Beranda
Pentingnya Taman Baca Masyarakat dalam Mengatasi Masalah Belajar
- Details
- Written by Erni Kurniati
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 9 Mei 2019
Pentingnya Taman Baca Masyarakat dalam Mengatasi Masalah Belajar
Oleh
Erni Kurniati
Division for Applied Social Psychology Research (DASPR)
Taman baca masyarakat (TBM) adalah pendidikan nonformal yang ada di tengah-tengah masyarakat yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Sesuai dengan Undang-Undang no. 20 tahun 2003 pasal 26 ayat 1 menyatakan bawha pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Berdirinya TBM bertujuan untuk meningkatkan minat baca dan budaya baca masyarakat. Namun, saat ini TBM berkembang pesat menjadi komunitas yang dikembangkan secara luas diberbagai sektor. TBM tidak dibatasi oleh usia, jenis kelamin, dan juga tingkat pendidikan. TBM dianggap sebagai solusi atas kejenuhan para pelajar di sekolah dan juga solusi nyata bagi orang tua yang hampir kehilangan motivasi untuk mendukung anak-anak mereka untuk memiliki pendidikan tinggi. Sesuai dengan pengertian dalam KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Oleh karena itu, TBM hadir sebagai pendidikan nonformal yang mendukung cita-cita dan meningkatkan kesejahteraan secara intelektual di masyarakat.
Jenuhnya Belajar
Siswa dan masyarakat umum bisa bergabung dalam komunitas Taman Baca Masyarakat untuk mengurangi kejenuhan belajar yang mereka rasakan di sekolah formal. Para siswa yang bersekolah di sekolah negeri dan dari kalangan masyarakat menengah ke bawah terkadang merasa jenuh dengan sistem pendidikan formal yang ada di sekolah. Penyakit jenuh ini membuat siswa merasakan bahwa mereka tidak mendapatkan pengetahuan dan keterampilan dari masa belajar di kelas, bahkan tidak merasakan kemajuan apa-apa setelah belajar (Amin, 2005). Oleh karen itu, agar tidak terjadi kejenuhan dalam belajar secara berulang-ulang, siswa harus terus mendapatkan motivasi belajar dan juga dukungan agar bersemangat dan lebih kritis lagi ketika mereka belajar di kelas.
Terdapat berbagai alasan yang membuat siswa merasa jenuh dalam belajar, Amin (2005) mengungkapkan bahwa faktor yang dapat membuat siswa merasa jenuh bisa dari kondisi psiko-pisik, beragam materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa, atau bahkan metode proses belajar mengajar yang disajikan guru terlalu kaku, monoton, dan sebagainya.
Kesulitan belajar
Fenomena lain yang menjadi masalah para siswa dan juga orang tua adalah kesulitan belajar. Amin (2005) menjelaskan bahwa kesulitan belajar (learning difficulty) adalah hambatan-hambatan yang dialami seseorang dalam suasana belajar. Jika prestasi siswa di bawah potensi intelektualnya, maka bisa dikatakan siswa tersebut mengalami kesulitan belajar karena menurunnya hasil belajar. Namun, kesulitan belajar juga bisa dilihat dari kelainan tingkah laku (misbehavior) siswa, seperti berteriak histeris, menganggu teman, sering tidak masuk sekolah atau berkelahi.
Dari realitas yang muncul, siswa mengalami kesulitan karena dua faktor yang mempengaruhi yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terjadi karena terdapat faktor-faktor yang memicu gangguan belajar dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti kognisi, konasi, afeksi, atau psikomotornya. Namun, faktor eksternal ialah faktor yang memicu kesulitan belajar karena faktor di luar siswa itu sendiri, seperti lingkungan keluarga dan tempat bermainnya (Amin, 2005). Sejalan dengan hal tersebut, Irham dan Wiyani (2014) menyatakan bahwa kesulitan belajar intinya adalah permasalahan yang menimbulkan seseorang tidak bisa belajar dengan baik yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu sehingga terlambat bahkan tidak bisa mencapai tujuan belajar dengan baik.
Untuk mencegah kesulitan belajar terus belanjut, Taman Bacaab Msayarakat bisa menjadi lingkungan positif bagi siswa untuk meningkatkan motivasi belajarnya di sekolah dan membangun konsep diri sebagai manusia yang berkepribadian. Thalib (2010) memaparkan bahwa konsep diri merupakan filter dan mekanisme yang mewarnai pengalaman keseharian dan diri terdiri dari persepsi dan nilai-nilai yang meliputi kesadaran tentang dirinya sendiri. Kemudian ia menambahkan bahwa konsep diri dapat mempengaruhi pandangan seseorang tentang lingkungan sekitarnya dan perilakunya.
Penutup
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Taman Baca Masyarakat bisa menjadi alternatif bagi orang tua untuk membangun konsep diri anak-anak mereka dan juga sekaligus secara bersamaan bisa membantu anak-anak mereka untuk mengatasi kesulitan belajar di sekolah. Keluarga merupakan salah satu faktor pembentuk konsep diri, maka Taman Bacaan Masyarakat juga memberikan beragam kegiatan untuk membantu para orangtua di lingkungan masyarakat menengah bawah agar mereka terus belajar mengasuh anak-anak mereka lebih baik.
Kehadiran Taman Bacaan Masyarakat sekali lagi tidak hanya meningkatkan minat baca di masyarakat, tetapi mencakup seluruh aspek kemasyarakatan yang ada di dalamnya. Pengembangan kegiatan yang bermasyarakat dan edukatif bisa menjadi kegiatan yang mengedukasi para keluarga akan pentingnya membangun pendidikan dan perilaku kepada anak-anak mereka. Seiring berjalannya waktu, masyarakat akan sadar bahwa pendidikan bukan hanya sekedar meraih ijazah sebagai syarat untuk bekerja, tetapi jauh daripada itu untuk meningkatkan kesejahteraan dan derajat mereka sebagai manusia, yaitu membangun konsep diri yang lebih baik.
Referensi
Amin, S. (2005). Pengantar Psikologi Pendidikan (edisi ke-2). Banda Aceh: Yayasan PeNa.
Irham, M. & Wiyani, N. A. (2014). Psikologi Pendidikan: Teori dan Aplikasi dalam Proses Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Thalib, S. B. (2010). Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif. Jakarta: Kencana.
Bullying
- Details
- Written by Dedek Prilyanti & Inggrid Euline S
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 8 April 2019
Bangkit Melawan Bullying
Oleh
Dedek Prilyanti & Inggrid Euline S
Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara
Istilah Bullying
Kata bullying adalah hal yang menakutkan. Korban bullying yang terjadi terdapat dari kalangan usia anak-anak hingga remaja. Kita tahu terdapat Undang-Undang perlindungan terhadap setiap anak. Dan sudah banyak peraturan yang terkait yang diterbitkan oleh pemerintah, namun masih sering kita temukan berbagai tindak kekerasan terhadap setiap anak, salah satunya bullying. Menurut Coloroso (2003), bullying merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik maupun emosional.
Bullying adalah tindakan agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok untuk menyakiti atau mengganggu orang lain, baik secara verbal (seperti: memaki, menghina, menuduh, menebar gosip, memfitnah, mengejek), fisik (seperti: menampar, menendang, meludahi, melempar dengan barang, mengancam dengan menggunakan senjata), maupun psikologis (seperti: memandang sinis, memandang penuh ancaman, mendiamkan, mengucilkan, mencibir, meneror lewat pesan pendek telepon genggam atau e- mail).
Kasus Bullying di Sekolah
Kebanyakan kasus bullying, korban yang sering terjadi adalah pada remaja di sekolah. Berdasarkan data yang diterima dari Komisi Perlindungan Anak (KPAI) terdapat 26 ribu kasus bullying dari kurun waktu 2011 hingga 2017. Bahkan, pada tahun 2018 ditemukan kasus bullying berkisar 30-40%. Kasus bullying yang banyak ditemukan berupa tindakan kekerasan verbal dan non-verbal disekolah dan kebanyakan pelaku berasal dari teman sebaya korban (Indrawan, 2017).
Ketidakstabilan emosi menjadi penyebab utama yang dimiliki remaja ketika terjadinya tindakan bullying. Selain itu, penyebab permasalahan lain yang terjadi karena adanya perbedaan di dalam sebuah kelompok atau lingkungan. Mengenai berbeda dengan orang lain, bisa dikatakan dan dianggap sebagai kaum minoritas yang tidak mempunyai kekuatan/power sama sekali. Misalnya, berbeda dari segi status sosial, popularitas, dan lain-lain. Permasalahan ini menimbulkan tindakan bullying dan menghasilkan korban dari tindakan tersebut.
Strategi Melawan Bullying
Banyaknya remaja yang pernah menjadi korban bullying yang ditemukan berasal dari tindakan teman sebayanya. Adapun, diantara remaja yang menjadi korban dari tindakan bullying tersebut, sebagian memilih untuk menyerah, bahkan tidak jarang remaja korban tindakan bullying yang memilih untuk mengakhiri hidup mereka. Oleh sebab itu, remaja korban bullying membutuhkan sebuah cara untuk bangkit melawan bullying tersebut.
Bangkit melawan bullying bukanlah hal yang mudah karena korban bullying harus melawan diri mereka sendiri. Ketika korban diperhadapkan pada situasi bully, korban memiliki dua pilihan yaitu menyerah atau melawan. Jika korban menyerah, maka korban bullying tersebut akan mendapat dampak negatif dari bully, yaitu malu, stres, atau yang terparah depresi dan mengakibatkan bunuh diri. Sebaliknya apabila korban ingin melanjutkan kehidupan yang baik, saat di bully, korban bullying harus bisa bangkit dan berjuang melawan tindakan bullying tersebut. Adanya dorongan dari diri sendiri dan bantuan dari lingkungan akan mempengaruhi keberhasilan dalam menghadapi perilaku bullying yang terjadi.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan korban bullying ketika ingin memilih untuk bangkit melawan bullying yang diterimanya, yaitu:
1. Mampu mengontrol dan mengelola emosi diri
Faktor yang mempengaruhinya adalah keadaan sadar dalam diri atau mindfulness. Apabila trait mindfulness muncul, maka akan mempunyai perasaan sadar akan keberadaannya dan memungkinkan untuk mengontrol emosi diri dengan pemahan yang dimiliki (Damasio, 200). Oleh sebab itu, korban bullying tidak akan gegabah dalam menyikapi tindakan bullying yang dialaminya (Nurfadillah & Listiyandini, 2017)
2. Mampu memperbaiki tingkat self esteem
Seseorang yang memiliki self esteem tinggi akan membangkitkan rasa percaya diri, rasa yakin akan kemampuan diri, rasa berguna serta rasa bahwa kehadirannya diperlukan di dunia ini. Memiliki kepercayaan diri dapat mencapai prestasi yang dia dan orang lain harapkan. Pada tahapannya, keyakinan itu akan memotivasi seseorang tersebut untuk sungguh-sungguh mencapai apa yang dicita-citakan (Clemes, dkk., 2012).
3. Mampu membuat konsep diri yang positif
Korban yang menerima perilaku bullying dapat saja menganggap perilaku bullying yang diterimanya sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik, atau menganggapnya sebagai kegagalan yang dapat diperbaiki. Pandangan ini menggambarkan konsep diri yang positif (Harefa & Rozali, 2018). Hal ini bertujuan agar remaja korban bullying dapat memiliki konsep diri yang positif, maka diperlukan peranan lingkungan sosial untuk menunjukkan kepedulian terhadap perilaku bullying tersebut. Peranan lingkungan sosial berupa dalam bentuk dukungan sosial, seperti keluarga, sahabat, atau orang lain.
4. Gunakan self-defense
Self-defense merupakan pembelaan diri sebagai upaya pertahanan dari tindak penindasan khususnya bully. Membela diri dengan menggunakan keterampilan secara fisik seperti teknik bela diri. Selain itu, keterampilan psikologis dan sosial dibutuhkan dalam melawan bullying seperti menjadi pemberani, menarik perhatian pelaku dengan menakutinya, dan selalu berjalan bersama teman-teman.
5. Carilah dukungan dari orang lain
Korban bullying juga bisa membagi cerita perilaku bullying yang dialami kepada orang-orang yang sudah pernah menjadi korban bully untuk mendapatkan saran-saran terbaik menghadapi bullying. Korban bully juga bisa segera melaporkannya kepada keluarga, lingkungan yang terlibat, atau juga kepada pihak yang berwenang dengan meminta orang lain mengumpulkan bukti-bukti tindakan bully tersebut.
Jika cara-cara tersebut bisa dikuasai oleh setiap orang untuk melawan bullying, maka ia akan menjadi berani dalam menghadapi bullying. Korban bullying akan bisa mengambil sisi positif dari tindakan bullying yang dialaminya. Ketika seseorang menjadi korban dari tindakan bullying, mereka dapat memilih untuk bangkit melawan pembullian tersebut. Adanya keinginan dan niat positif dari dalam diri dan juga dukungan dari teman, keluarga, dan orang lain akan mempermudah korban bullying berhasil menghadapi permasalahan di dalam hidupnya. Dan ketika mereka berhasil, mereka akan mendapat kehidupan yang lebih baik lagi dari sebelumnya.
Referensi:
Clemes, H. (2012). Bagaimana meningkatkan harga diri remaja. Jakarta: Binarupa Aksara.
Coloroso. (2003). Stop bullying (Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Pra-Sekolah Hingga SMU). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Damasio, A. (2000). The feeling of what happens: Body And emotion in the making of consciousness. New York: Harcourt Brace and co.
Harefa, P., & Rozali, Y. A. (2018). Pengaruh dukungan sosial terhadap konsep diri pada remaja korban bullying (Skripsi dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul, Jakarta.
Hendrianti., A. (2006). Psikologi Perkembangan Pendekatan ekologi kaitannya dengan konsep diri dan penyesuaian diri pada remaja. Bandung: PT. RafikaAditama.
Indrawan, A. F. (2017, Oktober 4). KPAI Terima Aduan 26 Ribu Kasus Bully Selama 2011-2017. Detik. Diunduh dari https://news.detik.com/berita/d-3670079/kpai-terima-aduan-26-ribu-kasus-bully-selama-2011-2017.
SWS Award 2019
- Details
- Written by Idhamsyah Eka Putra, Eko A. Meinarno, Ardiningtiyas Pitaloka, Karel Karsten Himawan
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 7 April 2019
Cerita Sarlito Wirawan Sarwono Award 2019
Idhamsyah Eka Putra
Universitas Persada Indonesia & Division for Applied Social Psychology Research
Eko A. Meinarno
Universitas Indonesia
Ardiningtiyas Pitaloka
Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara
Karel Karsten Himawan
Universitas Pelita Harapan
Serangkaian acara luar biasa telah terselenggara pada tanggal 28 Maret 2019 di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang bekerja sama dengan Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN). Fakultas Psikologi, USU sendiri merupakan salah satu anggota KPIN yang mendukung sejak awal berdirinya di 2014 (lihat https://k-pin.org/seputar-konsorsium/; di tahun 2012 bernama Konsorsium Jurnal Ilmiah). Acara di pagi hari adalah mengenang kembali tokoh pendiri Psikologi di Indonesia, Prof Dr. Slamet Iman Santoso (Pak SIS), dengan menghadirkan anak perempuan tertua beliau, Prof. Dr. Suprapti Markam sebagai nara sumber utama, selain narasumber lainnya. Menginjak siang hari, hadirlah ajang utama dan yang paling dinanti: pengumuman Sarlito Wirawan Sarwono (SWS) Award 2019.
Kali ini, SWS Award menjadi sangat berbeda karena jumlah nominator jauh lebih banyak dari sebelumnya. Hal yang juga menggembirakan, nominator berasal dari berbagai daerah di luar Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Hal lainnya adalah munculnya nominator dari institusi-institusi yang tidak tergabung dalam KPIN.
Terkait dengan sejarah SWS Award, ketua KPIN saat itu Ardiningtiyas Pitaloka (Universitas YARSI) berinisiatif untuk terus mempertahankan “spirit’ Mas Ito (panggilan akrab kami kepada Prof. Dr. Sarlito W Sarwono) di bidang pengembangan keilmuan psikologi dan diseminasinya. Tercetuslah ide untuk memberikan penghargaan pada ilmuwan-ilmuwan muda yang memiliki prestasi luar biasa dalam segi pengembangan keilmuan dan diseminasi psikologi. Adapun wujud SWS Award oleh KPIN bukan berupa bantuan dana, tapi pengakuan ilmiah akademis. Takdir berkata lain, Mas Ito wafat mendahului acara istimewa ini.
Semangat dari penghargaan ini merujuk pada Mas Ito yang senantiasa energik dan produktif bahkan di usia yang tidak lagi muda. Ia juga menjadi salah satu dari pendiri KPIN selain Idhamsyah E Putra dan Eko A Meinarno. Saat membuat acara ini, Pitaloka mengajukan izin kepada pihak keluarga Mas Ito dan mereka merestuinya. Tahun 2017 menjadi awal tradisi baru dalam KPIN yakni penyelenggaraan SWS Award untuk tiap tahun. Tim penilai saat itu terdiri atas Ketua KPIN dan akademisi internal KPIN.
Pada Februari 2017, beberapa bulan setelah Mas Ito wafat (November 2016) SWS Award pun digelar. Acara bertempat di Fakultas Psikologi Universitas Pancasila. Penerima penghargaan SWS 2017 adalah: Idhamsyah Eka Putra dan Eko A. Meinarno. Tahun 2018, SWS Award kedua dilaksanakan di Fakultas Psikologi Universitas Al-Azhar Indonesia. Penerima SWS Award 2018 adalah Ardiningtiyas Pitaloka (Universitas YARSI) dan Karel Karsten Himawan (Universitas Pelita Harapan).
Inisiatif KPIN membuat SWS award untuk ilmuwan muda memberikan dampak yang luar biasa. Ajang ini menunjukkan banyaknya ilmuwan psikologi Indonesia yang memiliki prestasi yang luar biasa. Publikasi ilmiah internasional, nasional, publikasi psikologi populer/media massa, serta keterlibatan aktif dalam organisasi psikologi nasional maupun internasional. Prestasi-prestasi ini sering dianggap biasa oleh banyak pihak, tapi bagi KPIN prestasi tetaplah prestasi, harus mendapatkan apresiasi sesuai kapasitasnya.
Banyaknya prestasi ini semakin terungkap saat SWS Award tahun 2019 yang terbuka untuk semua institusi penyelenggara pendidikan psikologi dan lembaga penelitian psikologi. Tim juri berhasil menyeleksi lima nominator utama dari puluhan kandidat: Aulia Iskandarsyah (Universitas Padjadjaran), Andrian Liem (University of Queensland), Christiany Suwartono (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya), Edo S. Jaya (Universitas Indonesia), dan Fajar Erikha (Division for Applied Social Psychology Research/DASPR). Tahun ini, Aulia Iskandarsyah dan Christiany Suwartono menjadi peraih SWS Award. Usia-usia mereka masih (jauh) di bawah usia 40 tahun, namun rekam jejak mereka bahkan mungkin sudah melampaui akademisi-akademisi senior dengan pengalaman kerja lebih dari 20 tahun.
Ada beberapa hal yang menarik jika kita melihat para kandidat. Pertama, empat dari lima kandidat adalah laki-laki. Hal ini menarik sekaligus menggelitik, karena psikologi adalah area bidang yang didominasi oleh perempuan: jumlah kelas psikologi umumnya lebih dari 70% adalah perempuan. Keadaaan ini menunjukkan laki-laki masih mendominasi seperti area-area bidang ilmu lain sama halnya dengan area yang lebih banyak mahasiswa laki-lakinya. Hal yang ke dua, hanya satu orang dari lima nominator yang tidak memiliki latar pendidikan dari luar negeri. Ada hal lain yang dapat dilihat dari acara tahun ini bahwa orang yang mengenyam pendidikan di luar negeri tetap memiliki kepedulian yang tinggi dengan Indonesia berdasarkan karya-karyanya. Menjadi kritik kita semua juga, hal ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih kesulitan dalam mencetak mahasiswa/lulusannya menjadi ilmuwan yang produktif.
Selain memberikan apresiasi pada ilmuwan muda, ajang SWS award juga bertujuan untuk membuka pandangan banyak orang tentang prestasi luar biasa ilmuan muda psikologi. Harapannya, hal ini juga dapat membuka jalan karier ilmuwan muda sehingga memberikan manfaat luar biasa bagi institusi pendidikan di Indonesia.
Semoga SWS Award bisa terus memacu para peneliti muda berkarya bagi Indonesia dan memicu tumbuhnya peneliti-peneliti muda handal lainnya.
Tes Davido-CHaD
- Details
- Written by Eko A Meinarno dan Gita W Laksmini Soerjoatmodjo
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 5 Maret 2019
Kajian Singkat Tes Davido-CHaD
Oleh
Eko A Meinarno dan Gita W Laksmini Soerjoatmodjo
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia dan
Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya
Sejak Tahun 2018 kami diajak untuk menjadi bagian dari tim dari CHaD Indonesia. Tim ini adalah bentuk pelaksanaan amanat dari Prof. Dr. Sarlito W Sarwono yang sejak 2009 membangun hubungan kerja sama dengan pencipta tes Davido-CHaD yakni Roseline Davido. Tes ini bagi sebagian besar psikolog di Indonesia nyaris dipastikan belum dikenal luas. Tes ini dapat dikategorikan baru. Secara khusus adalah stimuli dan permintaan gambar yang diminta. Bahkan pada instrukturnya (pengambil tes) juga dapat dilakukan oleh non-psikolog (Astrid Novianti Sarlito, dalam bagian Pengantar, Davido, 2017). Namun dengan catatan tetap diperlukan latar pendidikan psikologi. Hal ini tidak lepas dari sifat dasar dari tes ini yakni tes proyektif (yang mengungkap alam bawah sadar). Tradisi keilmuan yang mendalami tes proyektif adalah psikoanalisis, satu aliran psikologi awal.
Penggunaan di Perancis oleh Davido dan penggunaan di Indonesia oleh Sarwono agak berbeda. Secara umum Davido berorientasi pada individu yang mempunyai masalah psikologis dan anak-anak. Oleh Sarwono, penggunaan CHaD lebih diterapkan pada napiter (tahanan teroris) (Sarwono, 2013; 2015). Hal ini dikarenakan ingin mengetahui keadaan psikologis dari teroris.
Kontribusi Keilmuan di Indonesia
Sebagaimana hal baru dalam dunia ilmiah maka tentunya perlu diketahui jejak rekam dari hal baru yang ditawarkan. Bagi dunia psikologi di Indonesia tes ini dapat dikatakan baru, tapi dengan catatan bahwa pergerakan keilmuannya cukup pesat. Sarwono bertemu dengan Davido pada acara International Councl of Psychologists (ICP) di Meksiko tahun 2009. Sejak itu Sarwono mengajak Davido ke Jakarta untuk memberi kuliah, pelatihan dan sampai merancang penelitian (Sarwono, 2015). Dari sepanjang 2012 hingga 2019 telah ada beberapa momen penguatan keilmuan dari tes Davido-CHaD di Indonesia.
Telah terbit beberapa buku terjemahan dari karya Roseline Davido yakni Mengenal Anak Melalui Gambar (2012), Tes Davido-CHaD dalam Praktik Klinis (2016a), Tangan Masa Kecil yang Merisaukan (CHaD): Tes Gambar Proyeksi untuk Psikodiagnostik dan Psikoterapi (2016b), Tes Davido-CHaD dalam Praktik: Tes Kepribadian Klinis dan Proyektif (2017), Pelecehan Seksual dan Pedofilia: Tes Davido-CHaD Sebagai Indikasi Perilaku (2019). Karya-karya terjemahan ini tetap didampingi oleh ahli psikologi diantaranya Sarlito W Sarwono, Astrid Novinati dan Yuslikha KW Banani.
Sarlito W Sarwono juga kemudian menggunakan tes Davido-CHaD dengan lebih berani terhadap klien atau subyek yang lebih menantang yakni teroris. Setidaknya ia melakukan tes terhadap sepuluh tahanan teroris. Terobosan ini bahkan melampaui penggunaan awal dari tes ini. Pekerjaan Sarwono ini yang kemudian dibukukan dengan judul Menakar Jiwa Mantan Teroris Melalui Tes Davido-CHaD (2013).
Tes Davido-CHaD tidak hanya masuk sebagai sekedar tes baru. Saat ini tes ini memasuki tahapan akademis atau yang umum kita sebut sebagai ruang kuliah. Program studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya melangkah maju ketika tahun 2018 mengundang Roseline R Davido langsung dan melaksanakan pelatihannya. Hal ini dilakukan sebagai upaya berkontribusi ada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat urban (Tangsel Pos, 2018). Komitmen ini ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (Kata Kota, 2018). Langkah berikutnya adalah dengan mulai memasukkan pengetahuan tes ini dalam silabus atau Rencana Pengajaran Semester di Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya. Tujuannya adalah sebagai bagian pengetahuan mahasiswa untuk psikodiagnostik (karena tes ini bersifat proyektif dan kekinian).
Keberadaan tes baru di Indonesia sangat dibutuhkan, khususnya oleh para praktisi. Beberapa dasawarsa lalu Dirgagunarsa (1974) pernah mengadaptasi tes CAT dengan gambar khas Indonesia agar dapat lebih mudah direspon oleh anak Indonesia. Dalam konteks tes Davido-CHaD, Sarlito W Sarwono juga memberikan kontribusi kepada Davido mengenai keunikan Indonesia. Para praktisi menunggu karya dari para ilmuwan psikologi, khususnya ilmuwan psikologi yang ada di universitas. Masuknya tes Davido-CHaD dan keseriusan pihak-pihak di Indonesia adalah salah satu bentuk kerja sama antara praktisi dan universitas serta penerbit buku. Bahkan lebih jauh lagi, keberadaan tes ini di Indonesia mewujudkan kerja sama internasional yang bagus. Setidaknya hubungan praktisi Perancis dan perguruan tinggi di Indonesia.
Referensi
Davido, RD. (2012). Mengenal anak melalui gambar. Editor: Sarlito W Sarwono. Jakarta: Salemba Humanika.
Davido, RD. (2016a). Tes Davido-CHaD dalam praktik klinis (terjemahan). Jakarta: Salemba Humanika.
Davido, RD. (2016b). Editor: Sarlito W Sarwono. Tangan masa kecil yang merisaukan (CHaD): Tes gambar proyeksi untuk psikodiagnostik dan psikoterapi. Jakarta: Salemba Humanika.
Davido, RD. (2017). Tes Davido-CHaD dalam praktik: Tes kepribadian klinis dan proyektif. Penerjemah: Yuslikha KW Banani. Editor: Sarlito W Sarwono. Jakarta: Salemba Humanika.
Davido, RD. (2019). Pelecehan seksual dan pedofilia: Tes Davido-CHaD sebagai indikasi perilaku. Penerjemah: Yuslikha KW Banani. Jakarta: Salemba Humanika.
Dirgagunarsa, S. (1974). Children's Apperception Test -- Adaptasi Indonesia sebagai Teknik Proyeksi untuk Assessment Kepribadian Anak. Disertasi. Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Kata Kota. (2018). UPJ tandatangani MoU dengan CHaD internasional. Diterbitkan 15 Februari.
Sarwono, SW. (2013). Menakar jiwa mantan teroris melalui tes Davido-CHaD. Jakarta: Salemba Humanika..
Sarwono, SW. (2015). Mengantisipasi degradasi manusia Indonsia: Quo vadis tes proyeksi? Dalam Revolusi mental: Makna dan realisasi. Penyunting: Hana Pangabean, A Supratiknya, dan J Seno Aditya Utama. HIMPSI. Jakarta.
Tangsel Pos. (2018). PSI UPJ gelar pelatihan CHaD: Salah satu metode ungkap masa lalu tersembunyi seseorang. Diterbitkan 19 Februari.