Beranda
Bystander Effect
- Details
- Written by Frida Medina Hayuputri
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.4 No. 24 Desember 2018
Bystander Effect: Realita di tengah Musibah
(Merekam Dahulu, Menolong Kemudian)
Oleh
Frida Medina Hayuputri
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI
Semenjak trend munculnya peristiwa-peristiwa viral di media massa, terutama media internet, hampir setiap orang ingin menjadi yang pertama dalam mengunggah suatu konten fenomenal. Mereka berlomba-lomba untuk merekam, kemudian mengunggah apapun yang dianggap menarik, bahkan pada peristiwa-peristiwa yang bisa menimbulkan korban jiwa seperti perkelahian, penganiayaan, kecelakaan, bencana alam, dan lain sebagainya.
Mirisnya, trend ini mengakibatkan empati orang hampir hilang total. Sebagai contoh, ketika terjadi kecelakaan, orang-orang lebih fokus untuk merekam kejadian daripada mendahulukan untuk menolong korban. Begitu pula ketika terjadi penganiayaan, terkadang korbannya sampai meninggal dunia, namun “si perekam kejadian” tetap asyik melanjutkan aksinya merekam. Hal seperti ini disebabkan karena ia merasa bahwa dirinya bukan satu-satunya orang yang ada di tempat tersebut, sehingga ia berpikir bahwa orang lain akan dapat menolong korban.
Bystander Effect
Bystander effect adalah sebuah fenomena sosial di mana semakin banyaknya saksi atau “penonton” dari sebuah kejadian darurat membuat orang-orang memilih untuk mengabaikan atau tidak menolong korban dari situasi tersebut (Aronson, Wilson, & Akert, 2013). Bystander effect dapat menyerang siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Menurut Psikologi Sosial, seseorang akan menolong orang lain yang membutuhkan bantuan, jika tidak ada orang lain disekitarnya (Atikasari, 2016).
Saat ini, bystander effect seringkali kita temui di sekeliling kita. Orang-orang cenderung sudah hilang rasa empatinya terhadap musibah yang dialami orang lain, sehingga alih-alih menolong, mereka lebih memilih untuk menonton dan merekam peristiwa tersebut. Peran empati adalah mendorong perilaku menolong. Perilaku menolong merupakan kelebihan manusia sebagai makhluk sosial yaitu baik terhadap keluarga, kelompok, bahkan orang tidak dikenal, tanpa meminta imbalan. Indonesia terkenal dengan budaya yang suka bergotong-royong, tapi seiring berjalannya waktu, modernisasi membuat moral kita melemah sehingga muncullah bystander effect (Atiksari, 2016).
Sebuah penelitian klasik dari Darley dan Latene (1968) mengungkapkan bahwa semakin banyak penonton berada dalam suatu peristiwa, maka semakin kecil kemungkinan mereka untuk menawarkan bantuan atau menghubungi layanan bantuan gawat darurat. Ini dikarenakan mereka berpikir bahwa orang lain akan membantu korban, hal ini biasa disebut dengan difusi tanggung jawab. Dalam penelitiannya yang lain, Latene dan Darley (1968) menemukan bahwa ada lima langkah yang diambil seseorang dalam memutuskan untuk membantu orang lain dalam keadaan darurat atau tidak, antara lain:
1. Mengamati sebuah peristiwa.
Jika seseorang tidak menyadari sesuatu peristiwa sedang terjadi, mereka tidak akan dapat membantu.
2. Menafsirkannya sebagai keadaan darurat.
Seseorang juga harus memahami bahwa itu adalah keadaan darurat.
3. Memikul tanggung jawab.
Jika banyak orang lain di sekitar kita, orang lebih cenderung untuk percaya bahwa orang lain akan mengambil tanggung jawab. Jika mereka percaya orang lain akan membantu, maka orang cenderung untuk tidak membantu. Difusi tanggung jawab lebih sering terjadi pada kelompok saksi yang semakin besar jumlahnya.
4. Mengetahui cara untuk membantu.
Seseorang harus mengetahui cara membantu dalam suatu kejadian, jika mereka tidak tahu bantuan seperti apa yang harus diberikan, mereka pun tidak akan bisa membantu.
5. Memutuskan untuk melakukan pertolongan.
Terkadang seseorang bisa memutuskan untuk tidak melakukan pertolongan, karena resikonya terlalu tinggi, atau merasa tidak kompeten.
Apabila kita berada di suatu tempat terjadinya musibah, mungkin kita tidak mampu menolong korban secara langsung, tetapi kita bisa melakukan beberapa hal berikut (Lulu, 2015):
- Meminta bantuan dari orang lain di sekitar tempat kejadian yang dianggap lebih mampu untuk melakukan pertolongan.
- Menghubungi pihak-pihak yang berkewenangan dan bisa segera membantu sehubungan dengan kejadian, seperti Kepolisian, Rumah Sakit, Lembaga Swadaya Masyarakat, maupun pihak lain yang terkait.
- Tidak memperburuk keadaan dengan “menonton dan merekam” atau diam saja tanpa melakukan apapun, sehingga membuat jalanan semakin macet.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bystander effect merupakan fenomena yang negatif, yang harus dicegah dan diatasi, setidaknya dimulai dari diri kita sendiri.
Referensi
Aronson, E., Wilson, T. D., Akert, R. M. (2013). Social psychology. New York: Pearson.
Atikasari, Ulfa. (2016, April). Fenomena bystander effect. Kompasiana. Diunduh dari: http://kompasiana.com.
Darley, J. M., & Latane, B. (1968). Bystander intervention in emergencies: Diffusion of responsibility. Journal of Personality and Social Psychology, 4, 377-383.
Latane, B., & Darley, J. M. (1968). Group inhibition of bystander intervention in emergencies. Journal of Personality and Social Psychology, 3, 215-221.
Lulu, Kezia. (2015). The bystander effect: kenapa kita hanya menonton situasi darurat. Wawasan Psikologi. Diunduh dari http://nyoozee.com.
Liputan Seminar KPIN
- Details
- Written by Abu Bakar Fahmi dan Subhan El Hafiz
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.4 No. 23 Desember 2018
Liputan Seminar KPIN
Jujur vs Bohong dalam Perspektif Psikologi
Oleh
Abu Bakar Fahmi dan Subhan El Hafiz
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah HAMKA
Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN) bekerja sama dengan Universitas Bunda Mulia mengadakan seminar dengan tema "Bohong vs Jujur: Perspektif Psikologi" yang diadakan di kampus Universitas Bunda Mulia Jakarta pada Jumat, 30 November 2018. Ada dua narasumber dalam seminar ini, yakni Dr. Yulmaida Amir, M.A., Psikolog dan Garvin, M.Psi., Psikolog. Bu Mai, begitu beliau biasa disapa, yang adalah Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, membahas tentang perilaku menolong dalam tinjauan religiusitas. Sementara mas Garvin, dosen psikologi Universitas Bunda Mulia, membahas tentang perilaku curang dalam tinjauan psikologi. Hadir sebagai peserta dosen dan mahasiswa dari berbagai kampus anggota KPIN. Namun demikian, mahasiswa kampus tuan rumah tampak memadati kursi ruangan.
Dalam paparannya, Bu Mai menyampaikan pentingnya berlaku jujur dari perspektif nilai dan agama. Beberapa penelitian yang dipaparkan bu May menunjukkan bagaimana kejujuran dianggap sebagai salah satu nilai yang bersifat universal dan menjadi keunggulan karakter seseorang. Kejujuran juga mempunyai sumbangan terhadap kesejahteraan psikologis seseorang. Uniknya, perasaan tertentu justru membuat seseorang memilih berbohong, yaitu compassion yang memiliki korelasi seseorang memilih berbohong untuk kebaikan.
Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Mas Gavin. Beliau mengawali dengan keresahan bahwa banyak tema-tema yang seharusnya dikaji oleh ilmuwan psikologi diulas oleh ahli bidang lain. Seorang jurnalis New Yorker Malcolm Gladwell, untuk menyebut satu di antaranya, terkenal dengan banyak buku laris yang membahas beragam tema psikologi.
Terkait pandangan psikologi tentang berbohong, beliau menemukan kajian mendalam tentang perilaku berbohong yang dilakukan oleh Dan Ariely, seorang ilmuwan psikologi sekaligus ekonomi dalam bukunya The (Honest) Truth about Dishonesty (2012). Buku tersebut membahas tentang pandangan dan berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh Ariely dan koleganya tentang perilaku berbohong.
Menurut Ariely, salah satu konsep tentang alasan orang berbohong adalah apa yang disebut Simple Model of Rational Crime (SMORC). Gavin menjelaskan bahwa orang berbohong karena alasan yang bersifat rasional, yakni dengan mempertimbangkan apa manfaat atau keuntungan yang diperoleh, dan sejauh mana resiko yang ditanggung jika tindakan berbohongnya ketahuan.
Ariely dan koleganya melakukan eksperimen untuk membuktikan sejauh mana SMORC menjelaskan alasan orang berbohong. Partisipan duduk dalam suatu ruangan dan diberi selembar kertas berisi 20 matriks yang berbeda (lihat gambar). Pada tiap-tiap matriks, partisipan diminta menemukan dua nomor yang jika ditambah berjumlah 10. Hanya disediakan waktu 5 menit bagi partisipan untuk menyelesaikan sebanyak mungkin tugas menjumlahkan tersebut dan mereka akan mendapat sejumlah uang (50 sen) untuk setiap jawaban yang benar. Setelah menyelesaikan tugas tersebut, partisipan menyerahkan lembar tugas matriks kepada peneliti untuk dikoreksi dan mendapat imbalan sesuai jawaban yang benar.
Kelompok partisipan yang mendapat perlakuan tersebut merupakan kondisi kontrol, sementara sejumlah partisipan lainnya berada dalam kondisi shredder di mana, setelah menyelesaikan tugas matriks, mereka disilakan menghitung jumlah jawaban yang benar, lalu lembar tugas dimasukkan ke mesin penghancur kertas yang ada di belakang ruangan, kemudian menemui peneliti untuk menyampaikan berapa jawaban yang benar. Dalam kondisi ini, partisipan punya kesempatan untuk bertindak curang.
Hasilnya menunjukkan partisipan yang berada dalam kondisi kontrol rata-rata menjawab benar sebanyak 4 matriks, sementara dalam kondisi shredder sebanyak 6 matriks. Jadi, jika partisipan punya kesempatan untuk berbuat curang, mereka akan melakukannya.
Mas Garvin bertanya kepada peserta, bagaimana jika imbalannya lebih besar, apakah mereka akan semakin curang? Kalau menurut SMORC harusnya ya karena orang akan mencari untung sebanyak-banyaknya. Menurut penelitian Ariely, jika imbalan semakin besar (dari 50 sen, 1 dolar, 2 dolar, 5 dolar sampai 10 dolar) tingkat kecurangan tidak semakin tinggi tapi justru menurun.
Mas Garvin menambahkan bahwa penelitian tentang kebohongan juga menunjukkan peran penting ajaran agama (misalnya Sepuluh Perintah Tuhan) terhadap tindakan berbohong. Sebagaimana prosedur penelitian Ariely di atas, dengan lebih dulu diingatkan tentang Sepuluh Perintah Tuhan, partisipan tidak berbuat curang meski ada kesempatan untuk melakukannya. Temuan yang sama didapat jika partisipan, yang adalah mahasiswa, diingatkan tentang honor code yang berlaku di kampusnya.
Mas Garvin bertanya kepada peserta, jika di meja ada pulpen (seharga 5 ribu rupiah) dan uang 5 ribu rupiah, apa Anda mau mengambil pulpen atau uang 5 ribu rupiah? Menurut mas Garvin, kebanyakan kita akan memilih mengambil pulpen daripada mengambil uang 5 ribu rupiah. Kita berbuat curang namun kita lebih memilih tindakan curang yang masih menjaga konsep diri kita. "Saya tidak akan mengambil uang karena saya bukan pencuri atau tidak mau disebut pencuri."
Mas Garvin juga menjelaskan faktor kelelahan (depletion) terhadap tindakan berbohong. Jika kita merasa lelah, kita cenderung mudah untuk berbohong. Beliau juga menjelaskan tentang what the hell effect, di mana sekali berbohong kita akan terus berbohong, seperti halnya orang yang berjanji ingin diet tapi karena suatu hari ia melanggar dengan terlanjur makan makanan yang jadi pantangan, ia jadi keterusan makan banyak makanan.
Usai pemaparan para narasumber, peserta tampak antusias bertanya. Panitia memberikan kesempatan dua termin pertanyaan yang tiap termin tiga penanya, dan dimanfaatkan dengan baik oleh peserta. Beberapa pertanyaan peserta misalnya, bagaimana lirik mata dan lie detector dapat mengetahui kebohongan; bagaimana cara agar tidak dibohongi orang lain; apakah orang yang berbohong berpengaruh terhadap konsep dirinya; dan sebagainya. Karena keterbatasan tempat, jawaban narasumber tidak diulas di sini.
Demikian ulasan seminar KPIN kali ini. Sampai jumpa di acara KPIN berikutnya.
Gadget Generasi Alpha
- Details
- Written by Selviana
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.4. No.22 November 2018
Mengatasi Penggunaan Gadget Pada Generasi Alpha
Oleh
Selviana
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia
Siapakah Generasi Alpha?
Generasi Alpha merupakan anak-anak yang dilahirkan oleh generasi milenial (1981-1994) yang lahir dari tahun 2011 – 2025. Generasi yang terlahir di era digital ini sangat akrab dengan teknologi, karena terlahir dengan kondisi teknologi yang telah mencapai tingkat penggunaan yang tinggi. Teknologi menjadi sahabat yang sulit untuk dipisahkan dari kehidupan mereka dan menjadi kebutuhan dasar bagi mereka, bahkan sejak usia batita mereka sudah terbiasa dengan keberadaan, serta manfaat dari gadget (Purnama, 2018). Mc-Crindle (dalam Purnama, 2018) menyebutkan bahwa sebanyak 2,5 juta anak generasi Alpha lahir di dunia setiap minggunya. Menurutnya, generasi Alpha merupakan generasi yang paling akrab dengan internet sepanjang masa. McCrindle juga memprediksi bahwa generasi Alpha tidak lepas dari gadget, kurang bersosialisasi, kurang daya kreativitas, dan juga bersikap individualis.
Karakteristik Generasi Alpha
Selain itu, Tribun Jambi (dalam Purnama, 2018) merangkum karakteristik generasi alpha, sebagai berikut:
1. Bossy, dominan, dan suka mengatur. Anak Alpha merasa nyaman ketika menjadi orang yang memerintah. Hal ini sebagai manifestasi mereka untuk menjadi yang pertama, terbaik, atau dikenal.
2. Kurang suka berbagi. Anak-anak Generasi Alpha terlihat enggan berbagi. Mereka menekankan pentingnya kepemilikan pribadi. Mereka mungkin akan tak mampu lagi mengatakan, "Ini buat kamu", dan akan lebih sering mengatakan, "Ini punyaku! Semua punyaku!"
3. Teknologi menjadi bagian dari hidup mereka, dan tidak akan mengetahui dunia tanpa jejaring sosial. Anak Alpha sudah berkenalan dengan smartphone sejak bayi, dan tidak memandangnya sebagai sebuah alat. Teknologi akan terintegrasi begitu saja dalam hidup mereka. Mereka begitu mudah mengoperasikan smartphone yang bagi orang tuanya terlihat rumit, dan lebih menyukainya ketimbang laptop atau komputer desktop. Mereka juga tertarik pada aplikasi yang menarik secara visual dan mudah digunakan, dan berharap semuanya dibuat sesuai kebutuhan mereka.
5. Kemampuan berkomunikasi langsung jauh berkurang. Meskipun penggunaan teknologi dapat menawarkan banyak informasi, hal itu juga memberikan dampak yang kurang baik. Anak Alpha menjadi sangat jarang berinteraksi langsung dengan orang lain karena sibuk dengan gadgetnya. Hal ini dengan sendirinya akan membuat kepedulian dan kemampuan berkomunikasi mereka berkurang.
Saran untuk Menerapkan Penggunaan Gadget Secara Bijak Pada Generasi Alpha
Selviana (2018) mengungkapkan beberapa saran untuk mendidik generasi Alpha dalam menggunakaan gadget, antara lain:
1. Membatasi, yaitu membatasi penggunaan gadget dan membuat proteksi terhadap situs-situs negatif yang dapat terakses oleh anak.
2. Mendampingi, yaitu membantu anak memilih permainan maupun tontonan yang mendidik serta mempersiapkan diri menjawab pertanyaan-pertanyaan anak.
3. Membuat Aturan, membuat aturan-aturan tertentu tentang penggunaan gadget yang harus dipatuhi oleh anak, meliputi kapan, berapa lama, dan apa saja yang boleh dan tidak boleh diakses anak melalui internet.
4. Membantu anak bebas dari kecanduan gadget, yaitu segera menghentikan sementara penggunaan gadget bila anak menunjukkan gejala kecanduan, serta membantunya mengurangi tingkat kecanduan dengan cara mendorong anak untuk lebih banyak berinteraksi & aktivitas gerak, menyediakan alternatif permainan kreatif seperti permainan tradisional, dan ajak anak ke tempay hiburan yang mengedukasi, seperti : RPTRA, Museum, atau Pameran Seni & Budaya.
Referensi
Purnama, S. (2018). Pengasuhan digital untuk anak generasi Alpha. Al Hikmah Proceedings on Islamic Early Childhood Education, 1, 493-502.
Selviana. (2018). Mendidik generasi cerdas berinternet dalam seri sumbangan pemikiran psikologi untuk Bangsa 3: Psikologi dan pendidikan dalam konteks kebangsaan. Jakarta: HIMPSI.
Pendidikan Karakter untuk Usia Dini
- Details
- Written by Suprapti S Markam
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.4. No.21 November 2018
Pendidikan Karakter untuk Usia Dini*
Oleh
Suprapti S Markam
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI
Banyak orang tua yang beranggapan bahwa kecerdasan perlu dikembangkan sejak dini. Pandangan ini tidak salah, namun sering dilupakan bahwa yang sebaiknya ditanamkan pada usia dini adalah komponen afektif, mendidik anak agar ia berbudi dan berperilaku baik.
Anak pada usia ini sangat banyak menyerap mentah-mentah apa yang ditangkapnya dari lingkungan. Bila orang tua ingin menanamkan perilaku sopan, salah satu cara terbaik adalah memberi contoh (panutan/role model) (lihat modeling dalam Newman & Newman, 2017; Rahmawati, 2017; Selviana, 2017), seperti mengatakan “terima kasih” bila menerima hadiah dari orang lain, mengatakan “halo” atau “selamat pagi” bila bertemu seseorang. Atau cium tangan, bila bertemu dengan orang yang lebih tua (sesuai dengan kebiasaan dan norma yang berlaku). Biasanya orang tua (pengasuh, guru) mencontohkan perilaku itu agar anak langsung menirunya (Ariela, 2018).
Untuk menanamkan perilaku berani dan mandiri, orang tua dapat melibatkan anak-anak dalam kegiatan sehari-hari sesuai dengan kemampuan anak (seperti membersihkan tempat tidur, meja makan, mengurus adik dll.) agar anak melakukannya dengan senang hati, dan menjadikannya sebagai kebiasaan. Untuk menanamkan perilaku berbagi dan welas asih dengan sesama, orang tua dapat mengamati anak ketika bermain bersama teman atau saudaranya. Orang tua juga dapat selaraskan dengan keterampilan sosial seperti kapan anak harus berbagi mainan dengan anak lain, kapan ia harus mempertahankan miliknya (lihat Aspek Ketrampilan Sosial dari Gresham dalam Wasito dan Indrijati, 2017). Ini perlu observasi cermat dan contoh langsung.
Perilaku lain seperti berlaku jujur, tekun, perilaku hemat, sederhana, dapat juga dicontohkan dengan keteladanan orang tua. Selain melalui keteladanan, anak di bawah usia 3 tahun dapat juga dibacakan dongeng yang menggambarkan tokoh-tokoh dengan perilaku terpuji, ini juga merupakan pendidikan karakter melalui tokoh-tokoh dalam cerita. Untuk usia di bawah 3 tahun, dapat dikatakan bahwa orang tua dapat sepenuhnya mengatur, menyediakan lingkungan positif bagi anak.
Pendidikan Karakter untuk Usia Anak hingga Remaja
Bila pada usia di bawah 3 tahun orangtua dapat mengontrol lingkungan, mengharapkan anak akan mematuhi dan meniru apa yang dicontohkan orang tua, maka makin besar seorang anak dan makin berkembang penalaran dan pemikirannya, orang tua tidak lagi dapat berharap anak akan selalu menuruti contoh orang tua. Mungkin anak bertanya mengapa ia harus sopan kepada orang yang tidak sopan, mengapa ia harus jujur padahal orang lain tidak, dsb. Sesuai dengan pendapat Piaget, anak semakin dapat berpikir logis, dan dapat melakukan perbandingan-perbandingan (Piaget dalam Papalia et al 2003). Meskipun pikiran anak masih konkrit, tapi makin lama ia makin dapat berpikir abstrak. Orang tua sebaiknya menjelaskan agar anak paham bahwa kebiasaan yang semula diajarkan dan diturutinya, mempunyai tujuan baik dan bermanfaat, agar perilaku dan kebiasaan yang telah terbentuk bertahan karena motivasi internal anak, bukan karena disuruh atau diharuskan oleh orang tua.
Komunikasi orang tua-anak menempatkan orang tua mampu mendengarkan dan menghargai pendapat anak. Lebih dari itu, orang tua yang juga mampu berperilaku terbuka, jujur dan asertif untuk menjelaskan sudut pandangnya, sangat diperlukan (Chandra, 2009; Markam & Rahmawati, 2018).
Melalui keteladanan orang tua, atau cerita-cerita dan contoh-contoh nyata perilaku lainnya yang dapat dikembangkan antara lain perilaku tekun, ingin tahu, cermat dan teliti, mengejar yang terbaik/kesempurnaan. Dalam kaitan dengan pelajaran di sekolah, sikap ingin tahu dan mengejar yang terbaik, berperilaku cermat dan teliti sangat perlu untuk persiapan karir/bekerja kelak.
Anak usia 3 tahun ke bawah dibacakan cerita atau dongeng oleh orang tua untuk mengembangkan perilaku positifnya. Semakin bertambah usia, maka semakin diperluas wawasan, misalnya dengan menganjurkan anak membaca sendiri kisah-kisah nyata tentang pahlawan, orang-orang sukses, dan seterusnya.
Keterlibatan dalam kegiatan sehari-hari pada usia di bawah 3 tahun dapat diperluas dengan keterlibatan dalam kegiatan sosial di sekolah, di masyarakat, atau dunia kerja. Ini penting untuk membangun kecintaan, komitmen dan keterlibatan yang tulus dalam segala sesuatu yang dikerjakannya kelak.
Telah dikemukakan di atas bahwa pada usia 3 tahun perkembangan moral, penilaian baik-buruknya suatu perilaku masih bersifat egosentris atau ditentukan oleh orang tua. Namun semakin anak dewasa, semakin pemikirannya terasah. Apa yang baik atau buruk ditentukan bersama, berdasarkan kesepakatan (Selviana, 2017), konvensi, peraturan dll. Jadi tidak lagi sekedar karena pendapat orang tua (Kohlberg dalam Papalia et al 2003). Di sini kemungkinan terjadi konflik dengan orang tua, yang harus dapat diselesaikan secara bijaksana.
Penelitian Zubaidi (2008) dengan mahasiswa di Jakarta menunjukkan bahwa perilaku moral, yang diharapkan oleh Kohlberg berkaitan dengan tingkat penalaran tingkat tinggi, ternyata lebih berkaitan dengan pola asuh orang tua dan religiositas mahasiswa. Diperlukan lebih banyak lagi penelitian tentang hal ini agar dapat menjelaskan bagaimana pengembangan perilaku moral sebaiknya dilakukan. Contoh perilaku dan sikap di atas sedikit banyak menggambarkan keutamaan: “kearifan dan pengetahuan”, “keteguhan hati/keberanian”, “perikemanusiaan”, “keadilan” (Peterson dan Seligman, 2004 dalam Markam, 2018).
Penutup
Semua keluarga ingin membesarkan anaknya menjadi anak yang baik, pandai, “berkarakter”, artinya agar anaknya mempunyai dorongan dari dalam untuk berperilaku baik. Apa yang dianggap baik oleh keluarga dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang lebih luas; kebaikan-kebaikan ini disampaikan kepada anak oleh orang tua melalui keteladanan dan pembelajaran.
Artikel ini hanya membahas sebagian kecil dari apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter dalam keluarga. Masih diperlukan banyak kajian Indonesia tentang keluarga, kekuatan karakter, interaksi antara masyarakat, keluarga dan anak. Faktor lainnya seperti nilai-nilai dan pendidikan moral menjadi penting agar pemahaman tentang kekuatan karakter dan kebajikan universal menjadi lebih mantap.
*Naskah ini adalah bagian dari makalah yang berjudul Keluarga dan Pembentukan Karakter yang dipaparkan pada seminar dan lokakarya bagi guru-guru, dalam rangka pendidikan karakter di sekolah. Acara diselenggarakan oleh Yayasan Jati Diri Bangsa (2010). Naskah awal disunting dan dilengkapi oleh Eko A Meinarno.
Referensi:
Ariela, J. (2018). Mengajarkan empati kepada anak-anak. Buletin KPIN Vol.4. No.6, Maret. http://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/254-mengajarkan-empati-kepada-anak-anak.
Chandra, J. S. (2009). Mother’s teaching strategies and critical thinking in very young children. Dalam building Asian families and Communities in the 21st Century. Penyunting Jas Laile Suzana Jaafar dan Sherri McCarthy. Newcastle: Cambridge Scholar Publishing.
Markam, S. S. (2018). Karakter: Sebuah pengantar . Buletin KPIN. Vol.4. No.10, Mei.http://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/273-karakter-sebuah-pengantar-2.
Markam, S. S., Rahmawati, S. W. (2018). Keluarga dan pembentukan karakter. Buletin KPIN. Vol.4. No.12, Juni. http://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/284-keluarga-dan-pembentukan-karakter.
Newman, B. M., & Newman, P. R. (2017). Development through life: A psychosocial approach. Cengage Learnin
Papalia et al. (2004). Human development. New York. McGraw Hill.
Rahmawati, S. (2017) Integrated Role Model: Saat bersatunya kata dan perbuatan adalah niscaya. Buletin KPIN Vol.3. No.9, September. http://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/195-integrated-role-model-saat-bersatunya-kata-dan-perbuatan-adalah-niscaya.
Selviana. (2017). Pentingnya kelekatan orang tua dengan remaja. Buletin KPIN Vol.3. No.1, Januari. http://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/150-pentingnya-kelekatan-orang-tua-dengan-remaja.
Wasito, D. R., & Indrijati, H. (2017). Efektivitas pembelajaran kooperatif (cooperative learning) untuk meningkatkan keterampilan sosial pada siswa taman kanak-kanak. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology, 4(2), 160-174.
Zubaidi, A. (2009). Kajian terhadap perkembangan moral generasi muda. Jakarta: Mitra Wacana Media.