ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 33 Mei 2025
Darth Vader Lahir!
Episode III: Revenge of the Sith
Oleh:
Mario Manuhutu1 & Eko A Meinarno2
1Biro Konsultasi Psikologi Wellspring Mental Health Center
2Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pendahuluan
Anakin dihantui visi kematian Padmé. Palpatine menawarkan pengetahuan Sith untuk menyelamatkannya, menceritakan kisah Darth Plagueis. Kebimbangannya membangun pikiran bahwa Palpatine adalah tokoh yang menyelamatkan istrinya. Ketika Mace Windu menyergap hampir membunuh Palpatine, Anakin memilih berpihak pada Sith. Ia menebas Windu dan berlutut kepada Palpatine. Ia diberi gelar Darth Vader, seorang ksatria Sith. Sebagai ujian kesetiaan, Vader memimpin serangan ke Jedi Temple (Kuil Jedi), membantai semua orang di dalamnya. Selanjutnya ia membantai pimpinan kelompok separatis di Planet Mustafar. Padmé, istrinya yang tahu tentang serangan Vader ke Kuil Jedi, dan hancur hatinya. Ia menyusul pergi ke Mustafar untuk menghadapi Anakin. Ia mendapati suaminya telah berubah. Obi-Wan muncul, memicu duel sengit di atas sungai lava. Akhirnya, Obi-Wan mengalahkan Vader, meninggalkannya terbakar dan sekarat. Di sini Vader amat marah atas perlakukan Obi-Wan. Di tempat lain, Padmé melahirkan Luke dan Leia, lalu meninggal dengan keyakinan bahwa masih ada kebaikan dalam Anakin. Palpatine menyelamatkan Vader yang terluka, memberi perawatan medis sekaligus memberi bantuan teknologi agar tubuhnya dapat selamat. Secara umum, ia mengenakan baju berjubah hitam dengan helm bertopeng yang sangat gelap. Saat sadar, Vader bertanya tentang Padmé. Palpatine mengatakan ia telah mati. Dalam amarah dan kesedihan, Vader menghancurkan segalanya di sekelilingnya. Palpatine merasa amat sukses. Kini Darth Vader telah utuh menjadi seorang ksatria Sith, dan tidak ada lagi Anakin Skyawalker. Selengkapnya pembaca dapat menyaksikan film Star Wars: Episode III: Revenge of the Sith.
Perjalanan Perubahan Anakin menjadi Darth Vader
Pada dasarnya, Anakin punya banyak luka batin selama hidupnya khususnya saat masa perkembangannya. Kejadian yang paling menekan dan traumatik adalah kehilangan ibunya saat Anakin masih sangat muda (lihat episode I untuk lebih detail).
Kehilangan orang yang signifikan dalam hidup seseorang dapat memicu fase perubahan emosional yang intens, sebagaimana dijelaskan dalam model lima tahap kesedihan oleh Kübler-Ross (1969), yang mencakup penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Bagi Anakin, ibunya adalah sosok pelindung dan pemberi perasaan aman. Kehilangan ibunya dapat memicu respons emosional yang kompleks, termasuk perasaan tidak percaya, kemarahan, kesedihan, frustrasi, dan ketidakberdayaan. Penelitian menunjukkan bahwa kehilangan orang tua pada masa remaja dapat menyebabkan gangguan psikologis yang signifikan, seperti gangguan identitas dan kesulitan dalam mengelola emosi (Feigelman et al., 2017).
Kemampuan seseorang dalam menghadapi keberdukaan karena kehilangan ditentukan oleh jenis kehilangan yang terjadi. Dalam hal ini, kematian ibunya merupakan peristiwa traumatik yang dirasakan Anakin mengancam hidupnya. Hal ini lah yang membuat keberdukaannya berlangsung sangat lama. Kehilangan yang dialami Anakin termasuk dalam traumatic loss (Nakajima et al., 2012), dan reaksi-reaksi psikologis atas kehilangan tersebut adalah complicated grief.
Individu yang mengalami complicated grief sering kali menunjukkan gangguan emosi yang lebih dalam dibandingkan dengan berduka biasa, termasuk kesulitan menerima kehilangan, perasaan hampa yang terus-menerus, dan gangguan tidur (Shear et al., 2011). Salah satu simtom khas complicated grief adalah mimpi buruk yang berulang, yang dapat mencerminkan ketidakmampuan individu dalam memproses kehilangan secara adaptif (Boelen & van den Bout, 2005). Hal ini juga terjadi pada Anakin yang mengalami mimpi buruk terutama tentang ibunya. Ketidakmampuan menyelesaikan proses berduka dapat memicu peningkatan kecemasan, depresi, bahkan kemarahan yang ekstrem (Bonanno et al., 2007).
Individu dengan trauma berat merasa hidupnya selalu berada di masa lalu, seperti terperangkap, sehingga sulit untuk mengembangkan potensi-potensi diri yang dimiliki. Individu dengan trauma merasa bahwa mereka seharusnya bisa melakukan sesuatu, yang seharusnya tidak dapat mereka lakukan pada terjadinya peristiwa tersebut. Memori dan perasaan mereka seringkali berada di masa lalu (Wolynn, 2016). Anakin dalam ketidakberdayaannya, kemarahannya, dan kesedihannya merasa bahwa seharusnya ia bisa lebih kuat, lebih berdaya, agar dapat menyelamatkan ibunya (dari kematian). Rasa bersalah (guilt) yang sangat kuat dan besar ada pada diri Anakin.
Keberdukaan (grief), rasa bersalah (guilt), kemarahan (anger) adalah bentuk-bentuk consciousness yang masih dalam lingkup mekanisme bertahan hidup (survival) (Hawkins, 2020). Mereka yang berada pada tahapan consciousness ini seringkali penuh dengan kebencian baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang/benda lain, melihat sekelilingnya sebagai hal yang jahat. Untuk bisa bertahan, maka Anakin perlu membangun kekuatan pada dirinya, sehingga need for power pada Anakin pun besar. Anakin beberapa kali dengan yakin mengatakan bahwa "I want more" ketika diminta oleh para ksatria Jedi untuk bersabar atau tidak tergesa-gesa. Need for power ini juga Anakin tunjukkan dengan niatnya agar dapat menyelamatkan Padmé; Anakin tidak ingin kehilangan Padmé. Di sinilah rasa bersalahnya juga tampak, yang ia kompensasikan melalui intensinya terhadap Padmé. Master Yoda mengatakan kepada Anakin bahwa “the fear of loss is the path to the dark side.” Need for power inilah yang membawa Anakin secara bertahap masuk ke dark force.
Marah sebagai Kunci Emosi Vader
Pengekspresian kemarahan ditunjukkan Anakin salah satunya di bagian akhir pertarungannya dengan Count Dooku di mana ia dengan rasa marah memenggal kepala lawannya itu. Rasa marahnya itu juga dirasakan oleh Palpatine, si Master Sith, yang dengan cerdik memanfaatkan Anakin yang sebenarnya rentan secara psikologis. Master Sith juga berhasil memanfaatkan need for power pada Anakin dengan mengatakan bahwa para ksatria Jedi punya intensi untuk tidak melibatkan Anakin dalam rencana mereka memerangi Klan Perbankan Intergalaksi. Pada Anakin yang kemudian muncul adalah rasa marah, yang sebenarnya adalah perasaan takut dan cemas karena intensinya untuk menjadi lebih kuat bisa terhambat.
Kemarahan Anakin termanifestasi dalam bentuk munculnya emosi kebencian dan cara menghadapi masalah dengan agresif kepada siapapun yang menentangnya (Hawkins, 2020), termasuk kepada mentornya sendiri Obi-Wan. Kemarahan Anakin, yang baru bertransformasi menjadi Darth Vader, memuncak ketika Palpatine mengatakan kepadanya bahwa Padmé terbunuh oleh kemarahannya (Anakin) sendiri. Benda-benda di sekelilingnya pun hancur. Traumanya akan kehilangan kembali terpicu, begitu juga rasa bersalah dan penyangkalan (bahwa seharusnya ia bisa menyelamatkan Padmé) (Wolynn, 2016).
Penutup
Transformasi Anakin Skywalker menjadi Darth Vader menunjukkan bagaimana trauma yang tidak terselesaikan dapat mengarah pada kehancuran diri. Kehilangan ibu dan ketakutan kehilangan Padmé memicu complicated grief, rasa bersalah, serta dorongan besar untuk memperoleh kekuatan. Emosi negatif yang tidak terkelola ini dieksploitasi oleh Palpatine, membuat Anakin percaya bahwa hanya melalui sisi gelap ia dapat mengendalikan takdirnya. Ironisnya, keputusan ini justru membawanya pada kehilangan yang lebih besar dan penderitaan yang mendalam. Kisah ini menyoroti pentingnya pengelolaan emosi dan trauma agar tidak berkembang menjadi pola destruktif. Anakin bukan hanya tokoh antagonis, tetapi juga gambaran nyata bagaimana ketidakmampuan menerima kehilangan dapat membentuk jalan hidup seseorang secara drastis. Analisis ini menggarisbawahi bahwa tanpa pemahaman dan dukungan psikologis yang tepat, rasa takut dan kemarahan dapat menguasai seseorang, menjauhkannya dari harapan dan kebaikan yang sebenarnya masih ada dalam dirinya.
Daftar Pustaka
Boelen, P. A., & van den Bout, J. (2005). Complicated grief, depression, and anxiety as distinct postloss syndromes: A confirmatory factor analysis study. American Journal of Psychiatry, 162(11), 2175–2177. https://doi.org/10.1176/appi.ajp.162.11.2175
Bonanno, G. A., Wortman, C. B., Lehman, D. R., Tweed, R. G., Haring, M., Sonnega, J., Carr, D., & Nesse, R. M. (2002). Resilience to loss and chronic grief: A prospective study from preloss to 18-months postloss. Journal of Personality and Social Psychology, 83(5), 1150–1164. https://doi.org/10.1037/0022-3514.83.5.1150
Feigelman, W., Rosen, Z., Joiner, T., Silva, C., & Mueller, A. S. (2017). Examining longer-term effects of parental death in adolescents and young adults: Evidence from the national longitudinal survey of adolescent to adult health. Death studies, 41(3), 133-143.
Hawkins, Dr. David R., 2020. The Map of Consciousness Explained. London: Hay House.
Kübler-Ross, E. (1969). On death and dying. Macmillan.
Nakajima, S., Masaya, I., Akemi, S., & Takako, K. (2012). Complicated grief in those bereaved by violent death: the effects of post-traumatic stress disorder on complicated grief. Dialogues in clinical neuroscience, 14(2), 210-214. https://doi.org/10.31887/DCNS.2012.14.2
Shear, M. K., Simon, N., Wall, M., Zisook, S., Neimeyer, R., Duan, N., Reynolds, C., Lebowitz, B., Sung, S., Ghesquiere, A., Gorscak, B., Clayton, P., Ito, M., Nakajima, S., Konishi, T., Melhem, N., Meert, K., Schiff, M., O'Connor, M.-F., First, M., Sareen, J., Bolton, J., Skritskaya, N., Mancini, A. D., & Keshaviah, A. (2011). Complicated grief and related bereavement issues for DSM-5. Depression and Anxiety, 28(2), 103–117.
Wolynn, Mark. (2016). It Didn’t Start with You. New York: Penguin Random House LLC.