ISSN 2477-1686  

Vol. 11 No. 27 Februari 2025

Sisi Psikologis Perempuan di Tengah Pusaran Perubahan Iklim

Oleh:

Yohanes K. Herdiyanto

Prodi Psikologi, Universitas Udayana

Hidup sebagai perempuan nelayan tidaklah mudah dilakoni. Seperti halnya disampaikan oleh seorang perempuan nelayan yang tinggal di pantai utara (Pantura) pulau Jawa. Kampungnya langganan mengalami banjir rob, yaitu banjir akibat air laut yang naik ke daratan. Hidup di tengah himpitan rob tidaklah mudah, ia dan keluarganya cuma punya dua pilihan, yakni pindah atau bertahan. Karena tak punya cukup uang untuk pindah, keluarganya terpaksa bertahan. Supaya bisa bertahan, mereka dituntut untuk beradaptasi (Utami, 2023).

Pengalaman perempuan nelayan Pantura lainnya juga tidak lepas dirundung kesulitan. Penghasilan keluarga nelayan semakin hari semakin tidak menentu, melaut harus dilakukan lebih jauh dan lebih lama untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sepadan. Tekanan ekonomi tersebut membuat perempuan rentan menerima kekerasan dari suaminya. Perubahan iklim yang mengancam secara global, secara tidak sadar saat ini dirasakan pula oleh banyak keluarga nelayan di Pantura. Di tengah krisis iklim yang menghantam keras perekonomian keluarga nelayan, perempuan rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan berbasis jender (Pratiwi, 2024).

Kerentanan Perempuan di Tengah Pusaran Perubahan Iklim

Perubahan iklim sudah menjadi suatu keniscayaan yang dihadapi umat manusia secara global. Perubahan iklim yang indikator utamanya adalah peningkatan temperatur suhu bumi yang meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun berdampak luas di berbagai sendi kehidupan (World Health Organization, 2014). Risiko utama yang dihadapi terkait dengan perubahan iklim dapat digolongkan menjadi tiga yaitu sistem fisik, biologis, dan hidup manusia (Lawrance dkk., 2022). Contoh dari perubahan pada sistem fisik seperti mencairnya es, banjir, kekeringan, abrasi, kebakaran hutan, dan meningkatnya permukaan air laut. Perubahan pada sistem biologis misalnya terancamnya populasi hewan liar, dan berubahnya ekosistem biota laut karena peningkatan suhu maupun pencemaran. Sedangkan perubahan sistem hidup manusia contohnya berkurangnya pasokan makanan, kelaparan, kesehatan dan ekonomi (Lawrance dkk., 2022).

Seperti juga yang dialami perempuan nelayan Pantura di atas, perubahan-perubahan tersebut walau tidak secara langsung dapat pula memengaruhi kehidupan manusia. Pengaruh perubahan iklim terhadap manusia dapat dibagi menjadi pengaruh langsung yang dirasakan seketika, pengaruh langsung dalam jangka waktu lama, dan pengaruh tidak langsung (Lawrance dkk., 2022). Pengaruh secara langsung dirasakan seketika seperti luka fisik, kematian, kerusakan infrastruktur, kerusakan alam, kerusakan lahan pertanian, dan polusi udara. Sedangkan pengaruh secara langsung dirasakan dalam jangka waktu lama misalnya seperti konflik dan kekerasan, migrasi, komunitas yang tidak berfungsi, kesehatan fisik yang memburuk, sistem kesehatan yang tidak menentu, dan pasokan makanan dan minuman yang tidak pasti. Pengaruh tidak langsung yang dirasakan seperti mengalami perubahan lingkungan dan kehilangan dukungan ekosistem, serta menyaksikan kejadian cuaca buruk dan dampaknya (Doherty & Clayton, 2011; Lawrance dkk., 2022).

Pengaruh dari perubahan iklim tersebut dapat memengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan emosional dari individu. Pengaruh secara langsung baik dirasakan secara langsung maupun dalam jangka waktu lama dapat memengaruhi kesehatan mental individu dalam bentuk stres akut, penyalahgunaan narkoba, bunuh diri, PTSD dan trauma, insomnia, kehilangan dan kedukaan, kecemasan dan depresi, serta memburuknya kesejahteraan emosional. Sedangkan pengaruh secara tidak langsung memengaruhi kesehatan mental individu dalam bentuk kedukaan dan eco-anxiety (Bryan dkk., 2024; Doherty & Clayton, 2011; Huang dkk., 2024; Lawrance dkk., 2022; World Health Organization, 2014).

Indonesia sebagai negara kepulauan dan berada di lintasan ekuator juga mengalami dampak perubahan iklim yang sama seperti dirasakan oleh masyarakat global. Berbagai bencana yang kita alami akhir-akhir ini yang kita sadari atau tidak, merupakan dampak dari perubahan iklim. Banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, gagal panen, abrasi dan meningkatnya tinggi air laut, mencairnya es abadi di pegunungan Jayawijaya, kehilangan harta benda hingga kematian akibat bencana hidrometeorologi merupakan dampak nyata yang ada di sekitar kita. Siapa yang paling terdampak dari berbagai bencana tersebut? Tak lain adalah masyarakat yang tinggal di lingkungan geografis yang tidak menguntungkan seperti tinggal di pulau-pulau kecil serta masyarakat dengan identitas sosial terpinggirkan seperti suku terasing, anak-anak, lanjut usia, dan juga perempuan (Bryan dkk., 2024; Cucinella dkk., 2023; Eastin, 2018; Goli dkk., 2020; World Health Organization, 2014).

Perempuan adalah salah satu kelompok paling rentan saat terjadi bencana akibat perubahan iklim. Kerentanan tersebut diakibatkan karena adanya ketidaksetaraan jender dalam kemampuan adaptif untuk merespons perubahan iklim. Ketidaksetaraan jender tersebut termanifestasi pada empat area yaitu yang pertama area akses dan kontrol terhadap sumber daya, modal individu dan sosial, akses terhadap layanan, dan budaya patriarki (Bryan dkk., 2024). Perempuan dibatasi dalam mengakses sumber daya dan aset produktif seperti lahan dan air bersih untuk merespons perubahan iklim. Di sisi lain, saat terjadi krisis, aset perempuan seperti perhiasan menjadi penyelamat keluarga untuk keluar dari krisis. Budaya patriarki juga turut andil dalam membatasi perempuan untuk mendapatkan informasi serta kesempatan untuk menjadi pemimpin di komunitas sehingga terbatas dalam menentukan tindakan yang tepat dalam merespons perubahan iklim.

Bagaimana ilmu psikologi turut berkontribusi dalam permasalahan tersebut? Sudah saatnya kita berupaya melibatkan sisi psikologis dalam mengarusutamakan perempuan dalam  berbagai upaya merespons perubahan iklim yang komprehensif di tengah komunitas.

Aspek Psikologis Perempuan di Tengah Pusaran Perubahan Iklim

Berbagai dampak perubahan iklim baik secara langsung atau tidak langsung tersebut juga turut serta memengaruhi perempuan. Dampak tersebut selain dampak fisik dan materi, juga memengaruhi sisi psikologis. Seperti yang telah disampaikan di atas, dampak psikologis seperti stres akut, kehilangan dan kedukaan, kecemasan dan depresi dapat terjadi akibat kehilangan harta benda maupun anggota keluarga akibat bencana, juga bisa diakibatkan keharusan untuk melakukan migrasi untuk mencari tempat tinggal yang dirasa lebih aman dari bencana yang terjadi (Doherty & Clayton, 2011; Pratiwi, 2024). Sebagai kelompok rentan, perempuan akan semakin merasakan dampak psikologis tersebut karena mempunyai keterbatasan akses maupun informasi untuk keluar dari situasi tersebut (Lawrance dkk., 2022).

Ilmu psikologi dapat berperan untuk mengurangi dampak psikologis perempuan akibat perubahan iklim sejak dari upaya asesmen, perencanaan aktivitas tindakan, hingga melakukan evaluasi untuk mengukur efektivitas tindakan yang sudah dilakukan tersebut (Doherty & Clayton, 2011). Asesmen dalam situasi bencana sering kali dilakukan secara cepat dan ringkas sehingga terkadang tidak melibatkan perspektif perempuan sehingga dampak yang dirasakan perempuan tidak tercatat dan tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Asesmen psikologis bagi kelompok rentan, terkhusus perempuan, akan menjadi awal yang bagus untuk memberikan gambaran yang komprehensif yang diakibatkan bencana.

Asesmen dengan melibatkan perempuan dan juga melakukan asesmen psikologis bagi perempuan akan memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai dampak dan kebutuhan perempuan dalam merespons bencana. Hasil asesmen tersebut dapat digunakan untuk merancang program-program dan tindakan yang sesuai dengan kebutuhan perempuan. Dukungan psikologis seperti terapi psikologis individu dan aktivitas kelompok juga akan menjadi alternatif untuk membantu perempuan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologisnya (Helm dkk., 2018).

Evaluasi terhadap program dan aktivitas dalam merespons bencana juga dapat melibatkan psikologi sebagai salah satu indikator keberhasilan. Evaluasi psikologis bagi perempuan untuk menentukan keberhasilan program akan memastikan bahwa program dan aktivitas yang dilakukan untuk merespons bencana benar-benar melihatkan dan menempatkan perempuan sebagai aktor utama di dalam komunitas yang berpartisipasi dan berdaya pasca bencana. Kesejahteraan psikologis perempuan dapat menjadi tolak ukur penting untuk menentukan suatu program telah dilaksanakan dengan baik pada situasi bencana.

Penutup

Penulis ingin mendorong diskusi untuk menempatkan perempuan dalam kajian-kajian terkait dengan perubahan iklim karena selama ini perempuan bersama dengan kelompok terpinggirkan mengalami dampak terberat akibat perubahan iklim ini (Bryan dkk., 2024). Di sisi lain perempuan kurang mendapatkan dukungan yang sepadan untuk bisa merespons perubahan iklim dengan baik (Eastin, 2018).

Kajian dari perspektif psikologis juga akan sangat membantu upaya dalam merespons perubahan iklim yang telah dilakukan oleh berbagai bidang ilmu selama ini (Asgarizadeh dkk., 2023). Perspektif psikologis yang menempatkan perempuan sebagai aktor utama juga akan sangat membantu komunitas untuk mencapai taraf kesejahteraan psikologis yang optimal.

Perubahan iklim sedang terjadi di sekitar kita, jangan sampai kita mengalami nasib seperti para perempuan nelayan di Pantura berserta keluarga dan komunitasnya yang terjebak dalam lumpur hisap perubahan iklim. Perubahan iklim dapat terjadi pelan-pelan namun lambat laun akan menghisap habis kita. Sekali lagi, seperti juga para perempuan nelayan di Pantura, perempuanlah yang biasanya pertama kali menjadi korban.

Daftar Pustaka

Asgarizadeh, Z., Gifford, R., & Colborne, L. (2023). Predicting climate change anxiety. Journal of Environmental Psychology, 90, 102087. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2023.102087

Bryan, E., Alvi, M., Huyer, S., & Ringler, C. (2024). Addressing gender inequalities and strengthening women’s agency to create more climate-resilient and sustainable food systems. Global Food Security, 40, 100731. https://doi.org/10.1016/j.gfs.2023.100731

Cucinella, L., Tiranini, L., & Nappi, R. E. (2023). Impact of climate and environmental change on the menopause. Maturitas, 178, 107825. https://doi.org/10.1016/j.maturitas.2023.107825

Doherty, T. J., & Clayton, S. (2011). The psychological impacts of global climate change. American Psychologist, 66(4), 265–276. https://doi.org/10.1037/a0023141

Eastin, J. (2018). Climate change and gender equality in developing states. World Development, 107, 289–305. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2018.02.021

Goli, I., Omidi Najafabadi, M., & Lashgarara, F. (2020). Where are We Standing and Where Should We Be Going? Gender and Climate Change Adaptation Behavior. Journal of Agricultural and Environmental Ethics, 33(2), 187–218. https://doi.org/10.1007/s10806-020-09822-3

Helm, S. V., Pollitt, A., Barnett, M. A., Curran, M. A., & Craig, Z. R. (2018). Differentiating environmental concern in the context of psychological adaption to climate change. Global Environmental Change, 48, 158–167. https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2017.11.012

Huang, Y., Long, H., Jiang, Y., Feng, D., Ma, Z., & Mumtaz, F. (2024). Motivating factors of farmers’ adaptation behaviors to climate change in China: A meta-analysis. Journal of Environmental Management, 359, 121105. https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2024.121105

Lawrance, E. L., Thompson, R., Newberry Le Vay, J., Page, L., & Jennings, N. (2022). The Impact of Climate Change on Mental Health and Emotional Wellbeing: A Narrative Review of Current Evidence, and its Implications. International Review of Psychiatry, 34(5), 443–498. https://doi.org/10.1080/09540261.2022.2128725

Pratiwi, A. M. (2024, Mei 16). Perempuan nelayan di tengah perubahan iklim. Kompas.

Utami, K. D. (2023, Agustus 27). Perempuan nelayan Demak dalam pusaran dampak perubahan iklim. Kompas.

World Health Organization. (2014). Gender, climate change and health. World Health Organization. https://iris.who.int/handle/10665/144781