Beranda
Liputan Acara Pre-Launching dan Diskusi Film: Keluargaku, Jihadku
- Details
- Written by Selviana
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 14 Juli 2019
Liputan Acara Pre-Launching dan Diskusi Film: Keluargaku, Jihadku
Oleh
Selviana
Fakultas Psikologi, Universitas Persada YAI
Husna Mitsali
Division for Applied Social Psychology Research, Universitas Persada Indonesia YAI
Rabu 31 Juli 2019 diadakan Pre-launching dan Diskusi Film Keluargaku, Jihadku oleh DASPR (Division for Applied Social Psychology Research) di Gedung PKBI Jakarta Selatan. Acara diawali dengan pembukaan oleh tim DASPR yang menjelaskan tentang tujuan dan proses pembuatan film yang bercerita mengenai keluh kesah 4 istri Narapidana (Napi) Teroris di Indonesia yang disoroti dari perspektif psikologi sosial. Dari film tersebut, para penonton diajak untuk melihat lebih dekat kesaksian-kesaksian hidup serta berbagai permasalahan yang dialami para istri Napi teroris mulai dari awal bertemu, menikah (rata-rata dengan proses ta’aruf) dan membangun kehidupan rumah tangga dengan suaminya yang terlibat dalam jaringan Teroris di Indonesia.
Acara semakin menarik karena setelah menonton film dilakukan diskusi dengan para narasumber yaitu seorang tokoh istri Napi teroris, Vici S Putra selaku salah satu tim proyek film DASPR dan Any Rufaedah sebagai moderator diskusi serta selaku peneliti dinamika psikologis para istri Napi teroris. Diskusi diawali dengan narasumber Vici S Putra yang menyampaikan proses dibalik layar pembuatan film keluargaku, jihadku sebagai proyek film pertama yang dibuat oleh DASPR. Dirinya menyampaikan keterlibatannya dalam menyaring bagian-bagian dalam pembuatan film yang diharapkan dapat menyampaikan pesan-pesan dan cerita yang lebih lebih mengena kepada para penonton. Selain itu, muatan dalam cerita film tersebut juga disesuaikan berdasarkan temuan dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh tim DASPR. Dilanjutkan dengan tokoh Istri Napi teroris yang mengungkapkan kesan-kesannya yang sungguh mengharukan atas hadirnya film keluargaku, jihadku. Dirinya menyampaikan film tersebut mengingatkan kisah masa lalu saat harus menjadi seorang single parents karena suaminya meninggal dunia setelah tiga bulan keluar dari tahanan, belum lagi tekanan saat menghadapi keluarga dan cibiran dari para tetangga, sehingga hal itu membuatnya merasa harus kuat, harus lebih baik dan tetap semangat dalam menjalani hidup, khususnya demi menghidupi anak-anaknya. Selajutnya, Any Rufaedah turut berbagi pengalamannya yang pernah meneliti para Napi teroris. Dirinya menyampaikan bahwa para Napi teroris tersebut memposisikan istri-istrinya sebagai nomor dua setelah kesyahidannya. Salah satu prinsip yang dipegangnya saat lanjang adalah bahwa mendapatkan syahid itu lebih diidamkan daripada meraihmu (istri). Hal ini terbawa secara ideologi saat memasuki biduk rumah tangga karena dianggap bila suaminya syahid, maka akan mendapatkan surga dan istrinyapun akan ikut, akibatnya membuat para istri tidak banyak mengetahui tentang kegiatan-kegiatan suaminya di luar yang terlibat dalam jaringan teroris.
Diskusi ini memicu banyaknya tanya jawab dari para peserta yang rasa ingin tahu besar tentang keberadaan teorisme dan radikalisme yang diangkat menjadi tema utama dalam film ini. Beberapa pertanyaan menarik seperti bagaimana mengobati tidak hanya yang sudah terpatah namun yang sedang dalam proses terpatah sebagai keluarga teroris, sehingga kedepan pencegahan dan penanganannya dapat lebih tersosialisasi di tengah masyarakat? Ada pula pertanyaan tentang apa yang membedakan islamisasi dengan arabisasi kaitannya dengan isu terorisme dan radikalisme? serta bagaimana DASPR menanggapi isu kepulangan WNI dari suriah? Selain pertanyaan, ada juga saran agar acara-acara seperti ini dapat diadakan lagi guna mengedukasi masyarakat terkait permasalahan terorisme dan redikalisme, serta pada film berikutnya agar juga menghadirkan istri-istri yang tahu tentang keterlibatan suaminya, sehingga dapat memberi informasi kepada masyarakat agar dapat melakukan pencegahan.
Pada akhirnya, kegiatan ini dapat terselenggara atas inisiatif DASPR (Division for Applied Social Psychology Research) bekerjasama dengan Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN). Turut hadir dalam acara tersebut para undangan akademisi dari berbagai universitas yang salah satunya adalah Prof. Dr. Suprapti S Markam sebagai perwakilan undangan dari Universitas Persada Indonesia YAI, beliau turut mengapresiasi acara ini, sehingga film ini tergolong layak untuk diputar di kampus-kampus yang ingin mengadakan acara serupa, yaitu nonton bareng dan diskusi lebih lanjut.
Work-life Balance di Era Digital
- Details
- Written by Novi dan Devi Jatmika
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 12 Juni 2019
Work-life Balance di Era Digital
Oleh
Novi dan Devi Jatmika
Program Studi Psikologi, Universitas Bunda Mulia
Batas antara jam bekerja dengan kehidupan pribadi di jaman modern saat ini tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Penggunaan alat bantu seperti gawai, laptop dan internet seyogyanya membantu seseorang dalam bekerja, namun saat ini pekerjaan-pekerjaan turut terlibat dalam jam-jam kehidupan pribadi kita. Terutama pada generasi milenial yang fasih dalam penggunaan internet. Berbagai aplikasi media sosial menjadi bagian dari kehidupan pekerjaan generasi milenial. Survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Inernet Indonesia (APJII) di tahun 2017, komposisi pengguna berdasarkan usia tertinggi di rentang usia 19- 34 tahun (49, 52%), 35- 54 tahun (29, 55%), 13-18 tahun (16, 68%) dan lebih dari 54 tahun (4, 24%). Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki (51, 43%) mendominasi perempuan (48, 57%). Sedangnkan untuk jenis layanan yang diakses pengguna terbanyak adalah aplikasi chatting (89,35%), media sosial (87,13%), mesin pencari (74,84%), lihat gambar/foto (72,79%), lihat video (69,64%), dan sisanya aktivitas berinternet lainnya. Aktivitas terkecil dari hasil survei adalah mengakses perbankan (7,39%).
Penggunaan teknologi internet di dunia pekerjaan memudahkan kita dalam mengirimkan pesan melalui email, berkomunikasi dengan klien kita menggunakan whatsapp ataupun melakukan koordinasi kapan saja dan dimana saja. Kita juga bisa membuat presentasi, menyelesaikan laporan kita di rumah ataupun melakukan survey sederhana via online, bahkan kita dapat mengontrol server dari rumah hanya dengan bermodalkan laptop dan internet bahkan saat ini smartphone juga mulai menjadi multifungsi.
Tidak jarang dapat kita temui, teman-teman sekitar kita yang menjadi seorang entrepreneur, startup ataupun staf kantor, hampir setiap saat mereka memegang ponsel/ smartphone miliknya kemanapun mereka pergi dan selalu mengecek jangan sampai ada info/ pesan yang terlewat. Kenyataannya, tanpa diminta kita sudah menjadi available 24/7, 24 jam selama 7 hari secara sukarela. Banyak dari mereka mengeluh merasa stress dan kelelahan karena seakan-akan pekerjaan menghantui mereka dimanapun berada, bagaikan sebuah “harga yang harus dibayar” sebagai seorang pekerja ataupun pemimpin. Teknologi digital mempermudah kita menjadi lebih fleksibel, dapat melakukan pekerjaan di rumah, mengawasi karyawan menggunakan CCTV tanpa harus sering kali kita ke lapangan langsung bahkan juga berkomunikasi sambil melakukan kegiatan lainnya. Bukankah waktu kita menjadi lebih banyak dan fleksibel, tetapi mengapa masih banyak pekerja yang mengalami stres?
Teknologi turut berkontribusi menciptakan stress dan kecemasan. Harrison dan Lucassen (2018) menyebutkan lima stressor yang diaibatkan oleh teknologi:
1. Perpetual Distraction
Notifikasi, bunyi-bunyi dari telepon genggam yang terus menerus secara konsisten membuat distraksi yang dapat mengurangi fokus perhatian kita dan dulit untuk memusatkan ingatan.
2. Jam tidur yang tidak teratur
Aakah Anda bagian dari orang-orang yang memantau handphone sebelum tidur dan begitu terbangun dari tempat tidur Anda? Melihat handphone sebelum tidur dapat mendorong stimulus pada otak yang akibatnya otak kita sulit untuk terlelap dan beristirahat. Penelitian menyatakan efek dari layar biru di monitor handphone dapat menurunkan produksi melatonin yang akhirnya mengganggu ritme sirkadian tubuh. Seseorang yang kurang tidur cenderung akan memiliki resiliensi yang lebih buruk dan level kecemasan dan stress yang lebih tinggi.
3. Work/ Life Balance
Batasan yang buruk antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi di rumah menjadi abu-abu. Para karyawan tetap membahas persoalan pekerjaan bahkan ketika mereka di rumah, dihubungi oleh rekan-rekan kerja, atasan daan memikirkan urusan pekerjaan. Hal ini membuat seseorang sulit untuk benar-benar rileks dan terlepas dari pekerjaan.
4. F. O. M. O
Rasa cemas yag muncul dari rasa takut akan tertinggal dari suatu peristiwa, pekerjaan atau kesempatan sosial, komunikasi atau kehilangan kesempatan koneksi atau sesuatu yang keren yang seharunya kita menjadi bagian drinya. Semakin kita terkoneksi, semakin kita mengalami FOMO karena postingan-postingan di sosial media membuat kita berpikir bahwa kehidupan orang lain atau teman mendapat pengalaman yang lebih menyenangkan atau lebih menarik tanpa kehadiran kita.
5. Social comparison
Media sosial mendorong seseorang secara aktif melakukan perbandingan sosial, kesuksesan orang lain menjadi parameter untuk kesuksesan diri kita. Akibatnya, kita mulai mengevaluasi kehidupan kita yang menjadi tidak menarik, tidak sempurna dibandingkan orang lain dan membuat kita menjadi merasa inferior. Padahal, dalam kenyatannya, setiap orang melalui proses naik dan turun hanya saja mereka tidak menceritakan di media sosial mereka.
Pengaruh perkembangan digital sangat mempengaruhi kehidupan pribadi seseorang dan “ Work Life Balance” menjadi sebuah hal yang berharga dan lambang kesuksesan di era digital ini. Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh web cosmo dikatakan bahwa 58,3% wanita milenial mengharapkan kehidupan karier dan personal yang seimbang (work-life balance) (Kusumapradja, 2018).
Lalu apa itu Work Life Balance?
Menurut Handayani (2013), work-life balance adalah suatu keadaan ketika seseorang mampu berbagi peran dan merasakan adanya kepuasan dalam peran-peranya tersebut yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat work family conflict dan tingginya tingkat work family facilitation atau work family enrichment.
Work life balance meningkatkan kualitas kehidupan individu, yang mana work-life balance berfungsi sebagai pelindung dari peristiwa atau pengalaman negative dalam hidup dan mempromosikan kesejahteraan hidup (Barnett & Hyde dalam Greenhaus, Collins, & Shaw, 2003). Greenhaus, Collins dan Shaw (2003) membagi work-life balance dalam tiga komponen:
1. Time balance: jumlah waktu yang seimbang untuk peran dalam pekerjaan dan keluarga.
2. Involvement balance: level keterlibatan psikologis yang seimbang antara peran dalam pekerjaan dan keluarga.
3. Satisfaction balance: kepuasan yang seimbang antra peran pekerjaan dan keluarga.
Distribusi waktu, tenaga, komitmen terhadap suatu peran yang lebih besar ketimbang peran yang lainnya dapat menimbulkan ketidakpuasan.
Faktor yang mempengaruhi work life balance
Menurut Schabracq, Winnubst dan Cooper (2003), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work-life balance seseorang, yaitu sebagai berikut:
1. Karakteristik Kepribadian. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan kerja dan di luar kerja. Terdapat hubungan antara tipe attachment yang didapatkan individu ketika masih kecil dengan work-life balance. Individu yang memiliki secure attachment cenderung mengalami positive spillover dibandingkan individu yang memiliki insecure attachment.
2. Karakteristik Keluarga. Menjadi salah satu aspek penting yang dapat menentukan ada tidaknya konflik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Misalnya konflik peran dan ambigiunitas peran dalam keluarga dapat mempengaruhi work-life balance.
3. Karakteristik Pekerjaan. Meliputi pola kerja, beban kerja dan jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja dapat memicu adanya konflik baik konflik dalam pekerjaaan maupun konflik dalam kehidupan pribadi.
4. Sikap. Merupakan evaluasi terhadap berbagai aspek dalam dunia sosial. Dimana dalam dalam sikap terdapat komponen seperti pengetahuan, perasaan-perasaan dan kecenderungan untuk bertindak.
Adapun beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk menciptakan work life balance yaitu :
a) Jam kerja yang fleksibel, menyediakan penyusunan waktu yang fleksibel dan dapat dikonsultasikan untuk seluruh karyawan.
b) Kerja paruh waktu, menyediakan lebih banyak kerja paruh waktu dengan jam atau shift yang lebih sedikit atau penyusunan pembagian kerja untuk seluruh karyawan.
c) Akses untuk penanganan anak, meningkatkan akses untuk penanganan anak dengan fasilitas penanganan anak di kantor bagi yang membutuhkan fasilitas tersebut.
d) Penyusunan pekerjaan yang fleksibel, menyediakan fleksibilitas yang lebih baik dalam penyusunan pekerjaan untuk menyesuaikan kondisi personal karyawan, termasuk menyediakan waktu penuh untuk anggota keluarga.
e) Cuti harian, mengizinkan karyawan untuk meminta dan mengambil cuti dalam waktu harian.
f) Mobilitas pekerjaan, menyediakan mobilitas yang lebih baik untuk karyawan dapat berpindah dari rumah sakit, tempat kerja dan layanan kesehatan untuk menemukan penyusunan pekerjaan yang lebih sesuai.
g) Keamanan dan kesejahteraan, meningkatkan keamanan, kesejahteraan dan rasa hormat untuk seluruh karyawan di tempat kerja.
h) Akses telepon, memastikan seluruh karyawan dapat menerima telepon atau pesan mendesak dari keluarga mereka di tempat kerja, dan mendapat akses telepon untuk tetap dapat menghubungi keluarga mereka selama jam kerja.
Maka dari itu, dapat disimpulkan peran sebuah organisasi dalam menciptakan work-life balance berpengaruh cukup besar bagi karyawan. Karyawan yang sejahtera secara psikologis, akan memiliki kualitas hidup yang berarti dan fokus dalam kinerjanya baik dalam kehidupan pekerjaan, keluarga dan komunitasnya. Sebagai individu, work-life balance, dapat diupayakan dengan menentukan prioritas-prioritas dan membuat pilihan dari setiap tugas dalam peran. Kemampuan untuk membagi waktu, menetapkan batasan antara pekerjaan dan keluarga perlu dicermati dengan melakukan refleksi “alasan” dari suatu tindakan dan “sejauh mana” energi, waktu dan komitmen yang diberikan untuk tetap sejahtera secara psikologis.
Referensi:
Greenhaus, J. H., Collins, K. M., Shaw, J. D. (2003). The relation between work-family balance and quality of life. Journal of Vocational Behavior, 63, 510-531.
Handayani, A., Afiati, T., & Adiyanti, M. G. (2015). Studi Eksplorasi Makna Keseimbangan Kerja Keluarga pada Ibu Bekerja. Semarang: Seminar Psikologi & Kemanusiaan diunduh dari http://mpsi.umm.ac.id/files/file/30-36%20Arri%20Handayani.pdf.
Harrison, G., & Lucassen, M. (2018). Stress and anxiety in the digital age: The dark side of technology. Diunduh dari https://www.open.edu/openlearn/health-sports-psychology/mental-health/managing-stress-and-anxiety-the-digital-age-the-dark-side-technology.
Nabila, M. (2018). APJII: Penetrasi pengguna internet Indonesia capai 143 juta orang. Diunduh dari https://dailysocial.id/post/apjii-survei-internet-indonesia-2017.
Schabracq, M. J., Winnubst, J. A. M., & Cooper, C. L. (2003). The handbook of work and health psychology. England: John Wiley & Sons. Diunduh dari http://www.al-edu.com/wp-content/uploads/2014/05/Handbook-of-Work-and-Health-Psychology-2Ed-2003.pdf.
Kusumapradja, A. (2018). Survei: Ini yang wanita milenial cari dalam karir. Diunduh dari http://www.cosmopolitan.co.id/article/read/8/2018/14557/survei-ini-yang-wanita-milenial-cari-dalam-karir.
Meledak Bersama: Natural Instinct Perempuan Jihadis
- Details
- Written by Any Rufaedah
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 11 Juni 2019
Meledak Bersama: Natural Instinct Perempuan Jihadis
Oleh
Any Rufaedah
Division for Applied Social Psychology Research, Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta
Sekitar sepuluh hari setelah pengeboman gereja dan hotel di Sri Lanka, seorang jurnalis South China Morning menghubungi saya untuk wawancara tentang perempuan pelaku bom bunuh diri. Cukup banyak yang ditanyakan, mulai dari mengapa mereka melakukan bom bunuh diri dengan mengajak anak-anaknya sampai bagaimana mereka teradikalisasi. Namun, tentu saja jurnalis harus menyesuaikan dengan batas halaman dan fokus sehingga tidak semua pernyataan saya dimuat dalam laporannya. Karena topik itu menarik namun tidak semuanya dapat dimuat, maka saya berpikir untuk menuliskannya di media lain, agar penjelasan utuhnya tersampaikan ke khalayak lebih luas.
Ulasan yang tidak sempat dimuat itu adalah: apa yang membuat perempuan bisa membunuh dirinya dan anak-anaknya, padahal perempuan mempunyai insting melindungi anak? Bagaimana perempuan diyakinkan untuk membunuh anaknya? Dua pertanyaan yang menarik bukan? Saat ditanya pun saya harus putar otak mengingat-ingat hasil penelitian bersama teman-teman di Division for Applied Social Psychology Research (DASPR).
Perempuan menjadi pelaku bom bunuh diri bukanlah hal baru. Mia Bloom dalam bukunya ‘Bombshell: Women and terrorism’ (2011) menyebutkan bom bunuh diri oleh perempuan pertama kali terjadi pada tahun 1978. Dalal Al Maghribi namanya, ia meledakkan diri di dalam bus perjalanan Jerusalem-Tel Aviv, menewaskan dirinya dan 36 penumpang. Bloom juga melaporkan serangan bom bunuh diri oleh perempuan terjadi di Lebanon, Sri Lanka, Turki, Chechnya, Israel, Iraq, Afghanistan. Belakangan kita mengenal nama Mariam Sharipova Oksana Aslanova suicide bomber di Rusia (Choirul, 2010; Auliani, 2013) dan Tashfeen Malik di Amerika pada tahun 2015 (Alexander, 2016).
Bedanya, mereka tidak mengajak serta anak-anak meledakkan diri, namun yang kita temui akhir-akhir ini adalah fenomena baru. Kira-kira apa yang ada dalam pikiran jihadis perempuan, sehingga tega membawa anak-anaknya melakukan bunuh diri? Seharusnya mereka melindungi anak-anak, bukan sebaliknya. Untuk menjawab hal ini, saya mengutip kembali pernyataan Anna Sundberg, seorang jihadis perempuan asal Swedia berikut: ‘Mujahidin. The holy warriors. My husband is one of them and my sons will be too one day, I hope.’
Pernyataan Anna menggambarkan harapan dan kebanggaan sekaligus. Oleh karena itu, ia mempersiapkan anaknya menjadi mujahid. Berhasil menjadikan anak sebagai mujahid adalah capaian berharga bagi seorang ibu kelompok jihadis. Dalam kondisi kognitif seperti itu, kematian anak bukan lagi sesuatu yang perlu ditakuti, tetapi justru diharapkan. Penjelasan ini linear dengan teori dasar psikologi: sikap dan perilaku.
Perempuan jihadis di Indonesia juga memiliki sikap yang sama. Kasus bom Surabaya dan Sidoarjo (2018) serta Sibolga (2019) adalah di antara buktinya. Hasil riset kami yang dimuat dalam Jurnal Psikologi Ulayat juga menggambarkan kemauan yang sama. Seorang responden menyatakan mendukung penuh tindakan suaminya. Ia yang dengan sabar menunggu suaminya keluar dari penjara akan mendapatkan pahala juga (Rufaedah, Sarwono, Putra, 2017). Keyakinannya menggambarkan kesiapan untuk melakukan jihad dengan dirinya sendiri, yang tidak ia miliki hanyalah izin dari suami. Seandainya suami memerintahkan untuk berjihad, berdasarkan observasi kami dan ekspresi yang ia tunjukkan, maka sangat besar kemungkinan responden itu bersedia.
Mengajak anak dalam kematian syahid, dalam keyakinan kelompok ekstremis kekerasan adalah tindakan mulia. Hal itu akan mengantarkan anak meraih surga. Akhir tahun 2016, Islam dan Fatimah, dua gadis berusia tujuh dan sembilan tahun diyakinkan ayah dan ibunya untuk meledakkan diri di sebuah kantor polisi di Damaskus, Syria. Pandangan umum mengatakan itu tindakan keterlaluan. Namun dalam pandangan jihadis merupakan keberhasilan orangtua. Kasus-kasus serupa juga terjadi di berbagai tempat lainnya, dimana anak dijadikan martyr. Bahkan sejak kecil anak sudah dipersiapkan melalui latihan fisik dan militer. Tidak terlalu sulit menemukan hal itu di dunia internet. Cukup mengetik kata kunci ‘anak-anak latihan militer’, anda akan menemukan beberapa video latihan militer ISIS untuk anak-anak.
Alasan yang lebih kontemporer untuk mengajak anak melakukan jihad istishadi (bom bunuh diri) adalah fitnah (kerusakan) dunia yang semakin banyak. Fitnah yang dimaksud adalah kesyirikan, kemurtadan, maksiat. Dalam pandangan jihadis, mengikuti sistem buatan manusia seperti demokrasi, pemilihan umum, presidensial, dan lain-lain dapat menyebabkan kemurtadan. Oleh sebab itu, anak-anak harus dihindarkan dari kerusakan dunia. Membiarkan anak tumbuh dalam kehidupan seperti itu, bagi mujahid justru akan membawa anak pada jurang kekafiran. Lebih baik mereka mati syahid bersama. Jadi, bagi perempuan jihadis, membawa serta anak meledakkan diri adalah ekspresi melindungi dari seorang ibu, bukan sebaliknya.
Pertanyaan kedua adalah, bagaimana seorang perempuan teradikalisasi? Dari hasil penelitian saya dan tim DASPR, setidaknya ada lima jalur radikalisasi perempuan: 1. Keluarga; 2. Pondok pesantren; 3. Suami; 4. Organisasi; 5. Teman. Individu yang berasal dari keluarga pendukung jihadis cenderung memiliki pandangan pro jihadis pula. Pondok pesantren juga menjadi tempat radikalisme yang sangat efektif karena individu langsung diarahkan pada ideologi jihadis.
Responden penelitian kami yang pernah belajar di pondok pesantren jihadis sudah tahu sejak awal bagaimana kehidupan seorang mujahid - karena sejak awal berada pada lingkaran jihadis, umumnya mereka menikah dengan kelompok jihadis baik melalui teman atau perantara ustad. Mereka juga mengetahui risiko menjadi istri seorang mujahid, misalnya sering ditinggal pergi untuk keperluan i’dad (pelatihan fisik), tadrib (pelatihan militer), dakwah, bahkan melakukan aksi teror.
Perempuan yang teradikalisasi melalui suami umumnya berlatar belakang lebih beragam. Ada yang berasal dari kelompok Islam moderat, ada pula yang berlatar belakang pendidikan umum. Mereka baru mengenal ideologi jihadis di dalam pernikahan, yang menikah dengan kelompok jihadis tentu lebih rentan terpengaruh faham ekstremisme kekerasan.
Jalur organisasi juga menjadi media efektif selain pondok pesantren. Umumnya mereka memiliki kurikulum dan kegiatan keputrian. Di sanalah perempuan mendapat pelajaran ideologi sampai dengan praktik jihad. Jalur terakhir adalah pertemanan, bisa diperoleh dari sekolah, universitas, pertemanan di kampung, pengajian, komunitas.
Referensi:
Alexander, A. (2016). Cruel intentions: Female jihadist in America. Program on Extremism The George Washington University: Amerika Serikat.
Auliani, P. A. (2013, December 30). Bom Bunuh Diri di Stasiun Rusia Tewaskan 16 Orang. Kompas.com. Diambil dari https://regional.kompas.com/read/2013/12/30/0133516/Bom.Bunuh.Diri.di.Stasiun.Rusia.Tewaskan.16.Orang?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd.
Penulis : Palupi Annisa Auliani
Choirul. (2010, April 06). Pelaku Bom Bunuh Diri di Moskow Seorang Guru. Tempo.co. Diambil dari https://dunia.tempo.co/read/238232/pelaku-bom-bunuh-diri-di-moskow-seorang-guru/full&view=ok
Robinson, J. (2016, December 21). A last kiss for mama: Jihadi parents bid young daughters goodbye... before one walks into a Damascus police station and is blown up by remote detonator. Dailymail.co.uk. Diambil dari https://www.dailymail.co.uk/news/article-4054312/Jihadi-parents-teach-young-daughters-suicide-bombers-kiss-goodbye-startling-footage-shortly-seven-year-old-walked-Damascus-police-station-blown-remote-detonator.html.
Rufaedah, A., Sarwono, S.W., & Idhamsyah, E. P. (2017). Pemaknaan istri narapidana teror terhadap tindakan suami. Jurnal Psikologi Ulayat. 4(1), 11 – 28.
Sundberg, A. & Huor, J. (2016). The terrorist’s wife: My 16 years with militant Islamists (terj. Deborah Bragan-Turner). Swedia: Norstedts.
Apakah langkah advokasi dan treatment medis sudah cukup untuk meningkatkan layanan kesehatan mental di Indonesia?
- Details
- Written by Ainul Mardiah
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 10 Mei 2019
Apakah langkah advokasi dan treatment medis
sudah cukup untuk meningkatkan layanan kesehatan mental di Indonesia?
Oleh
Ainul Mardiah
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana Jakarta
Setelah ratifikasi dari undang-undang kesehatan mental nomor 18 tahun 2014, banyak peningkatan dalam hal layanan kesehatan mental, seperti: pengobatan fisik dan kondisi psikologis yang dibiayai oleh asuransi, gerakan bebas pasung, dan integrasi program kesehatan mental ke perawatan kesehatan primer (primary health care) (Rencana strategis kementerian kesehatan, 2015). Tulisan singkat ini akan mendiskusikan tentang efektivitas undang-undang dan potensi pengobatan medis dalam menyediakan layanan kesehatan mental (kesmen), keterbatasan dari kedua pendekatan ini dan saran untuk mengurangi angka kesehatan mental.
Langkah legislasi yang diambil oleh pemerintah dalam merevisi undang-undang kesmen bedampak positif dengan bertambahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai gangguan kesehatan mental dan berkurangnya stigma sosial di masyarakat, terbukti dari menurunnya angka pemasungan terhadap orang dengan gangguan kejiwaan (Puteh, Marhoenis & Minas, 2010), meningkatnya kelompok dukungan sosial yang menjadi wadah sosial support untuk pasien-pasien dan care giver, serta menjadi sarana edukasi untuk masyarakat, seperti: Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) dan Kelompok Peduli Bipolar Indonesia. Terakhir, meningkatnya partisipasi ekonomi pasien yang sudah berstatus remisi, misalnya memiliki bisnis atau usaha sendiri. Terlepas dari dampak positif yang ditimbulkan dari langkah advokasi yang diambil, sampai sekarang tidak ada sumber data yang valid dan reliabel yang dapat menyebutkan secara pasti berapa banyak individu yang mendapatkan dampak positif dari program tersebut, seperti berapa orang pasien remisi yang mampu untuk reintegrasi ke masyarakat, berapa jumlah pasien yang mampu berdikari. Kesuksesan dari langkah legislasi yang lain adalah mulai terintegrasinya layanan kesmen ke layanan kesehatan dasar.
Langkah integrasi layanan kesehatan mental ke dalam pusat layanan kesehatan dasar (primary care) yakni memberikan layanan psikologis dimulai dari level puskesmas. Konsep yang hampir sama dengan kesehatan fisik, dimana seorang individu dapat berkonsultasi mengenai kondisi psikologis ke tenaga kesehatan sebelum mendapat rujukan ke layanan berikutnya. Dampak positif dari program ini yaitu meningkatkan akses layanan kesehatan mental dikarenakan tempatnya yang mudah dijangkau oleh masyarakat, berkurangnya sentralisasi tenaga professional di kota-kota besar dengan tersebarnya professional psikologi di berbagai daerah-daerah di Indonesia, kerjasama lintas profesi seperti dokter, perawat, psikolog, sehingga proses pemberian layanan lebih terintegrasi dan angka gangguan kesmen dapat menurun. Namun, layanan kesehatan terintegrasi ini masih memiliki kelemahan yang perlu diperbaiki dikarenakan masih berfokus pada pendekatan model medis dimana pengobatan yang diberikan berfokus pada pengurangan simptom-simptom psikiatris. Sementara, aspek penting lainnya seperti reintegrasi ke keluarga dan masyarakat belum menjadi prioritas. Lebih lanjut, menurut Diatri dan Maramis (2016) program kesehatan mental belum menjadi prioritas nasional dan indikator dari perkembangan kesehatan yang pada akhirnya berdampak pada infrastruktur pendanaan program, dan persediaan obat-obatan psikiatris.
Merajut layanan kesehatan mental bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan care giver yang menderita ganguan kesehatan mental, akan tetapi merupakan tanggung jawab bersama (pemerintah, keluarga pasien, dan masyarakat) yang harus disinergikan tugas dan tanggung jawabnya karena gangguan mental disebabkan oleh multi-faktor seperti: faktor biologis, psikologis, sosial, dan budaya. Hal ini terbukti dari hasil riset yang dilakukan oleh seorang psikiater di Bali pada tahun 2011 menunjukkan bahwa dengan mengkombinasikan metode pengobatan psikiatris modern dan pengobatan dengan nilai-nilai budaya Bali dalam proses treatment terhadap pasien dengan gangguan psikiatris dapat menyembuhkan pasien yang sebelumnya sulit untuk disembuhkan (Suryani, Lesmana, & Tiliopoulos, 2011). Oleh karenanya, perlu masing-masing komponen perlu bersinergi untuk perbaikan layanan kesehatan mental kedepannya.
Referensi
Diatri,H., & Maramis, A., (2016). Indonesia. In Dinesh Bhugra, Samson Tse, Roger Ng, Nori Takei (Eds.) Routledge Handbook of Psychiatry in Asia. Routledge, New York, 2016, pp 209 – 232.
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. (2015). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Suryani, K.L., Lesmana, J.B.C., & Tiliopoulos, N. (2011). Treating the untreated: applying a community-based, culturally sensitive psychiatric intervention to confined and physically restrained mentally ill individuals in Bali, Indonesia. Eur Arc Psychiaty cin Neurosci, 261(2), 140-144.
Puteh, I., Marthoenis, M., & Minas, H. (2011). Aceh free pasung: releasing the mentally ill from physical restrain. International Journal of Mental Health Systems, 5(10).