ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 20 Oktober 2024
Edukasi Kesehatan Mental Sebagai Media
Internalisasi Nilai Nasional (Pancasila) Bagi Generasi Z
Membangun Strategi Edukasi Kesehatan Mental Dalam Konteks Ke-Indonesiaan
Oleh:
Maharani Ardi Putri
Fakultas Psikologi Universitas Pancasila
Pengantar
Artikel “Basis Tingkah Laku Manusia Indonesia: Nilai Nasional Kita” yang ditulis oleh Meinarno (dalam proses penerbitan) menyoroti pentingnya kesadaran bahwa nilai dan perilaku dalam perspektif psikologi selalu berkesinambungan. Perilaku yang ditampilkan biasanya merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang kita percayai. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia tentunya memiliki nilai-nilai yang dianut bersama, yang dalam konteks ini merujuk pada nilai Pancasila.
Negara memiliki harapan agar nilai-nilai nasional, seperti yang dijabarkan dalam artikel ini, dapat terinternalisasi menjadi sistem kepercayaan dan panduan bagi masyarakat Indonesia dalam berperilaku. Proses internalisasi ini dilakukan melalui pendidikan di rumah, pendidikan formal (sekolah/perguruan tinggi), dan pendidikan informal (lingkungan sosial, dll). Namun, ada pertanyaan kritis yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak: apakah nilai-nilai nasional ini benar-benar telah terinternalisasi atau hanya sekadar menjadi wacana?
Setiap bidang ilmu, termasuk psikologi, memiliki peran penting dalam memperkuat implementasi nilai-nilai nasional/ Pancasila. Indikator perilaku yang dijabarkan dalam artikel ini, dapat menjadi dasar bagi ilmu psikologi untuk melakukan pengukuran dan intervensi dalam penanaman serta penguatan nilai-nilai nasional, terutama kepada generasi muda, yang pada masa ini disebut sebagai generasi Z (Gen Z).
Mencermati isi pembahasan Gen Z di media sosial maupun dalam ruang diskusi lainnya, dapat dikatakan bahwa Gen Z memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap kesehatan mental. Mereka tidak hanya membangun kesadaran (awareness) mengenai kesehatan mental, tetapi juga saling membagikan tips dan alternatif solusi bagi mereka yang membutuhkan.
Ketertarikan Gen Z terhadap kesehatan mental dapat menjadi peluang bagi bidang psikologi untuk mengaitkan topik ini dengan nilai-nilai nasional, sehingga penanaman nilai-nilai tersebut menjadi lebih menarik dan tidak terkesan kaku. Selain itu, indikator perilaku yang telah disampaikan oleh Meinarno dapat menjadi panduan dalam merancang program edukasi yang efektif.
Kesehatan Mental
Pembahasan mengenai kesehatan mental sudah ada sejak lama, salah satunya adalah menurut Schneider (dalam Anwar & Julia, 2021) mengemukakan tiga prinsip kesehatan mental Barat sebagai berikut:
a.Prinsip yang sesuai dengan sifat manusia, meliputi:
(1) memiliki fisik yang sehat dan integritas organisme
(2) sesuai sifat manusia yang bermoral, intelektual, religious, emosional dan sosial
(3) memiliki pengendalian pikiran, imajinasi, hasrat, prilaku dan emosi
(4) punya pengetahuan diri
(5) penerimaan diri
(6) meningkatkan pemahaman dan penerimaan diri
(7) memiliki kebijakan, ketabahan, keteguhan, rendah hati dan penolakan diri
(8) penanamaan kebiasaan yang baik
(9) kematangan dalam berpikir, keputusan, emosional dan perilaku,
(10)penguasaan terahadap konflik atau kegagalan yang ada.
b. Prinsip yang didasarkan pada hubungan manusia dan lingkungan, meliputi:
(1) hubungan interpersonal yang sehat terutama dalam keluarga
(2) kepuasan dalam pekerjaan
(3) dapat menerima realitas tanpa distorsi.
c. Prinsip yang didasarkan pada hubungan manusia dan Tuhan, meliputi: memiliki kesadaran dalam realitas terbesar sebagai tempat bergantung, dan perlunya hubungan yang konstan
Adapun Definisi kesehatan mental menurut WHO (2013) adalah kondisi kesejahteraan (well-being) dimana individu dapat merealisasikan kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya (Suryanto, Nada, 2021).
Keterkaitan Kesehatan Mental dan Nilai Nasional/ Pancasila
Melihat kesinambungan antara nilai-nilai nasional dan hal-hal yang terkait dengan kesehatan mental, maka dapat dijelaskan seperti di bawah ini:
NILAI |
DEFINISI |
ASPEK KESEHATAN MENTAL |
Nilai Religio-toleransi |
Percaya pada Tuhan dan menjalankan perintah-Nya sesuai keyakinan dan tidak memaksakan kepercayaan pada orang lain |
Prinsip yang sesuai dengan sifat manusia (integritas, bermoral, religus).
Prinsip yang didasarkan pada hubungan manusia dan Tuhan, meliputi: memiliki kesadaran dalam realitas terbesar sebagai tempat bergantung, dan perlunya hubungan yang konstan. Schneider (1964 dalam Anwar & Julia, 2021) |
Nilai Kemanusiaan |
Mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasar sikap saling menghormati |
Prinsip yang sesuai dengan sifat manusia (pengendalian diri, sosial)
Prinsip yang didasarkan pada hubungan manusia dan lingkungan. Schneider (1964 dalam Anwar & Julia, 2021) |
Nilai Patriotisme-persatuan |
Mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa dan mengembangkan rasa persatuan bagi bangsa. |
Prinsip yang sesuai dengan sifat manusia (keteguhan). Schneider (1964 dalam Anwar & Julia, 2021)
Individu dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal. (WHO) |
Nilai Demokrasi |
Pengambilan keputusan berdasar musyawarah untuk kepentingan bersama dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, dapat dipertanggungjawabkan dan melaksanakan keputusan yang diambil. |
Prinsip yang sesuai dengan sifat manusia (integritas)
Prinsip yang didasarkan pada hubungan manusia dan lingkungan. Schneider (1964 dalam Anwar & Julia, 2021)
Individu dapat merealisasikan kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif. (WHO)
Prinsip yang sesuai dengan sifat manusia (integritas). |
Nilai Keadilan sosial |
Menjaga keseimbangan hak-kewajiban sosial dengan mawas diri (dalam bentuk kualitas luhur manusia) dan pengembangan diri yang bertujuan untuk memajukan kehidupan sosial. |
Prinsip yang didasarkan pada hubungan manusia dan lingkungan. Schneider (1964 dalam Anwar & Julia, 2021)
Individu memberikan kontribusi kepada komunitasnya (WHO)
|
Berdasarkan tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa jika seseorang mengembangkan karakteristik orang yang memiliki kesehatan mental, maka berarti Ia juga telah menginternalisasikan nilai-nilai nasional, dan begitu pula sebaliknya. Perlu dikembangkan dalam penelitian selanjutnya ciri-ciri kesehatan mental dalam konteks Indonesia yang sesuai dengan nilai-nilai nasional.
Strategi Edukasi Kesehatan Mental dengan Konteks Ke-Indonesiaan
Salah satu upaya awal dalam mendefinisikan edukasi kesehatan mental dengan konteks ke-Indonesiaan adalah menerapkan beberapa strategi dalam pemberian edukasi, yaitu:
1. Integrasi dengan Kegiatan Keagamaan: Edukasi kesehatan mental harus diintegrasikan dengan kegiatan keagamaan yang dapat terukur. Misalnya, kerja sama lintas sektoral antara lembaga pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi profesi untuk mengadakan pelatihan bagi pemuka agama sebagai konselor profesional. Dengan cara ini, rumah ibadah dapat menjadi tempat aman yang menyediakan fasilitas konseling profesional (Powlison, 2024; Shimron, 2018). Hal ini juga dapat memenuhi prinsip nilai religio-toleransi.
Berdasarkan studi literatur, di AS, peran masjid sebagai pusat komunitas sangat berguna untuk melakukan intervensi kesehatan mental (Al-Krenawi, 2016; Nguyen, 2017; Weatherhead & Daiches, 2010). Contoh: Melakukan kajian kesehatan mental dengan konteks ke-Indonesiaan secara berkala di rumah ibadah dapat menarik Gen Z untuk membahas topik kesehatan mental dan bagaimana hal tersebut terkait dengan religiusitas. Misalnya, membicarakan tentang perasaan rendah diri, yang dalam Islam dapat dikaitkan dengan Surah Al-Isra (17:70). Ayat ini menekankan penghargaan Allah kepada umat manusia dan menunjukkan betapa berharganya posisi manusia dalam ciptaan-Nya. Pesan ini dapat membantu mereka yang merasa rendah diri atau tertekan untuk menyadari bahwa mereka memiliki nilai dan martabat yang diberikan oleh Allah.
2. Mengangkat Tema Kebijaksanaan dan Kebudayaan Lokal: Mengangkat tema yang terkait dengan kebijaksanaan serta kebudayaan lokal dapat membantu Generasi Z lebih mengenal Indonesia, menumbuhkan rasa saling menghormati, dan berkontribusi pada keharmonisan dalam masyarakat. Ini juga dapat memenuhi prinsip nilai kemanusiaan. Keterlibatan budaya dan dukungan sosial secara signifikan berdampak pada kesejahteraan mental individu dan menumbuhkan rasa kebersamaan serta resiliensi (Mboweni et al., 2024). Contoh: Mendiskusikan asal usul Pulau Bali, yang menggambarkan perjalanan spiritual dan pencarian makna hidup, menekankan pentingnya keseimbangan antara dunia fisik dan spiritual. Praktik budaya dan ritual ini dapat membantu menjaga kesehatan mental. Selain itu, teknik meditasi dapat diajarkan untuk meredakan ketegangan yang dialami individu.
3. Program Layanan Kesehatan Jiwa Berbasis Masyarakat: Program layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat memiliki posisi unik dalam memahami kebutuhan kesehatan jiwa masyarakat setempat dan memberikan respons yang relevan, sesuai budaya, dan berkelanjutan (Larrieta et al., 2022). Oleh karena itu, penting untuk mendorong masyarakat terlibat dalam pengembangan program edukasi kesehatan mental melalui pelatihan dan pemberdayaan. Dengan demikian, mereka dapat lebih memahami dan mendukung inisiatif kesehatan mental di komunitas, serta diharapkan dapat mendirikan pusat kesehatan mental secara swadaya. Contoh: Kegiatan Posyandu Remaja, yang saat ini sudah berjalan namun masih bersumber dari pemerintah, dapat menjadi contoh di mana masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengisian program secara swadaya.
4. Dukungan Data untuk Edukasi Kesehatan Mental: Berdasarkan studi literatur, ditemukan bahwa Inggris mulai menggunakan pendekatan survei untuk memetakan kesehatan mental anak dan remaja sebagai bentuk implementasi intervensi berbasis kebijakan jangka panjang (Wykes et al., 2021). Rand Europe menunjukkan bahwa diperlukan waktu 17 tahun bagi penelitian kesehatan mental untuk diimplementasikan ke dalam perawatan dan layanan (Morris et al., 2011; Wooding et al., 2013). Ini menunjukkan bahwa edukasi kesehatan mental dalam konteks ke-Indonesiaan perlu didukung oleh data agar dapat berjalan efektif. Investasi waktu, tenaga, dan anggaran juga penting agar edukasi dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, khususnya Generasi Z.
Menjaga agar generasi selanjutnya memiliki kehidupan dan kesehatan mental yang berkualitas adalah tanggung jawab pemerintah, masyarakat, pendidik, dan orang tua. Hal ini dapat memenuhi prinsip keadilan sosial.
Pelaksanaan Edukasi Kesehatan Mental dengan Konteks Ke-Indonesiaan
Agar strategi di atas dapat dilaksanakan di lapangan, dibutuhkan modul yang dapat berfungsi sebagai panduan, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Pelatihan oleh Profesional: Edukasi harus diberikan oleh seseorang yang telah mendapatkan pelatihan mengenai kesehatan mental dari profesional, dan akan lebih baik jika pemateri memiliki sertifikasi. Penguasaan pemateri terhadap topik yang dibahas akan mempemudah transfer knowledge kepada para peserta.
- Penguasaan PFA: Pemberi materi harus menguasai Psychological First Aid (PFA) untuk mengantisipasi jika ada peserta yang membutuhkan dukungan emosional.
- Rasio Pemateri dan Peserta: Perbandingan pemateri dan peserta harus dijaga pada rasio 1:15. Jika jumlah peserta melebihi 15, maka tambahan pendamping diperlukan.
- Variasi Usia Peserta: Rentang usia peserta harus dijaga agar tidak terlalu besar variasinya, sehingga mereka memiliki karakteristik pertumbuhan kognitif, emosional, fisik, dan sosial yang serupa. Hal ini akan membantu dalam membuat strategi metode penyampaian materi.
- Durasi Pemberian Materi: Waktu yang dialokasikan untuk pemberian materi adalah sekitar 2,5 jam, mempertimbangkan kesibukan peserta, penjadualan ruangan, serta efektifitas penggunaan waktu (apabila waktu tidak terlalu panjang maka bisa diselipkan di antara jam mata pelajaran/kuliah).
Penutup
Menanamkan nilai-nilai nasional/Pancasila kepada Gen Z memerlukan strategi yang berbeda. Pertama-tama, perlu dicari elemen-elemen yang dapat menarik perhatian Gen Z untuk mendengarkan dan berdiskusi. Salah satu topik yang penting dan terus dibahas oleh mereka adalah kesehatan mental.
Mengaitkan antara kesehatan mental dan nilai-nilai nasional dapat dilakukan dengan mudah, karena keduanya memiliki kesamaan dalam hal memperhatikan kesejahteraan individu dan masyarakat. Dalam perspektif ilmu psikologi, edukasi mengenai kesehatan mental dalam konteks ke-Indonesiaan dapat menjadi pintu masuk yang efektif untuk melakukan internalisasi nilai-nilai nasional/Pancasila. Namun, hal ini memerlukan perencanaan yang matang, mencakup:
1. Kompetensi Pemateri: Pemateri harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menyampaikan materi dengan baik.
2. Durasi: Perlu mempertimbangkan rentang perhatian peserta dan kesibukan mereka saat menentukan durasi kegiatan.
3. Rasio antara Tim Pemateri dan Peserta: Memastikan rasio yang seimbang agar interaksi dapat berjalan efektif.
4. Ketersediaan Modul & Materi: Menyediakan modul dan materi (kasus, data, cerita, dll) yang relevan dan menarik untuk mendukung proses belajar.
Pelaksanaan kegiatan edukasi ini juga perlu dievaluasi secara berkala agar dapat terus berkembang dan semakin efektif.
Daftar Pustaka
Anwar, F., & Julia, P. (2021). Analisis strategi pembinaan kesehatan mental oleh guru pengasuh sekolah berasrama di Aceh Besar pada masa pandemi. Jurnal Edukasi, Vol.7, No.1: Hal. 64-83. DOI: 10.22373/je.v6i2.1090.
Larrieta, J., Miguel Esponda, G., Gandhi, Y., Simpson, N., Biriotti, M., Kydd, A., Eaton, J., & Ryan, G. K. (2022). Supporting community-based mental health initiatives: insights from a multi-country programme and recommendations for funders. BMJ Global Health, 7(5). https://doi.org/10.1136/bmjgh-2022-008906
Mboweni, E. N., Mphasha, M. H., & Skaal, L. (2024). Exploring Mental Health Awareness: A Study on Knowledge and Perceptions of Mental Health Disorders among Residents of Matsafeni Village, Mbombela, Mpumalanga Province. Healthcare (Switzerland), 12(1). https://doi.org/10.3390/healthcare12010085
Meinarno, EA. Basis Tingkah Laku Manusia Indonesia: Nilai Nasional Kita. Dalam proses penerbitan.
Morris, Z. S., wooding, S., & Grant, J. (2011). The answer is 17 years, what is the question: Understanding time lags in translational research. Journal of the Royal Society of Medicine, 104(12). https://doi.org/10.1258/jrsm.2011.110180
Nguyen, A. W. (2017). Mosque-Based Social Support and Collective and Personal Self-Esteem Among Young Muslim American Adults. Race and Social Problems, 9(2). https://doi.org/10.1007/s12552-017-9196-y
Powlison, D. (2024). The Local Church Is The Place for Biblical Counseling. Christian Counseling & Educational Foundation. https://www.ccef.org/local-church-place-biblical-counseling
Shimron, Y. (2018). How US mosques are dealing with Muslims’ mental health issues. Religion News. https://religionnews.com/2018/01/09/how-mosques-are-dealing-with-muslims-mental-health-issues/
Suryanto, A.; Nada, (2021). Analisis Kesehatan Mental Mahasiswa Perguruan Tinggi Pada Awal Terjangkitnya Covid-19 di Inodonesia. Jurnal Citizenship Virtues, 1(2), 83-97. ISSN 2775-9946
Weatherhead, S., & Daiches, A. (2010). Muslim views on mental health and psychotherapy. Psychology and Psychotherapy: Theory, Research and Practice, 83(1). https://doi.org/10.1348/147608309X467807
Wooding, S., Pollitt, A., Castle-Clarke, S., Cochrane, G., Diepeveen, S., Guthrie, S., Horvitz-Lennon, M., Larivière, V., Morgan Jones, M., Ni Chonaill, S., O’Brien, C., Olmsted, S. S., Schultz, D., Winpenny, E., Pincus, H. A., & Grant, J. (2013). Mental Health Retrosight: Understanding the returns from research (lessons from schizophrenia): Policy Report. Mental Health Retrosight: Understanding the Returns from Research (Lessons from Schizophrenia): Policy Report. https://doi.org/10.7249/RR32.
Wykes, T., Bell, A., Carr, S., Coldham, T., Gilbody, S., Hotopf, M., Johnson, S., Kabir, T., Pinfold, V., Sweeney, A., Jones, P. B., & Creswell, C. (2021). Shared goals for mental health research: what, why and when for the 2020s. In Journal of Mental Health (Vol. 32, Issue 6). https://doi.org/10.1080/09638237.2021.1898552