Beranda
Hoax
- Details
- Written by Clara Moningka dan Bonita Maulida
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 4 Februari 2019
Mengapa Kita Bisa Percaya Berita Hoax?
Oleh
Clara Moningka dan Bonita Maulida
Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Berita hoax bukanlah suatu fenomena baru, khususnya di jaman teknologi saat ini. Kita sering menemukan berita hoax tersebar di media sosial, seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, dan lain-lain. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan hoax? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ adalah berita bohong. Dalam Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai malicious deception atau kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat. Sebelum zaman internet, ‘hoax’ bahkan lebih berbahaya dari sekarang karena sulit untuk diverifikasi.
Salah satu berita hoax yang menghebohkan di tahun 2018 yaitu mengenai penganiayaan yang dialami oleh aktivis RS yang merupakan salah satu anggota baru Pemenangan Nasional salah satu calon Presiden RI. Berita itu pertama kali tersebar dari akun Facebook milik seseorang yang mengunggah foto wajah bengkak RS. Berita tersebut akhirnya beredar luas di media sosial dan menjadi perbincangan hangat, terutama setelah berita itu dibenarkan oleh sejumlah pihak, bahkan dari pihak pengacara yang bersangkutan. Para pengguna media sosial memberi berbagai respon terkait dengan berita penganiayaan tersebut. Ada yang mendoakan kesembuhan RS dan ada juga yang mengutuk pelaku. Responnya menunjukkan bahwa mereka mempercayai kebenaran berita itu; dan tentu saja tidak melakukan pengecekan. Setelah berbagai opini tersebar luas dan berita kian memanas, ternyata berita tersebut adalah hoax. Bengkak di wajah RS bukan disebabkan oleh pemukulan, melainkan operasi plastik.
Fenomena ini menunjukkan betapa mudahnya masyarakat kita percaya pada informasi yang tersebar di media sosial. Bahkan orang-orang terkemuka dari dunia politik yang dianggap sebagai orang berpendidikan juga termakan oleh berita hoax. Mengapa hal ini bisa terjadi? Manusia secara alami sulit dalam membedakan antara berita yang asli dan palsu (Shu, Sliva, Wang, Tang, & Liu, 2017). Menurut Shao dan rekan-rekannya (2017), berita dari media sosial biasanya dipenuhi oleh konten yang menyesatkan, seperti hoax, rumor, teori konspirasi, laporan yang salah, bahkan sindiran. Walaupun manusia berusaha menghindari informasi berkualitas rendah, adanya informasi yang berlebihan disertai perhatian terbatas yang kita miliki menyebabkan kesulitan dalam membedakan informasi. Dalam kondisi ini, informasi yang salah di media sosial dapat dianggap sebagai informasi yang dapat dipercaya. Kondisi lain yang menyebabkan orang mudah percaya terhadap suatu berita adalah mereka percaya bahwa pandangannya adalah akurat. Konsep ini dijelaskan sebagai naïve realism. Individu akan menganggap siapapun yang tidak setuju pada pandangan yang anggapnya benar, akan dianggap kurang informasi dan tidak rasional. Dalam hal ini, individu akan melihat atau mendengar informasi yang sesuai dengan keyakinannya dan akan mempercayainya. Misalnya, ketika mendengar pemberitaan mengenai tokoh masyarakat yang tidak kita sukai terlibat suatu kejahatan, maka kita akan mudah mempercayai berita tersebut; karena sesuai dengan pandangan kita yaitu orang yang bersangkutan memiliki kepribadian buruk. Sebaliknya, bila yang terlibat kejahatan adalah tokoh masyarakat yang cenderung kita sukai, kita akan berusaha memastikan apakah berita tersebut adalah benar.
Gelfert (2018) mengemukakan bahwa berita hoax bukanlah fenomena baru, namun ketika disebarkan di media sosial dan dilakukan framing, memungkinkan seseorang termanipulasi atau menuntun individu melakukan kesalahan dalam berpikir. Alangkah bijak, untuk membaca atau mendengar dengan selektif dan melakukan pengecekan sebelum percaya atau menyebarkan suatu berita. Jadilah pembaca atau pendengar yang cerdas!
Referensi
Gelfert, A. (2018). Fake news: A definition. Informal Logic, 38(1), 84-117. Diakses pada tanggal 3 November 2018 dari https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Fake+news+%3A+a+definition&btnG=.
Shao, C. Giovanni, L. C. Onur, V. Allesandro, F. dan Fillipo, M. (2017). The Spread of Fake News by Social Bots. arXiv preprint. Diakses pada tanggal 3 November, 2018 dari https://andyblackassociates.co.uk/wp content/uploads/2015/06/fakenewsbots.pdf.
Shu, K. Amy, S. Suhang W. Jiliang, T. dan Huan, L. (2017). Fake news detection on social media: A data mining perspective. ACM SIGKDD Explorations Newsletter, 19(1), 22-36. Diakses pada tanggal 3 November, 2018 dari https://dl.acm.org/citation.cfm?id=3137600.
Stres Perkuliahan
- Details
- Written by Anisha Ayu Moravya Nasution
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 3 Februari 2019
Hadapi Stres di Perkuliahan
Oleh
Anisha Ayu Moravya Nasution
Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara
Berbicara soal kuliah, sebagai seorang mahasiswa, hal apa sih yang pertama kali muncul di pikiran kita? Tugas yang mengalir seperti air mengalir? waktu perkuliahan yang sepertinya tak kunjung usai? Atau dosen killer yang akan selalu membuat jantung berhenti berdetak sejenak? Wah, sepertinya tidak ada pikiran yang menyenangkan ya, karena sepertinya perkuliahan yang santai dan menyenangkan itu hanya ada di sinetron saja. Setuju?
Dunia perkuliahan itu realitanya sungguh melelahkan, Tidak hanya fisik tetapi mental juga. Bagaimana tidak? Semakin tinggi tingkat semester yang akan ditempuh semakin besar pula tuntutannya. Mungkin di semester awal kita masih bisa pulang kuliah kumpul di cafe-cafe, nonton bioskop dan lainnya. Tetapi kebiasaan itu akan sirna secara perlahan dengan naik tingkatnya semester kita. Tuntutan tugas yang sangat banyak yang hampir setiap mata kuliah ada tugas setiap minggunya, yang membuat mumet adalah keadaan dimana beda dosen beda pula kriteria tugas tersebut, belum lagi perkuliahan yang dalam 1 hari minimal 2 mata kuliah yang tiap mata kuliahnya minimal 2 sks dan jika ada matakuliah praktek semakin tidak terlihatlah dunia ini. Penderitaan akan bertambah lagi jika dosen yang masuk adalah dosen killer, lengkap sudah bukan? Lalu, dengan realita perkuliahan seperti itu, apakah mahasiswa-mahasiswa yang memiliki IP tinggi tidak mengalaminya? Kalau iya, bagaimana bisa bertahan dengan situasi tersebut? Lalu, bagaimana pula dengan mahasiswa yang IP nya rendah? Apakah bisa bertahan?
Mahasiswa merupakan anak yang pada umumnya berusia 17-22 tahun. Menurut Arnett (dalam Santrock, 2006) ia mengungkapkan bahwa individu yang be usia 18 sampai 25 tahun berada pada tahap dewasa awal (emerging adulthood) yang sedang mengalami masa transisi dari remaja ke dewasa. Dalam masa transisi, individu sudah berusaha mencari cara untuk bisa mengatasi ketidakstabilan emosi, tempramen dan moodnya yang kalau tidak bisa ia kendalikan akan menyebabkan stress dan depresi sehingga menghambat kehidupannya. Permasalahan inilah yang terjadi pada kehidupan mahasiswa yaitu, bagaimana mahasiswa tersebut dapat mengatasi dan melewati segala tekanan dan tuntutan selama perkuliahan.
Tekanan dan tuntutan perkuliahan itu memang sangat melelahkan fisik dan mental, mahasiswa banyak yang mengalami stres karena banyaknya tugas perkuliahan yang diberikan dosen dengan deadline yang berbeda-beda disetiap tugas dan dosen, stres ini muncul karena adanya sanksi yang didapat jika tidak mengerjakan tugas. Dalam hal lain, faktor dosen killer merupakan faktor yang sangat memberi tekanan mental karena dalam hal ini mahasiswa tidak dapat melakukan perlawanan dan terlepas dari suka atau tidak mereka harus mematuhi aturan dosen tersebut. Akan tetapi, bertahannya mahasiswa menjalani semua itu tergantung dengan bagaimana mereka dapat mengatasi situasi ini. Cara mereka agar dapat bertahan adalah dengan mampu meyakinkan diri bahwa mereka mampu, mereka bisa mengatasi stres dan permasalahan ketika mereka merasa yakin pada diri mereka sendiri, terutama kepada kemampuan diri mereka yang disebut dengan self efficacy.
Bandura (1997) mengunggkapkan bahwa Self efficacy merupakan keyakinan individu akan kemampuannya dalam menentukan, mengatur, dan melaksanakan sejumlah perilaku yang tepat untuk menghadapi rintangan dan mencapai keberhasilan yang diharapkan. Self efficacy membantu individu untuk mampu membuat pilihan tindakan, usaha dan ketekunan, pola pemikiran dan reaksi emosional, serta strategi penanggulangan masalah yang tepat yang menjadi penentu keberhasilan individu dalam melakukan penyesuaian diri terhadap masalah maupun tuntutan-tuntutan lingkungan yang menyebabkan stres. Maka dari itu, jika mahasiswa yakin dengan kemampuan diri mereka, maka mereka akan melakukan usaha (effort) yang maksimal dalam menghadapi suatu masalah.
Tingginya self efficacy pada individu akan membantu individu mempersepsi dan merespon stresor lingkungan dengan baik sehingga stresor atau tuntutan akademik tidak akan menyebabkan stres bagi mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki self efficacy yang tinggi akan menggunakan strategi kognisi dan metakognisi yang lebih baik. Seseorang yang memiliki self efficacy tinggi pada umumnya lebih fleksibel dalam menghadapi berbagai situasi yang menuntut penyesuaian diri tanpa harus mengalami stres. Keyakinan siswa terhadap kemampuan akademiknya dapat mengurangi stres. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan berusaha menghadapi tantangan yang ada untuk mengurangi tekanan dalam dirinya, sehingga stress cenderung akan menurun. Individu dengan self efficacy yang tinggi akan lebih giat, bersemangat dan tekun dalam usaha yang dilakukan serta memiliki suasana hati yang lebih baik, seperti rendahnya tingkat kecemasan atau depresi ketika melakukan suatu tugas atau pekerjaan karena merasa mampu mengontrol ancaman. Individu dengan self efficacy yang tinggi akan lebih positive thinking dan selalu berlapang dada jika hasil yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan.
Lalu bagaimana dengan mereka yang memiliki self efficacy yang rendah? Individu yang memiliki self efficacy rendah akan mengurangi usahanya atau bahkan menyerah ketika menghadapi hambatan. Mereka cenderung akan menghindar dari masalah karena tidak yakin sehingga tidak mau untuk menghadapinya. Mereka juga akan lebih cepat stres. Stres timbul ketika ada beban pada seseorang yang melebihi kemampuan mereka. Ketika stress melanda seorang mahasiswa, ia hanya memiliki pilihan fight or flight yang dalam hal ini, mahasiswa dengan self efficacy yang rendah akan melakukan flight pada masalahnya. Alhasil, mahasiswa akan malas- malasan dan tidak fokus pada perkuliahan, mereka juga cenderung memiliki suasana hati yang buruk karena selalu pesimis, negative thinking, dan selalu merasa cemas dan stres yang dapat memicu terjadinya depresi.
Jadi, mahasiswa yang IP nya tinggi itu adalah mahasiswa yang memiliki self efficacy yang tinggi karena walaupun mengalami banyaknya tuntutan dalam perkuliahannya, mereka mampu mengatasinya dengan baik. Mereka terus berusaha dan memiliki semangat belajar dengan harapan hasil yang bagus. Mereka juga tidak gampang menyerah walaupun mereka kelelahan atau disalahkan, justru hal itulah yang menjadi pacuan untuk selalu rajin belajar dan mengontrol emosi. Dengan cara itulah mereka dapat bertahan dengan baik. Nah, maka mahasiswa yang IPnya rendah DAPAT dikatakan memiliki self efficacy yang rendah, karena pesimis terhadap kemampuan dirinya sehingga enggan untuk belajar dengan giat agar mencapai hasil yang maksimal. Jika mereka tidak mengubah pola pikir, tidak menutup kemungkinan mereka akan berhenti kuliah ditengah jalan, drop out atau jika mereka memilih tetap bertahan dengan kondisi tersebut, maka mungkin saja akan menjadi sejarah di kampusnya karena akan menjadi mahasiswa abadi.
Keraguan pada diri sendiri itu sangat normal dan akan selalu terjadi tetapi, jika keraguan itu sampai menimbulkan ketidakyakinan pada diri sendiri sehingga menghambat keberhasilan kita, seharusnya kita dapat mengontrol dan melawannya. Kita harus ingat apa tujuan dan harapan kita ketika memutuskan untuk berkuliah, masa karena tidak percaya diri kita merusak masa depan kita? Kuliah itu adalah tempat mencari dan menuntut ilmu lewat proses belajar, jadi tidak masalah jika kita melakukan suatu kesalahan karena kita akan terus belajar agar dapat membenarkan kesalahan-kesalahan itu. Maka dari itu “ you will never know if you never try and you will never win if you never want to begin!” Ayo semangat dan percaya pada dirimu!
Referensi
Bandura, A. (1997). Self-efficacy, the exercise of control. New York: Freeman and Company.
Santrock, J.W. (2012). Life Span Development, Jilid 2. Edisi Ketigabelas. Jakarta: Erlangga.
Azizah, L. H. (2016). Hubungan dukungan sosial dan self efficacy terhadap stres akademik pada mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Pentingnya Budaya Adaptif dalam Perusahaan
- Details
- Written by Administrator
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 2 Januari 2019
Pentingnya Budaya Adaptif dalam Perusahaan
Oleh
Erisca Melia Safitri dan Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
Mahasiswa dan Dosen Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya
Di zaman now ini, perkembangan teknologi komunikasi berkembang dengan teramat pesat. Perkembangan teknologi komunikasi ini memiliki dampak yang luas pada perilaku manusia. Salah satu yang terkena dampak adalah perilaku manusia dalam berbisnis. Perusahaan perlu untuk terus menerus mengejar kemajuan teknologi agar tetap berada di posisi terdepan dibandingkan dengan para kompetitornya. BeritaSatu (2017) mengutip Presiden Direktur FIF Group yang meluncurkan armada truk baru, dimana dirinya berujar, “Kondisi iklim bisnis yang dinamis mengharuskan perusahaan untuk mengikuti perubahan yang terjadi agar kompetitif dan bertumbuh. Oleh karenanya, inovasi seperti ini dapat dilihat sebagai salah satu strategi perusahaan.”
Hal seperti ini merupakan tuntutan yang tak dapat dielakkan. Persaingan dunia usaha yang ketat di era globalisasi saat ini menuntut perusahaan untuk berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Oleh karenanya, organisasi akan efektif jika dan hanya jika memiliki budaya adaptif.
Bidang ilmu perilaku organisasi (organizational behavior) mengenal istilah adaptive culture. Apakah yang dimaksud dengan budaya adaptif? Budaya adaptif adalah budaya organisasi dimana karyawan menerima perubahan, termasuk penyelarasan organisasi yang berkelanjutan dengan lingkungannya, juga perbaikan proses internal yang berkesinambungan (McShane & Von Glinow, 2010). Budaya adaptif dapat diwujdukan diterapkan baik secara fisik, konten maupun aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan performa perusahaan, termasuk di dalamnya taraf hidup masyarakat sekitar, dilakukannya kegiatan sosial perusahaan bersama para pemangku kepentingan serta program edukasi masyarakat.
Anda punya perusahaan yang sedang bermasalah dengan bisnis karena faktor lingkungan yang berubah-ubah? Jika perusahaan Anda hanya diam saja tanpa bertindak, maka Anda menghadapi risiko gulung tikar. Hal ini karena, perkembangan teknologi memberikan peluang yang semakin besar pada pesaing.
Untuk mewujudkan budaya adaptif, maka beberapa solusi yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Organisasi perusahaan menjadi efektif dan efisien jika para karyawan mampu memahami secara benar bagaimana cara berkomunikasi secara efektif dalam organisasi. Komunikasi merupakan salah satu bagian dari manajemen sumber daya manusia agar semua pihak yang ada di dalam organisasi mampu melakukan interaksi, memahami arahan, dan meningkatan efektivitas kerja dalam tim. Peranan pimpinan sampai bawahan dikatakan berhasil dalam sebuah organisasi ketika komunikasi antar karyawan mampu meningkatkan kinerja individu maupun kinerja organisasi (Wiratama & Darsono, 2017).
Dalam mewujudkan budaya adaptif tersebut, maka peran pimpinan terbilang besar. Pemimpin perlu untuk mampu menyampaikan visi dan misi organisasi secara persuasif dengan komunikasi dan gaya bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami. Kondisi ini akan menimbulkan motivasi dan semangat bagi karyawannya untuk bekerja secara optimal karena bawahan tahu apa yang menjadi tujuan organisasi (Wiratama & Darsono 2017). Menurut McShane dan Von Glinow (2010), kemampuan tersebut disebut dengan sense making dimana budaya organisasi dapat memandu karyawan tentang apa yang tengah terjadi di dalam perusahaan tersebut. Hal ini merupakan salah satu fungsi budaya organisasi yang dapat meningkatkan kesuksesan perusahaan.
Bagaimana kaitan antara budaya adaptif dengan kinerja perusahaan? Menurut Kisdarto (dalam Wiratama & Darsono, 2017) kinerja sendiri merupakan perbandingan antara keluaran (ouput) yang dicapai dengan masukan (input) yang diberikan. Selain itu, kinerja juga merupakan hasil dari efisiensi pengelolaan masukan dan efektivitas pencapaian sasaran. Oleh karena itu, efektivitas dan efisiensi pekerjaan yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula. Untuk memperoleh kinerja yang tinggi, organisasi perlu untuk terus menerus menyelaraskan diri dengan lingkungan sekitar. Oleh karena itulah, budaya adaptif menjadi esensial di dalam keberlanjutan perusahaan.
Di era globalisasi saat ini sangat penting bagi perusahaan memiliki budaya adaptif. Budaya perusahaan yang adaptif dalam meningkatkan kinerja, pola pikir yang maju yang selalu bisa menyesuaikan organisasi dengan lingkungan yang terus menerus berkembang.
Referensi
BeritaSatu. (2017). Kembangkan bisnis, FIFGroup luncurkan 2 truk safari terbaru. Diakses melalui: http://www.beritasatu.com/bisnis/475251-kembangkan-bisnis-fifgroluncurkan-2-truk-safari-terbaru.html.
McShane, S. L. & Von Glinow, M. A. (2010). Organizational behaviour (5th edition). New York:McGraw-Hill.
Wiratama, M. J., & Darsono, N. (2017). Pengaruh teknologi informasi dan model intelektual terhadap efektivitas komunikasi serta implikasinya pada kinerja karyawan PT. Kurnia Purnama Jaya. Jurnal Manajemen dan Inovasi, 8(2), 51-69.
Kembalikan Filosofi Menulis Artikel Ilmiah
- Details
- Written by Subhan El Hafiz
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 1 Januari 2019
Kembalikan Filosofi Menulis Artikel Ilmiah
Oleh
Subhan El Hafiz
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Makna dasar dari menulis adalah agar tulisan tersebut dibaca. Namun saat ini dunia tulis menulis, khususnya tulisan ilmiah, sudah kehilangan makna dari kegiatan menulis itu sendiri. Akibatnya penulis artikel ilmiah tidak lagi memiliki hasrat menulis yang sesuai. Setiap tindakan yang kehilangan dasar filosofisnya hanya akan menyebabkan tindakan tersebut hampa makna dan tidak lagi menarik dan berhasrat untuk dikerjakan. Nampaknya, banyak penulis dari tulisan ilmiah saat ini sudah melupakan filosofi menulis ini.
Saat ini banyak penulis tulisan ilmiah tidak lagi bertujuan agar tulisannya dibaca namun sudah bergeser menjadi: menulis untuk lulus, menulis untuk naik pangkat, menulis untuk mendapat insentif, menulis untuk sitasi, menulis untuk akreditasi, menulis untuk ranking, dsb. Para penulis tersebut tidak peduli apakah tulisannya dibaca orang atau tidak selama tujuan menulis yang lain (yang diluar esensi menulis) didapatkan. Akibatnya banyak “penulis robot” yang melakukan apapun agar tulisannya terbit tanpa peduli dengan etika menulis, seperti: plagiarisme, publikasi ganda, sitasi diri yang berlebihan, dll.
Hal ini bahkan diperparah dengan kebijakan institusi, baik kampus maupun dikti, yang hanya melihat tulisan dari sitasinya atau melihat tulisan dari kategori media publikasi, atau dari hal-hal lain yang tidak sesuai dengan filosofi menulis itu sendiri. Wajar saja ketika ada penulis yang bersedia dicantumkan namanya sebagai penulis padahal bukan bidang ilmunya karena tulisan tersebut berdampak pada insentif. Begitu juga masalah munculnya sitasi yang banyak dari sebuah artikel padahal tulisan tersebut sama sekali tidak mendapatkan inspirasi dari artikel yang disitasi.
Berkaca pada Bloggers
Saat ini, mungkin, blogs dan para bloggers sajalah yang bisa dianggap sebagai komunitas yang peduli dengan filosofi menulis. Para bloggers tidak peduli dengan berbagai aturan tulisan, mereka hanya ingin menulis menyampaikan ide pikirannya dan berharap tulisannya akan dibaca. Orang-orang ini tidak peduli apakah tulisannya akan dikutip, juga tidak berharap tulisannya akan diakui untuk kelulusan atau kenaikan pangkat, mereka hanya ingin menulis dan menyampaikan ide.
Namun ternyata, banyak tulisan bloggers dibaca dan bahkan menginspirasi para pembaca. Bayangkan! Bukan disitasi tapi menginspirasi, mengubah hidup, mengubah perilaku seseorang. Hal ini sebenarnya jauh lebih bermakna bagi penulis daripada sekedar sitasi. Coba bandingkan dengan banyak tulisan ilmiah yang pembacanya terbatas dan tidak menginspirasi siapapun atau organisasi manapun.
Komunitas ilmiah harus malu pada kelompok ini yang tidak perlu banyak proses revisi dan reviu, tidak butuh proofread, semua mengalir saja dan kemudian dibaca, menginspirasi, dan mengubah hidup seseorang. Lalu adakah kelompok komunitas ilmiah merasa “sistem” ilmiah seperti: reviu, revisi, sitasi, menjadikan tulisan tersebut lebih baik? Pertanyaan penting buat komunitas ilmiah, apakah kebijakannya selama ini dapat membantu para ilmuan untuk menulis sesuatu yang menginspirasi? Baik menginspirasi individu, menginspirasi kebijakan, menginspirasi organisasi, atau menginspirasi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut?
Impact tulisan adalah inspirasi
Dampak dari tulisan adalah inspirasi, sementara tujuan dari menulis adalah dibaca. Dampak hanya bisa dicapai saat tujuan tercapai karena tidak ada tulisan yang menginspirasi namun tidak pernah dibaca. Oleh karena itu, tidak mungkin melihat dampak dari tulisan tanpa melihat bagaimana capaian dari tujuan tulisan tersebut. Bayangkan artikel ilmiah yang banyak dikutip, namun sedikit dibaca adakah anda dapat percaya bahwa tulisan tersebut berdampak besar?
Sebagai tulisan ilmiah, maka inspirasi yang muncul seharusnya dalam bentuk kebijakan atau penelitian lebih lanjut. Kebijakan tidak saja dari lembaga publik seperti pemerintah, tapi juga kebijakan dari lembaga industri, lembaga sosial, dsb. Inilah impact yang sebenarnya dari tulisan ilmiah bukan sekedar kemunculan nama penulis dan judul tulisannya dalam daftar pustaka penulis lain. Oleh karena itu, melihat impact dari tulisan menggunakan ukuran seberapa banyak artikel tersebut dikutip hanya mereduksi dampak sebenarnya dari tulisan.
Menulis untuk dibaca!
Oleh karena itu, tulisan lebih penting dari media publikasinya dan ide penulis lebih penting daripada tanggapan reviuwernya. Apapun media yang digunakan penulis untuk mempublikasikan tulisannya maka pastikan penulis mendapat haknya untuk diakui setara dengan tulisan dalam media lain yang dianggap lebih bergengsi. Silahkan mengapresiasi penulis dari tulisannya bukan dari media publikasinya dan jangan juga mengapresiasi penulis hanya karena medianya. Mengapresiasi penulis hanya karena media publikasinya justru “menghina” penulis dengan menganggap tulisannya tidak bermakna kalau tidak dipublikasikan di media yang dianggap bergengsi.
Begitu juga pengelola media publikasi, maka pastikan tanggapan reviewer harus sesuai dengan ide tulisannya. Reviuwer harus bisa memberi saran agar ide dalam tulisan tersampaikan secara baik dan bisa menginspirasi pembaca. Media yang sudah memiliki pembaca langganan tentunya punya modal jumlah pembaca (BUKAN bermodal index!) yang sangat dibutuhkan oleh penulis, oleh karena itu editor dan reviewer perlu memastikan bahwa ide dalam tulisan tersebut dapat menginspirasi pembaca regulernya.
Akhirnya, Kemenristek-Dikti sebagai pengelola kajian ilmiah dan pendidikan tinggi di Indonesia harus bisa memperbaiki kebijakannya terkait apresiasi terhadap penulis tulisan ilmiah. Apresiasi yang sesuai dengan filosofi dan makna menulis akan dapat melahirkan banyak penulis baru dengan semangat agar tulisannya dibaca dan menginspirasi. Sebaliknya, apresiasi yang tidak sesuai akan menyebabkan munculnya banyak “penulis robot”, yaitu penulis tanpa jiwa menulis.(*)