ISSN 2477-1686
Vol.5 No. 17 September 2019
Masjid dan Bom Bunuh Diri
Oleh
Nia Widya Siregar
Division for Applied Social Psychology Research (DASPR)
Beberapa tahun belakangan ini masyarakat Indonesia sedang menghadapi kondisi darurat karena adanya penyebaran paham ekstrim. Paham ekstrim yang dimaksud disini adalah pemikiran yang berlebihan atas suatu aliran, sehingga menyebabkan penganutnya dapat bersikap berbeda dengan masyarakat umum yang hanya menganut nilai Pancasila, yang bahkan melakukan pemaksaan terhadap anggota masyarakat lainnya untuk turut mengikuti aliran atau paham yang dianut. Paham tersebut bila dibiarkan berkembang akan mengakibatkan lahirnya penganut-penganut paham ekstrim yang mau berbuat apapun untuk mempertahankan atau menyebarkan aliran pemikiran yang dianutnya. Konsep pemikiran ‘ekstrim kanan’ sendiri merupakan satu kelanjutan dari rasa semangat beragama yang sangat kuat, yang ditindaklanjuti dengan berbagai relasi sosial dan politik. Penganut aliran pemikiran ini memandang agama menjadi sumber motivasi pribadi, kelompok, bangsa dan negara. Kelompok yang hendak menerapkan ajaran agama secara paripurna sebagaimana diperintahkan oleh agama dipandang sebagai suatu nilai positif (Sumardiana, 2017)
Pengertian Bom Bunuh Diri
Bom bunuh diri atau juga dikenal sebagai bom manusia (human bombing) menurut Takfuri (2002) adalah aktivitas seorang (mujahid) mengisi tas atau mobilnya dengan bahan peledak, atau melilitkan bahan peledak pada tubuhnya, kemudian menyerang musuh di tempat mereka berkumpul hingga orang tersebut kemungkinan besar ikut terbunuh. Dalam bahasa arab, bom bunuh diri disebut intihaar, yang berasal dari kata kerja nahara yang berarti menyembelih (dzabaha) dan membunuh (qatala). Artinya seseorang menyembelih dan membunuh dirinya sendiri. Adapun menurut Al-Qadah (2002), bom bunuh diri adalah aktivitas seorang mujahid yang melemparkan dirinya pada kematian untuk melaksanakan tugas berat, dengan kemungkinan besar tidak selamat, akan tetapi dapat memberi manfaat besar bagi kaum muslimin. Bom bunuh diri yaitu kegiatan bunuh diri yang dilatarbelakangi keyakinan oleh pelaku bahwa perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk perjuangan untuk memperjuangkan kebenaran.
Data Kasus Bom Bunuh Diri
Dalam sebuah studi yang pernah dilakukan pada beberapa dekade yang lalu, telah terjadi peningkatan eksponensial dalam frekuensi bom bunuh diri. Misalnya, ketika 142 bom bunuh diri dilakukan di seluruh dunia antara tahun 1983 dan 2000 (Pape, 2005), 312 serangan bunuh diri dilakukan antara tahun 2000 dan 2003 (Atran, 2003). Studi juga menemukan sejak A.S. invasi ke Irak, jumlah bom bunuh diri telah meningkat lebih lanjut, dengan lebih dari 500 dilakukan pada tahun 2006. Hal ini dimotivasi antara perpaduan agama dan tujuan politik (kelompok agama) yang bertanggung jawab atas lebih dari 70% bom bunuh diri yang dilakukan sejak tahun 2000 (Atran, 2006). Telah banyak perdebatan ilmiah yang luas tentang hubungan antara organisasi politik (kelompok agama), bom bunuh diri, dan agama, dengan perhatian khusus diberikan kepada Islam (Dawkins, 2003; Harris, 2005).
Kasus Bom Bunuh Diri di Indonesia
Setidaknya telah terjadi 10 kasus bom bunuh diri di Indonesia yang dimulai pada kasus pertama bom bali di tahun 2002 (202 korban meninggal dunia). Kasus kedua, bom JW Marriot tahun 2003 (14 orang meninggal termasuk pelaku). Kasus ketiga, bom di Kedutaan Besar Australia di Jakarta tahun 2004 (9 korban jiwa dan 180 orang luka-luka). Kasus keempat Bom Bali II tahun 2005 (23 orang tewas termasuk pelaku). Kasus keenam bom JW Marriot dan Ritz Carlton tahun 2009 (9 orang meninggal dan 53 luka-luka). Kasus ketujuh, bom bunuh diri di masjid Mapolresta Cirebon tahun 2011 (25 orang luka-luka termasuk Kapolresta). Kasus ke delapan, bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta tahun 2016 (pelaku tewas atas nama Nur Rohman dan seorang anggota polisi terluka). Kasus kesembilan adalah dua aksi bom bunuh diri di sekitar Terminal Kampung Melayu pada tahun 2017 (pelaku dan 3 anggota polisi meninggal 11 orang luka-luka termasuk lima warga sipil). Kasus terakhir adalah bom bunuh diri yang terjadi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur pada tahun 2018 (17 korban jiwa, 4 pelaku tewas, 1 pelaku luka-luka). (Artikel Kompas, 2018)
Studi terkait Masjid dan Bom Bunuh Diri
Dalam studi yang dilakukan oleh Ginges et al, 2009) dengan judul ‘Religion and Support for Suicide Attack’, ada 4 studi yang mereka lakukan terkait hal tersebut . Studi 1 dan 2 dilakukan di Palestina pada tahun 1999 dan 2006. Studi ke-3 di lakukan pada pemukim Israel dan studi ke-4 dilakukan di 6 negara berdasarkan agama mayoritas (Muslim Indonesia, Katolik Meksiko, Protestan British, Ortodoks Rusia di Rusia, Yahudi Israel, dan Hindu India). Studi-studi ini membuktikan bahwa ada hubungan secara khusus yang terjalin antara pengaruh masjid dan tindakan seseorang untuk melakukan bom bunuh diri.
Dalam Studi 1 dan 2, frekuensi umat Muslim Palestina menghadiri di masjid (tetapi bukan frekuensi ibadah mereka) secara positif memprediksi dukungan secara spesifik dalam melakukan tindakan ekstrim seperti bom bunuh diri. Dalam Studi 3, bahwa tingkat kehadiran di sinagog (tetapi bukan terkait ibadah kepada Tuhan) meningkatkan kemungkinan pemukim Yahudi Israel percaya bahwa bom bunuh diri yang dilakukan terhadap Palestina adalah "sangat heroik." Dan terakhir, studi 4 menunjukkan, dengan mengambil sampel secara multinasional dan multireligius, bahwa tindakan ekstrim berpengaruh pada frekuensi kehadiran di layanan keagamaan yang terorganisir (tetapi bukan frekuensi beribadah). (Ginges et al., 2009)
Di Indonesia sendiri memang belum ada studi spesifik yang dilakukan untuk melihat hubungan antara masjid terkait pengaruh seseorang untuk melakukan tindakan bom bunuh diri. Namun, hasil riset UIN Jakarta pada tahun 2009, ditemukan data bahwa dalam menyebarkan paham ekstrim kanan biasanya para pelaku menyasar forum atau media yang dapat mempengaruhi pola pikir secara langsung, sehingga penyebarannya dapat lebih efektif dan langsung mengena. Beberapa forum tersebut diantaranya adalah :
1) Institusi Pendidikan: target yang paling rentan terhadap infiltrasi berbagai gerakan radikalisme agama, mengingat peserta didik merupakan sasaran yang sangat empuk dari aspek sosial psikologis
2) Lembaga Keagamaan : terutama tempat ibadah, khususnya masjid dan musholla yang berada di lingkungan kampus /pemukiman, mengingat sifat tempat ibadah yang terbuka untuk umum dan biasanya sifat managemennya. (Sumardiana, 2017)
Dari beberapa data tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan khusus antara masjid dengan tindakan ekstrim untuk seseorang melakukan bom bunuh diri. Kita asumsikan bahwa orang yang sering datang ke masjid selain melakukan ibadah seperti berkumpul dalam kelompok keagamaan dan mendengarkan ceramah kemungkinan akan terprovokasi secara terorganisir untuk melakukan berbagai tindakan ekstrim seperti bom bunuh diri. Hal ini didasarkan pula pada pemahaman ideologi seseorang terkait kecintaanya pada agamanya, sehingga rela melakukan apapun demi membela kesucian agamanya tersebut (mati syahid). Namun, masih perlu dilakukan studi lanjut yang lebih mendalam untuk menelusuri hubungan antara masjid dan tindakan ekstrim bom bunuh diri yang dilakukan seseorang demi membela agamanya.
Referensi:
Al-Qadah, M. T. (2002). Aksi bom syahid dalam Pandangan hukum islam (al-Mughamarat bi an-Nafsi fi al-Qital wa hukmuha fi al-Islam). Bandung: Pustaka Umat.
Atran, S. (2003). Genesis of suicide terrorism. Science , 299, 1534–1539.
Atran, S. (2006). The moral logic and growth of suicide terrorism. The Washington Quarterly, 29, 127–147.
Azanella, L. A. (2018, Mei 14) . Inilah Deretan Aksi Bom Bunuh Diri di Indonesia. https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/13533731/inilah-deretan-aksi-bom-bunuh-diri-di-indonesia?page=all.
Dawkins, R. (2003). A devil’s chaplain: Reflections on hope, lies, science, and love . Boston: Houghton Mifflin.
Harris, S. (2005). The end of faith: Religion, terror and the future of reason. New York: W.W. Norton
Ginges, J., Hansen, I., & Norenzayan, A. (2009). Religions and Suicide for Attack. Sage Journal: Association for Psychological Science, 2(2), 224-229.
Takfuri, N. H. (2002). Aksi bunuh diri atau mati syahid (al-Amaliyat al-Istisyhidiyah fi al-Mizan al-Fiqhi). Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Pape, R. A. (2005). Dying to win: The strategic logic of suicide terrorism. New York: Random House.
Sumardianna, B. (2017). Efektivitas penanggulangan ancaman penyebaran paham ekstrim kanan yang memicu terorisme oleh POLRI dan BNPT RI. Jurnal Universitas Negeri Semarang, 3(1), 109-121.
Thobroni, A. (2017). Bom bunuh diri dan euthanasia dalam tinjauan hukum islam. Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, 1(1), 136-137.