ISSN 2477-1686
Vol. 10 No. 05 Maret 2024
Komitmen Organisasi Afektif
Oleh:
Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya
Komitmen organisasi (organizational commitment) menjadi kajian psikologi industri dan organisasi sejak lebih dari 50 tahun lalu dan berkembang pesat sejak Allen dan Meyer mengkonsepsikannya dalam TCM (three-component model) di tahun 1984 yakni komitmen organisasi afektif, kontinuans dan normatif (Hngoi et al., 2023). Ketiganya dijelaskan pada paragraf berikut ini. Komitmen organisasi afektif (affective commitment) terkait dengan identifikasi, pelibatan dan kelemekatan emosional terhadap organisasi, komitmen organisasi kontinuans (continuance commitment) bertumpu pada hitung-hitungan untung rugi jika meninggalkan organisasi dan komitmen organisasi normatif (normative commitment) ditentukan oleh rasa tanggung jawab untuk berbakti pada organisasi (Allen & Meyer, 1996). Pegawai yang memiliki komitmen organisasi afektif bertahan di organisasi karena keinginan mereka sendiri (because they want to), sedangkan mereka yang memiliki komitmen organisasi kontinuans bertahan karena butuh (because they need to) dan mereka yang memiliki komitmen organisasi normatif bertahan karena mereka meyakini bahwa hal tersebutlah yang semestinya mereka lakukan (because they feel they ought to do so). (Meyer et al., 1993). Dari ketiganya, komitmen organisasi afektif menjadi salah satu yang paling banyak dikaji dalam penelitian perilaku organisasi, boleh jadi karena penelitian-penelitian menunjukkan pengaruh komitmen organisasi afektif terhadap hampir semua bentuk perilaku yang menguntungkan organisasi (Riketta, 2002). Salah satunya adalah perilaku pegawai mengartikulasikan suaranya demi kebaikan organisasi (employee voice behavior) (Allen & Meyer, 1996).
Komitmen organisasi afektif mewakili intisari (the core essence) komitmen organisasi karena karakteristiknya yang sentral, bertahan lama (enduring) serta tak bisa diabaikan (indispensable) dibandingkan bentuk-bentuk komitmen organisasi lainnya yakni komitmen organisasi kontinuans dan normative sehingga dapat memediasi maupun mempengaruhi berbagai perilaku organisasi (Mercurio, 2015). Teori determinasi diri (self-determination theory) melihat bahwa individu yang memiliki komitmen organisasi afektif secara otonom termotivasi, terkoneksi dengan rekan-rekan kerjanya dan memiliki dorongan untuk terus mengembangkan diri – kesemuanya mencerminkan pemenuhan kebutuhan akan otonomi (need for autonomy), akan keterhubungan (need for relatedness) dan akan kompetensi (need for competence) (Tang & Vandenberghe, 2020). Karena komitmen organisasi afektif memungkinkan individu untuk memenuhi kebutuhan psikologis dasar (basic psychological needs) tersebut di atas, maka individu tersebut dapat meraih kesejahteraannya (well-being) (Meyer & Maltin, 2010).
Komitmen organisasi afektif berkorelasi positif dengan internalisasi dan identifikasi terhadap organisasi (Gagné et al., 2008). Penelitian (Zhou et al., 2024) menunjukkan bahwa bahkan pegawai di masa percobaan bergabung di organisasi dalam tiga bulan pun dapat memiliki komitmen organisasi afektif – apabila mendapat mentoring dari pimpinan serta lingkungan kerja yang mendukung. Oleh karenanya, komitmen organisasi afektif ini penting untuk terus menjadi perhatian, baik dalam pengembangan konsep secara teoretik sampai implementasi praktis di organisasi.
Referensi:
Allen, N. J., & Meyer, J. P. (1996). Affective, continuance, and normative commitment to the organization: An examination of construct validity. Journal of Vocational Behavior ,49, 252–276.
Gagné, M., Chemolli, E., Forest, J., & Koestner, R. (2008). A temporal analysis of the relation between organisational commitment and work motivation. Psychologica Belgica, 48(2–3). https://doi.org/10.5334/pb-48-2-3-219
Hngoi, C. L., Abdullah, N. A., Wan Sulaiman, W. S., & Zaiedy Nor, N. I. (2023). Relationship between job involvement, perceived organizational support, and organizational commitment with job insecurity: A systematic literature review. Frontiers in Psychology, 13. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.1066734
Mercurio, Z. A. (2015). Affective commitment as a core essence of organizational commitment: An integrative literature review. Human Resource Development Review, 14(4), 389–414. https://doi.org/10.1177/1534484315603612
Meyer, J. P., Allen, N. J., & Smith, C. A. (1993). Commitment to organizations and occupations: Extension and test of a three-component conceptualization. Journal of Applied Psychology, 78(4), 538–551.
Meyer, J. P., & Maltin, E. R. (2010). Employee commitment and well-being: A critical review, theoretical framework and research agenda. Journal of Vocational Behavior, 77(2), 323–337. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2010.04.007
Riketta, M. (2002). Attitudinal organizational commitment and job performance: A meta-analysis. Journal of Organizational Behavior, 23, 257–266.
Tang, W. G., & Vandenberghe, C. (2020). Is affective commitment always good? A look at within-person effects on needs satisfaction and emotional exhaustion. Journal of Vocational Behavior, 119. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2020.103411
Zhou, X., Zhang, S., Zhao, X. (Roy), Namasivayam, K., & Zheng, H. (2024). How mentors inspire affective commitment in newcomers: The roles of servant leadership, psychological capital, and feedback-seeking behavior. International Journal of Hospitality Management, 118. https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2023.103677