ISSN 2477-1686

                                                                                       Vol.4. No.21 November 2018

One Man Show: Akibat kurangnya kebutuhan penghargaan?

Oleh

Sandra Handayani Sutanto

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

Illustrasi

Seorang kawan menceritakan kejadian yang dialaminya saat bergabung dengan organisasi kemasyarakatan di lingkungan rumahnya. Ia memiliki ketua lingkungan, sebut saja  ibu X yang cukup disiplin namun memiliki gaya kepemimpinan one man show.

Hampir semua keputusan dalam organisasi lingkungan harus diputuskan oleh ibu ketua, mulai dari tanggal pengumpulan THR hingga batas waktu voting untuk hal tertentu. Semua kegiatan harus sepengetahuan dan disetujui oleh ibu ketua. Ibu X juga cenderung tidak menyukai adanya inisiatif dari anggota organisasi—untuk tujuan apapun termasuk mempermudah prosedur dalam lingkungan—yang bertujuan untuk kebaikan warga. Keinginan untuk tampil juga membuatnya beberapa kali menggunakan uang pribadinya demi mendapatkan reputasi dan pengakuan dari warga. Warga yang bersedia untuk menuruti kemauannya akan menjadi inner circlenya, sedangkan warga yang berani mengkritik kebijakannya, akan menjadi musuhnya.

One Man Show & Sisi gelap pemimpin

Terminologi one man show lebih dahulu muncul dalam bidang pertunjukan, ketika satu orang mengerjakan beberapa fungsi sekaligus : sebagai penulis cerita, sutradara, aktor pada saat yang bersamaan (The Free Dictionary, n.d.). Pada konteks kepemimpinan, one man show menunjukkan gaya kepemimpinan yang mencoba melakukan semua fungsi sendiri.

McIntosh & Rima (1997) menyebutkan bahwa para pemimpin memiliki sisi gelap atau dysfunctional leaders, salah satunya adalah tipe pemimpin paranoid. Pemimpin yang paranoid dikuasai ketakutan terhadap apapun dan siapapun karena perasaan tidak aman yang berlebihan. Perilaku yang ditampilkan adalah selalu curiga pada orang lain, terobsesi untuk mempertahankan kekuasaannya, perasaan insecure, memiliki harga diri yang rendah (low self esteem), menciptakan struktur yang kaku dan sangat terkontrol, iri pada orang yang bertalenta, bereaksi berlebihan terhadap kritik dan sangat sensitif terhadap tindakan dan perkataan orang lain.

Perilaku yang ditunjukan oleh ibu X yang melakukan one man show sesuai dengan tipe pemimpin paranoid terutama perilaku yang mencerminkan obsesi mempertahankan kekuasaannya, kaku dan iri pada orang yang bertalenta.

Pemimpin yang paranoid disebabkan karena adanya trauma masa lalu, tidak memiliki sumber kepercayaan diri selain statusnya sebagai pemimpin dan tidak memiliki dukungan sosial yang memadai.

Teori kebutuhan Maslow

Maslow (dalam Feist, Feist & Roberts, 2013) mengajukan teori hirarki kebutuhan manusia, diasumsikan sebagai piramida yang berjenjang mulai dari yang paling mendasar yaitu kebutuhan fisiologis hingga kebutuhan aktualisasi diri. Di antara dua kebutuhan tersebut terdapat kebutuhan akan keamanan, cinta & rasa memiliki dan kebutuhan akan penghargaan (esteem needs).

Pada kebutuhan akan penghargaan, Maslow membagi dalam dua level yaitu reputasi dan self esteem (Feist, Feist & Roberts, 2013). Reputasi didefinisikan sebagai  persepsi mengenai kehormatan, pengakuan dan popularitas yang didapat dari orang lain. Level berikutnya adalah self-esteem yaitu perasaan keberhargaan dan kepercayaan diri yang dihasilkan oleh dirinya sendiri karena kompetensi yang dimilikinya, bukan hanya sekedar karena opini orang lain. Saat individu memiliki kebutuhan self esteem, mereka berada pada ambang aktualisasi diri.

Kebutuhan neurotik

Maslow juga mengajukan bahwa manusia juga memiliki kebutuhan neurotik yang mengarah pada stagnasi, nonproduktif dan patologis. Kebutuhan neurotik biasanya bersifat reaktif,  melanggengkan gaya hidup yang tidak sehat,  tidak memiliki nilai untuk mencapai aktualisasi diri. Kebutuhan neurotik juga merupakan cara untuk mengkompensasi kebutuhan yang tidak terpenuhi.

Pada konteks pemimpin yang melakukuan one-man show, kebutuhan untuk mendapatkan reputasi dan pengakuan  dari orang lain menjadi berlebihan sehingga hal tersebut mendorong pemimpin yang insecure dan memiliki rasa keberhargaan yang rendah tersebut untuk mencoba mengontrol segala sesuatunya, melanggengkan kekuasaannya dan tidak memberikan kesempatan pada orang lain terutama yang bertalenta-- untuk berkembang dan diberikan delegasi tugas. Usaha-usaha tersebut sebagai bagian untuk menutupi rasa rendah dirinya dan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan reputasi dan pengakuan dari orang lain.

Cara mengatasi kebutuhan neurotis

Ketika individu terjebak pada kebutuhan neurotik, akan sulit baginya untuk mencapai kebutuhan aktualisasi diri. Maslow mensyaratkan bahwa masing-masing individu harus terpuaskan di setiap jenjang kebutuhannya dan mulai mencoba melakukan B values.

B-values/Being values adalah indikator kesehatan psikologis, memotivasi kebutuhan aktualisasi diri dan berlawanan dengan kebutuhan yang kurang (Feist, Feist & Roberts, 2013). Salah satu cara yang bisa digunakan untuk mengatasi kebutuhan neurotik adalah dengan menerima diri sendiri dan orang lain. Penerimaan diri yang dimaksud adalah dengan meniadakan kebutuhan untuk menginstruksikan/mengontrol, menginformasikan dan mengubah orang lain.  Belajarlah menerima bahwa setiap orang memiliki kelemahan dan kekuatan, serta belajarlah untuk tidak merasa terancam dengan kekuatan orang lain. Selain itu, individu juga perlu belajar untuk tidak menaruh ekspektasi berlebih terhadap kesempurnaan bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Leaders become great not because of their power, but because of their ability to empower others. – John Maxwell

Referensi:

Feist, J., Feist, G.J., & Roberts, T. (2013). Theories of personality (8th ed.). New York: McGraw-Hill.

The Free Dictionary by farlex. (n.d). Diunduh dari  https://idioms.thefreedictionary.com/one-man+show.

 

McIntosh, G, & Rima,S. (1997). Overcoming the darks side of leadership: The paradox of personal dysfunction. Michigan: Baker Book.