ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 19 Oktober 2024
Perilaku Menghadapi Hoaks di Tengah Gelombang Teknologi Informasi
Oleh:
Putri Arumsari
Fakultas Psikologi, Universitas Proklamasi 45
Pada zaman sekarang teknologi internet bukan hal yang asing lagi ditelinga masyarakat. Jika pada zaman dahulu internet hanya bisa digunakan untuk menukar informasi hanya sebatas melalui email chatting serta menggunakannya untuk pencarian yakni google browsing. Namun sekarang internet dapat digunakan lebih dari itu. Dalam hal ini internet dapat digunakan untuk menjawab kebutuhan masyarakat dengan sistem jaringannya. Semua orang dapat memanfaatkan internet untuk mencari informasi baik dari dalam dan luar negeri, serta dapat berkomunikasi dan berinteraksi, belajar, dan berbagai kebutuhan lainnya dapat diakses melalui internet (Kulbi, 2020).
Penggunaan internet belakangan ini menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh seluruh dunia termasuk Indonesia. Kemudahan mengakses internet membuat suatu informasi sangat mudah untuk didapatkan orang lain. Pengguna internet disarankan untuk berhati-hati dalam penggunaan internet, khususnya sosial media seperti facebook, twitter, whatsapp, dan sebagainya. Beberapa pengguna telah menyalahgunakan media sosial sebagai lahan penipuan dan menyebar kebohongan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Berita bohong atau hoax yang tersebar melalui internet ini biasanya mengandung provokasi, informasi yang salah, SARA, pencemaran nama baik bahkan yang bersifat menakut nakuti (Herwanto & Febyani, 2015).
Berita hoaks di Indonesia berkembang melalui berbagai media diantaranya media massa yang meliputi media cetak, media elektronik, dan media online. Survei yang dilakukan oleh Mastel pada tanggal 1 – 15 Maret 2019 yang melibatkan 941 responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden sering menemukan informasi hoaks melalui sosial media (87,5%), aplikasi chatting (67%), situs web (28,2%), media cetak (6,4%), dan televisi atau radio (8,1%) (Mastel, 2019). Selain itu, Badan Intelijen Negara (BIN) menemukan bahwa 60% konten media sosial adalah informasi hoaks (Andreas, dkk., 2021).
Hoaks mampu memengaruhi banyak orang sehingga mereka berada dalam kesalahan. Hoaks adalah sesuatu yang disengaja atau sudah direncanakan. Kabar tidak benar disampaikan dengan kesungguhan hati, mimik wajah yang serius, tekanan nada suara yang terdengar benar adanya, dan seakan mengundang respon dari pendengar untuk menyatakan persetujuan bahwa kabar itu benar (Tinangon, dkk., 2024). Contoh nyata adalah hoaks mengenai vaksin COVID-19 yang mengklaim bahwa vaksin tersebut mengandung chip pelacak, yang menyebabkan sebagian masyarakat menolak vaksinasi dan memperlambat upaya pengendalian pandemi (Octafia, 2021).
Untuk menghadapi hoaks secara efektif, pertama-tama perlu memahami cara kerja media, termasuk proses produksi, distribusi, dan konsumsi berita. Memahami proses editorial, seperti tahapan penyaringan dan verifikasi berita, serta mekanisme distribusi yang melibatkan algoritma media sosial dan teknik pemasaran konten, dapat membantu dalam membedakan berita yang sah dari yang palsu. Pastikan untuk memeriksa kredibilitas dan reputasi sumber berita, serta memastikan bahwa informasi berasal dari media yang terverifikasi dan memiliki standar jurnalistik yang jelas. Hindari mengandalkan informasi dari sumber yang tidak dikenal atau yang memiliki track record meragukan.
Dalam menghadapi hoaks di tengah gelombang teknologi informasi yang semakin pesat, sangat penting bagi setiap individu untuk melakukan verifikasi informasi secara menyeluruh sebelum menyebarkannya ke orang lain. Proses verifikasi dapat dilakukan dengan memeriksa sumber berita yang kredibel, membandingkan informasi dari berbagai media, serta memastikan fakta-fakta yang disajikan benar adanya. Selain itu, sebagai pengguna media sosial, kita memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga penjaga kebenaran dengan menolak menyebarkan berita yang belum terbukti kebenarannya. Sikap kritis ini sangat dibutuhkan agar kita dapat bersama-sama menjaga lingkungan digital yang sehat, mengurangi penyebaran disinformasi, dan melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh hoaks.
Selain itu, sangat penting untuk tidak terburu-buru menyebarkan berita yang belum terverifikasi kebenarannya, terutama melalui media sosial yang memiliki jangkauan luas dan cepat. Menyebarkan informasi yang belum dipastikan kebenarannya dapat memperkuat penyebaran hoaks, yang berpotensi menimbulkan kebingungan hingga keresahan sosial. Meningkatkan literasi digital menjadi langkah utama dalam menghadapi tantangan ini. Masyarakat harus mampu memilah informasi yang valid, menilai konteks, keakuratan, serta sumber informasi secara menyeluruh. Literasi digital yang baik memungkinkan individu lebih kritis dalam menghadapi bias dan mengenali pola penyebaran hoaks, sehingga dapat berperan dalam menciptakan lingkungan informasi yang lebih sehat dan bertanggung jawab di era digital.
Referensi:
Andreas, C., Priandi, S., Simamora, A. N. M. B., & Mardianto, M. F. F. (2021). Analisis Hubungan Media Sosial dan Media Massa dalam Penyebaran Berita Hoaks berdasarkan Structural Equation Modeling-Partial Least Square. MUST: Journal of Mathematics Education, Science and Technology, 6(1), 81-96.
Herwanto, H., & Febyani, S. (2015). Kecemasan terhadap berita hoax ditinjau dari strategi emosi pada millennial mom. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi: JPPP, 4(1), 12-17.
Kulbi, S. Z. (2020). Penerapan Psikologi Kognitif Dalam Mengolah Berita Hoax Di Media Sosial Selama Pandemi Covid-19 Di Kampung Santren Surabaya. IJIP: Indonesian Journal of Islamic Psychology, 2(2), 171-198.
Octafia, L. A. (2021). Vaksin Covid-19: Perdebatan, Persepsi dan Pilihan. Emik, 4(2), 160-174.
Tinangon, D. A., Purba, B. C., & Kelana, B. (2024). Kurang Tegasnya Pendeta Mendisiplin Anggota Jemaat dalam Kasus Penyebaran Berita Palsu atau Hoaks. JUITAK: Jurnal Ilmiah Teologi dan Pendidikan Kristen, 2(1), 41-51.