ISSN 2477-1686  

 Vol. 11 No. 27 Februari 2025

 

Melawan Stigma dan Tantangan, Perempuan Desa Menuju Bangku Kuliah

 Oleh:

Zulfa Maulida & Devie Yundianto

Program Studi Psikologi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

 

Pendidikan adalah hak fundamental yang seharusnya dapat diakses oleh semua individu tanpa memandang latar belakang geografis, sosial, atau ekonomi. Namun, di banyak wilayah pedesaan Indonesia, perempuan sering kali menghadapi tantangan signifikan untuk melanjutkan pendidikan tinggi (Irawan et al., 2024). Masalah ini tidak hanya mencerminkan ketimpangan domestik tetapi juga memiliki relevansi global, mengingat akses pendidikan perempuan masih menjadi isu besar di berbagai negara berkembang.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, hanya sekitar 6% perempuan di daerah pedesaan Indonesia yang melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, dibandingkan dengan 14% di wilayah perkotaan (Badan Pusat Statistik, 2024). Salah satu penyebab kesenjangan ini yaitu faktor sosial dan budaya. Faktor sosial seperti pandangan tradisional tentang peran gender yang menempatkan perempuan dalam peran domestik dan stigma sosial terhadap perempuan yang berpendidikan tinggi menjadi hambatan utama. Selain itu, faktor ekonomi, infrastruktur pendidikan yang minim, dan kurangnya kebijakan pemerintah turut memperburuk situasi ini (Irawan et al., 2024). Dalam banyak kasus, hal ini menyebabkan terbatasnya peluang bagi perempuan untuk mengembangkan diri dan mencapai potensi penuh mereka, yang mengakibatkan kesenjangan gender dalam pendidikan terus berlanjut.

Kesenjangan ini bukan hanya masalah lokal tetapi juga bagian dari tantangan global dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan. Laporan UNESCO (2024) mencatat bahwa sekitar 122 juta anak perempuan di dunia tidak bersekolah. Lebih dari itu, perempuan masih mencakup hampir dua pertiga dari 765 juta orang dewasa yang tidak memiliki keterampilan literasi dasar. Dalam hal ini, UNESCO juga melaporkan, hambatan seperti kemiskinan, geografi, disabilitas, dan status minoritas sering kali menjadi penghalang utama bagi anak perempuan untuk mengakses pendidikan berkualitas. Untuk mengatasi hal ini, sasaran global yang sejalan dengan kerangka SDG 4 menempatkan pendidikan sebagai jalan utama menuju pemberdayaan, sekaligus menjadi pijakan penting dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan di seluruh dunia.

Selain hambatan sosial dan struktural yang telah dijelaskan, aspek psikologis juga berperan penting dalam menentukan motivasi perempuan pedesaan untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Menurut perspektif Self-Determination Theory, motivasi intrinsik dan ekstrinsik memainkan peran penting dalam mendorong individu untuk mencapai tujuan mereka (Ryan & Deci, 2020). Motivasi intrinsik, seperti dorongan untuk membuktikan kemampuan diri, sering kali membantu perempuan pedesaan menghadapi berbagai hambatan yang mereka alami. Di sisi lain, motivasi ekstrinsik, seperti dukungan keluarga atau kesempatan mendapatkan beasiswa, dapat memberikan tambahan dorongan yang signifikan untuk mengakses pendidikan tinggi. Kombinasi dari kedua jenis motivasi ini mencerminkan kompleksitas faktor psikologis dalam mendukung kegigihan mereka.

Selain itu, Resilience Theory menyoroti kemampuan individu untuk bangkit dari keterbatasan dan tantangan yang mereka hadapi. Durso et al. (2021) mengartikan resiliensi sebagai proses adaptasi yang baik dalam menghadapi kesulitan, trauma, ancaman, atau sumber stres signifikan. Dengan landasan kedua teori di atas dapat dipahami bahwa, meskipun perempuan pedesaan menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses pendidikan tinggi, mereka tetap mampu mencapainya apabila didorong oleh motivasi yang kuat dan ketahanan diri untuk mengatasi tantangan tersebut. Ketahanan ini pula yang memungkinkan mereka melihat pendidikan tinggi bukan hanya sebagai kesempatan untuk mengubah nasib, tetapi juga sebagai cara untuk meningkatkan kualitas hidup dan memecahkan lingkaran kemiskinan.

Manfaat dari berpendidikan tinggi sangatlah beragam dan dapat memengaruhi kualitas hidup seseorang secara signifikan. Fatimah et al. (2024) menyebutkan bahwa dengan melanjutkan kuliah, seseorang dapat memperoleh berbagai keuntungan, seperti pengetahuan dan wawasan yang lebih luas, kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman yang berkualitas, serta pengembangan potensi diri melalui berbagai pelatihan dan organisasi yang ada di kampus. Selain itu, pendidikan tinggi juga membuka peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan harkat dan martabat keluarga.

Namun, keberhasilan pendidikan perempuan pedesaan tidak hanya bergantung pada faktor internal seperti motivasi, tetapi juga pada dukungan eksternal yang mereka terima dari lingkungan sekitar. Dalam hal ini, teori Ecological Systems dari Bronfenbrenner (2009) menekankan pentingnya faktor sosial dan lingkungan dalam mendukung individu mencapai tujuannya. Dukungan dari komunitas, seperti kelompok belajar atau pelatihan keterampilan, dapat meningkatkan rasa percaya diri dan memberikan keterampilan praktis yang diperlukan untuk menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari. Intervensi berbasis komunitas seperti ini dapat memperkuat ketahanan psikososial mereka, memfasilitasi pencapaian tujuan pendidikan.

Untuk mengatasi tantangan pendidikan perempuan pedesaan, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari keluarga hingga pemerintah. Upaya ini harus disesuaikan dengan tantangan yang ada di lapangan. Misalnya, untuk mengatasi keterbatasan ekonomi, penyediaan beasiswa oleh pemerintah bisa menjadi solusi yang efektif. Di sisi lain, untuk mengatasi tantangan sosial dan budaya patriarki yang masih mengakar, kampanye pendidikan yang mengurangi stigma terhadap perempuan yang melanjutkan pendidikan tinggi dapat dilakukan. Selain itu, secara psikologis, penting untuk mengembangkan program yang memperkuat motivasi intrinsik dan memberikan dukungan emosional. Dengan mengatasi hambatan-hambatan ini, kita tidak hanya membantu perempuan pedesaan untuk mencapai potensi mereka, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan sosial dan ekonomi yang lebih kuat di wilayah pedesaan.

Referensi:

Badan Pusat Statistik. (2024). STATISTIK INDONESIA STATISTICAL YEARBOOK OF INDONESIA 2024 (Vol. 52). BADAN PUSAT STATISTIK. https://www.bps.go.id/id/publication/2024/02/28/c1bacde03256343b2bf769b0/statistik-indonesia-2024.html

Bronfenbrenner, U. (with Cole, M.). (2009). The Ecology of Human Development: Experiments by Nature and Design. Harvard University Press. https://doi.org/10.4159/9780674028845

Durso, S. D. O., Afonso, L. E., & Beltman, S. (2021). Resilience in higher education: A conceptual model and its empirical analysis. Education Policy Analysis Archives, 29(August-December), 156. https://doi.org/10.14507/epaa.29.6054

Fatimah, R., Mardiana, R., & Susilabudi, K. (2024). PENGABDIAN MASYARAKAT UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI MASYARAKAT DESA BUANA JAYA MELANJUTKAN PENDIDIKAN TINGGI. 2(1).

Irawan, P. S., Agustian, F. D., & Lestarikan, D. P. (2024). Identifikasi Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kesenjangan Gender Dalam Akses Dan Partisipasi Pendidikan Tinggi Di Indonesia. 2(1).

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2020). Intrinsic and extrinsic motivation from a self-determination theory perspective: Definitions, theory, practices, and future directions. Contemporary Educational Psychology, 61, 101860. https://doi.org/10.1016/j.cedpsych.2020.101860

UNESCO. (2024). Gender Equality and Education [Dataset]. https://www.unesco.org/en