ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 22 November 2024

 

Ketika Watak Dibangun melalui Keterampilan Berpikir Kritis

 

Oleh:

 

Stephanie Yuanita Indrasari1, Melati Mulyaning Putri2, & Eko A Meinarno2

 

1Cognitive, Affect & Well-being Laboratorium, Universitas Indonesia

 

2Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

Pengantar

Indonesia tampaknya mengalami puncak bonus demografi dimulai sejak tahun 2020, bahkan diperkirakan hingga 2035 (Khairunnisah & Fitriyani, 2023). Hal ini dapat terlihat dari generasi yang mendominasi di Indonesia. Gen Z atau generasi yang lahir pada tahun 1997–2012 menjadi generasi dengan populasi terbanyak di Indonesia, yaitu 27,94% dari 74,93 juta penduduk (IDN, 2024). Dengan jumlah tersebut, Gen Z diharapkan dapat memajukan Indonesia ke arah yang lebih baik. Salah satunya sesuai dengan pilar pembangunan Indonesia, yaitu pembangunan manusia, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Khairunnisah & Fitriyani, 2023).

 

Gen Z dianggap sebagai generasi yang fasih menggunakan teknologi, bahkan sejak mereka kecil (Szymkowiak dkk., 2021). Hal ini menjadikan seluruh aspek kehidupan mereka tidak terlepas dengan adanya kemudahan dari teknologi. Salah satu yang paling tampak adalah bagaimana Gen Z dapat dengan mudah mengakses informasi. Menurut Schwieger dan Ladwig (2018), Gen Z bahkan mampu memeroleh informasi secepat menjentikkan jari. Adanya kemudahan tersebut membuat Gen Z memiliki pandangan yang lebih luas dari referensi yang juga lebih terpercaya (Hassoun dkk., 2023).

 

Keterampilan menggunakan teknologi memang dibutuhkan, tidak terkecuali sebagai sarana pembelajaran (Meinarno & Indrasari, 2021). Walaupun demikian, kemahiran penggunaan teknologi menciptakan tantangan baru pada Gen Z. Munculnya artificial intelligence (AI) menjadi alat bantu yang saat ini sering kali digunakan, tidak terkecuali oleh Gen Z. Penggunaannya yang masif tentu menguntungkan penggunanya untuk mendapatkan jawaban dengan cepat dan tepat dari pertanyaan yang mereka ajukan. Hal ini bahkan menciptakan ekspektasi yang tinggi pada AI untuk bisa menjawab semua pertanyaan dengan baik (Yoon, 2019). Walaupun demikian, kemudahan yang AI tawarkan dapat membuat seseorang bergantung pada alat bantu tersebut. Di sisi lain, tidak semua informasi yang ada di internet sudah pasti benar sehingga beberapa orang mungkin tertipu (Saleh & Meinarno, 2023). Bagi mahasiswa, AI juga seringkali digunakan untuk kecurangan, salah satunya untuk menciptakan ide ketika membuat tugas-tugas akademiknya (Lee dkk., 2024). Oleh sebab itu, dengan kemunculan AI, Gen Z berpotensi menjadi generasi yang kurang terlatih dalam berpikir kritis untuk menyelesaikan permasalahan.

 

Pentingnya Keterampilan Berpikir Kritis

Berpikir kritis adalah kemampuan yang menunjukkan bagaimana seseorang mampu menganalisis dan mengevaluasi suatu informasi (Paul & Elder, 2008). Dalam hal ini, berarti seseorang mampu untuk berpikiran terbuka, mengumpulkan informasi yang relevan, menginterpretasi ide abstrak secara efektif, menghasilkan kesimpulan dan solusi yang tepat, hingga mengomunikasikan hal tersebut dengan orang lain. Namun, berpikir kritis tidak berkembang begitu saja. Seluruh kemampuan tersebut dapat dikembangkan dan diajarkan sehingga seseorang mampu untuk menjadi pemikir kritis yang baik (Mulnix, 2012; Saleh & Meinarno, 2023).

 

Berpikir kritis menjadi kemampuan yang penting untuk Gen Z kembangkan dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 (Nurmarliana & Abdullah, 2024). Hal ini mengingat pada era tersebut dunia menjadi lebih cepat berubah, khususnya terkait dengan perkembangan teknologi. Dengan munculnya banyak informasi yang dapat Gen Z akses di internet, berpikir kritis menjadi suatu kemampuan penting untuk mereka dapat beradaptasi dengan perubahan yang pesat ini (Lidiawati & Aurelia, 2023). Hal ini berhubungan dengan bagaimana seseorang mampu memilah dan memilih informasi yang tepat dan relevan (Saadé dkk., 2012). Selain itu, dengan kemampuan yang canggih dalam menggunakan teknologi, serta diperkaya dengan kemampuan berpikir kritis, Gen Z diperkirakan mampu untuk menghadapi berbagai tantangan yang muncul pada era yang penuh perubahan ini (Nurmarliana & Abdullah, 2024). Oleh sebab itu, kemampuan berpikir kritis menjadi kemampuan yang perlu untuk dikembangkan oleh Gen Z.

 

Mengatasi Hambatan dalam Berpikir Kritis di Indonesia

Jika ditinjau dari projek yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2022), berpikir kritis telah menjadi salah satu kemampuan yang perlu diajarkan pada siswa di Indonesia. Walaupun demikian, berdasarkan Defianty dan Wilson (2022), guru di Indonesia masih kebingungan dalam mengaplikasikan pengajaran mengenai berpikir kritis. Oleh sebab itu, hal ini mengakibatkan murid-murid yang diajarkan oleh guru-guru tersebut memiliki kemampuan berpikir kritis yang cukup rendah.

 

Kebingungan mengenai implementasi pengajaran berpikir kritis dapat terjadi karena kemampuan ini jarang digunakan pada sistem pembelajaran di Indonesia (Ilyas, 2018). Guru cenderung terus memertahankan cara pengajaran yang berorientasi pada hafalan, serta berfokus pada nilai yang tinggi dibandingkan melihat proses berpikir yang dilakukan oleh murid-muridnya (Wilson & Defianty, 2023). Hal ini dapat terjadi karena seseorang keliru dalam berpikir akibat dari kurangnya pengetahuan terhadap implementasi cara berpikir kritis sehingga ia cenderung untuk mempertahankan kebiasaan yang sebenarnya kurang tepat (Saleh & Meinarno, 2023). Selain itu, banyak guru juga masih kebingungan mengajarkan kemampuan berpikir kritis karena kemampuan ini belum secara eksplisit masuk pada kurikulum ataupun silabus yang diajarkan kepada siswa. Adanya masalah tersebut membentuk persepsi bahwa berpikir kritis tidak memiliki standard yang baku dalam pengajaran di kelas (Defianty & Wilson, 2022; Ilyas, 2018). Oleh sebab itu, diperlukannya panduan bagaimana pendidik dapat mengimplementasikan berpikir kritis untuk murid, khususnya bagi kalangan Gen Z.

 

Bagaimana Mengembangkan Berpikir Kritis pada Gen Z

Rendahnya kemampuan berpikir kritis dapat berdampak buruk kepada aspek kognitif, serta kemampuan beradaptasi di dunia yang serba cepat seperti saat ini (Lidiawati & Aurelia, 2023). Untuk dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis pada Gen Z, maka dibutuhkan beberapa cara untuk membantu mereka, misalnya:

 

1.   Mendorong Rasa Ingin Tahu

Gen Z perlu didorong untuk mengidentifikasi masalah dan berpikir tentang berbagai solusi dengan sumber yang terpercaya (Mulnix, 2012; Paul & Elder, 2008). Memberikan pertanyaan terbuka menjadi langkah yang tepat untuk memicu berpikir kritis (Mulnix, 2012). Gen Z juga perlu diajari untuk membuat pertanyaan mengenai "mengapa" dan "bagaimana" ketika dihadapkan pada situasi atau informasi baru. Pembimbing tidak diperkenankan untuk memberi contoh secara langsung ataupun langsung memberikan jawaban yang benar (Meinarno, 2018a; Mulnix, 2012). Hal ini menjadikan mereka sebagai pembelajar secara aktif, bukan pasif dan hanya menerima informasi begitu saja tanpa dianalisis kembali (Menairno, 2018a; Menairno, 2018b). Dengan demikian, Gen Z dapat lebih memperluas dan memperdalam perspektif, bukan hanya informasi yang terlihat di permukaan saja (Menairno, 2018b).

 

2.   Penerapan Tugas High Challenge

Tugas sebagai model pembelajaran di kelas dapat menjadi sarana yang baik dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Dalam hal ini, model pembelajaran yang tepat mampu mengembangkan pola pikir sehingga perkembangan kognitif menjadi lebih maksimal (Lidiawati & Aurelia, 2023). Tugas high challenge menjadi salah satu contohnya. Tugas high challenge merupakan tugas yang mampu untuk melatih kemampuan seseorang dengan membuat mereka terlibat dengan tugas tersebut (Defianty & Wilson, 2022). Beberapa tugas yang bisa dilakukan, misalnya project based learning, debat, dan penulisan esai.

 

3.   Memberikan Dukungan dan Umpan Balik

Pemberian dukungan dan umpan balik terhadap tugas yang sudah mereka kerjakan menjadi sesuatu yang penting untuk mengembangkan berpikir kritis (Mulnix, 2012). Dengan adanya dukungan dan umpan balik, pembelajaran mengenai berpikir kritis, khususnya pada tugas high challenge, dapat dicapai secara optimal (Defianty & Wilson, 2022). Adanya umpan balik membuat Gen Z mendapatkan masukan dan perspektif yang baru (Menairno, 2018b). Hal ini juga dapat meminimalisir perasaan frustasi dalam pembelajaran (Hammond & Gibbons, 2005).

 

4.   Berlatih secara Berkala

Untuk bisa terlatih dalam berpikir kritis, seseorang perlu untuk mempraktekkan secara berkala (Mulnix, 2012). Pengembangan kemampuan berpikir kritis tidak bisa hanya dipraktekan secara sekali. Perlu adanya pengulangan dan pembiasaan sehingga seseorang terbiasa untuk berpikir kritis.

 

Penutup

Seiring dengan perkembangan zaman, mengembangkan kemampuan berpikir kritis di kalangan Gen Z menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dapat membantu mereka dalam menghadapi kompleksitas era digital, mengatasi berbagai tantangan, dan berkontribusi terhadap kemajuan bangsa. Dengan cara-cara yang tepat, Indonesia dapat memberdayakan Gen Z untuk dapat menjadi sumber daya yang bermutu tinggi demi tercapainya kemajuan negara. Dengan demikian, generasi pemikir kritis yang siap untuk mendorong pembangunan bangsa dan membentuk masa depan.

 

Referensi:

Defianty, M., & Wilson, K. (2022). Critical Thinking ELT: Indonesian Teachers’ Understanding and Practice Ten Years Down The Track. https://doi.org/10.15408/ijee.v9i1.26673

Hammond, J., & Gibbons, P. (2005). Putting scaffolding to work: the contribution of scaffolding in articulating ESL Prospect, 20(1), 6-30.

Hassoun, A., Beacock, I., Consolvo, S., Goldberg, B., Kelley, P. G., & Russell, D. M. (2023). Practicing information sensibility: how gen Z engages with online information. In Proceedings of the 2023 CHI Conference on Human Factors in Computing Systems (pp. 1-17). https://doi.org/10.1145/3544548.3581328

Heriyanto, D. (2024). Indonesia Gen Z Report 2024. IDN.

Ilyas, H. P. (2018). Indonesian EFL teachers’ conceptions of critical thinking. Journal of ELT Research: The Academic Journal of Studies in English Language Teaching and Learning, 3(1), Page 29-37. https://doi.org/10.22236/JER_Vol3Issue1pp29-37

Khairunnisah & Fitriyani, A. L. (2023). Bonus Demografi dan Visi Indonesia Emas 2045. BPS. Edisi 2023.01-2. Retrieved from https://bigdata.bps.go.id/documents/datain/2023_01_2_Bonus_Demografi_dan_Visi_Indonesia%20Emas_2045.pdf

Lee, V. R., Pope, D., Miles, S., & Zárate, R. C. (2024). Cheating in the age of generative AI: A high school survey study of cheating behaviors before and after the release of ChatGPT. Computers and Education: Artificial Intelligence, 7, 100253. https://doi.org/10.1016/j.caeai.2024.100253

Lidiawati, K. R. & Aurelia, T. (2023, January 27). Kemampuan Berpikir Kritis Siswa di Indonesia: Rendah atau Tinggi?. Buletin Online K-PIN. Retrieved 17 October 2024 from https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1200-kemampuan-berpikir-kritis-siswa-di-indonesia-rendah-atau-tinggi

Meinarno, E. A. (2018a, August 15). Mengajak Berpikir Mendalam pada Generasi Phi. Buletin Online K-PIN. Retrieved 17 October 2024 from https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/298-mengajak-berpikir-mendalam-pada-generasi-phi

Meinarno, E. A. (2018b, September 28). Bernalar Jernih untuk Jalani Hidup di Era Media Sosial. Buletin Online K-PIN. Retrieved 17 October 2024 from https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/315-bernalar-jernih-untuk-jalani-hidup-di-era-media-sosial

Meinarno, E. A. & Indrasari, S. Y. (2021, June 18). Dosen Sebagai Desainer Sumber Daya Manusia Indonesia. Buletin Online K-PIN. Retrieved 17 October 2024 from https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/843-dosen-sebagai-desainer-sumber-daya-manusia-indonesia

Mulnix, J. W. (2012). Thinking critically about critical thinking. Educational Philosophy and theory, 44(5), 464-479. https://doi.org/10.1111/j.1469-5812.2010.00673.x

Nurmarliana, F., & Abdullah, M. N. A. (2024). Keterampilan 4C sebagai Strategi Pengembangan Kompetensi Critical Thinking Gen Z di Era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. SABANA: Jurnal Sosiologi, Antropologi, dan Budaya Nusantara, 3(1), 66-71. https://doi.org/10.55123/sabana.v3i1.3299

Paul, R. & Elder, L. (2008) The Miniature Guide to Critical Thinking. 5th ed. Dillon Beach, CA, Foundation for Critical Thinking Press.

Saadé, R. G., Morin, D., & Thomas, J. D. (2012). Critical thinking in E-learning environments. Computers in Human Behavior, 28(5), 1608-1617. https://doi.org/10.1016/j.chb.2012.03.025

Sufyadi, S., Harjatanaya, T. Y., Tracey Yani, P., Satria, M. R., Andiarti, A., & Herutami, I. (2021). Panduan pengembangan projek penguatan profil pelajar Pancasila jenjang pendidikan dasar dan menengah (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA). Manual. Pusat Asesmen dan Pembelajaran, Jakarta.

Saleh, A. Y., & Meinarno, E. A. (2023, October 19). Orang Pintar Telaah Informasi. Buletin Online K-PIN. Retrieved 17 October 2024 from https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1377-orang-pintar-telaah-informasi

Szymkowiak, A., Melović, B., Dabić, M., Jeganathan, K., & Kundi, G. S. (2021). Information technology and Gen Z: The role of teachers, the internet, and technology in the education of young people. Technology in Society, 65, 101565. https://doi.org/10.1016/j.techsoc.2021.101565

Yoon, S. Y. (2019). Student Readiness for AI Instruction: Perspectives on AI in University EFL Classrooms. Multimedia-Assisted Language Learning, 22(4). 10. https://doi.org/15702/mall.2019.22.4.134

Wilson, K., & Defianty, M. (2023, March 20). Terjebak dalam kebiasaan lama: mengapa guru Indonesia masih kesulitan mengajarkan kemampuan berpikir kritis. The Conversation. Retrieved 16 October 2024 from https://theconversation.com/terjebak-dalam-kebiasaan-lama-mengapa-guru-indonesia-masih-kesulitan-mengajarkan-kemampuan-berpikir-kritis-202082