ISSN 2477-1686

Vol. 6 No. 12 Juni 2020

 

 

Selebriti 4.0

 

Oleh

Aisyah

Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila

 

Sejak munculnya internet pada tahun 1990-an, hampir seluruh masyarakat dunia memiliki hubungan yang kuat dengan teknologi ini. Internet menyediakan berbagai kesenangan yang membuat orang cenderung banyak melakukan aktivitas di dunia maya itu (Masyarakat Telematika Indonesia, 2015). Hal ini pertama kali dipicu dengan situs-situs yang menyediakan jasa mengobrol (chat) dengan orang lain tanpa peduli jarak dan waktu.

 

Pada akhir 1990-an sampai awal 2000-an, situs-situs macam Yahoo dan MIRC begitu popular sebagai tempat berinteraksi para pengguna dunia maya (Utama, 2016).  Mereka yang tidak saling kenal pun dapat berinteraksi, bahkan interaksi ini pun bisa dilakukan oleh orang dari berbagai jenis bangsa dan usia.

 

Saling tidak mengenal ini pun memberikan kesempatan bagi pengguna dunia maya untuk tidak memberikan identitas yang sebenarnya pada kenalannya di dunia maya, di sinilah mulai muncul perilaku unik di dunia maya yang kemudian dikenal dengan perilaku Cyber, yang kemudian diteliti dalam ruang lingkup Cyber Psychology (Widman, 2018).

 

Situs-situs di dunia maya pun semakin beragam, bukan lagi hanya situs mengobrol saja, tapi juga situs pertemanan yang disebut media sosial. Media Sosial yang tenar pertama kali adalah Friendster, kemudian diikuti Facebok, dan berbagai jenis media sosial lainnya (Librianty, 2017). Media sosial yang beraneka ragam ini sebetulnya memiliki karakteristik yang sama, yaitu menyediakan fasilitas bagi penggunanya untuk mencurahkan isi pikiran dan memamerkan kegiatannya di dunia maya. Berdasarkan kedua hal itu, timbul berbagai perilaku lain di dunia maya.

 

Menjalin relasi di dunia maya awalnya adalah interaksi dua arah, yaitu saling meminta dan menerima sebagai teman (ini terdapat di Friendster, Facebook, My Space, dan lain-lain), namun model relasi seperti ini memiliki keterbatasan jumlah teman yang bisa terhubung pada satu akun media sosial. Padahal ada semacam fenomena bahwa pada pengguna media sosial ini untuk memiliki teman sebanyak mungkin di dunia maya. Karena fasilitas menjalin relasi pertemanan ini membuat mereka terhubung dengan banyak orang, terutama orang-orang yang sudah  lama mereka tidak temui, atau teman-teman baru yang belum mereka kenal di dunia nyata.

 

Jumlah teman yang semakin banyak tersebut juga membuat mereka merasa semakin merasa dikenal oleh banyak orang atau semakin eksis (Ningrum, 2016). Berdasarkan hal itu, kemudian banyak media sosial lain yang membuat jumlah “teman” itu tidak terbatas, tapi tidak lagi dengan relasi dua arah, hanya satu arah, yang dikenal dengan istilah follower.

 

Para pengguna dunia maya pun seakan berlomba untuk mendapatkan follower sebanyak mungkin. Semakin banyak follower akan membuat mereka semakin terkenal dan dapat mendatangkan keuntungan finansial (Apriani, 2018). Media sosial ini memberikan kesempatan pada tiap orang untuk menjadi tenar dalam waktu yang relatif singkat dan tanpa usaha yang keras, cukup dengan membuat konten tertentu yang menarik minat orang lain untuk mem-follow  (mengikuti) akunnya. Maka, berbagai cara pun dilakukan untuk menjadi terkenal di dunia maya.  Konsep follower ini mulanya dikenal di media sosial Twitter. Twitter sebenarnya hanya menyediakan platform berupa mikro blog (menulis dengan jumlah kata yang dibatasi). 

 

Para penggunanya dapat menuliskan apapun yang ingin mereka tulis (Gil, 2018). Tweet (kicauan) yang membuat terkenal bisa berupa hal positif seperti hal-hal lucu dan curahan hati yang puitis; maupun hal negatif berupa makian pada orang atau kelompok tertentu yang disetujui banyak orang.  Pengguna Twitter yang terkenal (memiliki jumlah follower ribuan sampai jutaan) disebut sebagai selebtwit, yang bermakna selebriti di Twitter (Librianty, 2015). Selanjutnya para pengguna dunia maya ini tidak puas hanya berkicau, mereka membutuhkan platform untuk memamerkan kegiatan sehari-hari mereka, mereka berada di lokasi mana, dengan siapa mereka berada, dan sebagainya. Maka muncullah media sosial Instagram yang dapat menyediakan kebutuhan tersebut. Sebetulnya semua kebutuhan pengguna sosial tersebut sudah diakomodir Facebook, namun sulit menjadi terkenal di Facebook.

 

Instagram yang spesifik memfasilitasi pengguna menggungah foto dan video pun perlahan mulai mengalahkan ketenaran Facebook. Para penggunanya juga berlomba mendapatkan follower sebanyak mungkin dengan mengunggah foto dan video yang menarik. Pengguna yang memiliki jumlah follower mulai dari ribuan disebut sebagai selebgram (selebriti di Instagram). Sebagai selebgram, pengguna media sosial bisa memiliki keuntungan finansial yaitu menjadi “model iklan” suatu produk, atau dikenal dengan istilah endorser. Endorser merupakan pendukung iklan atau yang mempromosikan suatu produk (Shimp, 2003). Mereka mempromosikan suatu produk di salah satu foto atau video yang mereka unggah, kemudian mereka dibayar untuk hal tersebut. Dengan adanya hal itu, maka semakin memicu para pengguna media sosial untuk menjadi terkenal dan viral.

 

Hal yang sama juga terjadi pada situs berbagi video You Tube. Pengguna You Tube yang menggunggah video mereka disebut sebagai youtuber. Para youtuber juga berlomba untuk menjadi terkenal, karena bukan saja mendapatkan keuntungan dari sisi finansial sebagai endorser, youtuber yang terkenal juga mendapatkan penghargaan dari You Tube, dan banyak mendapatkan tawaran untuk bertemu berbagai pihak yang ingin muncul di konten video mereka (Mata Hidup, 2018). Hal ini terjadi karena saat ini You Tube jauh lebih popular dibanding saluran televisi manapun.  Masih banyak contoh lain untuk menjadi terkenal di dunia maya, misalnya menulis komentar di suatu situs (misalnya situs komik online) dengan komentar yang unik sehingga mendapatkan like terbanyak bagi komentar tersebut.

 

Berdasarkan hal-hal di atas, keinginan untuk menjadi terkenal  (desire of fame) dari para pengguna dunia maya khususnya pengguna media sosial semakin menggebu dan dapat dilakukan dengan berbagai cara (Greenwood, 2013). Hal inilah yang memicu berbagai perilaku baik positif maupun negatif di dunia maya tersebut. Sayangnya, perilaku negatif umumnya membuat lebih terkenal, maka banyak yang melakukan perilaku negatif untuk mendapatkan perhatian.

 

Perilaku-perilaku ini mulai dari cyber aggression (perilaku saling menyerang di dunia maya, dikenal juga dengan istilah cyber war, pelakunya biasanya disebut haters), cyberbullying (perilaku merundung/menyiksa orang lain di dunia maya) (Runions & Bak, 2015), perilaku menjadi orang lain dengan membuat akun palsu, sampai menyebarkan konten-konten negatif bahkan konten pornografi (dikenal dengan istilah cybersex) (Fasugba-Idowu & Hassan, 2013) .

 

Perilaku-perilaku ini tidak bisa dibiarkan terus menerus terjadi, karena akan merusak moral para pengguna media sosial, yang sebagian besar terdiri atas remaja dan dewasa awal. Selain itu, perilaku-perilaku di dunia maya ini mengarah ke ketergantungan terhadap penggunaan dunia maya, setidaknya walaupun belum mencapai adiksi, tapi banyak pengguna yang mengalami problematic online use (mengalami masalah penggunaan internet yang berlebihan, waktunya sebagian besar dihabiskan di dunia maya) (Kiraly, Griffiths, Urban, & Farkas, 2014). Oleh karena itu sudah banyak penelitian mengenai perilaku di dunia maya, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ini dan semakin mengenali perilaku-perilaku tersebut.

 

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak menutup kemungkinan akan munculnya jenis-jenis baru dari media sosial atau situs lainnya di dunia maya yang akan memunculkan perilaku-perilaku baru. Oleh karena itu, penelitian pada ruang lingkup Cyber Psychology semakin marak dilakukan untuk menjawab tantangan perubahan zaman yang sangat cepat tersebut.

 

REFERENSI:

 

Apriani, D. (2018). Wow, inilah 4 manfaat dengan memiliki banyak followers di Instagram. Job-Like Magazine.  Diunduh dari: https://magazine.job-like.com/memiliki-banyak-pengikut-di-instagram/

 

Fasugba-Idowu, G. T., & Hassan, S. A. (2013). Cybersex: Advantages and disadvantages. Journal Of Humanities And Social Science, 14(3): 60-65.

 

Gil, P. (2018). What is Twitter? How does it works? Lifewire. Diunduh dari: https://www.lifewire.com/what-exactly-is-twitter-2483331

 

Greenwood, D. N. (2013). Fame, Facebook, and Twitter: How attitudes about fame predict frequency and nature of social media use. Psychology of Popular Media Culture, 2(4): 222-236.

 

Kiraly, O., Griffiths, M. D., Urban, R.,  & Farkas, J. (2014). Problematic Internet Use and Problematic Online Gaming Are Not the Same: Findings from a Large Nationally Representative Adolescent . Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 17(12): 1-6.

 

Librianty, A. (Juni 16, 2015). Ingin jadi selebtwit? Coba ikuti tips ini. Liputan 6. Diunduh dari: https://www.liputan6.com/tekno/read/2055150/ingin-jadi-selebtwit-coba-ikuti-tips-ini

 

Librianty, A. (Juli 31, 2017). Mengenang 3 penguasa media social sebelum Facebook. Liputan 6. Diunduh dari: https://www.liputan6.com/tekno/read/3041484/mengenang-3-penguasa-media-sosial-sebelum-facebook

 

Masyarakat Telematika Indonesia. (November 11, 2015). Sejarah perkembangan internet di Indonesia. Mastel id. Diunduh dari: https://mastel.id/sejarah-perkembangan-internet-di-indonesia/

 

Mata Hidup. (Desember 5, 2018). Begini cara jadi youtuber yang sukses dan terkenal. Diunduh dari: https://www.matahidup.com/cara-jadi-youtuber-sukses-dan-terkenal/

 

Ningrum, D. W. (Februari 18, 2016). Makin banyak teman di dunia maya = makin eksis? Detik Inet. Diunduh dari: https://inet.detik.com/konsultasi-cyberlife/d-3145135/makin-banyak-teman-di-dunia-maya--makin-eksis

 

Runions, K. C., & Bak, M. (2015). Online moral disengagement, cyberbullying, and cyber-aggression. Cyberpsychology Behavior Social Network, 18 (&): 400-405.

 

Shimp, A. T. (2003). Advertising Promotion and Supplemental Aspect of Integrated Marketing Communication. 5th Edition. Penerjemah: Sahrial, Revyani dkk. Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta : Erlangga.

 

Utama, S. A. (2016). Psikologi dan teknologi informasi. Jakarta: Himpunan Psikologi Indonesia.

 

Widman,  J. (2018). The emergence of cyberpsychology. Communication of The ACM.