ISSN 2477-1686  

   Vol.5 No. 11 Juni 2019

 

Meledak Bersama: Natural Instinct Perempuan Jihadis

Oleh

Any Rufaedah

Division for Applied Social Psychology Research, Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta

Sekitar sepuluh hari setelah pengeboman gereja dan hotel di Sri Lanka, seorang jurnalis South China Morning menghubungi saya untuk wawancara tentang perempuan pelaku bom bunuh diri. Cukup banyak yang ditanyakan, mulai dari mengapa mereka melakukan bom bunuh diri dengan mengajak anak-anaknya sampai bagaimana mereka teradikalisasi. Namun, tentu saja jurnalis harus menyesuaikan dengan batas halaman dan fokus sehingga tidak semua pernyataan saya dimuat dalam laporannya. Karena topik itu menarik namun tidak semuanya dapat dimuat, maka saya berpikir untuk menuliskannya di media lain, agar penjelasan utuhnya tersampaikan ke khalayak lebih luas.

Ulasan yang tidak sempat dimuat itu adalah: apa yang membuat perempuan bisa membunuh dirinya dan anak-anaknya, padahal perempuan mempunyai insting melindungi anak? Bagaimana perempuan diyakinkan untuk membunuh anaknya? Dua pertanyaan yang menarik bukan? Saat ditanya pun saya harus putar otak mengingat-ingat hasil penelitian bersama teman-teman di Division for Applied Social Psychology Research (DASPR).

Perempuan menjadi pelaku bom bunuh diri bukanlah hal baru. Mia Bloom dalam bukunya ‘Bombshell: Women and terrorism’ (2011) menyebutkan bom bunuh diri oleh perempuan pertama kali terjadi pada tahun 1978. Dalal Al Maghribi namanya, ia meledakkan diri di dalam bus perjalanan Jerusalem-Tel Aviv, menewaskan dirinya dan 36 penumpang. Bloom juga melaporkan serangan bom bunuh diri oleh perempuan terjadi di Lebanon, Sri Lanka, Turki, Chechnya, Israel, Iraq, Afghanistan. Belakangan kita mengenal nama Mariam Sharipova Oksana Aslanova suicide bomber di Rusia (Choirul, 2010; Auliani, 2013) dan Tashfeen Malik di Amerika pada tahun 2015 (Alexander, 2016).

Bedanya, mereka tidak mengajak serta anak-anak meledakkan diri, namun yang kita temui akhir-akhir ini adalah fenomena baru. Kira-kira apa yang ada dalam pikiran jihadis perempuan, sehingga tega membawa anak-anaknya melakukan bunuh diri? Seharusnya mereka melindungi anak-anak, bukan sebaliknya. Untuk menjawab hal ini, saya mengutip kembali pernyataan Anna Sundberg, seorang jihadis perempuan asal Swedia berikut: Mujahidin. The holy warriors. My husband is one of them and my sons will be too one day, I hope.’

 

Pernyataan Anna menggambarkan harapan dan kebanggaan sekaligus. Oleh karena itu, ia mempersiapkan anaknya menjadi mujahid. Berhasil menjadikan anak sebagai mujahid adalah capaian berharga bagi seorang ibu kelompok jihadis. Dalam kondisi kognitif seperti itu, kematian anak bukan lagi sesuatu yang perlu ditakuti, tetapi justru diharapkan. Penjelasan ini linear dengan teori dasar psikologi: sikap dan perilaku.

 

Perempuan jihadis di Indonesia juga memiliki sikap yang sama. Kasus bom Surabaya dan Sidoarjo (2018) serta Sibolga (2019) adalah di antara buktinya. Hasil riset kami yang dimuat dalam Jurnal Psikologi Ulayat juga menggambarkan kemauan yang sama. Seorang responden menyatakan mendukung penuh tindakan suaminya. Ia yang dengan sabar menunggu suaminya keluar dari penjara akan mendapatkan pahala juga (Rufaedah, Sarwono, Putra, 2017). Keyakinannya menggambarkan kesiapan untuk melakukan jihad dengan dirinya sendiri, yang tidak ia miliki hanyalah izin dari suami. Seandainya suami memerintahkan untuk berjihad, berdasarkan observasi kami dan ekspresi yang ia tunjukkan, maka sangat besar kemungkinan responden itu bersedia.

 

Mengajak anak dalam kematian syahid, dalam keyakinan kelompok ekstremis kekerasan adalah tindakan mulia. Hal itu akan mengantarkan anak meraih surga. Akhir tahun 2016, Islam dan Fatimah, dua gadis berusia tujuh dan sembilan tahun diyakinkan ayah dan ibunya untuk meledakkan diri di sebuah kantor polisi di Damaskus, Syria. Pandangan umum mengatakan itu tindakan keterlaluan. Namun dalam pandangan jihadis merupakan keberhasilan orangtua. Kasus-kasus serupa juga terjadi di berbagai tempat lainnya, dimana anak dijadikan martyr. Bahkan sejak kecil anak sudah dipersiapkan melalui latihan fisik dan militer. Tidak terlalu sulit menemukan hal itu di dunia internet. Cukup mengetik kata kunci ‘anak-anak latihan militer’, anda akan menemukan beberapa video latihan militer ISIS untuk anak-anak.

 

Alasan yang lebih kontemporer untuk mengajak anak melakukan jihad istishadi (bom bunuh diri) adalah fitnah (kerusakan) dunia yang semakin banyak. Fitnah yang dimaksud adalah kesyirikan, kemurtadan, maksiat. Dalam pandangan jihadis, mengikuti sistem buatan manusia seperti demokrasi, pemilihan umum, presidensial, dan lain-lain dapat menyebabkan kemurtadan. Oleh sebab itu, anak-anak harus dihindarkan dari kerusakan dunia. Membiarkan anak tumbuh dalam kehidupan seperti itu, bagi mujahid justru akan membawa anak pada jurang kekafiran. Lebih baik mereka mati syahid bersama. Jadi, bagi perempuan jihadis, membawa serta anak meledakkan diri adalah ekspresi melindungi dari seorang ibu, bukan sebaliknya.

 

Pertanyaan kedua adalah, bagaimana seorang perempuan teradikalisasi? Dari hasil penelitian saya dan tim DASPR, setidaknya ada lima jalur radikalisasi perempuan: 1. Keluarga; 2. Pondok pesantren; 3. Suami; 4. Organisasi; 5. Teman. Individu yang berasal dari keluarga pendukung jihadis cenderung memiliki pandangan pro jihadis pula. Pondok pesantren juga menjadi tempat radikalisme yang sangat efektif karena individu langsung diarahkan pada ideologi jihadis.

 

Responden penelitian kami yang pernah belajar di pondok pesantren jihadis sudah tahu sejak awal bagaimana kehidupan seorang mujahid - karena sejak awal berada pada lingkaran jihadis, umumnya mereka menikah dengan kelompok jihadis baik melalui teman atau perantara ustad. Mereka juga mengetahui risiko menjadi istri seorang mujahid, misalnya sering ditinggal pergi untuk keperluan i’dad (pelatihan fisik), tadrib (pelatihan militer), dakwah, bahkan melakukan aksi teror.

 

Perempuan yang teradikalisasi melalui suami umumnya berlatar belakang lebih beragam. Ada yang berasal dari kelompok Islam moderat, ada pula yang berlatar belakang pendidikan umum. Mereka baru mengenal ideologi jihadis di dalam pernikahan, yang menikah dengan kelompok jihadis tentu lebih rentan terpengaruh faham ekstremisme kekerasan.

 

Jalur organisasi juga menjadi media efektif selain pondok pesantren. Umumnya mereka memiliki kurikulum dan kegiatan keputrian. Di sanalah perempuan mendapat pelajaran ideologi sampai dengan praktik jihad. Jalur terakhir adalah pertemanan, bisa diperoleh dari sekolah, universitas, pertemanan di kampung, pengajian, komunitas.

Referensi:

Alexander, A. (2016). Cruel intentions: Female jihadist in America. Program on Extremism The George Washington University: Amerika Serikat.

Auliani, P. A. (2013, December 30). Bom Bunuh Diri di Stasiun Rusia Tewaskan 16 Orang. Kompas.com. Diambil dari https://regional.kompas.com/read/2013/12/30/0133516/Bom.Bunuh.Diri.di.Stasiun.Rusia.Tewaskan.16.Orang?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
Penulis : Palupi Annisa Auliani

Choirul. (2010, April 06). Pelaku Bom Bunuh Diri di Moskow Seorang Guru. Tempo.co. Diambil dari https://dunia.tempo.co/read/238232/pelaku-bom-bunuh-diri-di-moskow-seorang-guru/full&view=ok

Robinson, J. (2016, December 21). A last kiss for mama: Jihadi parents bid young daughters goodbye... before one walks into a Damascus police station and is blown up by remote detonator. Dailymail.co.uk. Diambil dari https://www.dailymail.co.uk/news/article-4054312/Jihadi-parents-teach-young-daughters-suicide-bombers-kiss-goodbye-startling-footage-shortly-seven-year-old-walked-Damascus-police-station-blown-remote-detonator.html.

Rufaedah, A., Sarwono, S.W., & Idhamsyah, E. P. (2017). Pemaknaan istri narapidana teror terhadap tindakan suami. Jurnal Psikologi Ulayat. 4(1), 11 – 28.

Sundberg, A. & Huor, J. (2016). The terrorist’s wife:  My 16 years with militant Islamists (terj.  Deborah Bragan-Turner). Swedia: Norstedts.