Beranda
Rethinking Jihad: Feminin not Maskulin
- Details
- Written by Nia Widya Siregar
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 18 September 2019
Rethinking Jihad: Feminin not Maskulin
Oleh:
Nia Widya Siregar
Division for Applied Social Psychology Research
Imam besar Masjid Istiqlal, Nasarudin Umar mengatakan bahwa arti jihad ialah upaya yang dikerahkan untuk mencapai tujuan Islam. Upaya-upaya itu bisa dalam bentuk fisik (jihad), pemikiran (ijtihad), dan semangat batin (mujahadah). Jika ada yang mengatasnamakan jihad tetapi tidak melibatkan dimensi ijtihad dan mujahadah, maka sesungguhnya belum bisa disebut jihad. Dengan demikian, jihad tidak harus maskulin, kasar, keras, dan memegang senjata. Seorang tukang sapu jalanan memegang sapu, seorang penulis memegang pena, seorang petani memegang cangkul dan seorang nelayan memegang jala. Sesungguhnya mereka juga berjihad dan alat-alat yang ada ditangannya merupakan peralatan jihad. Itulah yang dimaksud jihad feminin. (Ma’arif Asry, 2018).
Pintu-pintu Jihad Feminin
Rovi’i (2018) dalam bukunya yang berjudul “Kalau Jihad Gak Usah Jahat” memaparkan contoh-contoh jihad feminin yang bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain sebagai berikut:
Pertama adalah Jihad Ilmu; Menuntut ilmu dan mengamalkannya juga merupakan bentuk dari jihad yang bisa dilakukan karena memiliki manfaat yang sangat besar baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Setiap dari kita pasti memiliki kesukaan tertentu terhadap ilmu pengetahuan yang berbeda-beda, dengan sungguh-sungguh mempelajari dan mengamalkannya maka kita sudah termasuk melakukan jihad dalam melawan kebodohan serta membawa umat manusia menjadi kaum yang terdidik.
Kedua, Jihad Harta; Memberi tanpa diminta dan menyisihkannya sedikit pada orang yang benar-benar membutuhkan sejatinya merupakan sebuah jihad yang sangat bermanfaat terlebih jika kita melakukannya secara rutin, sehingga dapat membantu orang lain dalam mengatasi kesusahan.
Ketiga, Jihad Ekonomi; Berbisnis dan mencari rezeki dengan niat dan tujuan yang baik serta semangat dalam menjalankannya merupakan sebuah jihad yang penting bagi umat manusia hari ini. Ketika kita bekerja dengan tujuan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga kita atau bahkan membuka peluang usaha untuk membantu masyarakat, maka kita sudah berjihad dengan cara yang baik dan menguntungkan.
Keempat, Jihad Waktu; Menyisihkan waktu untuk melakukan hal-hal yang baik juga merupakan bagian dari jihad. Sebab sejatinya, memanfaatkan waktu yang berharga sebaik mungkin dan tidak menyia-nyiakannya dengan melakukan hal yang buruk merupakan sebuah cara sederhana untuk berjihad.
Kelima, Jihad Kreativitas; Menghasilkan kreativitas yang bermanfaat bagi masyarakat luas juga merupakan suatu jihad, dengan mengaktualisasikan akal yang dimiliki kita bisa mempermudah kehidupan banyak orang baik dalam hal beribadah maupun menjalankan kehidupan duniawi. Mengembangkan teknologi demi tujuan yang baik sehingga mempermudah masyarakat akan menjadi pilihan yang keren untuk berjihad.
Keenam, Jihad dalam Keluarga; Peranan setiap anggota keluarga memiliki jihadnya masing-masing. Menjalankan tugas menjadi seorang ayah yang menafkahi keluarga, Ibu yang mengurus keperluan rumah tangga atau anak yang menghormati kedua orangtuanya merupakan bentuk jihad yang paling mudah untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menjalankan peran dan tanggung jawab yang semestinya maka kita sudah berupaya untuk melakukan jihad sederhana untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan warohmah.
Ketujuh, Jihad dalam Teknologi Informasi; Memanfaatkan teknologi dan informasi yang benar untuk melakukan kebaikan juga turut menyumbang peran dalam melakukan jihad feminin. Menggunakan media sosial dengan membagikan hal yang berguna, membentuk grup kajian online untuk berdiskusi dan bertukar pendapat, atau membuat blog dakwah untuk menebarkan kedamaian merupakan contoh-contoh konkrit yang dapat dilakukan jika ingin melakukan jihad melalui pemanfaatan media teknologi dan informasi.
Kedelapan, Jihad untuk Lingkungan; Menjaga kebersihan lingkungan dan melestarikan alam dengan tidak membuang sampah sembarangan merupakan sebuah jihad kesadaran yang semestinya dilakukan oleh setiap dari kita. Dengan berhenti mengeksploitasi alam secara terus menerus dan mulai peduli pada masa depan lingkungan maka kita sudah memulai perilaku jihad yang penting untuk menghargai setiap ciptaan-Nya.
Terakhir dan menjadi titik kunci paling penting dalam melakukan jihad adalah Jihad Damai; Menghindari konflik yang tidak perlu dan mengambil sikap untuk menjadi juru damai atau jika mampu untuk menjadi juru penengah dari segala macam konflik yang terjadi merupakan jihad paling besar yang begitu terpuji untuk dilakukan pada hari ini. Daripada ikut memanaskan konflik-konflik yang ada, lebih baik kita menjadi juru penengah untuk membawa pesan damai demi menciptakan hidup yang aman dan bahagia.
Rethinking Jihad
Diharapkan bahwa akan ada upaya serius oleh kita para akademisi Muslim khususnya untuk rethinking jihad atau memikirkan kembali makna jihad hari ini. Sebab, masih banyak yang bisa dilakukan untuk melaksanakan upaya jihad dalam situasi saat ini. Berdasarkan artikel jurnal yang dirilis oleh International Centre for Political Violence and Terrorism Research berjudul ‘Rethinking Classical Jihad Ideas’ yang ditulis oleh Muhammad Hanif Hasan (2013), bahwa sebagai langkah ke depan untuk melakukan proses Rethinking Jihad yang berfokus kepada para akademisi Muslim, disarankan agar melakukan pendekatan multidisiplin ilmu untuk studi jihad di lembaga pembelajaran Muslim tradisional seperti Madrasah dan pesantren, serta di universitas. Hal ini secara signifikan akan mempengaruhi pemikiran masyarakat umum sejak dini sehingga kedepannya pembaruan makna jihad dapat secara efektif berjalan di masyarakat.
Saat ini, proses ini hanya ditemukan di universitas Barat dalam studi Islam atau terkait disiplin ilmu seperti hubungan internasional. Institusi pembelajaran Muslim tradisional masih mengandalkan karya klasik yang menitikberatkan makna jihad pada perjuangan umat Islam dalam perang dan memegang senjata. Maka perspektif yang berbeda dalam mempelajari makna jihad harus segera dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, bukan hanya kalangan akademisi saja yang harus mengambil Inisiatif terhadap ide ini, namun harus dilaksanakan oleh umat Islam sendiri untuk menghentikan persepsi jihad klasik. Jihad hari ini harus dilakukan secara feminin seperti cara-cara diatas daripada melakukan jihad maskulin yang bertema kasar, keras dan justru memicu perpecahan.
Referensi:
Asry, Darul Ma’arif. (2018). Rethinking jihad dalam orang muda bicara: Keragaman, intoleransi dan nir-kekerasan. Ambon: Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) IAIN.
Hasan, Muhammad Hanif. (2013). Rethinking classical jihad ideas. International Centre for Political Violence and Terrorism Research, 5 (3), 6-7.
Rovi'i. (2018). Kalau jihad gak usah jahat. Tangerang Selatan: Yayasan Islam Cinta Indonesia.
Masjid dan Bom Bunuh Diri
- Details
- Written by Nia Widya Siregar
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 17 September 2019
Masjid dan Bom Bunuh Diri
Oleh
Nia Widya Siregar
Division for Applied Social Psychology Research (DASPR)
Beberapa tahun belakangan ini masyarakat Indonesia sedang menghadapi kondisi darurat karena adanya penyebaran paham ekstrim. Paham ekstrim yang dimaksud disini adalah pemikiran yang berlebihan atas suatu aliran, sehingga menyebabkan penganutnya dapat bersikap berbeda dengan masyarakat umum yang hanya menganut nilai Pancasila, yang bahkan melakukan pemaksaan terhadap anggota masyarakat lainnya untuk turut mengikuti aliran atau paham yang dianut. Paham tersebut bila dibiarkan berkembang akan mengakibatkan lahirnya penganut-penganut paham ekstrim yang mau berbuat apapun untuk mempertahankan atau menyebarkan aliran pemikiran yang dianutnya. Konsep pemikiran ‘ekstrim kanan’ sendiri merupakan satu kelanjutan dari rasa semangat beragama yang sangat kuat, yang ditindaklanjuti dengan berbagai relasi sosial dan politik. Penganut aliran pemikiran ini memandang agama menjadi sumber motivasi pribadi, kelompok, bangsa dan negara. Kelompok yang hendak menerapkan ajaran agama secara paripurna sebagaimana diperintahkan oleh agama dipandang sebagai suatu nilai positif (Sumardiana, 2017)
Pengertian Bom Bunuh Diri
Bom bunuh diri atau juga dikenal sebagai bom manusia (human bombing) menurut Takfuri (2002) adalah aktivitas seorang (mujahid) mengisi tas atau mobilnya dengan bahan peledak, atau melilitkan bahan peledak pada tubuhnya, kemudian menyerang musuh di tempat mereka berkumpul hingga orang tersebut kemungkinan besar ikut terbunuh. Dalam bahasa arab, bom bunuh diri disebut intihaar, yang berasal dari kata kerja nahara yang berarti menyembelih (dzabaha) dan membunuh (qatala). Artinya seseorang menyembelih dan membunuh dirinya sendiri. Adapun menurut Al-Qadah (2002), bom bunuh diri adalah aktivitas seorang mujahid yang melemparkan dirinya pada kematian untuk melaksanakan tugas berat, dengan kemungkinan besar tidak selamat, akan tetapi dapat memberi manfaat besar bagi kaum muslimin. Bom bunuh diri yaitu kegiatan bunuh diri yang dilatarbelakangi keyakinan oleh pelaku bahwa perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk perjuangan untuk memperjuangkan kebenaran.
Data Kasus Bom Bunuh Diri
Dalam sebuah studi yang pernah dilakukan pada beberapa dekade yang lalu, telah terjadi peningkatan eksponensial dalam frekuensi bom bunuh diri. Misalnya, ketika 142 bom bunuh diri dilakukan di seluruh dunia antara tahun 1983 dan 2000 (Pape, 2005), 312 serangan bunuh diri dilakukan antara tahun 2000 dan 2003 (Atran, 2003). Studi juga menemukan sejak A.S. invasi ke Irak, jumlah bom bunuh diri telah meningkat lebih lanjut, dengan lebih dari 500 dilakukan pada tahun 2006. Hal ini dimotivasi antara perpaduan agama dan tujuan politik (kelompok agama) yang bertanggung jawab atas lebih dari 70% bom bunuh diri yang dilakukan sejak tahun 2000 (Atran, 2006). Telah banyak perdebatan ilmiah yang luas tentang hubungan antara organisasi politik (kelompok agama), bom bunuh diri, dan agama, dengan perhatian khusus diberikan kepada Islam (Dawkins, 2003; Harris, 2005).
Kasus Bom Bunuh Diri di Indonesia
Setidaknya telah terjadi 10 kasus bom bunuh diri di Indonesia yang dimulai pada kasus pertama bom bali di tahun 2002 (202 korban meninggal dunia). Kasus kedua, bom JW Marriot tahun 2003 (14 orang meninggal termasuk pelaku). Kasus ketiga, bom di Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004 (9 korban jiwa dan 180 orang luka-luka). Kasus keempat Bom Bali II tahun 2005 (23 orang tewas termasuk pelaku). Kasus keenam bom JW Marriot dan Ritz Carlton tahun 2009 (9 orang meninggal dan 53 luka-luka). Kasus ketujuh, bom bunuh diri di masjid Mapolresta Cirebon tahun 2011 (25 orang luka-luka termasuk Kapolresta). Kasus ke delapan, bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta tahun 2016 (pelaku tewas atas nama Nur Rohman dan seorang anggota polisi terluka). Kasus kesembilan adalah dua aksi bom bunuh diri di sekitar Terminal Kampung Melayu pada tahun 2017 (pelaku dan 3 anggota polisi meninggal 11 orang luka-luka termasuk lima warga sipil). Kasus terakhir adalah bom bunuh diri yang terjadi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur pada tahun 2018 (17 korban jiwa, 4 pelaku tewas, 1 pelaku luka-luka). (Artikel Kompas, 2018)
Studi terkait Masjid dan Bom Bunuh Diri
Dalam studi yang dilakukan oleh Ginges et al, 2009) dengan judul ‘Religion and Support for Suicide Attack’, ada 4 studi yang mereka lakukan terkait hal tersebut . Studi 1 dan 2 dilakukan di Palestina pada tahun 1999 dan 2006. Studi ke-3 di lakukan pada pemukim Israel dan studi ke-4 dilakukan di 6 negara berdasarkan agama mayoritas (Muslim Indonesia, Katolik Meksiko, Protestan British, Ortodoks Rusia di Rusia, Yahudi Israel, dan Hindu India). Studi-studi ini membuktikan bahwa ada hubungan secara khusus yang terjalin antara pengaruh masjid dan tindakan seseorang untuk melakukan bom bunuh diri.
Dalam Studi 1 dan 2, frekuensi umat Muslim Palestina menghadiri di masjid (tetapi bukan frekuensi ibadah mereka) secara positif memprediksi dukungan secara spesifik dalam melakukan tindakan ekstrim seperti bom bunuh diri. Dalam Studi 3, bahwa tingkat kehadiran di sinagog (tetapi bukan terkait ibadah kepada Tuhan) meningkatkan kemungkinan pemukim Yahudi Israel percaya bahwa bom bunuh diri yang dilakukan terhadap Palestina adalah "sangat heroik." Dan terakhir, studi 4 menunjukkan, dengan mengambil sampel secara multinasional dan multireligius, bahwa tindakan ekstrim berpengaruh pada frekuensi kehadiran di layanan keagamaan yang terorganisir (tetapi bukan frekuensi beribadah). (Ginges et al., 2009)
Di Indonesia sendiri memang belum ada studi spesifik yang dilakukan untuk melihat hubungan antara masjid terkait pengaruh seseorang untuk melakukan tindakan bom bunuh diri. Namun, hasil riset UIN Jakarta pada tahun 2009, ditemukan data bahwa dalam menyebarkan paham ekstrim kanan biasanya para pelaku menyasar forum atau media yang dapat mempengaruhi pola pikir secara langsung, sehingga penyebarannya dapat lebih efektif dan langsung mengena. Beberapa forum tersebut diantaranya adalah :
1) Institusi Pendidikan: target yang paling rentan terhadap infiltrasi berbagai gerakan radikalisme agama, mengingat peserta didik merupakan sasaran yang sangat empuk dari aspek sosial psikologis
2) Lembaga Keagamaan : terutama tempat ibadah, khususnya masjid dan musholla yang berada di lingkungan kampus /pemukiman, mengingat sifat tempat ibadah yang terbuka untuk umum dan biasanya sifat managemennya. (Sumardiana, 2017)
Dari beberapa data tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan khusus antara masjid dengan tindakan ekstrim untuk seseorang melakukan bom bunuh diri. Kita asumsikan bahwa orang yang sering datang ke masjid selain melakukan ibadah seperti berkumpul dalam kelompok keagamaan dan mendengarkan ceramah kemungkinan akan terprovokasi secara terorganisir untuk melakukan berbagai tindakan ekstrim seperti bom bunuh diri. Hal ini didasarkan pula pada pemahaman ideologi seseorang terkait kecintaanya pada agamanya, sehingga rela melakukan apapun demi membela kesucian agamanya tersebut (mati syahid). Namun, masih perlu dilakukan studi lanjut yang lebih mendalam untuk menelusuri hubungan antara masjid dan tindakan ekstrim bom bunuh diri yang dilakukan seseorang demi membela agamanya.
Referensi:
Al-Qadah, M. T. (2002). Aksi bom syahid dalam Pandangan hukum islam (al-Mughamarat bi an-Nafsi fi al-Qital wa hukmuha fi al-Islam). Bandung: Pustaka Umat.
Atran, S. (2003). Genesis of suicide terrorism. Science , 299, 1534–1539.
Atran, S. (2006). The moral logic and growth of suicide terrorism. The Washington Quarterly, 29, 127–147.
Azanella, L. A. (2018, Mei 14) . Inilah Deretan Aksi Bom Bunuh Diri di Indonesia. https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/13533731/inilah-deretan-aksi-bom-bunuh-diri-di-indonesia?page=all.
Dawkins, R. (2003). A devil’s chaplain: Reflections on hope, lies, science, and love . Boston: Houghton Mifflin.
Harris, S. (2005). The end of faith: Religion, terror and the future of reason. New York: W.W. Norton
Ginges, J., Hansen, I., & Norenzayan, A. (2009). Religions and Suicide for Attack. Sage Journal: Association for Psychological Science, 2(2), 224-229.
Takfuri, N. H. (2002). Aksi bunuh diri atau mati syahid (al-Amaliyat al-Istisyhidiyah fi al-Mizan al-Fiqhi). Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Pape, R. A. (2005). Dying to win: The strategic logic of suicide terrorism. New York: Random House.
Sumardianna, B. (2017). Efektivitas penanggulangan ancaman penyebaran paham ekstrim kanan yang memicu terorisme oleh POLRI dan BNPT RI. Jurnal Universitas Negeri Semarang, 3(1), 109-121.
Thobroni, A. (2017). Bom bunuh diri dan euthanasia dalam tinjauan hukum islam. Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, 1(1), 136-137.
Percaya Diri dalam Keterbatasan
- Details
- Written by Nadira Ayu Kusumastuti dan Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 16 Agustus 2019
Percaya Diri dalam Keterbatasan
Oleh
Nadira Ayu Kusumastuti dan Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
Program Studi Psikologi, Fakultas Humaniora dan Bisnis Universitas Pembangunan Jaya
Menjadi entrepreneur tidaklah mengenal etnis atau ras, status sosial, latar belakang pendidikan maupun batasan umur karena mulai dari remaja, dewasa sampai orang tua bisa menjadi seorang entrepreneur. Jadi, entrepreneur tidak mengenal keterbatasan yang dimilki seseorang. Secara sederhana arti dari entrepreneur adalah orang yang berjiwa berani mengambil risiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil risiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti (Anwar, 2018).
Menjadi seorang entrepreneur bukanlah hal yang mudah, semuanya butuh perjuangan yang besar dan penuh lika-liku. Kegagalan juga menjadi teman setia dalam perjalanan menuju seorang entrepreneur. Tetapi kalau kita percaya diri akan kemampuan kita, seiring berjalannya waktu dan segala usaha yang sudah kita lakukan, kita akan semakin dekat dengan kesuksesan.
Individu yang sudah pernah membangun bisnis kecil-kecilan dan sudah pernah menjadi bagian dalam organiasasi biasanya akan lebih mudah membangun bisnis karena sudah mempunyai pengalaman (Baron, Baum & Frese, 2007). Namun, hal itu bukan berarti individu yang tidak memiliki pengalaman tidak bisa menjadi seorang entrepreneur karena Mustaqim (dalam Rahayu & Sari, 2019) menyatakan bahwa hal terpenting dalam menjadi entrepreneur adalah kepercayaan diri.
Kepercayaan diri merupakan keyakinan bahwa individu mampu untuk melakukan sesuatu. Hal ini berkembang secara terus menerus seiring meningkatnya kemampuan serta bertambahnya pengalaman-pengalaman yang berkaitan (Bandura & Schunk, dalam Rahayu & Sari, 2019). Indah dan Soerjoatmodjo (2018) menjelaskan bahwa kepercayaan diri sangat penting dalam dunia kewirausahaan karena memberikan kekuatan psikologis, utamanya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam pengembangan usahanya.
Yakin akan kemampuan diri sendiri ini mencakup terhadap pencapaian keinginan dan harapannya. Percaya diri sangat diperlukan oleh setiap orang, begitu pula dalam dunia bisnis. Semakin besar rasa percaya diri, semakin bagus pula tindakan yang dihasilkan. Sifat percaya diri akan membantu para entrepreneur untuk tidak takut gagal, tidak mudah putus asa dan akan selalu merasa mampu serta tidak ragu-ragu dalam memecahkan masalah. Percaya diri menunjukan bahwa seseorang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, kritis, emosi lebih stabil dan tidak mudah tersinggung.
Hal inilah yang dialami oleh Ikhsan Sirait. Supriyanto (2018) menjelaskan bahwa Ikhsan Sirait adalah seorang bapak 57 tahun asal Malaysia, tubuh pendek alias kerdil seringkali membuat seseorang dipandang sebelah mata. Ikhsan memulai usahanya sebagai penjual makanan kaki lima sejak 30 tahun lalu. Saat itu dia berjualan burger seharga RM1 atau sekitar 3.000 rupiah di sebuah pasar malam. Setelah beberapa lama, dia beralih menjual kebab dengan nama ‘Wak Ikhsan Kebab’ karena lebih efisien dan memberinya pendapatan lebih banyak. Kedai kebab miliknya sudah tersebar di area sekitar universitas dan beberapa tempat umum.
Dari cerita tersebut, dapat dikatakan bahwa menjadi penyandang disabilitas atau orang dalam keterbatasan memang tidak mudah. Banyak hal yang tidak bisa diterima di dalam lingkungan. Mulai dari hal pertemanan hingga pekerjaan karena adanya perbedaan secara fisik. Namun, keterbatasan tidak dapat memungkiri seseorang untuk mempunyai tekad yang besar agar bisa menghasilkan uang secara mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain. Bagi Ikhsan, tubuhnya yang kecil justru membuat orang-orang mudah mengenalinya. Sehari-hari, pria yang biasa dipanggil Wak ini dibantu oleh dua istri dan kelima orang anaknya. Pendapatan mereka tidak tanggung-tanggung, mencapai RM8 ribu atau sekitar Rp 27.000.000 per hari. Saking besarnya usaha Ikhsan, dia memiliki lima food trucks yang penghasilannya mencapai RM20 ribu atau sekitar Rp 68.000.000 per bulan.
Keterbatasan tidak dapat menghalangi siapapun untuk berkreasi atas hal yang mereka sukai. Keterbatasan juga tidak dapat menghambat kita dalam berusaha menjadi seorang entrepreneur yang sukses, karena semua orang berhak menjadi seorang entrepreneur. Kepercayaan diri juga menjadi salah satu hal penting untuk menjadi seorang entrepreneur, karena hal apapun yang dilakukan dengan keyakinan diri, akan menghasilkan hasil yang baik juga.
Referensi:
Anwar, S. (2018). Model Kewirausahaan Mahasiswa IKIP PGRI Kalimantan Timur Pada Program Studi Pendidikan Ekonomi Tahun 2017. Cendekia: Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, 1(1), 206-229. Diakses dari http://ojs2.ikippgrikaltim.ac.id/index.php/Cendekia/article/view/21
Baron, R. Baum, J. R. & Frese, M. (2007). The Psychology of Entrepreneurship. Mehwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers.
Indah, H. & Soerjoatmodjo, G.W.L. (2018, 1 Oktober). Nilai-nilai seorang entrepreneur. Info Bintaro http://www.infobintaro.com/nilai-nilai-seorang-entrepreneur/
Rahayu, M., & Sari, B. (2019). Pengaruh pendidikan kewirausahaan, kebutuhan akan prestasi dan efikasi diri terhadap intensi berwirausaha siswa SMA Muhammadiyah I Jakarta. Ikra-Ith Ekonomika, 2(1), 22-31. Diakses dari https://www.neliti.com/publications/268009/pengaruh-pendidikan-kewirausahaan-kebutuhan-akan-prestasi-dan-efikasi-diri-terhadapintensiberwirausaha
Supriyanto, Y. (2018, Desember 23). Memiliki keterbatasan fisik, pria Malaysia sukses jadi pengusaha kebab. Diakses dari https://netz.id/news/2018/12/03/00316/1008301118/memiliki-keterbatasan-fisik-pria-malaysia-sukses-jadi-pengusaha-kebab
Prinsip Ulayat dari Kepemimpinan
- Details
- Written by Eko A Meinarno
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 15 Agustus 2019
Prinsip Ulayat dari Kepemimpinan
Oleh
Eko A Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pengantar
Pada semester ini saya mengajar mata kuliah yang bertemakan dinamika kelompok. Sebuah mata kuliah yang jika dibaca perlahan akan terasa sekali rasa psikologi sosialnya, hanya saja fokus pada kelompok. Beberapa contoh materi yang disajikan dalam kuliah ini adalah pengaruh sosial, konflik, hubungan antarkelompok dan kepemimpinan. Hal yang menarik adalah materi kepemimpinan. Pada materi kepemimpinan ini bahasan psikologi arus utama sangat jelas. Konsep-konsep yang diajukan tentu para ilmuwan psikologi telah tahu semua. Beberapa diantaranya adalah kepemimpinan yang efektif, proses kepemimpinan berupa reciprokal, transaksional, transformasional, kooperatif, dan adaptif (Forsyth, 2010). Semua temuan yang tertulis dalam buku juga baik, dan sangat terdukung oleh data. Namun menimbulkan pertanyaan, apakah ada kontribusi khas Indonesia dalam masalah kepemimpinan yang “diakui” dunia?
Pandangan ini sejalan dengan ide Meinarno (2018) bahwa bahwa konteks masyarakat dari psikologi sosial di Indonesia adalah masyarakat Indonesia, bukan masyarakat Barat. Bagi masyarakat Indonesia tema kepemimpinan disinggung dalam legenda dan bahkan keyakinan (agama). Salah satu legenda yang hidup di masyarakat Indonesia dan mempunyai pesan moral kepemimpinan adalah Ramayana dan Mahabharata. Keduanya adalah legenda dari India yang diadopsi dan adaptasi oleh masyarakat Indonesia khususnya etnis Jawa.
Ide Kebudayaan Nasional: Hasta Brata
Kedua legenda itu menceritakan betapa karakter dari individu yang menjadi pemimpin akan berdampak pada kehidupan bangsanya. Dalam Ramayana, akibat perilaku Rahwana terjadilah peperangan dengan bangsa lain yang dipimpin Rama. Pada Mahabharata, perilaku Sengkuni dan Duryudana membawa kelompok Kurawa berperang dengan Pandawa. Dengan demikian kepemimpinan kelompoklah yang menentukan terjadinya perang atau tidak.
Khusus pada legenda Ramayana (setidaknya dalam versai Jawa), ada pesan khusus untuk membangun kepemimpinan. Pesan dari Rama kepada Wibisono agar dapat memimpin bangsa Alengka pascaperang. Pesan itu yang kemudian dikenal sebagai Hasta brata. Hasta brata berisi arahan prinsip-prinsip kepemimpinan yang dibutuhkan dalam memimpin dan sukses. Hal ini wajar, karena hasta brata ini dipaparkan sebagai pesan dari pemimpin yang suskes (Rama) kepada calon pemimpin baru Alengka yakni Wibisono. Kedelapan prinsip itu merujuk pada karakter alam (Purwadi, 2007 dalam Hamim, 2014; Yasasusastra, 2011 dalam Hudaya, & Nugroho, 2013). Bumi. Sebagai tempat kehidupan, bumi menyediakan semua kebutuhan dasar makhluk hidup.
- Bumi merupakan tempat yang kokoh dan senantiasa memberi pada semua makhluk. Seperti bumi, pemimpin harus mampu untuk memberi dan kokoh.
- Matahari. Lewat cahaya matahari makhluk di bumi mampu hidup dan beraktivitas. Pemimpin memberi energi berupa visi, tujuan, dan alasan untuk setiap tindak keputusan.
- Api. Api memiliki hukum yang jelas, ia membakar apa saja yang menyentuhnya. Walaupun bersifat merusak, ia merupakan unsur alam paling adil di antara yang lain. Sifat api yang spontan mencerminkan keberanian dan keyakinan kuat.
- Samudra. Hilir untuk semua sungai, padahal tidak semua sungai membawa air yang bersih. Perwujudan prinsip ini adalah sosok yang membuka mata dan pikiran secara luas. Menerima pendapat dari sekitar sebagai tanda respek seorang pemimpin pada orang lain. Pemimpin harus mempunyai sifat pemaaf sebagaimana samudra raya yang siap menampung apa saja yang hanyut dari daratan. Perwujudan prinsip ini adalah dukungan pluralisme dalam hidup bermasyarakat yang berkarakter majemuk.
- Langit. Langit adalah cakrawala. Ia adalah simbol bagi luasnya ilmu pengetahuan. Sosok yang mensimbolkan langit memiliki kompetensi, kemampuan, dan kecakapan yang dapat diajarkan pada orang lain.
- Angin. Angin dapat berhembus di mana saja. Ia terbentuk ketika ada perbedaan tekanan udara. Pemimpin yaitu seseorang keberadaan dan pengaruhnya bisa dirasakan oleh sekitarnya. Prinsip ini mewujud dalam bentuk terjun menghadapi masalah dan peduli pada kondisi yang dihadapi. Tidak sekedar menggantungkan diri dari laporan dari bawahan saja.
- Bulan. Ketika memandang bulan, ada rasa damai dalam gelap. Pemimpin harus menjadi sosok yang memberikan kedamaian pada sekitarnya. Mampu mewujudkan kegembiraan sekaligus memberikan harapan pada sekitar ketika kondisi dalam keadaan putus asa.
- Bintang (pengarah). Pemimpin menjadi pengarah dan pedoman bagi lingkungannya. Menjadi pengarah artinya menjadi sebuah inspirasi bagi yang lain. Menjadi inspirasi artinya pemimpin memiliki satu prinsip dasar yang menjadi ruh kepemimpinannya.
Dari Legenda menjadi Konsep Psikologi
Delapan prinsip kepemimpinan ini ternyata telah menarik ilmuwan Indonesia untuk menjadikannya sebagai bahan kajian empiris. Setidaknya terdapat beberapa nama yang mengajukan Hasta brata menjadi obyek kajian ilmiah. Hamim (2014) mengkaji Hasta brata yang dikaitkan dengan kepemimpinan Islam; Hudaya dan Nugroho (2013) mengajukan Hasta brata sebagai model kepemimpinan yang efektif; Hidayat dan Setiyowati (2017) meneliti dan mengembangkan Hasta brata menjadi instrumen penilaian kinerja kepada desa; Setiyowati (2015) melakukan sinkronisasi antara kompetensi dan Hasta brata; dan Setiyowati (2016) membangun skala kompetensi berbasis Hasta brata.
Keberanian melakukan terobosan ini yang sangat diperlukan dalam pengembangan psikologi ulayat. Sebagaimana pendapat Sarwono (2012) bahwa psikologi ulayat adalah cabang psikologi yang mempelajari perilaku dan minda suatu kelompok budaya yang bukan diimpor dari luar, melainkan lahir dan berkembang dalam kelompok itu sendiri, merupakan hasil kesepakatan dari nenek moyang, para pendahulu, dan para sesepuh, diteruskan turun menurun, dari generasi ke generasi, secara getok tular, tidak ada dokumen legal, dan tidak ada cetak birunya. Para ilmuwan Hasta brata dengan segala kemampuan dan menggunakan metode ilmiah mencoba mewujudkan Hasta brata menjadi bagian dari psikologi ulayat. Kisah Ramayana (versi Jawa) umumnya telah dimodifikasi dan berkembang dalam ruang kelompok Jawa (menjadi bagian Indonesia). Hasta brata disepakati oleh nenek moyang sebagai pesan yang ada dalam kisah Ramayana Indonesia. Pesan itu ada tanpa adanya catatan tertulis ilmiah. Hingga pada akhirnya ada yang mengemabngkannya secara ilmiah, khususnya secara psikologis.
Penutup
Kembali pada bagian awal tulisan ini, akhirnya saya akan dapat mengajar Dinamika Kelompok dengan lebih membumi. Mahasiswa akan tahu bahwa mengukur kepemimpinan tidak melulu dari barat. Lebih dekat dengan kenyataan Indonesia, tanpa kekhawatiran tidak ilmiah, tidak barat, tidak arus utama dan lain-lain. Psikologi harus dapat menjelaskan manusia, manusia yang hidup di tempat dan budayanya. Dan inilah saatnya kita dapat mewujudkannya.
Referensi:
Hidayat, F., & Setiyowati, N. (2017). Pengembangan Instrumen Penilaian Kinerja Kepala Desa. Jurnal Sains Psikologi, 6(2), 56-62.
Forsyth, DR. (2010). Group dynamics 4e. Belmont, California: Cengage Learning.
Hamim, M. (2014). Korelasi Antara Hasta Brata (Konsep Kepemimpinan dalam perspektif budaya Jawa) dan Islamic leadership (Konsep kepemimpinan dalam perspektif Islam). ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 15(1), 57-68.
Hudaya, Z. A., & Nugroho, S. W. (2013). Kearifan lokal budaya Jawa sebagai basis model kepemimpinan yang efektif. Sustainable Competitive Advantage (SCA), 3(1).
Meinarno, EA. (2018). Psikologi Sosial yang lebih Ulayat: Tawaran dan tantangan. Dipaparkan dalam acara Seminar Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN) dengan tema Psikologi Sosial yang lebih Ulayat: Tawaran dan Tantangan. Universitas Al Azhar Indonesia, 22 Maret 2018, Jakarta.
Sarwono, S. W. (2012). Psikologi Ulayat. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology, 1(1).
Setiyowati, N. (2015). Asta Brata: Pemetaan Kompetensi Kepemimpinan Jawa untuk meningkatkan organizational wellness pada institusi pendidikan di Jawa Timur. Proceeding Psikologi Positif.
Setiyowati, N. (2016). Model kompetensi Asta Brata: Studi confirmatory analisis Pada kepala Desa di Jawa Timur. Proceeding Psikologi Indigenous. “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat” Universitas Negeri Malang – 27 Agustus 2016.