikian tiap-tiap dosen dari kampus yang tergabung dalam KPIN akan dapat membuat materi-materi ajar yang dibangun secara gotong-royong.
Ada bagian khusus yang menanyakan hal-hal di luar pertanyaan utama. Bagian ini menanyakan hal-hal lain yang ingin disampaikan. Bagian ini menjadi lebih longgar, yang dapat menyuarakan harapan atau keinginan untuk jalani semester awal tahun ajar 2020-2021. Hal yang menonjol adalah keinginan untuk kerja sama. Kerja sama yang diinginkan mulai dari sekedar berbagi kondisi semester lalu, sampai bersiap untuk membuat materi ajar bersama.
Harapan dan Penutup
Kelemahan dari survei ini adalah completion rate yang rendah (23,91%), sehingga belum menggambarkan aspirasi dari para dosen. Namun, kekuatan dari survei ini setidaknya membuka wawasan mengenai kesulitan di lapangan.
Penelitian dengan metode survei sederhana ini memberikan gambaran singkat tentang yang dialami oleh sebagian dari dosen-dosen psikologi dari kampus-kampus yang tergabung dalam KPIN. Dari respon jawaban yang muncul dan ulasan singkat di dalamnya masih belum mencukupi agar ada solusi dari masalah yang timbul dari keadaan yang terjadi di lapangan. Ulasan jelas tidak memuaskan bahkan bisa jadi tidak memberi arah untuk mencapai solusi. Mengapa hal ini terjadi, karena walau pandemi dialami semua, tapi masih ada faktor atau variabel yang tidak sama di tiap kampus, termasuk di dalamnya adalah dosennya. Akan menjadi tawaran yang menarik jika ada wadah atau forum yang mengupayakan penjelasan-penjelasan mengenai PBM dalam keadaan PJJ ini. Penulis menilai bahwa KPIN dapat memberi wadah untuk mencapai solusi pada dosen ini.
Kebutuhan adaptasi dalam masa pandemi ini tampaknya dibutuhkan, setidaknya untuk berbagi rasa atas pengalaman kemarin. Dalam kondisi ini KPIN sejak sebelum masa pandemi telah mengenalkan kegiatan-kegiatan yang bersifat akademik. Sempat pernah diadakan kerja sama pembuatan silabus RPS bersama. Tentu dapat dikembangkan menjadi kegiatan bersama lintas universitas. Kegiatan kuliah dengan daring juga telah dilakukan pada kuliah Psikologi Indonesia. Bahkan telah menjadi satu kelas yang terdiri dari berbagai mahasiswa (lintas universitas). Di samping yang bersifat pendidikan pengajaran, juga telah dilakukan seminar pengabdian masyarakat. Memperkenalkan KPIN kepada khalayak dengan menggunakan teknologi daring, dan sukses.
Penulis masih berkeyakinan KPIN dapat menjadi sarana bantu dalam pengajaran sehari-hari, termasuk penelitian. Tulisan inipun awalnya sebuah kejahilan ilmiah. Dan KPIN sekali lagi memfasilitasinya.
Referensi:
Dwiyogo, WD. (2018). Pembelajaran berbasis blended learning. Rajawali Pers.
Lidiawati, KR., Meinarno, EA. (2020). Bentuk Kesiapan PJJ: Belajar dari Ekalaya. Vol.6 No.11 Juni 2020. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/674-bentuk-kesiapan-pjj-belajar-dari-ekalaya-2.
Meinarno, EA. (2017). Persiapan pengajaran: Di balik layar yang mendebarkan tiap awal semester. Dalam Psychology for Daily Life. Penyunting Ika W Pratiwi, Sarah Rachmawati, dan Dwi N Puspitasari. Rajawali Pers.
Meinarno, EA. (2018). Perubahan cara belajar: Reorientasi proses belajar mengajar. Dalam Psychology for Daily Life 2. Penyunting Selviana, Gita WL Soerjoatmodjo, Made D Lestari, Subhan El hafiz, Ika W Pratiwi, Sarah Rachmawati, Maman AM Binfas, dan Dwi N Puspitasari. UHAMKA Press.
Meinarno, EA., Putri, MA., Fairuziana. (2019). Isu-isu Kebangsaan dalam Ranah Psikologi Indonesia. dalam Psikologi Indonesia. Penyunting Subhan El Hafiz dan Eko A Meinarno. Rajawali Pers.
Meinarno, EA., Lidiawati, KR. (2020). Pembelajaran Jarak Jauh dalam Konteks Wayang: Resi Durno dan Ekalaya. Vol.6 No. 10 Mei 2020. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/654-bentuk-kesiapan-pjj-belajar-dari-ekalaya.
Soerjoatmodjo, GWL. (2020). Mendadak Online. Vol.6 No. 06 Maret 2020. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/575-mendadak-online.
Zhu, E., Kaplan M. (2011). Technology and teaching. Dalam McKeachie’s Teaching Tips: Strategies, research, and theory for college and university teachers. 12 ed. Ed. Marilla Svinicki and Wilbert McKeachie. Wadsworth cengage Learning.
Covid-19 dan Lansia: Kesehatan Mental Menghadapi Pembatasan Sosial
- Details
- Written by Yonacia Desti Mardani Br Tarigan
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol. 6 No. 15 Agustus 2020
Covid-19 dan Lansia: Kesehatan Mental Menghadapi Pembatasan Sosial
Oleh
Yonacia Desti Mardani Br Tarigan
Universitas Negeri Padang
COVID-19 adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Corona Virus yang awalnya berkembang dari Wuhan Cina kemudian menyebar ke berbagai negara, beberapa diantaranya telah menjadi transmisi selanjutnya (Lipsitch, Swerdlow, & Finelli, 2020). Studi menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan resiko yang lebih buruk dan tingkat kematian yang lebih tinggi pada lansia dan orang-orang dengan komorbiditas seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronis, dan penyakit ginjal kronis (Shahid et al, 2020). COVID-19 muncul beberapa bulan belakangan dan menjadi pandemi mematikan karena menunjukkan signifikansi peningkatan jumlah korban meninggal per harinya.
COVID-19 menyebabkan berbagai resiko bagi semua kalangan usia, terutama lansia dan memiliki potensi patogen yang sama dengan SARS-CoV dan MERS-CoV (Thompson, Shay, Weintraub, Brammer, Cox, Anderson, & Fukuda, 2003). COVID-19 menunjukkan beberapa gejala, yaitu sekresi hidung, batuk, dispnea, demam, mialgia dan kadang-kadang diare (Sun, Qie, Liu, Ren, & Xi, 2020). Terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi resiko kesehatan fisik untuk meningkatkan kesehatan mental lansia. Penelitian Liu, Zhang, Yang, Zhang, Li, & Chen (2020) menunjukkan bahwa melakukan rehabilitasi pernapasan selama enam minggu dapat meningkatkan fungsi pernapasan (kesehatan fisik), kualitas hidup dan kecemasan pasien lansia (kesehatan mental) dari COVID-19.
Pandemi COVID-19 memperumit pengalaman hidup lansia. Laporan menunjukkan bahwa tidak sedikit lansia yang dititipkan di panti jompo (Keeley, 2020). Beberapa kabar berita tampaknya menunjukkan bahwa kematian lansia tidak sama pentingnya dengan kematian orang yang lebih muda (Haffower, 2020). Hal ini merupakan bentuk pembatasan sosial yang membuat orang tua sangat rentan terhadap resiko kesehatan dan resiko sosial negatif, terutama isolasi dan kesepian. Kesepian adalah faktor risiko nyata kesehatan mental dan kesejahteraan semua orang, bahkan pada saat-saat terbaik sekalipun lansia bisa lebih rentan untuk kesepian.
Di Inggris dan berbagai tempat lainnya, para lansia akan disuruh mengisolasi diri untuk waktu yang sangat lama (BBC, 2020). Upaya ini untuk melindungi sistem kesehatan yang kelebihan beban, berbagai bentuk pembatasan sosial yang dilakukan adalah memberlakukan penguncian, jam malam, dan sosial isolasi untuk mengurangi penyebaran COVID-19. Namun, diketahui bahwa isolasi sosial di antara orang dewasa yang lebih tua adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius karena meningkatnya risiko kardiovaskular, autoimun, masalah neurokognitif, dan kesehatan mental (Gerst-Emerson & Jayawardhana, 2015).
Santini et al., (2020) baru-baru ini menunjukkan bahwa pembatasan sosial membuat orang dewasa akhir berisiko lebih besar mengalami depresi dan kecemasan. Jika menteri kesehatan memerintahkan orang lanjut usia untuk tetap di rumah, membeli bahan makanan dan obat-obatan vital, dan menghindari kontak sosial dengan keluarga dan teman-teman, tindakan segera diperlukan untuk mengurangi konsekuensi kesehatan mental dan fisik. Isolasi diri akan tidak proporsional memengaruhi individu lanjut usia yang satu-satunya kontak sosialnya di luar rumah, seperti di tempat penitipan anak, pusat komunitas, dan tempat ibadah.
Mereka yang tidak memiliki keluarga atau teman dekat, dapat mengandalkan dukungan layanan sukarela atau kepedulian sosial bersama dengan mereka yang sudah kesepian, terisolasi, atau terpencil. Teknologi online dapat dimanfaatkan untuk memberikan dukungan sosial dan rasa memiliki (Newman & Zainal, 2020) meskipun ada kesenjangan dalam akses ke dalam sumber daya digital. Selain itu, terapi perilaku kognitif dapat dilakukan secara online untuk mengurangi kesepian dan meningkatkan kesejahteraan mental (Käll, 2020).
Referensi:
BBC. Coronavirus: isolation for over-70s within weeks’. March 15, 2020. https://www.bbc.co.uk/news/uk-51895873 (accessed June 04, 2020).
Gerst-Emerson, K., & Jayawardhana, J. (2015). Loneliness as a public health issue: the impact of loneliness on health care utilization among older adults. American Journal of Public Health, 105(5), 1013-1019. doi: 10.2105/AJPH.2014.302427
Haffower, H. (2020). A certain horrible subset of the internet is calling the coronavirus ‘boomer remover’. Business Insider Australia. Retrieved from https://www.businessinsider.com/millennials-gen-z-calling-coronavirus-boomer-remover-reddit-2020-3?r=US&IR=T
Käll, A., Jägholm, S., Hesser, H., Andersson, F., Mathaldi, A., Norkvist, B. T., ... & Andersson, G. (2020). Internet-based cognitive behavior therapy for loneliness: a pilot randomized controlled trial. Behavior therapy, 51(1), 54-68. doi: 10.1016/j.beth.2019.05.001
Keeley, G. (2020, Maret 24). Corpses of the elderly found abandoned in Spanish care homes. Retrieved from https://www.aljazeera.com/news/2020/03/corpses-elderly-abandoned-spanish-care homes-200324141255435.html
Lipsitch, M., Swerdlow, D. L., & Finelli, L. (2020). Defining the epidemiology of Covid-19—studies needed. New England journal of medicine, 382(13), 1194-1196. doi: 10.1056/NEJMp2002125
Liu, K., Zhang, W., Yang, Y., Zhang, J., Li, Y., & Chen, Y. (2020). Respiratory rehabilitation in elderly patients with COVID-19: A randomized controlled study. Complementary Therapies in Clinical Practice, 101166. doi: 10.1016/j.ctcp.2020.101166
Newman, M. G., & Zainal, N. H. (2020). The value of maintaining social connections for mental health in older people. The Lancet Public Health, 5(1), e12-e13. doi: 10.1016/S2468-2667(19)30253-1
Santini, Z. I., Jose, P. E., Cornwell, E. Y., Koyanagi, A., Nielsen, L., Hinrichsen, C., ... & Koushede, V. (2020). Social disconnectedness, perceived isolation, and symptoms of depression and anxiety among older Americans (NSHAP): a longitudinal mediation analysis. The Lancet Public Health, 5(1), e62-e70. doi: 10.1016/S2468-2667(19)30230-0
Shahid, Z., Kalayanamitra, R., McClafferty, B., Kepko, D., Ramgobin, D., Patel, R., ... & Jones, K. (2020). COVID‐19 and older adults: what we know. Journal of the American Geriatrics Society, 68(5), 926-929.doi: 10.1111/jgs.16472
Sun, P., Qie, S., Liu, Z., Ren, J., & Xi, J. J. (2020). Clinical characteristics of 50466 patients with 2019-nCoV infection. MedRxiv. doi: 10.1101/2020.02.18.20024539
Thompson, W. W., Shay, D. K., Weintraub, E., Brammer, L., Cox, N., Anderson, L. J., & Fukuda, K. (2003). Mortality associated with influenza and respiratory syncytial virus in the United States. Jama, 289(2), 179-186. doi: 10.1001/jama.289.2.179
Kok Nge-Prank Sih?
- Details
- Written by Sandra Handayani Sutanto
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol. 6 No. 14 Juli 2020
Kok Nge-Prank Sih?
Oleh
Sandra Handayani Sutanto
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Awal bulan Mei lalu, pemberitaan di media Indonesia sontak ramai dengan aksi salah seorang youtuber (orang yang aktif membuat konten atau video di kanal youtube) melakukan prank kepada transpuan di Bandung. Dalam aksinya, youtuber tersebut seolah-olah memberikan bantuan sosial kepada transpuan dan tindakannya ini direkam dalam video. Namun ternyata bantuan yang dikemas dalam kardus tersebut bukanlah berisi bantuan bahan pokok, melainkan berisi sampah dan batu. Aksi dari youtuber dan reaksi transpuan diunggah ke kanal youtube dengan tujuan untuk menambah jumlah orang yang berlangganan kanal tersebut dan pada akhirnya mendapatkan keuntungan lebih banyak (CNN Indonesia, 2020).
Salah seorang transpuan yang menjadi korban prank tersebut bahkan melaporkan aksi prank ini kepada kepolisian dan berakhir dengan penangkapan tiga orang yang terlibat melakukan prank. Reaksi dari masyarakat pun beraneka ragam, rata-rata mengutuk dan menyesalkan aksi prank tersebut.
Prank
Belakangan ini kata prank menjadi kata yang seringkali kita dengar. Apa yang dimaksud dengan prank? Secara singkat, jika diterjemahkan prank berarti gurauan atau lelucon yang dilakukan kepada orang lain. Kamus Merriam Webster mendefinisikan prank sebagai kata benda dan kata kerja. Sebagai kata benda, prank diterjemahkan sebagai tindakan yang jahat, usil dan lucu, sedangkan sebagai kata kerja, prank didefinisikan sebagai memainkan tipuan pada orang lain.
Eberle (2019) memberikan batasan yang cukup jelas mengenai prank. Ketika motivasi melakukan aksi tersebut didasari sesuatu yang kejam atau hasil akhirnya menyakitkan daripada menyenangkan, maka ini bukanlah dikategorikan sebagai lelucon. Jika dua pihak yang terlibat dalam aksi sama-sama menikmati dan terlibat dalam kesenangan bersama, barulah hal tersebut dikategorikan sebagai lelucon. Dalam ilustrasi kasus, tujuan melakukan prank mungkin sebagai aksi usil belaka atau lelucon, namun hasil akhirnya mendatangkan reaksi negatif berupa kemarahan dari korban, perasaan tidak senang sehingga hal ini bukan lagi dikategorikan sebagai lelucon.
Prank dan Agresi
Pertanyaan yang muncul berikutnya, apakah prank bisa dimasukan sebagai bentuk agresi? Agresi didefinisikan sebagai setiap tindakan yang menyakiti orang lain—yang pada saat bersamaan—berusaha untuk menghindar dari rasa sakit tersebut (Baron & Richardson dalam Benjamin Jr., 2017). Definisi ini meliputi perilaku yang cukup luas mulai dari perilaku tanpa stimulus seperti menahan informasi dengan sengaja, hingga perilaku yang terlihat dengan jelas seperti agresi yang ditunjukan dalam bentuk verbal dan fisik, dan pada titik yang ekstrim memunculkan kekerasan pada orang lain.
Melakukan prank atau tindakan usil bisa digolongkan sebagai perilaku agresi karena—disadari atau tidak disadari-- tujuan akhirnya adalah menyakiti orang lain, menjadikan orang lain sebagai bahan candaan, membuat orang lain kesal, marah, atau malu.
Prank makin marak
Lalu, mengapa prank menjadi makin marak belakangan ini? Prank yang semakin menjamur di masyarakat bisa dijelaskan dengan berbagai teori, salah satunya dengan teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura. Bandura (dalam Feist, Feist & Roberts, 2013) berpendapat bahwa individu bisa mempelajari sekelilingnya dengan melakukan observasi. Bahkan Bandura percaya bahwa pembelajaran melalui observasi lebih efisien dibandingkan dengan pembelajaran secara langsung. Inti dari pembelajaran observasi adalah dengan melakukan modeling. Modeling sendiri tidak serta merta meniru perilaku yang ada di dalamnya, melainkan meliputi proses kognitif yang terjadi dengan menyimpan informasi secara simbolis untuk digunakan pada kemudian hari.
Trend prank ini makin marak sejak platform media sosial Youtube makin popular. Tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku belajar dengan mengamati Youtube atau video lain untuk melakukan tindakan prank, apalagi jika tindakan tersebut mendatangkan dampak yang menguntungkan bagi individu tertentu, misalnya jumlah pelanggan yang naik dan keuntungan dalam bentuk iklan dan rupiah yang meningkat.
Cara mengatasi prank
Setelah mengetahui bahwa prank dapat merugikan orang lain, maka kita perlu mengantisipasi hal tersebut. Setiyawan (2019) menjelaskan lebih lanjut cara mengatasi prank, ditinjau dari dua sisi yaitu pembuat prank dan korban.
1. Bagi korban yang dirugikan maka korban bisa memberikan teguran kepada pembuat prank, misalnya dengan menuliskan di kolom komentar. Jika prank ini terjadi di platform media sosial, maka korban juga bisa menginformasikan keberatannya kepada kepada Google sebagai pemilik platform Youtube untuk menarik video tersebut. Aduan juga bisa ditujukan kepada Kominfo. Untuk aduan ke kepolisian, korban bisa mengadukan pembuat prank dengan undang-undang terkait terutama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Bagi pembuat konten atau prank perlu memikirkan dampak jangka panjang dari tindakannya. Empati juga diperlukan dalam mempertimbangkan hasil konten yang lebih bermanfaat.
Dengan dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan kita dan orang lain, apakah kita masih akan melakukan prank? Pikirkan dengan bijak!
Aggression only moves in one direction-it creates more aggression.
-Margaret J. Wheatly.
Referensi:
Benjamin Jr., A.J. (2016). Aggression. In H.S. Friedman (Ed.). Encyclopedia of Mental Health, 1, (pp. 33-40). Academic Press.
CNN Indonesia. (2020, May 9). CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200509123632-12-501593/ferdian-paleka-bikin-prank-sampah-demi-tambah-subscriber
Eberle, S.G. (2019, Mar 27). Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/play-in-mind/201903/april-fools
Feist, J., Feist, G.J., & Roberts, T. (2013). Theories of personality (8th ed.). New York: McGraw-Hill.
Merriam-Webster. (n.d.). Prank. In Merriam-Webster.com dictionary. Retrieved June 9, 2020, from https://www.merriam-webster.com/dictionary/prank
Setiyawan, R. (2019, Dec15). Tirto.id. https://tirto.id/konten-video-prank-makin-merugikan-apa-yang-harus-kita-lakukan-enkD
Pandemi Covid-19 dan Prasangka terhadap Etnis Tionghoa
- Details
- Written by Aulia Nafira Aswar dan Mochammad Sa’id
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol. 6 No. 13 Juli 2020
Pandemi Covid-19 dan Prasangka terhadap Etnis Tionghoa
Oleh
Aulia Nafira Aswar dan Mochammad Sa’id
Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang
Diskriminasi dan Agresi selama Wabah Pandemi Covid 19
Pada akhir Desember 2019 lalu, dunia dikejutkan dengan munculnya virus jenis baru yang berasal dari kota Wuhan, Tionghoa. Virus tersebut adalah Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV 2), yang kemudian disebut COVID-19. Virus ini dapat menular dengan cepat dan juga mematikan. Kini, virus ini telah menyebar ke seluruh dunia. Orang yang telah terinfeksi virus ini, lalu terlibat kontak fisik dengan orang lain, maka kemungkinan besar orang tersebut akan tertular juga. Selain itu, virus ini akan semakin ganas penyebarannya kepada orang tua, orang yang memiliki riwayat penyakit diabetes, kanker, dan beberapa penyakit serius lainnya.
Penyebaran global COVID-19 membuat WHO menetapkan kejadian ini sebagai pandemi. Dampak dari pandemi ini tidak hanya terasa di bidang kesehatan, tetapi juga merembet ke ranah sosial, ekonomi, dan pendidikan. Dalam situasi yang memprihatinkan seperti ini, sudah seharusnya kita sebagai sesama manusia saling bekerjasama dan mendukung satu sama lain agar dapat melewatinya dengan baik. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat justru menyalakan api permusuhan. Dikarenakan COVID-19 merupakan virus yang berasal dari dan ditemukan pertama kali di Wuhan, Tiongkok, mereka melakukan diskriminasi dan agresi terhadap orang-orang yang merupakan etnis Tionghoa dan/atau pendatang dari Tiongkok. Mereka juga tidak berani untuk berbicara bahkan mendekati orang dengan perawakan Tionghoa. Orang-orang beretnis Tionghoa yang menggunakan masker dicurigai sebagai orang yang positif terkena Corona dan bahkan mengalami diskriminasi. Selain itu, walaupun mereka tidak tinggal di Tiongkok, saat orang-orang mengetahui mereka merupakan etnis Tionghoa, maka akan dijauhi.
Banyak bukti yang menunjukkan adanya diskriminasi dan agresi terhadap warga etnis Tionghoa di masa pandemi Covid-19. Di antaranya adalah peristiwa yang terjadi di Perancis dan Kanada. Warga Tionghoa yang berada di Perancis dan Kanada diperlakukan dengan rasis akibat pandemi Covid-19. Di Perancis, seorang wanita bernama Colmar Cathy Tran mengatakan bahwa saat dirinya hendak berangkat kerja, dua orang pria mengatakan “awas, ada perempuan Tionghoa ke arah kita”. Kemudian saat dirinya pulang kerja, ada seorang pria yang naik skuter dan mengatakan kepada dirinya untuk menggunakan masker. Sedangkan di Kanada, para orang tua murid menyebarkan serta menandatangani petisi daring dan meminta agar para murid yang baru kembali dari Tiongkok dilarang masuk sekolah selama 17 hari.
Selain di Perancis dan Kanada, hal yang sama terjadi pula di Malaysia. Seorang pelajar yang berasal dari Tiongkok bernama Shi Pei Pei dan sedang berkuliah di Malaysia juga dijauhi oleh teman-temannya saat mereka tahu Pei Pei baru kembali dari Tiongkok. Padahal Pei Pei mengatakan bahwa dirinya tinggal di provinsi Hebei, Tiongkok bagian utara yang letaknya jauh dari Wuhan. Pei Pei mengatakan semua orang takut terhadap dirinya dan tidak ada yang mau berbicara dengannya.
Di Amerika Serikat sendiri, Donald Trump yang merupakan Presiden AS membuat sebuah pernyataan yang menimbulkan kontroversi. Trump menyebut bahwa Covid-19 merupakan “Chinese Virus” atau virus Tiongkok. Hal ini membuat geram warga AS keturunan Tionghoa. Secara tidak langsung, Trump menyatakan bahwa seseorang yang berasal dari etnis tertentu memiliki tanggung jawab terhadap penyebaran virus tersebut.
Kasus yang lebih parah terjadi di Italia. Mayoritas masyarakat keturunan Tionghoa yang berada di Italia mengalami perlakuan tidak menyenangkan di sekolah dan juga di tempat kerja. Sejumlah murid sekolah dasar yang merupakan keturunan Tionghoa mendapatkan diskriminasi. Selain sebutan “Virus Tiongkok”, mereka juga mendapatkan kekerasan fisik. Seorang warga Tiongkok bernama Qian Zhang mengatakan bahwa dirinya mendapat serangan menggunakan botol serta tidak diperbolehkan untuk mengisi bensin di pom bensin dikarenakan dirinya dianggap sebagai pembawa virus. Tidak berhenti di situ, kasus yang sama juga dialami oleh pasangan yang merupakan keturunan Tionghoa bernama Chen dan Ye. Mereka mendapatkan serangan menggunakan botol yang pelakunya ialah dua orang remaja.
Bias Kognitif
Berbagai perlakuan diskriminatif dan agresif yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di berbagai negara di atas bukanlah hal yang tiba-tiba muncul. Tindakan-tindakan tersebut muncul karena adanya bias kognitif. Secara kognitif, mereka memiliki pemahaman dan keyakinan keliru bahwa etnis Tionghoa dan orang-orang Tiongkok merupakan pembawa virus karena penyebarannya berasal dari Tiongkok. Bias kognitif inilah yang kemudian melahirkan steretotip negatif terhadap etnis Tionghoa dan orang-orang Tiongkok. Steretotip ini kemudian melahirkan prasangka, yaitu perasaan-perasaan negatif berupa kebencian terhadap orang-orang dari kelompok tertentu, yang dalam hal ini adalah masyarakat etnis Tionghoa dan orang-orang Tiongkok, dan pada akhirnya, stereotip dan prasangka ini mendorong mereka untuk melakukan tindakan-tindakan tak manusiawi berupa diskriminasi dan agresi terhadap orang-orang yang mereka tidak sukai, yaitu etnis Tionghoa dan orang-orang Tiongkok.
Persoalan mengenai prasangka terhadap etnis Tionghoa dan orang-orang Tiongkok ini bukanlah persoalan kecil. Apabila tidak segera dicari solusinya, maka ia dapat menyulut api yang lebih besar. Oleh karena itu, butuh strategi penyelesaian yang komprehensif untuk menuntaskannya. Pemerintah, melalui aparat penegak hukum, tentu harus memberikan hukuman yang dapat membuat jera kepada orang-orang yang telah melakukan tindak kekerasan baik melalui verbal maupun non-verbal kepada etnis Tionghoa, karena etnis Tionghoa juga berhak untuk hidup dalam kedamaian dan ketenangan tanpa harus dibayang-bayangi dengan perasaan takut.
Upaya Penanggulangan
Namun pendekatan koersif saja tidaklah cukup. Kampanye dan edukasi kepada masyarakat haruslah terus digaungkan mengenai hakikat COVID-19 sebagai penyakit pandemik yang tidak berkaitan dengan etnis atau kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, masyarakat dapat memperbaiki pola pikir mereka mengenai etnis Tionghoa. Mereka tidak seharusnya mengkambinghitamkan etnis Tionghoa hanya karena virus tersebut pertama kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok. Apalagi sampai berprasangka negatif dan melakukan tindakan-tindakan yang tak manusiawi terhadap mereka, karena pada dasarnya semua manusia berharga dan sebagai sesama manusia kita perlu saling menghargai dan berempati terhadap berbagai peristiwa yang membutuhkan perhatian kita dalam hal kemanusiaan.
Referensi:
BBC. (2020, Mei 03). Kami bukan virus: Akibat wabah corona, keturunan Tionghoa di Perancis Kanada alami sentimen rasis. BBC. Diunduh dari https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-51300715.
Forsyth, D. R. (2009). Group Dynamics (Fifth Edition). Belmont: Thompson Wadsworth.
Hermawan, A. G. (2019). Prasangka etnis pada mahasiswa etnis Jawa dan Tionghoa di kota Semarang (Disertasi dipublikasikan). Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang.
Idris, M. F. (2019). Prasangka sosial terkait agama, disabilitas, dan gender pada siswa Sekolah Dasar (Disertasi dipublikasikan). Universitas Negeri Semarang (UNNES), Semarang.
Jannah, N. (2016). Hubungan etnosentrisme dengan prasangka etnik Jawa pada etnik Madura (Disertasi dipublikasikan). Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.
Rahadi, F. (2020, Mei 03). Mahasiswa Tionghoa, masa karantina, dan stereotip corona. Republika. Diunduh dari https://republika.co.id/berita/q7chmk291/mahasiswa-Tionghoa-masa-karantina-dan-stereotipe-corona.
Sinaga, H. (2020, Mei 03). Etnis Tionghoa di Italia alami diskriminasi parah, PHK, dan siksaan, hingga disebut virus tiongkok. Pikiran Rakyat. Diunduh dari https://www.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-01356736/etnis-tionghoa-di-italia-alami-diskriminasi-parah-phk-dan-siksaan-hingga-disebut-virus-tiongkok..
Tribun Manado. (2020, Mei 3). Donald Trump disebut ujarkan kebencian untuk China, warga AS keturunan Tiongkok geram, ini ucapannya. Tribunnews. Diunduh dari https://manado.tribunnews.com/2020/03/22/donald-trump-disebut-ujarkan-kebencian-untuk-china-warga-as-keturunan-tiongkok-geram-ini-ucapannya.