Beranda
Well-being Pendukung Ekstremisme Kekerasan
- Details
- Written by Any Rufaedah
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 03 Februari 2020
Well-being Pendukung Ekstremisme Kekerasan
Oleh
Any Rufaedah
Division for Applied Social Psychology Research (DASPR)
Sekitar sepuluh tahun lalu, saya pernah belajar subjective well-being, topik yang dikategorikan "psikologi positif" bersama topik lain seperti pernikahan, parenting, work engangement, leadership. Karena pernah belajar well-being dan sekarang belajar ekstremisme kekerasan, saya berpikir untuk menuliskan keduanya dalam satu artikel, yang jika dirangkai dalam satu judul menjadi "well-being pendukung ekstremisme kekerasan." Tentu yang akan saya bahas ini adalah kajian mendasar dengan literatur review yang sederhana.
Subjective well-being (SWB) adalah evaluasi seseorang atas kehidupannya, meliputi afeksi menyenangkan, afeksi tidak menyenangkan, dan kepuasan hidup (Tov & Diener, 2009). Triandis (2000) menjelaskan tujuan studi-studi SWB adalah melihat apakah seseorang merasa puas atas hidupnya dan apa yang membuat mereka merasa puas? Istilah SWB, kebahagiaan, kepuasan, sering digunakan bersama-sama atau dipertukarkan. Studi Campbell, Converse, dan Rodgers (1976) menemukan orang berusia di bawah 35 tahun lebih bahagia dibanding orang berusia di atas 75 tahun, namun sebaliknya, orang berusia tua merasa lebih puas pada kehidupannya. Studi ini menunjukkan bahwa kebahagiaan dan kepuasan tidak dapat selalu disamakan meskipun saling bertalian.
Sebagai kajian mendasar, artikel ini tidak masuk pada kajian teoritis secara mendalam. Singkat kata, apa yang membuat para pendukung kelompok ekstremis kekerasan, terutama ISIS, bahagia? Jawaban pertanyaan itu saya sarikan dari hasil wawancara dengan narapidana/mantan narapidana terorisme dan istri, serta studi media sosial. Berdasarkan hasil pengumpulan data, diperoleh tujuh domain yang membuat para pendukung kelompok ekstremis kekerasan merasa bahagia, puas, atau bersyukur, yaitu: (1) Kematian aparat militer; (2) Kematian ada tokoh pemerintahan meninggal; (3) Ketika pendukung (ikhwan) melakukan amaliyah (aksi); (4). Kesyahidan pendukung (ikhwan); (5) Berkumpul dengan sesama pendukung; (6) Dapat berhijrah, terutama ke negara-negara yang diklaim sebagai wilayah negara Islam, seperti Philipina di Asia Tenggara dan Syria untuk wilayah pusat (7). Dapat beramaliyah atau melakukan persiapan amaliyah (aksi).
Ketika ada aparat militer dikabarkan meninggal dunia, para pendukung biasanya bersyukur dengan mengucap Alhamdulillah, Allahu Akbar, mampus, semoga bertambah banyak, dan sejenisnya. Mereka sangat senang karena militer adalah musuh utama yang menghalang-halangi perjuangan penegakan negara Islam di Indonesia. Reaksi serupa diberikan ketika ada tokoh pemerintahan meninggal. Bagi para pendukung ISIS, pemerintah biasa disebut taghut, yang dalam pengertian sederhana berarti orang atau kelompok yang melampaui batas. Mereka dikategorikan sebagai musuh karena menerapkan aturan buatan manusia berupa demokrasi serta menolak syariat Islam.
Ketiga, ketika terjadi amaliyah oleh ikhwan. Para pendukung bersyukur dengan mengucap Alhamdulillah, Allahu Akbar, Daulah baqiyyah, Taqabbalallah, semoga dapat menyusulnya, dan sejenisnya. Bagi para pendukung, amaliyah dan mati syahid adalah sebuah capaian luar biasa, oleh karena itu mereka yang melakukan amaliyah sangat dimuliakan, berbanding terbalik dengan Muslim non pendukung ekstremisme kekerasan yang melabeli mereka teroris bahkan ada yang menolak jenazah mereka.
Kemuliaan syahid membuat para pendukung sangat berharap dapat melakukan amaliyah dengan tangan mereka sendiri. Oleh sebab itu, jika ada pendukung yang berhasil melakukan amaliyah, tak sedikit pendukung lain berharap dapat mengikuti jejaknya. Jika belum dapat melakukan amaliyah, setidaknya mereka melakukan persiapan-persiapan fisik atau yang disebut i'dad.
Dua faktor terakhir adalah dapat berkumpul dengan pendukung seaqidah dan berhijrah ke wilayah negara Islam. Sebagaimana diketahui, para pendukung kelompok ekstremisme kekerasan menolak banyak hal yang dipandang tidak memiliki dasar dalam Islam, seperti demokrasi, tahlil, ziarah, maulid Nabi, dan sebagainya. Mereka juga sangat ketat dalam hal-hal yang dipandang dapat menyebabkan kesyirikan seperti hormat bendera, menyanyikan lagu Indonesia raya, mengakui Pancasila, sumpah jabatan, pemilu, dan semacamnya. Masjid pun sering dipersoalkan, apakah shalat di masjid kelompok yang tidak seaqidah menyebabkan tidak sahnya shalat?
Pandangan-pandangan seperti itu menyebabkan rasa resah saat berada di lingkungan dengan orang-orang yang tidak seaqidah. Indonesia, bagi para pendukung adalah darul kuffar (negara kafir) yang penuh kemaksiatan, mudarat, ketidakadilan, dan semacamnya. Hidup di lingkungan seperti itu adalah "siksaan" bagi para pendukung. Oleh sebab itu, mereka sangat berharap dapat hijrah ke negara Islam Syria atau Filipina untuk wilayah ISIS Asia Tenggara.
Dari sisi para istri, kebahagiaan datang dari rasa bangga terhadap mujahid. Mereka berpandangan mujahid adalah golongan orang-orang terpuji, baik di mata manusia maupun di hadapan Allah. Banyak para istri yang telah mengetahui resiko ditinggal untuk berjihad atau karena mati syahid sebelum melakukan pernikahan. Namun kemuliaan seorang mujahid lebih berarti dibanding resiko-resiko itu. Oleh karena itu, tak ayal jika banyak perempuan pendukung yang rela menikah dengan narapidana kasus terorisme yang masih menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan.
Referensi:
Campbell, A., Converse, P. E, & Rodgers, W. L. (1976). Quality of American life: The perceptions, evaluations, and satisfactions. New York: Russell Sage Foundation.
Tov, W. & Diener, E. (2009). Culture and subjective wll-being. Dalam E. Diener (Ed.), Culture and well-being: The collected works of Ed Diener, 38. New York: Springer.
Triandis, H. C. (2000). Cultural syndromes and subjective well-being. Dalam Diener & Suh (Eds.). Culture and subjective well-being. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press.
Mengapa Orang Beragama di Indonesia dianggap Lebih Baik? Melihat Melalui Kacamata Norma Sosial Beragama
- Details
- Written by Subhan El Hafiz
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 02 Januari 2020
Mengapa Orang Beragama di Indonesia dianggap Lebih Baik? Melihat Melalui Kacamata Norma Sosial Beragama
Oleh
Subhan El Hafiz
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Pada tahun 2013, sekelompok peneliti melakukan survey pada orang-orang beragama di 64 negara di seluruh dunia dan menemukan fakta penting yang menjelaskan kenapa orang beragama itu bahagia (lihat Stavrova, Fetchenhauer, & Schlösser, 2013). Hasilnya menunjukkan bahwa orang yang religius lebih bahagia dibanding kelompok non-religious. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa norma sosial berperan penting untuk menguatkan efek kebahagiaan dari orang-orang beragama tersebut. Namun, pembahasan kali ini tidak dikhususkan terhadap kesimpulan penelitian yang sudah disampaikan, namun mengelaborasi fakta penelitian ini pada salah satu negara yang menjadi responden penelitian tersebut, yaitu Indonesia.
Penelitian Stavrova dkk. (2013) di atas ikut menjadikan 1.728 masyarakat Indonesia sebagai sampel penelitiannya. Jangan terlalu naif untuk mempertanyakan “keterwakilan” sampel tersebut untuk 250 juta lebih masyarakat Indonesia, biarlah itu menjadi diskusi dalam kajian statistik yang tentu saja didukung oleh argumentasi peneliti. Secara umum, jumlah responden tiap negara yang di survey berbeda-beda dan memang penelitian ini tidak secara khusus ingin memberikan gambaran religiositas dimasing-masing negara, tetapi melihat perbandingan antar negara sehingga jumlah tersebut cukup representatif untuk dapat diterima.
Religious Social Norm (Norma Sosial Beragama)
Norma sosial beragama, dalam penelitian ini adalah orang yang beragama dinilai lebih baik daripada orang yang tidak beragama. Indonesia, sebagai salah satu negara yang disurvey, memiliki indeks norma sosial beragama tertinggi dibanding semua negara lain yang disurvey. Jadi di Indonesia, penilaian terhadap seseorang sangat ditentukan dari latar belakang keyakinannya pada agama. Walaupun penduduk Indonesia mayoritas Islam, namun hal ini tidak mencirikan agama tertentu saja karena di negara lain pun terdapat negara-negara yang memiliki norma sosial beragama yang tinggi walaupun mayoritas bukan Islam.
Georgia yang mayoritas Ortodox, Trinidad & Tobago yang mayoritas Katolik, dan Zambia yang umumnya Kristen memiliki norma sosial beragama yang masuk kategori tinggi. Sedangkan negara maju seperti, Amerika Serikat dan Polandia termasuk negara dengan level sedang. Sementara negara lain, seperti Prancis dan Jerman ada dalam kelompok negara dengan level norma sosial beragama yang rendah. Dengan data ini, kita bisa tarik kesimpulan bahwa jenis agama tidak menentukan level dari norma sosial beragama. Lalu apa yang menarik untuk Indonesia dari hasil penelitian ini? Jawabannya bisa kita lihat dari data lain dari penelitian ini, yaitu keragaman tradisi keagamaan berada pada level sedang.
Variasi tradisi keagamaan di Indonesia lebih tinggi dari pada beberapa negara lain, seperti Thailand, Luxemburg, Mali, Malta, Peru, Turki, dan Norway. Hal ini menunjukkan bahwa pada masyarakat Indonesia, tradisi keberagamaan tidak didominasi oleh satu kelompok tertentu. Dengan demikian, masyarakat Indonesia yang sangat religius ternyata juga cukup terbuka dengan keberagaman tradisi agama.
Tantangan Keberagamaan di Indonesia
Lalu apa yang dapat kita aplikasikan dari penelitian ini, khususnya untuk data Indonesia? Pertama kita perlu menyadari bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat positif melihat agama sebagai modal sosial dan modal psikologis masyarakatnya. Sebagai modal sosial, agama dijadikan referensi moral tindakan sosial di masyarakat, sedangkan sebagai modal psikologi agama menjadi sumber kebahagiaan seseorang. Artinya, agama adalah potensi nasional bangsa Indonesia walaupun mungkin ada beberapa hal yang perlu diwaspadai agar agama tidak menjadi masalah.
Salah satu ancaman yang dapat muncul dari fakta kehidupan beragama di Indonesia adalah munculnya prasangka terhadap orang yang dianggap tidak beragama atau berbeda agama. Tidak hanya menjadi atheis, perbedaan keyakinan agama dapat berpotensi untuk dikategorikan sebagai tidak percaya Tuhan. Dengan demikian, tantangan terbesar dari keberagamaan di Indonesia adalah munculnya prasangka berbasis agama. Implikasi lebih jauh, prasangka ini dapat menjadi sumber radikalisme dalam beragama yang memandang hanya orang dalam agamanya saja yang benar dan baik. Walaupun kajian terhadap orang-orang yang tergabung dalam kelompok teroris, pandangannya lebih sempit karena hanya kelompoknya saja yang dianggap benar walaupun tetap dalam satu agama. Berdasarkan data penelitian di atas, walaupun norma sosial beragama memberi potensi munculnya prasangka agama, namun keragaman tradisi agama di Indonesia dapat meminimalisir hal tersebut.
Dengan demikian, pengelolaan kehidupan beragama harus lebih mendorong saling menghargai tradisi keberagamaan masyarakat. Namun perlu ditekankan bahwa tradisi tersebut harus sesuai dengan nilai agama yang ada karena variasi tradisi yang menyimpang dari pokok agama akan ditolak oleh masyarakat. Jika hal ini terjadi maka keragaman tradisi keagamaan dianggap sebagai masalah bukan lagi sebagai potensi.
Mengelola Keragaman Tradisi Beragama
Poin ini menjadi penting dalam mengatasi munculnya prasangka agama dan lebih jauh dalam mencegah radikalisme agama. Masyarakat Indonesia perlu diberikan pemahaman mengenai pokok-pokok agama, sehingga mereka dapat menghargai perbedaan tradisi agama jika memahami bahwa perbedaan tersebut bukanlah pada dasar agamanya. Sinkretisme atau menggabungkan keyakinan antar agama perlu dihindari karena hanya akan membuat orang-orang yang tergabung dalam kelompok agama yang lebih radikal semakin tidak menerima keragaman tradisi beragama.
Dalam konteks lebih kecil, individu, keluarga dan sekolah, perlu diajarkan pokok-pokok agama yang dengannya tiap anak dapat didorong untuk menghargai perbedaan tradisi beragama selama tetap sesuai dengan dasar agama. Tanpa pemahaman yang benar terhadap pokok agama masing-masing, kelompok radikal dapat menggiring pada sumber masalah. Jika direkrut oleh kelompok radikal-liberal, yang menerima tradisi beragama walaupun keluar dari kelompok agamanya, akan semakin memunculkan ketidaksukaan masyarakat terhadap variasi tradisi agama. Sebaliknya jika direkrut oleh kelompok radikal konservatif, akan lebih banyak orang beragama yang penuh prasangka.
Pada akhirnya, Indonesia memiliki tantangan terhadap prasangka beragama yang dapat menyebabkan masalah dalam lingkungan sosial. Namun demikian, tantangan tersebut juga disertai dengan potensi keragaman tradisi agama yang dapat mendorong mereka menjadi lebih moderat dalam beragama. Dengan demikian, dengan pengelolaan yang benar, agama bukan menjadi sumber masalah tapi modal sosial dan modal psikologi bangsa Indonesia.
Referensi:
Stavrova, O., Fetchenhauer, D., & Schlösser, T. (2013). Why are religious people happy ? The effect of the social norm of religiosity across countries. Social Science Research, 42(1), 90–105. https://doi.org/10.1016/j.ssresearch.2012.07.002
Psikologi untuk Kemajuan Indonesia
- Details
- Written by Eko A Meinarno
- Category: Arsip Artikel
ISSN 2477-1686
Vol.6 No. 01 Januari 2020
Psikologi untuk Kemajuan Indonesia
Oleh
Eko A Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Ide tulisan ini timbul karena tantangan masa depan generasi penerus untuk masa kini dan masa depan makin berkembang. Merujuk perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dunia tahun 2019, Indonesia di urutan 111 (HDRO, 2019). Posisi ini masuk dalam kategori tinggi di dunia. Dengan catatan bahwa prestasi ini masih dibawah capaian negara-negara tetangga di ASEAN.
Pemetaan sumber daya manusia Indonesia juga dilakukan. Data BPS mengenai Indeks Pembangunan Manusia sejak tahun 2010 menunjukkan prestasi. Hal ini ditunjukkan dengan posisi IPM tahun 2010 di kategori sedang, sekarang (2018) sudah masuk dalam kategori tinggi (BPS, diunduh 2019). Kedua data yang berasal dari BPS dan HDRO menunjukkan keselarasan. Ini adalah hal positif yang patut disyukuri. Hasil IPM saat ini bukan untuk berpuas diri. Justru yang menjadi perhatian adalah adanya kebutuhan baru bagi manusia Indonesia di masa kini dan masa depan. Untuk masa depan atau setidaknya saat ini, dibutuhkan manusia Indonesia yang mempunyai kecakapan khusus. Kecakapan ini tidak lepas dari kebutuhan untuk menjalani era industri 4.0.
Pranoto (2019) mengajukan kecakapan yang diharapkan dimiliki oleh generasi muda. Kecakapan unik yang diharapkan antara lain berpikir luwes dan kreatif, mengkaji masalah baru, berkomunikasi kompleks (memotivasi siswa atau bawahan), menafsirkan perasaan, mengungkapkan perspektif sosial dan lain-lain. Bagaimana cara untuk dapat membangun kecakapan-kecakapan ini?
Psikologi Bekerja
Dalam tulisannya, Meinarno (2019) menjelaskan bahwa kontribusi psikologi untuk revolusi industri 4.0 diantaranya adalah kesiapan individu. Individu seperti apa yang diharapkan? Pada saat jelang memasuki milenium baru, peneliti psikologi sosial ME Markum (1998) mengajukan sifat-sifat yang mendukung individu berprestasi. Dalam salah satu studinya, dengan memperhatikan tokoh-tokoh yang dianggap berprestasi tinggi diketahui ada enam sifat yang melekat yakni kerja keras, disiplin, komitmen, prestatif, mandiri, dan realistis. Keenam sifat ini dapat dilihat sebagai modal dasar individu untuk menjadi individu yang dapat menjadi bagian pembangunan Indonesia. Terlihat klise, tapi keenam sifat itu tidak lekang dimakan masa, setidaknya tidak ada orang sukses yang hanya dengan berdiam diri kemudian menjadi sukses.
Untuk situasi pelakunya, dan persiapan untuk menghadapi revolusi industri 4.0 tidak lepas dari faktor eksternal individu. Dalam hal ini penulis melihat bahwa pendidikan adalah faktor yang sangat penting bagi individu dalam mempersiapkan dirinya.
Kecakapan bukan sesuatu yang terberi. Kecakapan perlu didesain dan dibuat. Kondisi ini dapat dilakukan dengan metode belajar. Manusia perlu belajar untuk melakukan perubahan bagi dirinya. Salah satu cara belajar dengan melalui pendidikan. Pendidikan tampaknya tidak bisa tidak harus menjadi bagian untuk membangun kecakapan, termasuk kecakapan yang diajukan oleh Pranoto. Hal yang menguntungkan adalah bahwa merujuk badan pendidikan PBB yakni UNESCO disebutkan adanya empat pilar pendidikan. Keempat pilar itu adalah Belajar untuk tahu (to know), Belajar untuk mendorong perserta didik dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata (to do), Belajar untuk membangun jati diri (to be), dan Belajar untuk membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together) (Rachman, 2019).
Keempat pilar ini diharapkan menjadi bagian dalam sistem pendidikan Indonesia juga. Pilar-pilar ini sebagai faktor eksternal individu yang dikenalkan di sistem pendidikan. Pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi ditopang oleh keempat pilar ini. Dengan demikian faktor internal dari diri kemudian akan terbantu dengan dorongan faktor eksternal ini. Mungkin sebagai analogi, faktor internal ditumbuhkan dalam keluarga, seperti disiplin. Kedisiplinan di rumah atau keluarga akan terbawa saat di lingkungan sekolah. Saat individu masuk sekolah yang berarti masuk ke dalam sistem yang besar. Di sini sekolah mengarahkan untuk mengenal manfaat dari disiplin melalui pelajaran atau kegiatan penunjang. Dengan demikian maka faktor internal tadi diperkuat dengan kehadiran pendidikan yang berlatar empat pilar tadi. Setelah melalui pendidikan, maka individu perlahan dibentuk dan dibangun untuk menjadi cakap. Kecakapan yang dibutuhkan saat ini dan masa depan.
Penutup
Psikologi masih berpeluang besar untuk ikut serta dalam pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Psikologi Indonesia setidaknya pernah mengajukan sifat yang dianggap mampu berkontribusi terhadap pembangunan. Namun hal itu belum selesai. Masih ada kesenjangan bagaimana cara atau metode untuk menumbuhkembangkan sifat-sifat tadi. Adakah ketertarikan peneliti-peneliti psikologi untuk lebih menggali lagi kontribusi sifat atau pengejawantahan pilar pendidikan. Adakah kesenjangan-kesenjangan yang bisa jadi dapat diuji secara teoretik atau uji empirik. Atau bisa jadi kecakapan-kecakapan yang diharapkan tidak pas (fit) dengan kondisi riil yang ada. Lagi-lagi psikologi berpeluang (dan bisa) menjawab tantangan zaman, untuk kembali memahami perilaku manusia yang unik (dan khas Indonesia).
Referensi:
https://www.bps.go.id/website/materi_ind/materiBrsInd-20190415114818.pdf
Human Development Report. (2019). Human development indices and indicators" (PDF). HDRO (Human Development Report Office) United Nations Development Programme. pp. 22–25. Retrieved 9 December 2019.
Markum, M. E. (1998). Sifat sumber daya manusia Indonesia penunjang pembangunan: Studi tentang prasyarat sifat, latar belakang keluarga dan Sekolah dari individu berprestasi tinggi. Disertasi. Universitas Indonesia. tidak dipublikasikan. Diunduh dari: http://www. lontar. ui. ac. id//opac/themes/libri2/detail. jsp.
Meinarno, E. A. (2019). Kesiapan dan kontribusi psikologi untuk revolusi industri 4.0. Dalam Psychofee: Psychology for Daily Life Series. Penyunting: Selviana, Gita WL Soerjoatmodjo, Subhan El Hafiz, Ika W Pratiwi, Sarah Rachmawati, Dwi N Pustpitasari. USU Pers. Medan.
Pranoto, I. (2009). Pemutakhiran manusia. Kompas, Senin, 23 Desember 2019. Hal 7.
Rachman, A. (2019). Tantangan hidup dalam keberagaman: Tantangan remaja unggul menghadapi era masyarakat 5.0. Materi lokakarya Tantangan Remaja Unggul Dalam Menghadapi Masyarakat Era 5.0. Universitas Indonesia, Depok.