ISSN 2477-1686  

 Vol. 10 No. 20 Oktober 2024

Sumpah Pemuda dan Identitas Nasional

Oleh:

Immanuel Yosua1, Eko A Meinarno2

1Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

2Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

Pendahuluan

“Kami Putera dan Puteri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah yang Satu, Tanah Indonesia.”  

“Kami Putera dan Puteri Indonesia, Mengaku Berbangsa yang Satu, Bangsa Indonesia.”

“Kami Putera dan Puteri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.”

 

Ketiga poin ini merupakan hasil deklarasi pemuda-pemuda Indonesia dari berbagai daerah/golongan pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928, yang mengikrarkan bahwa Indonesia menjadi tumpah darah, bangsa, dan bahasa pemersatu, meski berasal dari latar belakang yang berbeda-beda (Meinarno, 2018; Museum Sumpah Pemuda, 2024). Sumpah Pemuda merupakan sebuah momentum penting dalam perjalanan bangsa Indonesia (Joni, 2013). Melalui peristiwa sakral ini berbagai elemen masyarakat Indonesia telah bersepakat membentuk dan menegaskan identitas nasionalnya sebagai suatu bangsa. Hal ini tentulah bersifat unik dikarenakan ‘kesepakatan untuk bersama’ ini justru dibangun karena menyadari eksistensi keberbedaan. Ini sangat bertolak belakang dengan perkembangan identitas nasional pada berbagai bangsa yang terbentuk karena menjadi bagian dari etnis yang (nyaris) homogen, seperti tampak di Tiongkok, Jepang, Korea, Eropa, dan sebagainya, kondisi ini tentunya juga sangat rentan menimbulkan berbagai potensi permasalahan.

Riset-riset dalam bidang Psikologi Sosial sudah banyak mengangkat mengenai identitas sosial mengacu pada perspektif yang dikemukan oleh Tajfel & Turner (1979) yang meyakini identitas sosial terbangun dari keanggotaan mereka ke dalam suatu kelompok tertentu. Gagasan kebangsaan juga telah dilontarkan oleh Benedict Anderson, seorang sejarawan, yang telah mengajukan ide mengenai komunitas terbayang. Dalam pemikirannya, suatu bangsa merupakan suatu komunitas terbayang karena meskipun tidak saling mengenal satu sama lain, namun mereka memiliki bayangan kebersamaan sebagai suatu bangsa (Anderson, 2006).

Kita Bayangkan Perbedaan Kedua Teori

Teori identitas sosial yang diajukan oleh Tajfel mengedepankan bahwa identitas sosial dapat meningkatkan kepercayaan diri (self-esteem) dari individu di dalam kelompok. Dengan sudut pandang ini individu akan sangat merasa nyaman ketika kelompok yang diikutinya positif dan berdampak pada peningkatan positif dirinya. Masuknya para kelompok kepemudaan (Jong Java, Jong Sumatra, dll.) dalam Kongres Pemuda II yang menyatakan Sumpah Pemuda menunjukkan bahwa “Indonesia” dipandang lebih positif, dan besar, daripada kelompok-kelompok yang mereka ikuti saat itu. Indonesia mewakili seluruh nusantra, mewakili semua kelompok kepemudaan mereka juga.

Pada kajian Anderson lebih mengutamakan bahwa satu kelompok dapat muncul ketika ada imaji tentang kesatuan. Hal ini juga dekat dengan ide rasa kebersamaan, kekitaan. Kelompok-kelompok pemuda membayangkan tentang dirinya adalah satu kesatuan unit, yakni Hindia Belanda. Artinya mereka adalah satu kelompok besar yang ada di satu wadah besar.

Indonesia, Keajaiban Sosial dan Psikologis

Kelahiran Indonesia tidak lepas dari linimasa yang panjang, sejak kebangkitan nasional 1908, yang diikuti Sumpah Pemuda 1928. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dapat dikatakan sebagai produk usaha dari Sumpah Pemuda 1928. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa Sumpah Pemuda mempunyai makna yang tidak sekedar perjuangan semata?

Sumpah Pemuda 1928 mengajukan ide Indonesia yang mencakup pengakuan kelompok baru (bangsa), tanah dan air yang melampaui tanah air dari suku-suku bangsa yang ada, dan mengajukan identitas konkrit nyata dari sebuah bangsa yakni bahasa. Pentingnya keberadaan bahasa nasional dalam pembentukan sebuah bangsa (Soerjoatmodjo, 2018; Nugraha, 2021). Bahasa memungkinkan proses persatuan atau malah sebaliknya yakni perpecahan. Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin pada tahun 1913 berujar bahwa sebuah bangsa tumbuh dari masyarakat yang dapat saling berkomunikasi dengan bahasa yang saling dipahami (Oomen, 2009).

Sumpah Pemuda menjadi awal perubahan pola pikir dari cara pikir bangsa yg ditentukan (oleh pemerintah kolonial) menjadi bangsa menentukan dirinya sendiri. Hal ini didasari "rasa bersama" dari kelompok-kelompok perwakilan daerah, yang hendak mengesampingkan perbedaan. Perbedaan dianggap tidak menguntungkan dalam konteks melawan penjajah (Nitidingrat, 2015). Mereka justru membangun kesamaan baru yakni pengakuan sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan berbahasa bersama. Hal ini melampaui ide kebersamaan di masa itu.

Capaian ini suatu terobosan besar, ketika yang mengajukan Sumpah Pemuda adalah kumpulan suku-suku bangsa dan agama yang berbeda. Hal yang tidak alami bagi bangsa Eropa saat itu (akhir abad 19 dan awal abad 20). Pembangunan bangsa secara umum di Eropa dipahami sebagai lanjutan dari negara suku bangsa. Misal, Perancis kelanjutan dari bangsa Frank, Rusia kelanjutan dari bangsa Russ. Para pemuda membuka ide bahwa bangsa bisa dibangun justru dari semangat multikultural. Semangat yang tidak takut adanya perbedaan, semangat yang tidak melihat kelompok lain sebagai ancaman. Secara ilmiah, Sumpah Pemuda 1928 ini malah melampaui ide perkembangan kebangsaan itu sendiri, khususnya dalam psikologi. Kajian yang baru berkembang misalnya adalah psikologi keberanekaragaman (the psychology of diversity) (Puspitawati, Watofa, & Rahardjo, 2020). Ketika psikologi keberanekaragaman baru membicarakan perlunya konstruksi sosial dari bangsa yang beraneka ragam, para pemuda di tahun 1928 sudah mengesampingkan perbedaan -kelebihan dan kekurangan berbagai kelompok- memulai ide kesepahaman berbeda, dan membuat (mengkonstruksi) bangsa baru. Para pemuda menyadari bahwa apa yang mereka ajukan memiliki kerentanan, yakni perpecahan. Makanya dengan cukup jelas mereka berani memosisikan diri sebagai kesatuan. Kelak modal ini yang memudahkan penerimaan ide Pancasila sebagai nilai inti (core value/nilai nasional) bagi bangsa Indonesia saat merdeka tahun 1945 (Kusuma, 2011; Nitidingrat, 2015; Meinarno, 2107).

Masa Depan

Sumpah Pemuda sebagai salah satu pilar sejarah telah berperan besar mempersatukan berbagai kelompok masyarakat Indonesia dengan beragam latar belakang, yang kemudian menjadi pendorong bersama untuk melawan penjajah dan meraih kemerdekaan (Joni, 2013). Dengan berbagai macam tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia saat ini (seperti separatisme, disintegrasi, politik identitas, dll.), semangat Sumpah Pemuda seyogianya masih relevan untuk terus diingat dan dihidupi sebagai suatu bangsa. Utamanya apabila dikaitkan dengan era keterbukaan dan globalisasi saat ini, yang memungkinkan masuk dan berkembangnya pemikiran-pemikiran baru yang berpotensi menimbulkan segregasi antarkelompok dan bahkan disintegrasi. Padahal semangat Sumpah Pemuda ini berimplikasi pada terbangunnya ide bhinneka tunggal ika, yang memungkinkan Indonesia bertahan atas segala perbedaan yang ada (Meinarno, 2017; Putra, 2022).

Di sisi lain upaya-upaya yang lebih riil dan masif untuk mereduksi gap/ketidaksetaraan antar daerah/kelompok juga masih perlu diusahakan sebagai langkah konkret mencapai integrasi nasional. Isu Sumpah Pemuda juga harus dimaklumi dengan keadaan kini Indonesia. Sumpah Pemuda yang menjadi bagian dari identitas nasional tidak lepas dengan kondisi dunia. Identitas nasional yang dimiliki bangsa Indonesia pada saat ini bukanlah merupakan suatu kondisi yang bersifat menetap namun masih dapat berubah-ubah sesuai dinamika yang terjadi (Yosua, 2024). Gejala ini dapat dilihat dari paparan pemerhati kebangsaan, dalam wujud Cinta Laura (lihat Soerjoatmodjo, 2018), dan Agnez Mo (lihat Meinarno, 2023). Melihat hal ini, justru pengembangan isu psikologi untuk melanjutkan ide dan semangat Sumpah Pemuda menjadi relevan.

Penutup

Sumpah Pemuda dan identitas nasional perlu dirawat dan dikembangkan tetap menjadi suatu gagasan penting dan relevan bagi masyarakat Indonesia, yang telah ditakdirkan untuk hidup bersama ditengah berbagai keberagaman. Penguatan kesadaran ini diharapkan mampu terus menjadi pengikat masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa, agar mampu menghadapi berbagai macam tantangan ke depan yang semakin kompleks.

 Daftar Pustaka

Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (Revised Edition). Verso.

Joni, TR. (2013). Indonesia. in Morris, P., & Williamson, J. Teacher education in the Asia-Pacific region: A comparative study. Routledge.

Kusuma, RMB. (2011). Konsistensi nilai Pancasila dalam penyelenggaraan negara. Prosiding Kongres Pancasil II. PSP-Press. Yogyakarta.

Meinarno EA. (2017). Peran identitas etnis, identitas agama, dan identitas nasional yang dimediasi nilai nasional terhadap Bhinneka Tunggal Ika. Disertasi strata tiga program doktoral Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI. Tidak dipublikasikan.

Meinarno, EA. (2018). Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia.  Vol.4. No.17 September 2018. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/309-amalkan-pancasila-kita-bhinneka-kita-indonesia

Meinarno, E. A. (2023). Gejala Agnez Mo: Bhinneka Tunggal Ika yang Milenial. Buletin KPIN. Vol. 9 No. 02 Januari 2023. https://buletin.k-pin.org/index.php/daftar-artikel/1201-gejala-agnez-mo-bhinneka-tunggal-ika-yang-milenial.

Museum Sumpah Pemuda. (2024). Sejarah Sumpah Pemuda. https://museumsumpahpemuda.kemdikbud.go.id/sejarah-sumpah-pemuda/

Nitidingrat, SES. (2015). Proklamasi kemerdekaan adalah proklamasi budaya: Kebersamaan, asas kekeluargaan, identitas dan esksitensi. Orasi Ilmiah Dies Natalis Universitas Indonesia tahun 2015.

Nugraha, F. M. (2021). Language politics by Japan (1942-1945): Anti-Dutch sentiments and the rise of the Indonesian language. In On Language, Education, Politics, and Identity: A Cross-Linguistics Perspective (pp. 291-304). Nova Science Publishers, Inc.

Oomen, T. K. (2009). Kewarganegaraan, kebangsaan, dan etnisitas: mendamaikan persaingan identitas. Bantul: Kreasi Wacana.

Puspitawati, I., Watofa, YM., Rahardjo, W. (2020). Bhinneka tunggal ika dalam perspektif the psychology of diversity. Dalam Psikologi dan integrasi bangsa. Penyunting A Supratiknya, dkk. HIMPSI. Jakarta.

Putra, I. E., Yustisia, W., Osteen, C., Hudiyana, J., & Meinarno, E. A. (2022). “We support unity in diversity, but politic is a privilege for my group”: The roles of national identity × religious identity in predicting unity in diversity and political orientations. International Journal of Intercultural Relations, 87, 108-118. https://doi.org/10.1016/j.ijintrel.2022.01.011

Soerjoarmodjo, GWL. (2018). Menjadi Cinta Laura, menjadi Indonesia: Identitas, bahasa dan Pendidikan Internasional. Dalam Psikologi dan pendidikan dalam konteks kebangsaan. Penyunting Tjipto Susana, dkk. HIMPSI. Jakarta.

Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. In W. G. Austin & S. Worchel (Eds.), The social psychology of intergroup relations (pp. 33–48). Brooks/Cole.

Yosua, I. (2024). Perkembangan Identitas Nasional Masyarakat Taiwan. Vol.10. No.15 Agustus 2024. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1582-perkembangan-identitas-nasional-masyarakat-taiwan.