ISSN 2477-1686

 

Vol.6 No. 03 Februari 2020

Memahami Self Harm dari Perspektif Psikologi Klinis

Oleh

Rika Fitriyana

Fakultas Psikologi, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Fenomena self-harm kian menunjukkan pertumbuhan jika kita melihat dari angka kejadian pada berbagai riset bertema terkait. Di Inggris dan Amerika Serikat, 5-6% orang dari keseluruhan populasi pernah melakukan self-harm dengan episode yang berulang (Klonsky, 2011). Di Indonesia sendiri belum ditemukan angka kejadian secara spesifik mengenai perilaku ini, namun seiring dengan meningkatnya jumlah penderita gangguan depresi pada beberapa kasus menunjukkan perilaku self-harm. Beberapa tantangan menjadikan fenomena klinis ini menjadi sulit untuk ditentukan penyebab maupun cara menyembuhkannya (DeAngelis, 2015).

Muncul pertanyaan, kenapa sebagian remaja menyakiti dirinya seperti; menyayat kulit, menggores, membakar sebagian area kulit, memukul diri sendiri, atau bahkan membenturkan kepala ke dinding. Banyak ahli yang berusaha merumuskan secara teori, bahkan hal ini sudah menjadi pembahasan di dalam DSM-V sebagai jenis gangguan baru yang membutuhkan riset lebih mendalam (American Psychiatric Association, 2013).

Apa itu self-harm?

Para ahli merumuskan definisi terkait self-harm  sebagai non-suicidal self-injury yang ditandai dengan kecenderungan emosi yang tak stabil, hubungan yang tidak bertahan lama dan adanya perasaan kosong di dalam diri. ­Self-harm merupakan masalah kesehatan yang banyak muncul dan memerlukan penanganan yang adekuat (Edmondson, Brennan, & House, 2016). Hal senada juga diungkapkan oleh Laye-Gindhu & Schornet-reichl (2015) bahwa self-harm adalah perilaku yang disengaja dan secara sukarela menyakiti diri sendiri namun tidak sampai membahayakan seperti halnya usaha bunuh diri.

Banyak ahli yang mempertanyakan mengapa tindakan menyakiti diri sendiri dapat dilakukan berulangkali. Seorang peneliti dari Universitas Harvard, yaitu Joseph Franklin, beserta tim menemukan bahwa self-harm membantu individu mengatasi emosi negatif yang muncul di dirinya (DeAngelis, 2015). Dari prevalensi yang tercatat, 15% dari total sampel menunjukkan perilaku self-harm yang berulang dan pelakunya lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki (Laye-gindhu & Schonert-reichl, 2015)

Alasan orang melakukan self-harm

Dilansir dari riset yang dilakukan oleh Edmondson, dkk. terkait self-harm (Edmondson et al., 2016), ditemukan beberapa alasan utama, yaitu:

1.    Menangani stres atau regulasi afek dimana self-harm dapat melegakan dari tekanan yang tengah seseorang alami.

2.    Bertujuan untuk memberikan pengaruh kepada orang lain seperti perhatian yang lebih ataupun hadiah dalam bentuk tertentu.

3.    Self-harm sebagai bentuk hukuman terhadap diri sendiri karena telah melakukan sesuatu yang tidak diharapkan.

4.    Sebagai bentuk disosiasi atau melepaskan diri dari berbagai hal dan lebih terhubung dengan dirinya untuk merasakan kehampaan.

5.    Mencari sensasi yang dapat menimbulkan kegembiraan dalam perspektif individu yang melakukan self-harm.

6.    Menghindari tindakan bunuh diri maka dilakukan tindakan self-harm.

7.    Mengelola atau mencari tahu batasan diri terkait dengan toleransi terhadap rasa sakit.

8.    Sebagai sebuah bentuk ekspresi atau coping seksual.

Ada juga beberapa alasan lain yang ditemukan terkait dengan perilaku self-harm seperti pengalaman positif, cara untuk mendefinisikan “diri” atau sebagai bentuk validasi atas keberadaan dirinya terhadap orang lain.

Bagaimana cara mengatasinya?

Jika dibiarkan terus-menerus, tentunya perilaku semacam ini bisa membahayakan bagi individu. Oleh karena itu dibutuhkan penanganan yang tepat guna mengatasi self-harm. Sejauh ini ada beberapa treatment yang terbukti efektif digunakan seperti dialectical behavior therapy (DBT), cognitive behavior therapy (CBT), maupun meningkatkan self-worth seperti yang diterapkan oleh Hooley dan Germain dari Departemen Psikologi, Universitas Harvard (Hooley & Germain, 2014).

Pada umumnya orang normal tidak akan membiarkan dirinya berada di dalam situasi yang buruk atau menyakitkan. Namun orang-orang yang melakukan self-harm justru mempertahankan rasa sakit sebagai bentuk respon terhadap stres yang tengah dihadapi (Edmondson et al., 2016). Peningkatan self-worth adalah jawaban untuk membuat individu tidak mencari rasa sakit atau bertahan di dalam situasi yang menyakitkan, dalam hal ini self-harm. Untuk lebih efektif tentunya diperlukan bantuan dan pendampingan professional agar masalah ini tidak berlanjut pada masalah kejiwaan lainnya.

Referensi 

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders DSM 5 (5th ed.). American Psychiatric Publishing. https://doi.org/10.1176/appi.books.9780890425596.744053.

DeAngelis, T. (2015). A New Look at Self-Injury. Retrieved from https://www.apa.org/monitor/2015/07-08/self-injury

Edmondson, A. J., Brennan, C. A., & House, A. O. (2016). Non-suicidal reasons for self-harm : A systematic review of self-reported accounts. Journal of Affective Disorders, 191, 109–117. https://doi.org/10.1016/j.jad.2015.11.043

Hooley, J. M., & Germain, S. A. S. (2014). Nonsuicidal Self-Injury , Pain , and Self- Criticism : Does Changing Self-Worth Change Pain Endurance in People Who Engage in Self-Injury ?, 2(3)(March), 297–305. https://doi.org/10.1177/2167702613509372

Klonsky, E. (2011). Non-suicidal self-injury in United States adults: prevalence, sociodemographics, topography and functions. Psychol Med, 41((9)), 1981–1986. https://doi.org/10.1017/S0033291710002497.

Laye-gindhu, A., & Schonert-reichl, K. A. (2015). Nonsuicidal Self-Harm Among Community Adolescents : Understanding the Nonsuicidal Self-Harm Among Community Adolescents : Understanding the “ Whats ” and “ Whys ” of Self-Harm, (October 2005). https://doi.org/10.1007/s10964-005-7262-z