ISSN 2477-1686
Vol. 11 No. 33 Mei 2025
Mengapa Mesti Darth Vader?
Oleh:
Eko A Meinarno
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
"You Don't Know the Power of the Dark Side."
Pengantar
Dalam film serial bioskop Star Wars, tokoh yang menjadi fokus adalah Darth Vader (selanjutnya ditulis Vader). Mengapa ia menarik? Pertama kali saya menonton film ini sekitar awal tahun 1980-an. Hal yang mengesankan dari Vader adalah kedatangan atau kehadiran dia selalu dimulai dengan iringan musik yang megah (https://www.youtube.com/watch?v=O2F91Up9fT8, sebagai contoh). Kemunculannya menimbulkan rasa takut, atau mencekam. Sampai saya menonton episode keenam (IV, V, VI), saya tertarik padanya (padahal saya berusia kanak-kanak, belum remaja). Kemegahan lagu yang mengiringinya yang lebih saya ingat daripada tokoh-tokoh jagoannya. Hal lainnya adalah baju yang ia kenakan. Mengapa ada lampu-lampu teknologinya, dan bunyi nafasnya (sindiran Firaun di film “Night at the Museum 2, https://www.youtube.com/watch?v=J7LKbf8uUwM).
Kewibawaannya amat terasa, bahkan dengan posisi dia sebagi tokoh antagonis, semua yang berpihak pada jagoan tetap memberi hormat padanya. Sebagai tokoh antagonis, ia juga ikonik. Ketika muncul di akhir 1970-an dia menimbulkan banyak pertanyaan (kecuali yang mengerti Star Wars melalui buku). Bahkan ketika Vader muncul di film prekuelnya di tahun 2000-an, penonton generasi 2000 tetap terpesona padanya. Terlebih penonton era 1970-1980 yang masih hidup, akhirnya merasa terjawab mengapa Vader ada. Pernahkah terbayang, sosok tokoh yang dibayangkan sejak kecil sebagai individu yang baik, dididik dengan baik, dipercaya menjadi baik, tapi malah kemudian menjadi tokoh yang paling kejam? Di sinilah keunikan Vader. Menarik bukan? Oleh karena itu, saya mengajak beberapa teman/kolega untuk mengkaji Vader secara psikologi dan berbasis ilmuwan Indonesia! Bukan dari penulis luar negeri. Hal yang pasti semuanya paham dan berminat pada Vader.
Vader: Tokoh Misterius yang Gelap
Ia adalah tangan kanan atau bahkan wakil pribadi Kaisar (Darth Sidious) yang memiliki kuasa nyaris setara dengannya. Ia tidak ada dalam struktur hirarki yang jelas, tapi yang pasti semua staf kekaisaran tunduk padanya.
Tiap kali ia muncul, kita akan dipaksa melihat tokoh jahat yang mengenakan atribut serba gelap alias hitam. Berjubah, mengenakan helm tertutup utuh, tidak memiliki ekspresi emosi (topengnya menutup wajahnya), suara yang khas, tapi meninggalkan kejanggalan yakni nafas yang berat. Menimbulkan pertanyaan, mengapa ia sebegitu menakutkan? Apakah dia muncul begitu saja tanpa ada muasalnya?
Vader: Perwakilan Kebudayaan Kita
Secara kebudayaan, kostum Darth Vader tidak hanya ikonik karena tampilannya yang mengesankan, tetapi juga karena kekayaan simbolisme yang dikandungnya. Ia dan pakaiannya mewakili tema-tema seperti kekuasaan, teknologi, kehilangan kemanusiaan, dan arketipe universal, membuatnya tetap relevan dan dikenang di seluruh dunia. Atribut yang ia kenakan tidak sekedar bicara ada di posisi mana dia, tapi ia memberi tahu kita tentang dirinya. Dengan kata lain, atribut Vader adalah simbol.
Ia menunjukkan dirinya sebagai kekuatan dan ketakutan. Kostum Darth Vader melambangkan kekuatan absolut yang sering kali menimbulkan ketakutan. Siluet helmnya yang tinggi dengan garis-garis tajam dan warna hitam pekat menciptakan kesan dominasi dan kekuasaan. Kostum ini menjadi perwujudan visual dari konsep "kuasa yang menindas," yang dapat ditemukan dalam narasi sejarah maupun budaya, seperti tirani atau pemerintahan totaliter. Melalui karakter Darth Vader, kostumnya juga menghidupkan citra "penjaga kegelapan," yang sering muncul dalam mitologi berbagai budaya. Vader juga berjubah. Jubah hanya dikenakan oleh individu yang memiliki kekuatan (khususnya bangsawan dan petinggi agama). Sebagai contoh, kaisar Tiongkok, kaisar Romawi atau pimpinan militer Romawi. Kekhususan ini yang memosisikan Vader sebagai tokoh kuat, secara militer (angkatan bersenjata Kekaisaran) dan memiliki force (kekuatan) magis yang tidak dimiliki banyak orang.
Baju penuh alat berteknologi menunjukkan dirinya yang terikat dengan teknologi (terlebih fisiknya luka parah dan butuh perawatan lihat artikel “mario”). Baju pendukung kehidupannya yang canggih memungkinkan Vader untuk hidup meskipun tubuhnya telah rusak berat, tetapi teknologi yang sama juga "mencuri" kemanusiaannya. Tanpa baju itu ia sulit untuk hidup dengan kata lain baju itu penopang hidupnya juga. Vader menakutkan sekaligus rapuh. Ia memiliki force yang kuat, tapi tubuhnya perlu ditopang mesin. Ironis bukan? Jadi siapa yang butuh, tubuhnya butuh teknologi atau teknologi butuh tubuhnya? Pada banyak kesempatan, ia tidak terlihat mampu didekati. Wajar, siapa yang akan tahu kapan mesin di bajunya akan rusak? Akibatnya, ya dia sulit memiliki teman dan bahkan menakutkan bagi banyak orang.
Masih ingat dengan topeng baju zirah para samurai? Sering terlihat menakutkan. Begitupun dengan helm bertopeng Vader. Bentuk helm yang menyerupai topeng samurai Jepang membawa elemen sejarah dan mitologi ke dalam desainnya. Pada bagian kepalanya juga mirip dengan helm militer Jerman era NAZI (ingat, film ini lahir di era pasca Perang Dunia II). Militer yang dianggap kejam dan penghancur. Helm yang menjadi momok dunia tahun 1939-1945. Ditambah wajah yang tertutup membuat orang lain tidak tahu ekspresi emosinya. Maka hal yang timbul adalah perasaan bahwa hati dia dingin atau beku pada manusia.
Ini Intro Bukan Naskah Utama
Bagian yang saya tulis bukan materi utama dari kajian Vader. Tulisan ini pembuka untuk enam tulisan yang mengkaji Vader secara psikologis. Para penulis ini menggunakan berbagai teori psikologi secara umum, dan secara khusus teori kepribadian. Tulisan dibatasi pada episode I hingga episode VI. Para penulis datang dari berbagai kampus psikologi di Indonesia, yakni Universitas Katolik Atma Jaya, Universitas Bunda Mulia, Universitas Pembangunan Jaya, Universitas Pancasila, Universitas Achmad Yani, Universitas Muhammadiyah Bandung, Universitas Indonesia, dan Biro Konsultasi Psikologi Wellspring Mental Health Center. Semua penulis melakukan menganalisis dengan kajian literatur yang kaya. Tercatat sebanyak 70 rujukan atau tiap artikel menggunakan sekitar 12 rujukan yang digunakan. Tentu ini menandakan keseriusan dan kekayaan wawasan para penulis.
Berikut adalah para penulis dengan judul yang terbit di Buletin KPIN edisi Mei 2025. Episode I dikaji oleh Made Syanesti Adishesa dan Eko A Meinarno dengan judul Lahirnya Darth Vader: Menganalisis Dinamika Psikologis Anakin Skywalker dengan Teori Alfred Adler. Episode II dikaji oleh Aisyah Syihab dengan judul Perkembangan Kehidupan Anakin Skywalker di Star Wars II: Attack of The Clones. Episode III dikaji oleh Mario Manuhutu dan Eko A Meinarno dengan judul Darth Vader Lahir! Episode III: Revenge of the Sith. Episode IV dikaji oleh Veronica A. M. Kaihatu dan Eko A Meinarno dengan judul Darth Vader: Pemimpin Pemberi Contoh. Kajian ini terbilang sedikit berbeda karena pendekatannya melihat pada cara kerja organisasi yang dipimpin oleh Vader. Episode V dikaji oleh Arief Budiarto dan Arina Shabrina dengan judul The Empire Strikes Back: Dinamika Kepribadian Darth Vader Berdasakan Psikologi Jungian. Terakhir, Episode VI dikaji oleh Shanty Sudarji dan Eko A Meinarno dengan judul Darth Vader: Lingkaran ini Telah Utuh.
Tiap-tiap artikel mengkaji Vader dengan sudut-sudut pandang yang berbeda. Ingat, bahwa tiap episode Star Wars berisi tema cerita yang berbeda. Artinya pembaca dapat menemukan benang merah dari semuanya dan mendapat gambaran utuh dari Vader jika membaca semua artikel edisi Star Wars ini.
Penutup
Artikel pembuka ini juga memberi pemahaman bahwa mengapa artikel-artikel tentang Darth Vader atau Star Wars ini terbit di bulan Mei. Bulan Mei adalah bulan Star Wars. Ingat kalimat “May (Mei) the force be with you”? ada kata “May” yang diwakili oleh bulan Mei. Para pembaca akan secara tak terduga akan memahami Vader dengan metode pikir yang ilmiah psikologis. Hal ini tidak akan didapat hanya dengan menyaksikan filmnya saja. Yakinlah wahai pembaca yang budiman, hanya dalam artikel-artikel khusus inilah Vader menjadi obyek kajian yang tak terpikirkan sebelumnya. Itulah alasan artikel-artikel ini dibuat dan terbit.
Daftar Pustaka
Penulis mengakui bahwa tulisan ini sangat subyektif. Banyak bacaan yang telah dibaca, tapi tidak tercatat. Penulis telah menyaksikan keenam episode yang dikaji dalam artikel ini. Oleh karenanya artikel ini tidak memiliki daftar pustaka.