ISSN 2477-1686
Vol. 1., No. 2, November 2015

ABSTRAK 1: Artikel Induk

Psikologi Ulayat

 

Sarlito Wirawan Sarwono

 

Fakultas Psikologi

Universitas Persada Indonesia YAI

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

Psikologi klasik cenderung konservatif, yang lebih banyak berurusan dengan teori-teori tentang proses-proses individual dan yang bersifat universal. Kecenderungan kepada paradigma sosial, berawal ketika psikolog-psikolog Eropa, Serge Moscovici meluncurkan gagasannya tentang reprentasi sosial (1961) dan Henrri Tajfel dan Turner mempublikasikan teori mereka tentang identitas sosial (1979). Psikologi tidak lagi semata-mata individual, namun terkait dengan lingkungan sosial dan kebudayaan. Setiap kelompok, ras atau etnik, jadinya punya psikologinya sendiri yang relevan dengan konteks kehidupan masing-masing. Di tahun 1933 seorang psikolog Asia, Uichol  Kim dan sejawatnya orang Eropa,John Berry mencetuskan istilah indigenous psychologyyang didefiniskannya sebagai "studi ilmiah tentang perilaku dan minda (mind) manusia yang berasal dari dirinya sendiri (native), yang tidak dibawa dari daerah lain, dan dirancang untuk orang-orang itu sendiri”. Karena tidak ada padanan dalam bahasa Indonesia untuk kata “indigenous”, maka dalam sebuah Konges Ikatan Psikologi Sosial di Universitas Indonesia, Jakarta, pada tahun 1999, saya mencetuskan kata “ulayat”. Saya meminjam istilah itu dari antropologi dan hukum adat, karena artinya sangat mirip dengan definisi Kim and Berry tentang “indigenous”.  Tulisan ini membahas sejarah, pengembangan teori dan terapan bidang psikologi baru ini di Indonesia.

Kata kunci:. Psikologi sosial, psikologi budaya, psikologi Asia, psikologi ulayat

ABSTRAK 2

Memahami Identitas Budaya Kuliner dan Sisi Simbolik dari Makanan

dalam Ritual Budaya Suku ‘Using’ Banyuwangi, Jawa Timur

 

Tutut Chusniyah

 

Fakultas Psikologi

Universitas Negeri Malang

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

 

Makanan terkait dengan prinsip-prinsip identitas sosial, dengan kehidupan kita sehari-hari, dengan keluarga dan individu, dengan sesuatu yang bersifat suci atau duniawi. Selain hal itu budaya kuliner juga memiliki makna dan rasa internal. Setiap makanan yang digunakan dalam ritual budaya selalu memiliki sisi simbolik, makna dan moral yang mewakili identitas budayanya. Penelitian kualitatif ini mencoba untuk memahami bagaimana sisi simbolik dari makanan yang digunakan dalam ritual budaya suku ‘Using’ dan mengapa masyarakat menggunakan makanan tertentu dalam ritual budaya yang mereka gelar. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terhadap beberapa orang ‘Using’ di Banyuwangi, Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makanan yang digunakan dalam ritual budaya suku ‘Using’ memiliki makna simbolik yang melambangkan dewa-dewa dan roh suci, melambangkan pengharapan masyarakat dan juga menunjukkan adanya identitas lokal suku Using yang membedakannya dari yang bukan suku’Using’. Identitas budaya kuliner dan sisi simbolik makanan yang digunakan dalam ritual didiskusikan.

 

Kata kunci: Identitas budaya kuliner, sisi simbolik dan ritual budaya

 

ABSTRAK 3

Makna Perasaan Malu dan Perasaan Bersalah dalam Masyarakat Papua

 

Ardiningtiyas Pitaloka

 

Fakultas Psikologi

Universitas Yarsi, Jakarta

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

‘Mai’ dalam bahasa Biak, Papua, memiliki arti malu dan bersalah. ‘Yamai rao’ artinya saya malu sekali, tetapi juga bisa berarti saya merasa bersalah sekali. Saat ini, masyarakat Papua cenderung menggunakan bahasa Melayu-Papua atau bahasa Indonesia dengan aksen Papua daripada bahasa asli. Hal ini karena banyaknya bahasa dari beragam suku yang ada di Papua. Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan psikologi ulayat, untuk mengeksplorasi makna perasaan malu dan bersalah bagi masyarakat Papua. Subjek studi memiliki karakteristik suku bangsa Papua, usia dewasa awal, dan memiliki status sosial mahasiswa atau pekerja. Pengambilan data melalui wawancara baik tatap muka maupun melalui teknologi komunikasi. Hasil studi menunjukkan pemaknaan beragam yang secara umum mengacu pada kata ‘mai’, di mana subjek tidak terlalu tegas dalam membedakan hal, kejadian atau perilaku yang membuat seseorang merasa malu atau bersalah. Meskipun subjek berasal dari beberapa suku yang terdapat di Papua, namun secara general, subjek memaknai dua jenis perasaan tersebut dalam satu konsep yang mengacu pada konsep ‘mai’, sehingga dalam beberapa kondisi bisa menimbulkan salah paham bagi orang yang tidak memahami konsep tersebut. Hasil studi ini merupakan informasi penting bagi terbentuknya interaksi sosial baik interpersonal maupun kolektif yang berkualitas, termasuk mencegah konflik horisontal dalam kehidupan multikultural di Indonesia.

Kata kunci: perasaan malu, perasaan bersalah, Papua, psikologi ulayat

ABSTRAK 4

Pemaknaan Kegagalan Pada Remaja (Studi Kasus di Jakarta)

 

Clara Moningka

 

Fakultas Psikologi

Universitas Bunda Mulia Jakarta

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

Konsep kegagalan seringkali muncul di hadapan kita dan menjadi sesuatu yang menakutkan, memalukan, dan sebisa mungkin dihindari. Pada kenyataannya kegagalan juga memotivasi kita untuk bisa lebih baik lagi. Banyak ungkapan mengenai pemaknaan kegagalan, seperti “kegagalan adalah langkah menuju keberhasilan”, “belajarlah dari kegagalan”, dan lain sebagainya. Neff (2011) melakukan penelitian mengenai bagaimana seseorang dapat melakukan toleransi bukan hanya kepada orang lain, namun kepada dirinya sendiri. Bagaimana mereka memaknai sesuatu yang tidak menyenangkan yang terjadi pada diri mereka. Konsep ini oleh Neff disebut self compassion. Self compassion sendiri bukan berarti mengasihani diri, namun lebih memaknai kejadian yang tidak menyenangkan termasuk kegagalan sebagai sesuatu yang bisa terjadi kepada siapapun di dunia ini. Penelitian lintas budaya yang dilakukan oleh Neff menunjukkan bahwa ada perbedaan self compassion beradasrkan budaya. Penelitian juga dilakukan oleh Clara dan Rey (2014) dimana ditemukan bahwa masayarakat kita cenderung tidak memiliki self compassion; namun memiliki konsep yang berkebalikan dengan konsep Neff. Hal ini memang perlu ditelaah lebih jauh lagi. Berdasarkan temuan tersebut, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pemaknaan kegagalan pada remaja yang rentan dengan berbagai problematikanya. Pada penelitian ini digunakan pendekatan indigineous dengan FGD dan OEQ pada 100 remaja berusia 15-20 tahun diperoleh berbagai tema mengenai bagaimana mereka mempersepsi kegagalan, dimana tema terbesar (65%) adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan membuat stres dan malah membuat mereka membandingkan dirinya dengan orang lain.

Kata kunci: kegagalan, pemaknaan, remaja, indigineous

 

ABSTRAK 5

 

Saru: Sebuah Konsep Kearifan Budaya Masyarakat Jawa Tengah

(Studi Eksplorasi Perilaku Remaja Suku Jawa Tentang Seksualitas, Pekerjaan dan Nilai Hidup)

 

Budi Sarasati

 

Fakultas Psikologi

Universitas Bhayangkara, Jakarta

This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

Berbagai masalah remaja di Indonesia seperti meningkatnya perkelahian, kejahatan dan insidens kehamilan sebelum menikah, meningkatnya angka perceraian, serta pendidikan seksual yang berdampak rendah terhadap perilaku seksual remaja merupakan latar belakang studi ini. Tujuan studi ini untuk mengeksplorasi konsep saru yang dianut oleh remaja suku Jawa. Saru dalam terminologi bahasa Jawa diartikan sebagai perilaku yang tidak pantas untuk dilakukan oleh individu. Masyarakat umum Indonesia menamakannya dengan kata tabu. Kepantasan ini menurut perspektif budaya Jawa, khususnya Jawa Tengah, meliputi hal-hal yang berhubungan dengan etika berperilaku sesuai aturan atau norma budaya di mana individu bertempat tinggal. Contoh: anak tidak boleh berbicara dengan suara keras dan kasar pada orang tuanya, perempuan berpakaian sopan bila keluar rumah, perceraian adalah hal yang sangat memalukan, lelaki sulung adalah tulang punggung ekonomi keluarga dan lain sebagainya. Perkembangan usia remaja identik dengan pencarian identitas diri, meliputi komponen pekerjaan, seksualitas dan nilai-nilai hidup. Landasan teori perkembangan Erick Erickson, teori Health Belief Model, “Indigenous Psychology”, dan “Cross Cultural Psychology” menjadi acuan dalam studi eksplorasi ini. Responden penelitian ini adalah remaja perempuan dan laki-laki berumur 14 sampai dengan 18 tahun, memiliki orangtua bersuku Jawa Tengah dan tinggal di propinsi Jawa Tengah. Metode pengambilan data menggunakan teknik purposive sampling. Pilot study juga dilakukan untuk mendapatkan data dasar tentang fokus pertanyaan tentang konsep saru, menggunakan survei, kelompok diskusi terarah dan wawancara mendalam.

 

Kata kunci: saru, tabu, identitas diri, seksualitas, nilai, perspektif budaya Jawa

 

http://issn.pdii.lipi.go.id/data/1446201810.png

 ISSN 2477-1686
Vol. 1., No. 2, November 2015

jpu

Temu ilmiah nasional yang diadakan di Bali pada tanggal 21-23 Januari 2015 merupakan temu kenal atau pengenalan Jurnal Psikologi Ulayat dan juga konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (K-PIN). Terima kasih kepada Bapak Hamdi Muluk yang telah memberikan slot waktu simposium kepada konsorsium kita tercinta ini. Simposium ulayat dibagi menjadi 2 sesi yang dihadiri 8 presenter yang membawakan hasil penelitian ataupun pemikiran mengenai psikologi ulayat atau indigenous psychology. Dari pemaknaan kegagalan remaja di Jakarta sampai dengan budaya Saru di Jawa Tengah, tradisi Tumpeng pitik, sampai wirausaha... Semua memberikan warna dan kontribusi pada Indonesia tercinta ini.

dalam simposium ini Prof. Sarlito Wirawan juga bersemangat memberikan masukan dan berdiskusi bersama para peserta mengenai penelitian ataupun kajian yang ada, Beliau sebagai penggagas Psikologi Ulayat begitu peduli terhadap para juniornya di bidang Psikologi. Prof. Sarlito dan Clara Moningka sebagai PIC event di KPIN juga memperkenalkan Konsorsium Ilmiah Psikologi Nusantara dengan produk perdananya yaitu Jurnal Psikologi Ulayat, yang sudah terbit 2 edisi. Jurnal ini akan terus dikembangkan ke arah akreditasi, disertai produk lain dari KPIN yaitu buku ajar. Peserta simposium tertarik untuk membeli jurnal dan menjadi anggota. Such a good news.

KPIN juga bekerjasama dengan Raja Grafindo untuk proses cetak dan distribusi jurnal. Di Bali Raja Grafindo juga turut membuka gerai buku terbitan Raja Grafindo. Terlihat beberapa buku karya anggota konsorsium, seperti karya Eko Meinarno, Prof. Sarlito.

Suatu permulaan yang baik untuk kita semua, KPIN bisa ikut serta dalam simposium ini... ke depan kita harapkan kerjsama dari berbagai pihak dan anggota yang memberikan kontribusi kian bertambah.

Jayalah Nusantara, Jayalah KPIN

http://issn.pdii.lipi.go.id/data/1446201810.png

ISSN 2477-1686
Vol. 1., No. 2, November 2015

jurnal-psikologi-ulayat-juni-2015

Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN) telah menerbitkan Jurnal Psikologi Ulayat Vol.2,No.1/Juni 2015 (JPU) yang menampilkan:

1. Perbedaan tingkat prasangka antara mahasiswa yang mengikuti perkumpulan agama dengan yang tidak - Pirda Annisa & Fransisca M.Sidabutar, Universitas Pelita Harapan

2. Nilai-nilai kebajikan: kebaikan hati, loyalitas, dan kesalehan dalam konteks budaya Melayu - Dede Fitriana A., Mirra Noor Milla dan Subhan El Hafiz, UIN Riau dan Univ.Muhammadiyah Prof.Dr.Hamka