ISSN 2477-1686

 

Vol.5 No. 21 November 2019

Mainan Bebas Gender: Perkenalkan Kesetaraan Sejak Dini 

Oleh

Bonita Maulida dan Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Mahasiswa dan Dosen Program Studi Psikologi

Fakultas Humaniora dan Bisnis Universitas Pembangunan Jaya

 

Kesetaraan gender menjadi isu yang diperjuangkan oleh banyak pihak selama beberapa tahun belakangan ini. Tak terkecuali oleh perusahaan mainan. Salah satunya adalah Mattel yang memperkenalkan boneka Barbie netral gender sebagai upaya melawan stereotip gender. Boneka Barbie kali ini memiliki potongan rambut pendek, dilengkapi dengan beragam wig yang bervariasi dan enam jenis pakaian mulai dari hoodies, rok, celana olahraga dan kemeja berkancing. Dengan demikian, anak bisa mendandaninya menjadi boneka yang bergaya busana feminin atau maskulin (Riyantama & Rahmawati dalam Suara.com, 2019). Selain Mattel, salah satu perusahaan mainan Prancis juga memutuskan tidak menjual mainan dengan karakter yang merujuk pada stereotip tertentu. 

Menurut Menteri Junior Bidang Ekonomi Agnes Pannier-Runacher dalam Harian Nasional di Perancis, banyak mainan yang menyisipkan pesan “berbahaya.” Mainan feminin yang terlalu fokus pada pencitraan peran domestik berpotensi membuat anak perempuan enggan mengejar karier di bidang teknologi maupun komputer (Lubis, 2019). Sebaliknya mainan untuk anak laki-laki cenderung bertema konstruksi, luar angkasa, sains dan teknologi. 

Perbedaan dalam mainan anak tidak terlepas dari stereotipi gender. Anak laki-laki dan perempuan mendapatkan ekspektasi sosial sesuai gendernya – contohnya adalah anak laki-laki diharapkan lebih aktif, agresif dan kompetitif, sedangkan perempuan dituntut lebih patuh dan mengasuh (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Ekspektasi sosial inilah yang tercermin dalam mainan anak. Contohnya mainan maskulin seperti truk dan tokoh superhero mempromosikan aktivitas fisik, sedangkan mainan feminin seperti boneka mempromosikan pengasuhan dan kedekatan sosial (Caldera, Huston, & O’Brien, dalam Sullivan, 2019). 

Mainan sesuai gender sejatinya tidak selalu berpengaruh positif pada anak. Menurut Freeman (dalam Hernandez, 2019), pada usia 3 tahun, anak menerapkan stereotip gender pada mainan yang mereka mainkan. Lebih lanjut lagi, Filipović (dalam Hernandez, 2019) berargumen bahwa stereotipi gender ini dapat berdampak negatif, baik pada anak perempuan maupun pada anak laki-laki. Efek stereotipi ini bisa kita lihat pada pilihan kegiatan, tujuan karier dan hasil akademis anak-anak. 

Penelitian Sherman dan Zurbriggen (dalam Sullivan, 2019) mengenai pengaruh mainan gender pada persepsi anak perempuan terhadap karier apa yang bisa mereka miliki memperkuat argumen tersebut. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak perempuan yang bermain dengan boneka Barbie akan berpendapat bahwa laki-laki bisa melakukan lebih banyak pekerjaan dibanding perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata karakteristik dalam mainan anak perempuan dapat menanamkan stereotip tentang jenis pekerjaan apa yang bisa dimiliki oleh perempuan. Perbedaan ini dapat memberikan pesan bahwa sementara laki-laki berperan dalam sains dan teknologi, peran perempuan hanyalah di ranah domestik. Padahal mengidentikkan suatu peran sebagai pekerjaan perempuan atau pekerjaan laki-laki dan bias sosial yang menganggap perempuan berotoritas lebih rendah, dapat merugikan kita semua (Adzkiya & Soerjoatmodjo, 2019). 

Dampak lainnya adalah jika anak diberikan mainan berdasarkan jenis kelamin mereka, anak akan mengalami pengalaman bermain yang berbeda yang dapat mengarahkannya pada pengembangan keterampilan yang berbeda pula (Franklin, Coker, Hugill, & Less, 2019). Mainan anak perempuan seperti boneka dapat mengembangkan interaksi verbal, sedangkan mainan anak laki-laki seperti mobil atau balok bangunan dapat mengembangkan kemampuan spasial. Jika anak laki-laki hanya diberi mainan anak laki-laki, tentunya kemampuan verbalnya bisa tidak berkembang sebaik anak perempuan. Begitu pula jika anak perempuan hanya diberi mainan anak perempuan, maka kemampuan spasialnya bisa tidak berkembang sebaik anak laki-laki. 

Dengan kata lain, jika anak tidak diberi mainan tertentu, mereka dapat kehilangan pengalaman belajar yang berpotensi berharga selama masa perkembangan (Franklin, Coker, Hugill & Less, 2019). Sayangnya, studi menunjukkan bahwa orang tua lebih banyak membeli mainan dengan gender yang sama dengan anak mereka dibanding mainan netral gender (Kollmayer et al., 2018). Menurut Sullivan (dalam Coles, 2019), hal ini disebabkan karena orang dewasa cenderung tidak menyukai anak-anak yang melanggar stereotipi, khususnya jika yang melanggar adalah anak laki-laki. Orang tua, khususnya ayah, secara umum menunjukkan ketidaknyamanan jika anak laki-laki bermain dengan boneka daripada jika anak perempuan bermain truk (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). 

Kane (dalam Sullivan, 2019) mengemukakan bahwa salah satu alasannya adalah karena orang tua khawatir bagaimana anak laki-laki akan dipandang jika berperilaku feminin. Oleh sebab itu, anak laki-laki lebih memiliki stereotipi gender karena telah dicegah untuk terlibat dalam permainan khas perempuan atau menampilkan karakter feminin (Sullivan, 2019). Hal ini memiliki dampak negatif pada anak laki-laki. Menurut Bem (dalam Papalia, Olds, & Feldman), anak yang memiliki stereotipi gender tinggi akan mengalami tekanan untuk melakukan konformitas gender sehingga dapat mencegahnya mengeksplorasi diri secara sehat. 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mainan sesuai gender dapat menyebabkan anak menerapkan stereotipi gender. Hal ini bisa berpengaruh pada cara anak memandang dirinya dan kemampuannya, serta mencegah anak mengeksplorasi diri secara sehat. Selain itu, anak juga bisa kehilangan pengalaman belajar tertentu jika hanya diberi mainan sesuai gender. Untuk mengatasi hal ini, Guder dan Alabay (dalam Deniz & Güven, 2019) berpendapat bahwa anak perlu memiliki mainan tanpa gender yang dapat menarik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan. Selain itu, sebaiknya orang tua memilihkan mainan berdasarkan minat anak, dan bukan berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, dari segi industri perusahaan mainan perlu menghapus label gender dari tampilan mainan serta iklan mereka dan menggantinya dengan label kategori lain misalnya usia (Franklin, Coker, Hill, & Lees, 2019). Dengan demikian, alih-alih terus memainkan mainan khusus gender, anak laki-laki dan anak perempuan dapat bermain dengan mainan yang berbeda dan belum pernah mereka mainkan sebelumnya.

Referensi: 

Adzkiya, A. & Soerjoatmodjo, G.W.L. (2019). Stereotipi gender di dalam pekerjaan.

Buletin Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara Vol. 5 No. 19 Oktober 2019 diakses pada 4 Oktober 2019 dari https://buletin.k-pin.org/index.php/daftar-artikel/475-stereotipi-gender-di-dalam-pekerjaan

Coles, R. M. (2019). Family perceptions: measuring beliefs about whether gender

roles are transmitted from parents to children (Master’s thesis) diakses pada 4 Oktober 2019 dari https://repository.arizona.edu/handle/10150/632684?show=full

Deniz, U., & Güven, G. (2019). Gender roles stereotypes of preschool children and

mothers. IJESTAR, 4(9), 306-321. Diakses pada 4 Oktober 2019 dari http://www.ijetsar.com/DergiPdfDetay.aspx?ID=21

Franklin, M., Coker, E. N., Hugill, J., & Lees, R. (2019). A cognitive perspective on

addressing societally-induced gender differences in STEM subjects (Policy Brief). Diakses pada 4 Oktober 2019 dari http://www.cuspe.org/a-cognitive-perspective-on-addressing-societally-induced-gender-differences-in-stem-subjects/

Hernandez, I. (2019). Gender Stereotyping in Children and Adults (Master’s thesis).

Diakses pada 4 Oktober 2019 dari https://commons.lib.niu.edu/handle/10843/20065?show=full

Kollmayer, M., Schultes, M. T., Schober, B. Hodosi, T. & Spiel, C. (2018). Parents’

judgments about the desirability of toys for their children : associations with gender role attitudes, gender-typing of toys, and demographics. Sex Roles, 79(4), 1-13. doi : https://doi.org/10.1007/s11199-017-0882-4

Lubis, D. (2019, September 26). Perusahaan mainan Prancis melawan stereotip.

Harian Nasional. Diakses pada 2 Oktober 2019 dari http://www.harnas.co/2019/09/25/perusahaan-mainan-prancis-melawan-stereotip

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development. 11th

edition. New York: McGraw-Hill Education

Riyantama, R., & Rahmawati, Y. (2019, September 27). Semakin inklusif, Mattel rilis

Barbie netral gender. Suara.com. Diakses pada 2 Oktober 2019 dari https://www.suara.com/lifestyle/2019/09/27/140000/semakin-inklusif-mattel-rilis-barbie-netral-gender

Sullivan, A. L. (2019). “Only girls play with those”: an analysis of preschoolers’

gender schema development through gender stereotype knowledge and recognition of gendered information. Senior Projects Spring 2019, 94. Diakses pada 4 Oktober 2019 dari https://digitalcommons.bard.edu/senproj_s2019/94/