Beranda
Liputan Acara Bedah Buku Psikologi Indonesia
- Details
- Written by KPIN
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 24 Desember 2019
Liputan Acara Bedah Buku Psikologi Indonesia
Oleh
Selviana
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI
Eko A. Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
Program Studi Psikologi, Fakultas Humaniora dan Bisnis
Universitas Pembangunan Jaya
Rabu, 13 November 2019 bertempat di Universitas Tamajagakarsa diadakan acara bedah buku Psikologi Indonesia. Acara ini merupakan rangkaian event terakhir yang diadakan KPIN bekerjasama dengan kampus-kampus anggota. Acara bedah buku tersebut menghadirkan editor dan tiga penulis di Buku Psikologi Indonesia antara lain: Eko. A Menarno, sebagai editor dan penulis yang menjelaskan tentang latar belakang hadirnya Buku Psikologi Indonesia, Gita Widya Laksmini Soerjoadmodjo yang menulis tema: Dilema Identitas pada Jurnalis Lokal Saat Meliput Konflik: Studi Kasus Konflik Antar-Agama di Ambon dan Selviana yang menulis tema: Instrumen Pengukuran Penelitian Psikologi di Indonesia bersama dua rekannya Kuncono Teguh Yunanto dan Eko. A Meinarno.
Acara Bedah Buku dihadiri oleh banyak mahasiswa dan dosen-dosen dari berbagai kampus anggota KPIN yang memenuhi ruang Aula Universitas Tamajagarsa. Dibuka dengan kata sambutan oleh Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tamajagakarsa, Ibu Tjitjik Hamidah. Dalam sambutannya, Ibu Tjitjik menyampaikan terima kasih dan apresiasi atas terbitnya buku Psikologi Indonesia yang memberi ruang untuk terus berkarya bagi dosen-dosen Psikologi dalam memaparkan isu-isu Psikologi khas Indonesia secara ilmiah. Selanjutnya kata sambutan dari KPIN yang diwakili oleh Abu Bakar Fahmi selaku Sekretaris KPIN. Beliau menyampaikan rasa syukur atas terbitnya buku Psikologi Indonesia sebagai salah satu produk publikasi ilmiah KPIN dan komitmen KPIN untuk terus mengembangkan Ilmu Psikologi di Indonesia. Tak ketinggalan acara juga dihadiri oleh Devi Jatmika selaku Ketua Divisi Event KPIN dan Vella Fitrisia Agustina selaku moderator pada acara tersebut.
Acara diawali dengan paparan materi oleh pembicara pertama yaitu Eko. A Meinarno yang menjelaskan tentang pengantar Buku Psikologi Indonesia dan proses yang dilewati sampai dengan terbitnya buku tersebut. Dalam paparannya, Eko menyampaikan tentang isi buku, sekilas sejarah Psikologi Indonesia dan isu-isu Psikologi khas Indonesia yang sangat penting untuk diangkat dalam pengembangan ilmu Psikologi di Negara sendiri. Dilanjutkan oleh Gita Widya Laksmini Soerjoadmodjo selaku pembicara kedua yang memaparkan isu tentang dilema identitas yang pada dasarnya dialami oleh semua orang karena semua orang memiliki identititas yang dapat dijelaskan secara detail dan berbeda-beda, namun secara khusus kerap terjadi pada Jurnalis khususnya saat meliput kasus-kasus terkait konflik antar agama yang merupakan salah satu isu yang terjadi di Indonesia. Paparan terakhir disampaikan oleh Selviana sebagai pembicara ketiga yang menjelaskan tentang pentingnya para peneliti Indonesia untuk terus mengembangkan alat ukur Psikologi khas Indonesia. Hal ini terkait karena dalam penelitian Psikologi, alat ukur memegang peranan yang penting dan hasilnya menjadi dasar utama dalam menjelaskan hasil-hasil riset yang dilakukan para peneliti Psikologi.
Acara bedah buku ini berlangsung semakin seru dengan banyaknya tanya jawab dari para peserta dan para pembicara yang sangat antusias dengan materi yang telah dipaparkan, ditambah dengan hadirnya perwakilan Rajagrafindo Persada sebagai mitra penerbit buku Psikologi Indonesia yang membuka stand buku dan memberikan harga khusus untuk buku-buku yang dijual. Sebagai penutup, seluruh peserta berfoto bersama para pembicara, panitia dan perwakilan penerbit Rajagrafindo Persada sebagai bentuk rasa syukur dan apresiasi atas suksesnya acara ini. Sampai jumpa di acara-acara seru KPIN yang akan datang.
Murid Idaman Vs Guru Idaman: Sebuah Ironi Pendidikan Kreativitas
- Details
- Written by Jessica Ariela
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 22 November 2019
Murid Idaman Vs Guru Idaman: Sebuah Ironi Pendidikan Kreativitas
Oleh
Jessica Ariela
Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
Kreativitas merupakan sebuah keterampilan yang dianggap penting di abad 21 ini, khususnya dalam menghadapi era Industri 4.0 (World Economic Forum, 2016). Bahkan, kreativitas naik dari posisi ke-10 (tahun 2015) menjadi posisi ke-3 teratas (tahun 2020) dalam skill atau keterampilan yang dianggap penting untuk bekerja (World Economic Forum, 2016). Kreativitas dianggap sebagai suatu keterampilan yang tidak dapat digantikan oleh robot dalam dunia industri. Di dalam dunia pendidikan, para pengajar pun ingin agar murid-muridnya memiliki dan mengembangkan kreativitas.
Untuk bisa mengembangkan kreativitas murid, ditemukan cara yang paling efektif adalah bagi guru untuk mengajar dengan kreatif dan menggunakan metode pembelajaran yang kreatif di dalam kelas (Sawyer, 2012). Hal ini semakin diperkuat dengan munculnya istilah “deep learning” dan pembelajaran konstruktif. Pembelajaran instruksional tradisional yang sudah menjadi metode belajar pada umumnya kini ditantang efektivitasnya. Guru yang mengajar satu arah membuat murid hanya sekedar menghafal tanpa benar-benar memahami apa yang ia pelajari. Penilaian pun hanya berfokus pada pengulangan materi tanpa membuat murid berpikir lebih dalam, seakan murid hanya diminta untuk “memuntahkan” kembali apa yang dikatakan gurunya di atas kertas ujian. Hal ini sangat berbeda dengan pembelajaran konstruktif di mana murid aktif berpartisipasi dan belajar untuk menganalisis permasalahan dengan mengaitkannya pada hal yang dipelajari, serta menyediakan wadah bagi murid untuk berefleksi terhadap pengetahuan yang ia terima (Sawyer, 2012). Dengan demikian, murid menjadi paham konsep dan prinsip-prinsip dasar dari pembahasan, bukan sekedar menghafalkan. Pembelajaran seperti inilah yang dianggap “mendalam” dan efektif, dan seringkali melibatkan metode pembelajaran maupun pengajaran yang kreatif.
Namun, sebelum Anda melanjutkan membaca, cobalah Anda mengambil waktu sejenak untuk menjawab pertanyaan ini: Menurut Anda, apa saja karakteristik dari seorang murid yang kreatif?
Studi 1: Murid Idaman
Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan yang juga diajukan sekelompok peneliti (Westby & Dawson, 1995) dalam suatu penelitian. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan hasil yang mengejutkan! Guru-guru menganggap murid yang kreatif adalah murid yang tulus, bertanggung jawab, baik, dapat diandalkan, dan logis. Karakteristik seperti “impulsif” ataupun “non-konformis” ada di urutan terbawah. Adapun dari riset-riset mengenai kreativitas, justru karakteristik seperti impulsif dan non-konformis yang menggambarkan karakteristik pribadi yang kreatif (Sawyer, 2012). Namun, di saat yang sama guru-guru ini juga menganggap diri mereka sangat menghargai nilai kreativitas. Dengan kata lain, terdapat kesenjangan antara pendapat guru-guru mengenai nilai kreativitas dan ketika mereka mengajar murid yang kreatif (Beghetto, 2010). Karakteristik murid yang mudah diatur dan penurut (yang bertolak belakang dengan karakteristik pribadi kreatif) seperti inilah yang justru menjadi idaman para guru, khususnya dalam kultur kolektivis (Ng & Smith, dalam Sawyer, 2012).
Hal ini tentunya sangat ironis. Mari kita coba move on terlebih dahulu. Kira-kira, akan seperti apa tanggapan dari murid-murid?
Studi 2: Guru Idaman
Coba Anda kembali menjawab pertanyaan berikut: Sewaktu Anda menjadi murid, guru seperti apa yang Anda harapkan? Guru seperti apa yang Anda anggap mampu membuat Anda benar-benar paham materi yang diajarkan?
Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan dari penelitian lainnya. Kali ini, yang ditanyakan adalah para murid (Deslauries, McCarty, Miller, Callaghan, & Kestin, 2019). Para murid mendapat guru yang mengajar menggunakan pembelajaran instruksional dan guru yang mengajar menggunakan pembelajaran konstruktif. Setelah beberapa saat, diadakan ujian dan performa murid tersebut dibandingkan melalui nilai kelas yang diajar menggunakan pembelajaran instruksional dan kelas yang menggunakan pembelajaran konstruktif. Hasilnya, sesuai dengan teori, tentu saja nilai ujiannya lebih baik pada kelas yang menggunakan pembelajaran konstruktif. Namun, sebelumnya, para murid diminta untuk memilih mana bentuk pembelajaran yang mereka rasa mereka lebih banyak belajar. Secara mengejutkan, para murid menjawab mereka merasa lebih banyak belajar melalui pembelajaran instruktif, dengan guru yang mengajar secara satu arah di depan kelas, dibandingkan pembelajaran konstruktif. Padahal, pembelajaran konstruktif merupakan salah satu cara guru menerapkan metode kreatif di dalam pengajarannya, dan hasil pembelajarannya pun akan lebih mendalam (deep learning). Hal ini juga membuktikan bahwa persepsi murid mengenai pembelajaran konstruktif masih inferior dibandingkan pandangan mereka terhadap pembelajaran instruktif, walaupun bukti hasil belajar menunjukkan pembelajaran konstruktif lebih efektif.
Kesimpulan
Dari penelaahan beberapa penelitian mengenai murid idaman dan guru idaman ini, terdapat suatu pencerahan, bahwa terkadang kita menjunjung tinggi nilai dan idealisme mengenai kreativitas. Namun, seberapa siapkah kita untuk benar-benar melibatkan kreativitas dalam pendidikan kita? Sungguh ironis jika pembelajaran kreativitas hanya sampai pada tataran ide dan konsep tanpa pernah bisa direalisasikan karena ketidaksiapan guru, murid, bahkan para pemangku kepentingan dalam menjalankannya.
Referensi:
Beghetto, R. A. (2010). Creativity in the classroom. In J. C. Kaufman & R. J. Sternberg (Eds.). The Cambridge handbook of creativity (pp. 447-463). Cambridge: Cambridge University Press.
Deslauries, L., McCarty, L. S., Miller, K., Callaghan, K., & Kestin, G. (2019). Measuring actual learning versus feeling of learning in response to being actively engaged in the classroom. Proceedings of the National Academy of Sciences Sep 2019, 116(39) 19251-19257. doi: 10.1073/pnas.1821936116
Sawyer, R. K. (2012). Explaining creativity: The science of human innovation (Second Edition). Oxford: Oxford University Press.
Westby, E. L. & Dawson, V. L. (1995). Creativity: Asset or burden in the classroom. Creativity Research Journal, 8, 1-10.
World Economic Forum. (2016). The 10 skills you need to thrive in the Fourth Industrial Revolution. Retrieved from https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-10-skills-you-need-to-thrive-in-the-fourth-industrial-revolution/ on 20 November 2019.
Joker is not a Joke
- Details
- Written by Clara Moningka
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 20 Oktober 2019
Joker is not a Joke
Oleh
Clara Moningka
Program Studi Psikologi
Fakultas Humaniora dan Bisnis Universitas Pembangunan Jaya
Tahun 2019 ini, film Joker merupakan salah satu film yang menarik perhatian banyak orang. Mulai dari ibu-ibu yang mengkhawatirkan isi film dan dampaknya pada anak-anak, bahkan efeknya pada orang dewasa, atau malah para analis film yang kemudian menyarankan untuk menonton film tersebut untuk pembelajaran hidup. Latar kisah ini adalah pada tahun 1981, dimana Athur Fleck (Joker) tinggal dengan ibunya yang sakit di Gotham City. Saat itu Gotham merupakan kota yang rentan terhadap kejahatan. Arthur sendiri mengalami kelainan saraf (neurological disorder) yang menyebabkan ia kerap tertawa pada situasi yang tidak tepat. Dalam perjalanan hidupnya Arthur kerap didera kegagalan dan kekejaman dari orang disekelilingnya. Kejadian demi kejadian yang dialami, termasuk penghentian pengobatan pada dirinya membuat ia menjadi orang yang kejam dan apatis terhadap lingkungannya. Ia menjadi Joker yang tidak takut pada siapapun dan siap melukai siapa saja yang menghalanginya.
Pada dasarnya apa yang dialami Arthur adalah kejadian yang juga banyak dialami individu lain di dunia ini. Banyak orang yang sering tidak dianggap dan kerap gagal dalam hidupnya. Individu ini pada akhirnya entah pasrah atau menjadi depresi, bahkan balik melawan. Di sisi lain, ada yang tetap berjuang atau bahkan melewati batas seperti yang dilakukan Arthur. Dari sisi psikologi, perilaku ini dianggap sebagai bagian dari “Striving for success or superiority”; berusaha berjuang mencapai keberhasilan atau superioritas. Adler salah satu tokoh dalam psikologi individual menjelaskan bahwa semua manusia terlahir dengan perasaan inferior dan tidak berdaya. Sebagai anak, kita merasa lebih kecil, lebih lemah, bahkan lebih bodoh dari orang dewasa. Mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan pada dasarnya membuat individu bermimpi untuk menjadi orang dewasa yang sukses atau berhasil dalam bidang tertentu. Konsep striving for superiority pada dasarnya tidak merubah individu menjadi dominan, sombong, atau menjatuhkan orang lain namun usaha manusia menjadi diri yang lebih baik. Adler sendiri mengartikan sebagai usaha membuat diri lebih sempurna. Oleh karena itu, perjuangan menuju sukses bisa berhasil, bahkan membuat kehadiran individu bermakna bagi orang lain. Kegagalan mencapai keadaan ini membuat individu terjebak dalam perasaan inferior. Hal lain yang tidak sehat adalah individu terjebak untuk kesuksesan dirinya sendiri tanpa memperdulikan orang lain (Schultz & Schultz, 2009; Feist & Feist, 2009)
Arthur merupakan gambaran individu yang juga mengalami perasaan inferior. Sejak kecil ia terjebak dalam inferioritas, bahkan menjadi objek kekerasan dari kekasih ibu angkatnya dan akhirnya mengalami gangguan. Pada keadaan terdesak dan kekerasan yang diterima dirinya, membuat ia berusaha berjuang untuk mendapatkan superioritas; superioritas yang akhirnya “kebablasan”. Ia tidak menjadi manusia yang lebih baik, namun menjadi kejam dan apatis. Banyak orang yang berpendapat bahwa “The world turn him into a wicked person”. Apakah benar demikian?
Adler dalam teorinya menjelaskan bahwa individu dengan kepribadian sehat akan cenderung memahami dunianya dengan lebih baik, memiliki tujuan hidup dan kreatif. Dalam hal ini mereka juga mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain (Schultz & Schultz, 2009). Maka mudah dipahami bila anak yang tidak mendapatkan cinta dari orang tua, kerap mendapatkan kekerasan atau hinaan dapat mengembangkan perasaan tidak berarti, menyimpan kemarahan, bahkan sulit untuk percaya pada orang lain. Pada kasus Arthur, dunia memang tidak ramah terhadap dirinya sejak ia kecil. Apa yang ia alami menjadi pemicu perubahan dalam dirinya. Ia kemudian mengabaikan dan menyerang dunia yang selama ini menekan.
Film ini memang dapat menjadi hiburan semata dan menjadi bahan perbincangan karena karakter yang ditampilkan, atau malah dianggap membingungkan. Orang kerap tidak habis pikir mengapa seseorang mampu berbuat sejahat itu hanya karena diperlakukan tidak baik. Bisa saja ia berjuang dan berusaha lebih keras untuk mendapat tempat di masyarakat. Di sisi lain, film ini juga mengingatkan bahwa ada disekitar kita yang juga terjepit, putus asa dan mengalami berbagai perlakuan yang tidak menyenangkan yang mungkin dapat berperilaku “ala Joker”. Apakah kita menjadi individu yang ikut menekan dan menghakimi, atau paling tidak mau mengusahakan kebaikan untuk orang lain; to make a world a better place. Just remember Joker is not a joke.
Referensi:
Schultz, D.P., Schultz, S.E. (2009). Theories of personality 9th Ed. California, CA: Cengage Learning.
Feist, J., Feist, G.J. (2009). Theories of personality 7th Ed. New York, NY: McGraw-Hill
In Memoriam Prof. Dr. Soetarlinah Sukadji: Pendidik Sejati, Terkenang di Hati
- Details
- Written by Selviana
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 19 Oktober 2019
In Memoriam Prof. Dr. Soetarlinah Sukadji: Pendidik Sejati, Terkenang di Hati
Oleh
Selviana
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI
Dunia Psikologi Indonesia kembali berduka. Kali ini kabar wafatnya Prof. Dr. Soetarlinah Sukadji, Guru Besar Psikologi Pendidikan yang wafat pada hari Minggu, 06 Oktober 2019 pukul 01.55 Wib di Jogjakarta International Hospital.
Prof. Dr. Soetarlinah Sukadji pernah menjadi dosen psikologi di UGM, UI dan UPI YAI sebagai homebase terakhirnya dengan jabatan Ketua Program Studi Doktor Psikologi hingga pensiun. Sebagai seorang guru besar, Prof. Dr. Soetarlinah Sukadji merupakan sosok yang telah memberikan banyak kontribusi dalam pengembangan ilmu psikologi melalui karya-karya ilmiahnya antara lain: Psikologi Pedagogi (1993), Pengantar Semantik Differensial (1997), Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sekolah(2000), serta Menyusun dan Mengevaluasi Laporan Penelitian (2000). Di samping menghasilkan banyak karya ilmiah, Prof. Dr. Soetarlinah Sukadji telah memberikan banyak kenangan kepada mahasiswa-mahasiswinya, tak terkecuali pada saya.
Jangan Panggil Saya Prof
Salah satu kenangan manis yang akan terus saya ingat adalah saat dibimbing Tesis oleh Prof. Dr. Soetarlinah Sukadji. Beliau bertanya pada saya di awal-awal bimbingan, Selvi usiamu berapa? Saat saya sebutkan usia saya, beliau katakan; Kalau begitu kamu cucu saya, mulai sekarang panggil saya Oma jangan panggil Prof. Saya jawab; Maaf Prof, saya rasa itu tidak sopan nanti orang lain menilai saya sok akrab. Prof adalah orang berilmu dan dihormati banyak orang. Lalu beliau menatap saya dengan serius, dan berkata sekali lagi dengan nada yang lebih tegas sambil mengepalkan tangannya di atas meja; Prof...Prof... Saya ini Oma, usia kita berbeda sangat jauh, kamu itu cucu saya, jangan panggil saya Prof, panggil saya Oma. Saat itu saya sangat terkejut, tidak pernah menyangka bahwa dihadapan saya ada seorang Profesor yang sangat rendah hati, seorang pembimbing Tesis yang menginginkan saya menjadi cucunya meski saat itu saya adalah mahasiswinya. Sejak hari itu, atas sebuah kehormatan yang beliau berikan, saya selanjutnya memanggilnya Oma.
Teladan Menjadi Seorang Dosen
Seorang Dosen dikenal karena kemampuan kognitifnya (cerdas, berilmu, mampu melakukan penelitian). Namun, pekerjaan Dosen yang banyak berinteraksi dengan mahasiswa, membuat Dosen juga harus memiliki komponen afeksi (peduli, menyenangkan). Semua Dosen adalah pengajar, tapi tidak semua Dosen dikenang manis dihati mahasiswa-mahasiswinya. Dosen yang bisa menjadi pendidik sejati adalah dosen yang bisa memberikan banyak kesan mendalam dihati mahasiswa-mahasiswinya, baik dalam kemampuannya mengajar, penguasaan ilmu, pendekatannya kepada mahasiswa sampai kepribadiannya yang dinilai menyenangkan. Oma Sukadji adalah inspirasi besar untuk hal ini. Laman UI menyebutkan bahwa Oma Sukadji adalah Dosen yang paling banyak membimbing Skripsi di Fakultas Psikologi UI pada masanya. Perpustakaaan Pascasarjana Fakultas Psikologi UPI YAI menyimpan banyak Tesis dan Disertasi yang pada masanya hingga pensiun banyak dibimbing oleh Prof. Dr. Soetarlinah Sukadji. Kesan-kesan dari mahasiswa-mahasiswi yang pernah beliau ajar dan bimbing di Fakultas Psikologi UGM, UI dan UPI YAI turut menilai sosok Oma Sukadji yang dikenal lembut namun tegas, tulus, penuh tersenyum, rendah hati, penun perhatian, suka memotivasi mahasiswa bimbingan yang proyek penelitiannya macet di tengah jalan dan menjadi contoh dosen inspiratif dalam mengajar.
Khusus bagi saya secara pribadi, Oma Sukadji adalah Dosen dan pembimbing Tesis-Disertasi yang sangat berjasa mengantarkan saya hingga menyelesaikan studi tepat waktu. Beliau selalu terbuka saat mahasiswa perlu bimbingan, baik bertanya lewat telpon, sms, email dan bimbingan langsung. Mendorong dan memfasilitasi untuk belajar dari jurnal-jurnal bereputasi dan buku-buku terbaru untuk dapat menulis karya ilmiah. Bila saya cek rak buku saya hari ini, ternyata ada banyak buku, modul dan jurnal-jurnal penelitian pemberian Oma Sukadji yang dihalaman depannya tertulis; “Untuk Selviku Sayang, bertanda tangan Oma Sukadji”.
Pertanyaannya, mengapa Oma Sukadji begitu berkesan dihati mahasiswa-mahasiswinya? Mengapa beliau begitu disukai dan terkenal sebagai dosen yang paling banyak membimbing? Jawabannya sederhana; Karena beliau mengajar dengan hati, membimbing dengan hati, mendidik dengan hati dan memberi dengan hati. Oma Sukadji telah menjadi contoh seorang guru besar yang tidak menggunakan kepakaran ilmunya untuk menjadi sosok yang superior, tetapi justru dengan kerendahan hatinya, beliau bisa memberi kesan yang mendalam bagi mahasiswa-mahasiswinya untuk memiliki motivasi belajar dan menyelesaikan studi dengan proses yang baik dan benar.
Cita-cita yang Terwujud
Seingat saya, ada tiga hal yang biasanya Oma Sukadji lakukan saat saya datang ke ruang kerjanya. Membaca buku atau mempelajari jurnal, mengoreksi naskah Tesis-Disertasi mahasiswa atau sedang melayani bimbingan. Suatu hari saat sedang berada di ruang kerjanya saya bertanya: Oma pernah bosan belajar nggak? Jawabnya: Saya nggak pernah bosan belajar, justru saya pusing kalau tidak belajar, jadi Dosen itu adalah pembelajar sepanjang hayat. Kalau Selvi mau jadi apa? Tanyanya. Saya mau jadi Dosen dan Psikolog seperti Oma. Lanjutnya, Kalau mau jadi dosen harus mau terus belajar dan suka menulis. Perkataan itu seperti hujan deras yang mengguyur semangat juang saya untuk mewujudkan cita-cita, segera saya jawab: Baik Oma, sambil bercanda saya memegang tangannya dan meletakkan tangan Oma ke atas kepala saya, mengatakan agar ilmu dan hal-hal yang baik dari Oma bisa diturunkan kepada saya. Oma Sukadji tersenyum lebar sambil mengaminkan harapan-harapan itu. Kini sekian tahun berlalu, cita-cita itu telah terwujud dihidup saya, cita-cita yang terus hidup karena harapan-harapan yang diaminkan dan motivasi yang Oma berikan.
Gaya Mengajar dan Membimbing Mahasiswa
Sepengalaman saya belajar dengan Oma Sukadji pada beberapa mata kuliah seperti metode penelitian kuantitatif lanjut, teknik menulis karya ilmiah, serta teori dan riset dalam pendidikan di program pascasarjana, beliau suka memberi kuis untuk mengulang materi sebelumnya dan membuat soal ujian yang berbeda-beda untuk setiap mahasiswa, sehingga mahasiswa tidak bisa mencontek saat ujian. Bahkan, beliau sering membagi-bagikan modul, buku dan jurnal-jurnal terkait kebutuhan belajar kepada mahasiswa. Langkah ini penuh dedikasi, tapi yang saya tahu sampai hari ini tidak banyak Dosen yang mau mempersiapkan kebutuhan mengajarnya sampai sedalam itu.
Selama membimbing mahasiswa, beliau tidak pernah memberi pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan, apalagi berkata kasar pada mahasiswa baik sebagai pembimbing ataupun penguji sidang. Sikapnya sangat manusiawi, meski terkadang kemampuan mahasiswanya belum seperti yang diharapkan. Suatu hari, disaat saya sudah sangat stres dengan disertasi yang penuh coretan, bolak-balik revisi, merubah beberapa variabel, serta dua kali ambil data penelitian, saya berkata dengan putus asa pada Oma Sukadji: Saya sudah berusaha sekuat tenaga mengerjakan disertasi, rajin bimbingan dan mengikuti arahan, tapi sepertinya saya tidak masuk dalam standarnya Oma. Mungkin saya ini dangkal, tapi saya hanya ingin menyelesaikan disertasi saja, bukan untuk menjadi yang terbaik. Beliau jawab: “Selvi masih muda, jadi tidak perlu kecewa, saya yakin Selvi masih bisa banyak dibentuk. Sayang sekali kalau mengerjakan Disertasi hanya sekedar untuk lulus studi, belajarlah, biar jadi contoh untuk yang lain, nanti banyak Ilmu yang bisa dipakai lagi untuk mengajar, saya berharap membimbing yang masih dangkal tapi berpotensi besar, jangan sia-siakan”. Sampai tulisan ini dibuat, saya masih terus menangis bila mengenang bagian ini, tapi saya sangat bersyukur, karena hari ini saya bisa membuktikan bahwa perkataan itu sungguh benar adanya.
Kini sang pendidik sejati itu telah tiada. Seorang guru besar yang penuh dedikasi dan inspirasi. Bangga rasanya pernah mengecap manisnya ilmu Psikologi dari hidup beliau. Selamat Jalan Oma Soetarlinah Sukadji sayang, beristirahatlah dengan tenang. Semua ilmu yang pernah Oma berikan selama hidup, akan selalu menjadi amalan yang tidak akan pernah terputus. Terima kasih untuk banyak kenangan bersama yang tidak semua bisa dituliskan namun akan selalu terpatri dilubuk hati, Terima kasih sudah menjadi inspirasi bagi banyak dosen dan mahasiswa. Saya tidak akan pernah melupakan jasa-jasa Oma dalam perjalanan studi dan karier akademik saya, izinkan saya dan mahasiswa-mahasiwi Oma lainnya mengambil alih tongkat estafet itu. Meneruskan warisan ilmu untuk diamalkan kembali ke generasi penerus di masa yang akan datang.
Untuk Oma tercinta, In Memoriam Prof. Dr. Soetarlinah Sukadji: Pendidik Sejati, terkenang dihati.
Mari berkarya dengan hati, karena pendidik sejati sulit terganti, selalu terkenang dihati.