Beranda
Mempersiapkan Mahasiswa Generasi Phi
- Details
- Written by Eko A Meinarno
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.4. No.13, Juli 2018
Mempersiapkan Mahasiswa Generasi Phi (p)
Oleh
Eko A Meinarno
PIC Modul dan Buku KPIN
Tantangan Indonesia sangatlah bertubi-tubi. Tahun 2015 era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimulai dan kemudian kondisi era industri 4.0 tak terelakkan. Dalam konteks pendidikan khususnya perguruan tinggi, juga menghadapi perkembangan peserta didik yang masuk kategori mahasiswa milenial atau yang disebut Faisal (2017) sebagai Generasi Phi (p). Semua front harus dihadapi serentak. Hal ini tentu dapat menjadi guncangan tersendiri sebagaimana yang terjadi di Jepang saat memasuki era restorasi Meiji (Rustam, 2003).
Sebagaimana artikel yang disampaikan Meinarno (2018) bahwa dari lima elemen pendidikan tinggi di era revolusi industri 4.0 psikologi dapat berkontribusi utama pada elemen pertama dan kedua, untuk yang ketiga membutuhkan kerja sama lintas ilmu dan pengambil kebijakan bahkan pemangku kepentingan (stake holder). Apa yang kira-kira dapat disumbangkan oleh psikologi?
Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan mulai membangun kemampuan mahasiswa untuk menyadari dan menjalankan dirinya sebagai individu pembelajar sepanjang hayat dan berkontribusi positif terhadap lingkungannya. Dengan demikian ia mampu beradaptasi terhadap masalah, mampu menerapkan apa yang dipelajari untuk memecahkan masalah dan melakukan inovasi (Pan, 2004). Hal ini dapat diwujudkan jika ada ciri-ciri umum yang terbangun sejak awal masuk perguruan tinggi.
Ciri Mahasiswa Generasi Phi
Untuk mencapai hal itu maka perlu ada perubahan dari diri mahasiswa, karena adanya tuntutan dari universitasnya. Beberapa ciri umum yang diminta oleh perguruan tinggi terhadap mahasiswa adalah mandiri, memotivasi diri dan mampu bekerja sendiri (Takwin, Meinarno, Salim, Kurniawati, Diponegoro, Prasetyawati, 2011), terbuka untuk kerja sama, menentukan tujuan, dan mengetahui lingkungan baru mereka (Pan, 2004).
Mandiri. Dalam periode kuliah, semua berpusat pada diri. Ingin sukses atau tidak, diri sendiri yang harus memfasilitasinya. Keberadaan orang lain bersifat membantu. Hal ini karena yang paham bagaimana keinginan dan kebutuhan hanya dirinya sendiri.
Memotivasi diri dan mampu bekerja sendiri. Perlu ada dorongan yang muncul dari diri sendiri. Hal ini karena kematangan kognitif mahasiswa yang secara alami telah mampu membangun dorongan yang khas bagi dirinya. Dengan mampu memotivasi diri sendiri hal logis lainnya yang terbangun adalah mampu menunjukkan hasil kerja yang minim bantuan orang lain. Atau ketika bekerja dalam kelompok mampu menjalankan tugas yang diberikan tanpa membebani pihak lain.
Terbuka untuk kerja sama. Dalam aktivitas perguruan tinggi banyak kegiatan yang menuntut kerja sama dalam kelompok. selain tuntutan, kerja sama juga berarti kontribusi dan hubungan sosial. Mahasiswa mau untuk melihat kepentingan dan kebutuhan pihak lain, bukan dirinya saja. Patut diingat banyak kegiatan perkuliahan dan kemahasiswaan yang membutuhkan kerja sama.
Menentukan tujuan. Sejak awal mahasiswa tahu untuk apa mereka masuk perguruan tinggi. Hal ini yang kemudian membantu mahasiswa berpikir untuk meraihnya. Dalam hal ini menerapkan SMART (Moran, 1997 dalam Singgih & Sukadji, 2006). Spesific: tujuan jelas (IP tinggi). Measurable: sasaran terukur (semua nilai kuliah A). Attainable: sesuai dengan kemampuan (bisa kuliah tepat waktu selama 4 tahun). Relevant: alasan kuat untuk mencapainya (ingin berbakti pada orangtua). Time bound: batas waktu untuk mencapai tujuan (terbatas oleh waktu).
Mengetahui lingkungan baru. Mahasiswa selama awal kuliah perlu tahu lingkungan misalnya letak perpustakaan, kantin, tempat kegiatan mahasiswa, dekanat atau pusat administrasi. Riset yang dilakukan pada 310 mahasiswa perantau di Jakarta menunjukkan kelekatan dengan institusi berperan berkorelasi dengan komitmen yang tinggi untuk mencapai tujuan akademisnya (Saniskoro, Akmal, 2017). Mungkin terkesan tidak berarti, tapi akan ada saatnya dibutuhkan selama perkuliahan.
Penutup
Ciri-ciri mahasiswa era generasi Phi ini tampaknya perlu diwujudkan. Perubahan harus dilakukan sejak awal agar sarjana siap menjalani era revolusi industri 4.0, agar mereka menjalankan dirinya sebagai individu pembelajar sepanjang hayat dan berkontribusi positif terhadap lingkungannya.
Referensi:
Faisal, M. (2017). Generasi Phi p: Memahami milenial pengubah Indonesia. Republika Penerbit. Jakarta.
Meinarno, EA. (2018). Kesiapan dan kontribusi psikologi untuk revolusi industri 4.0. Buletin K-PIN
Pan. (2004). The effective student. 11th ed. Centre for Development of Teaching and Learning (CDTL) National Universitity of Singapore. Singapore.
Rustam, F. Reformasi pendidikan pada masa Jepang Meiji: Studi tentang peran politik kekuasaan dalam penerapan pendidikan. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, Vol. 7, No. 2, Desember 2003. 45-48.
Saniskoro, BSR., Akmal, SZ. (2017). Peranan penyesuaian diri di perguruan tinggi terhadap stres akademik pada mahasiswa perantau di Jakarta. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology, 4(1), 96-106.
Singgih, E., & Sukadji, S. (2006). Sukses belajar di perguruan tinggi. Yogyakarta: Jalasutra.
Takwin, B., Meinarno., EA., Salim, ES., Kurniawati, F., Diponegoro, M., Prasetyawati, W. (2011). Buku orientasi belajar mahasiswa: Belajar di perguruan tinggi. Depok. Direktorat Pendidikan Universitas Indonesia. Depok.
Kuesioner Penelitian Spirituality at Work
- Details
- Written by Clara Moningka
- Category: Arsip Artikel
Kuesioner Penelitian
Spirituality at Work
Kepada rekan-rekan yang kami hormati
Pada kesempatan ini, kami bermaksud melakukan penelitian mengenai spiritualitas di tempat kerja. Terkait hal tersebut, kami memohon bantuan kepada rekan-rekan yang sudah bekerja untuk mengisi dan pelengkapi kuesioner darin ini.
Adapun syarat partisipan penelitian ini adalah:
1. Karyawan (PNS maupun Swasta)
2. Warga Negara Indonesia
Pengisian kuesioner daring ini membutuhkan waktu 5-10 menit hingga selesai. Tidak ada jawaban yang salah. Jawaban terbaik adalah jawaban yang paling sesuai dengan keadaan diri anda. Sesuai dengan kode etik penelitian, semua jawaban yang Anda berikan akan sangat terjaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian saja.
Atas kesediaannya membantu pelaksanaan penelitian ini, kami menghaturkan rasa terimakasih sedalam-dalamnya.
Atas nama tim peneliti: Clara Moningka
Intaglia Harsanti, Nilam Widyarini, Praesti Sedjo
Pemahaman Agama Yang Utuh Sebagai Upaya Mencegah Terorisme
- Details
- Written by Indah Rizki Maulia
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.4. No.11, Juni 2018
Pemahaman Agama Yang Utuh Sebagai Upaya Mencegah Terorisme
Oleh
Indah Rizki Maulia
Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Isu terorisme sepertinya masih mewarnai Indonesia. Adanya peristiwa pemboman yang terjadi pada beberapa waktu terakhir antara lain di Surabaya tanggal 13 Mei 2018 membawa keresahan tersendiri di masyarakat. Menurut Martin (2018) keresahan dan ketakutan yang menyebar luas memang merupakan salah satu tujuan dari terorisme. Terganggunya persatuan bangsa dan toleransi beragama di Indonesia juga menjadi ancaman yang perlu diwaspadai.
Tersangka pemboman di Surabaya dikatakan memiliki motif agama dalam melakukan aksinya karena objek penyerangannya adalah tempat ibadah agama lain. Terlepas dari benar tidaknya bahwa para tersangka memang benar merupakan pelaku pemboman dengan motif agama ataupun adanya isu-isu mengenai konspirasi politik menjelang Pilkada 2018 dan Pemilihan Presiden 2019, perlu kiranya dipahami bahwa ekstremisme dalam hal apapun termasuk agama dapat membawa individu ke arah yang salah. Para ekstremis yang melewati batas hingga mengambil jalan menjadi teroris selalu membangun argumen untuk merasionalisasi aksi kekerasan yang dilakukan baik dengan alasan membela negara, masyarakat, agama, dan hal lainnya (Martin, 2018).
Tony Peachy seorang tentara Kanada bercerita dalam tulisannya tentang ketertarikannya menjadi pelaku terorisme. Pada tulisan tersebut diungkapkan bahwa keluarga dan gereja selalu mengajarkan tentang nilai-nilai keadilan, namun justru Peachy mengalami ketidak adilan oleh negaranya. Ditambah lagi dengan informasi-informasi negatif yang didapatnya dari media. Ini membuatnya berpikir bahwa tiap rasa sakit dan kedukaan harus mendapatkan keadilan baik di bumi maupun di kehidupan setelah kematian. Peachy mengatakan pada saat itu dengan kenaifannya hanya memahami bahwa kehidupan harusnya sesuai dengan nilai-nilai yang dipercayainya (Peachey, 2016).
Apa yang terjadi pada Peachey juga dapat terjadi pada penganut agama lain di belahan bumi lainnya termasuk di Indonesia, dimana kenyataan di masyarakat dan negara kadang atau bahkan sering kali tidak sesuai dengan yang mereka pahami dalam ajaran agamanya. Hal ini kemudian mendorong beberapa orang untuk melakukan perilaku teorisme demi menegakkan nilai-nilai yang dipercayainya.
Apakah ini kesalahan agama? Kita meyakini bahwa agama berisi kebaikan dan merupakan jalan hidup yang berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Letak kesalahan kemungkinan besar berada pada manusianya. Salah satu kemungkinan kesalahan perilaku ini dimulai dari adanya kesalahan berpikir. Manusia dapat membuat kesimpulan dan memutuskan suatu tindakan berdasarkan informasi yang tersimpan dalam ingatannya dan pola pikir yang digunakan. Jika ajaran-ajaran agama menjadi dasar berpikir seseorang maka seharusnya akan menjadi hal yang baik ketika manusia memperoleh pemahaman yang utuh/menyeluruh dari ajaran agamanya.
Jika memang benar ada muslim/penganut agama Islam yang menjadi teroris maka kemungkinan mereka belum memahami Islam secara utuh dan benar, karena Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al An’aamayat 82, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezholiman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Dengan demikian seharusnya perbuatan zholim seperti menghilangkan nyawa orang lain (tidak dalam kondisi perang) apalagi yang sedang beribadah tidak dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya beragama Islam. Menghina agama lain pun bahkan bukanlah perbuatan yang diperbolehkan dalam Islam sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur’an surat Al An’Aamayat 108, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.”
Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menambah informasi dan memperdalam pemahaman mengenai ajaran agama, antara lain dengan membuat sarana belajar agama intensif untuk seluruh lapisan masyarakat. Mengadakan mentoring agama di sekolah-sekolah bahkan institusi lain seperti perkantoran, dimana mentoring tersebut diisi oleh materi-materi yang dapat membantu umat memahami agamanya secara benar dan utuh. Untuk mengadakan program mentoring ini pemerintah dapat bekerjasama dengan para pemuka agama yang baik dan lurus pemahaman agamanya. Mengadakan kajian-kajian tematik mengenai penerapan agama dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat baik dalam hal keimanan, ibadah, politik, ekonomi, sosial, dan aspek lainnya. Banyak lagi hal lainnya yang dapat dilakukan untuk bisa membantu semua umat beragama agar lebih memahami ajaran agamanya secara utuh. Diharapkan pemahaman agama yang semakin baik dan lurus akan memperbaiki proses berpikir dan perilaku dari para pemeluknya. Kita harapkan tidak ada lagi terorisme di bumi Indonesia ini dan di seluruh belahan bumi lainnya.
Referensi
Martin,G. (2018). Understanding terrorism: challenges, Perspective, & Issues (6th ed.). California: Sage Publications, Inc.
Peachey,T. (2016). Reasonable grounds for the irrational: or How I briefly became a domestic terrorist. Canada: Kindle.
Karakter: Sebuah Pengantar
- Details
- Written by Suprapti Sumarmo Markam
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.4. No.10, Mei 2018
Karakter: Sebuah Pengantar
Oleh:
Suprapti Sumarmo Markam
Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI
Pendahuluan
Orang tua, meskipun tidak menyatakannya secara eksplisit, ingin agar anaknya kelak menjadi anak yang soleh, pandai, mandiri, sayang pada orangtua dan sesama, serta memiliki sifat utama lainnya. Hal ini merupakan upaya pendidikan karakter, yakni mengembangkan perilaku dan sifat, yang mencerminkan nilai-nilai baik, yang menuju suatu kebajikan (virtue) universal.
Sifat dan nilai yang manakah yang akan diutamakan dalam keluarga? Ini sangat bergantung pada zaman, lingkungan sosial-budaya setempat dan faktor-faktor lain. Dalam era 1950-an (mungkin sekarang juga masih demikian), kebanyakan keluarga di Indonesia berusaha agar anak-anaknya, khususnya anak usia remaja, memiliki kemandirian, semangat juang, kebanggaan dan kehormatan diri, pandai dan berhasil dalam karir, dan sebagainya. Keluarga di Jakarta era 2000-an mungkin lebih mengutamakan agar anak-anak mempunyai wawasan internasional, mencapai prestasi dan karir setinggi mungkin juga berhasil dalam kompetensi.
Apakah yang Dimaksud dengan “Karakter”?
Karakter, atau watak, atau perangai, atau sifat, adalah salah satu aspek kepribadian yang merupakan hasil interaksi terus menerus antara faktor-faktor bawaan dan faktor-faktor lingkungan. Interaksi ini membentuk suatu kecenderungan yang sifatnya neuropsikis, untuk bertingkah laku dengan cara tertentu ketika menghadapi stimuli dari lingkungan (Allport dalam Suryabrata, 2001).
Di antara faktor-faktor “bawaan” terdapat faktor genetik berupa temperamen, otak dan susunan saraf, serta sensitivitas faali seseorang. Faktor “lingkungan” dapat merupakan lingkungan fisik dan lingkungan sosial dan psikologis. “Kecenderungan” dalam definisi di atas pada suatu saat dalam perkembangan manusia, menjadi suatu struktur yang relatif autonom dan menjadi penentu tingkah laku seseorang. Kecenderungan ini kadang-kadang dinamakan, sifat, diri/aku, kepribadian, atau karakter.
Apakah yang dianggap merupakan “karakter” atau karakter yang baik? Bagi Russel (1957), empat ciri utama karakter yang baik adalah vitalitas, keberanian, sensitivitas dan inteligensi. Bagi Slamet Iman Santoso (1979) watak yang baik ialah bila seseorang itu jujur, mempunyai kehormatan diri, tahu batas kemampuan diri, dan pintar, terutama yang berhubungan dengan ketrampilan hidup mandiri. Sementara Soedarsono (2008) menyebutkan bahwa karakter adalah lima sikap dasar, yakni jujur, terbuka, berani bertanggung jawab, berkomitmen, dan berbagi pengalaman.
Kini ada gerakan yang dinamakan “psikologi positif” yang diprakarsai antara lain oleh Peterson dan Seligman (2004) yang membahas kekuatan kebajikan dan karakter. Seligman melakukan suatu survei internasional dan mengemukakan (berdasarkan analisis faktor) 24 jenis karakter yang menuju pada enam kebajikan universal. Berikut ini adalah kebajikan dan karakter yang tercakup dalamnya:
- Kearifan dan pengetahuan. Mencakup karakter a) kreativitas, b) keinginan mengetahui, c) keterbukaan, d) kecintaan untuk belajar, e) adanya perspektif
- Keteguhan hati (courage). Mencakup karakter a) keberanian, b) ketekunan, c) integritas, termasuk di sini kejujuran, d) vitalitas
- Perikemanusiaan dan cinta kasih. Mencakup karakter a) cinta, b) kebaikan hati (kindness) dan c) kecerdasan sosial
- Keadilan. Mencakup a) kesadaran berwarganegara (citizenship), b) keadilan (fairness), c) kepemimpinan
- Pembatasan diri (temperance). Mencakup karakter a) memaafkan, b) rendah hati, c) kehati-hatian (prudence), dan d) regulasi diri
- Transendensi/spiritualitas. Mencakup karakter a) apresiasi terhadap keindahan, b) berterimakasih, bersyukur (gratitude), c) harapan, d) humor
Pada umunya semua karakter ada pada seseorang atau suatu kelompok orang, namun karakter yang kuat tidak sama antara satu orang dengan yang lain. Beberapa penelitian untuk kebajikan dan karakter ini telah dilakukan. Studi yang dilakukan pada masyarakat Jakarta menemukan bahwa kekuatan karakter beberapa kelompok populasi di Jakarta mengarah pada kebajikan “spiritualitas”. “perikemanusiaan” dan “keadilan” (Oriza & Nurwianti, 2009; Ratri, 2008).
Kebajikan dan kekuatan karakter ini juga diteliti dengan aspek nilai. Penelitian Juneman, Meinarno, dan Putra (2012) menguji hubungan antara kebajikan dan karakter dengan nilai nasional (Pancasila). Hasilnya menunjukkan adanya korelasi positif antar sejumlah dimensi kebajikan/kekuatan, karakter dan nilai nasional. Kebajikan transedensi berkorelasi dengan nilai religio-toleransi (sila pertama), kebajikan keadilan berkorelasi dengan nilai nasional keadilan sosial (sila 5) dan nilai kemanusiaan (sila 2) dan yang terakhir adalah hubungan positif kebajikan transedensi dan nilai demokrasi (sila 4).
Penutup
Tulisan awal ini merupakan salah satu respon awal terhadap pertanyaan mendasar tentang karakter dan sekaligus pembuka wawasan atas kajian karakter dalam psikologi. Zaman bergerak, tapi kembali pada tema awal tulisan ini bahwa perilaku, sifat, yang mencerminkan nilai-nilai baik, yang menuju suatu kebajikan (virtue) universal tetap dibutuhkan sepanjang masa.
*Naskah ini adalah bagian dari makalah yang berjudul Keluarga dan Pembentukan Karakter yang dipaparkan pada seminar dan lokakarya bagi guru-guru, dalam rangka pendidikan karakter di sekolah. Acara diselenggarakan oleh Yayasan Jati Diri Bangsa (2010). Naskah ini disunting dan dilengkapi oleh Eko A Meinarno dan Tim Editor Buletin KPIN.
Referensi
Juneman, J., Putra, F., Meinarno, EA. (2012). Kompatibilitas keutamaan karakter dengan nilai-nilai Pancasila: Perspektif kontrak psikologis dan kontrak sosial. Prosiding SNaPP: Sosial, Ekonomi dan Humaniora, 3(1), 253-260.
Oriza, ID., Nurwianti, F. (2010). Hubungan antara kekuatan karakter dan kebahagiaan pada orang Indonesia. Ringkasan Laporan Penelitian. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Peterson, C., Seligman, ME. (2004). Character strengths and virtues: A handbook and classification (Vol. 1). Oxford University Press.
Ratri, ID. (2008). Profil kekuatan karakter dan kebajikan. Tugas Akhir Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Russel, B. (1957). On education. 12th ed. London: Unwin Brothers ltd.
Santoso, SI. (1979). Pembinaan watak tugas utama pendidikan. Jakarta: UI Press.
Soedarsono, S. (2004). Character building, membentuk watak. Jakarta: PT. Gramedia.
Suryabrata, S. (2001). Psikologi kepribadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.