ISSN 2477-1686

Vol. 8 No. 5 Mar 2022

Memahami Work-Family Conflict Di Masa Pandemi

 

Oleh:

Entin Nurhayati

Fakultas Psikologi, Universitas YARSI

 

Apa itu Work-family Conflict

Work-family conflict merupakan situasi di mana terjadi tarik menarik pada diri individu dalam menjalankan perannya sebagai pekerja dan sebagai anggota keluarga, dimana secara nature dua peran itu tidak dapat kompatible satu dengan yang lain (Greenhaus & Beutell, 1985). Disebutkan bahwa terdapat tiga macam sumber work-family conflict, yaitu waktu, perilaku dan ketegangan di masing-masing peran. Konflik yang bersumber dari waktu, sudah sangat jelas, bahwa waktu yang dimiliki adalah terbatas, setiap orang sebanyak apa pun perannya, tetaplah 24 jam, sedangkan setiap peran membutuhkan waktu terpisah untuk menyelesaikan tugas perannya. 

 

Peran kerja dan peran keluarga memerlukan perilaku yang berbeda, sehingga perilaku yang dapat melancarkan tugas peran keluarga tidak akan pas jika ditampilkan di kantor, begitu pula sebaliknya. Misalnya dalam menghadapi suatu kesalahan. Di keluarga kita mengedepankan kehangatan, sehingga ketika ada kesalahan, yang diutamakan adalah memastikan pelaku berada pada situasi aman, kemudian membahas kesalahan itu. Namun di kantor, lebih memerlukan solusi yang cepat dan tepat terhadap kesalahan, maka lebih penting mandahulukan analisa kesalahan tersebut dan segera mencari cara memperbaikinya. Dapat dikata, urusan perasaan ditinggalkan, yang penting kesalahan dapat diperbaiki dan ada yang bertanggungjawab menyelesaikannya.

 

Sumber work family conflict ketiga adalah ketegangan, baik yang terjadi di domain keluarga atau kerja. Misalnya, ketika di keluarga seorang pekerja bertengkar dengan pasangan, dan hal itu membuatnya tidak konsentrasi dengan pekerjaan. Atau sebaliknya, di kantor sedang berada pada situasi tegang karena ada isu korupsi pada satu divisi, kemudian ada karyawan yang mengalami keresahan, kegundahan karena terimbas isu tersebut, dan terbawa ke rumah sehingga menganggu perannya di keluarga – misalnya menjadi kasar pada anak istri atau menarik diri dari tugas perannya di rumah, maka di sini telah terjadi work-family conflict.

 

Work-family conflict dapat pula dilihat dari arah sumber masalah. Jika sumber permasalahan berasal dari keluarga, maka disebut dengan family to work conflict dan sebaliknya jika sumber permasalahan adalah dari domain kerja maka disebut dengan work to family conflict. Misalnya seorang pekerja kesulitan menjalankan perannya di kantor karena selalu memikirkan kondisi anaknya yang sakit, ini termasuk dalam family to work conflict. Sebaliknya ketika seorang ayah menumpahkan kekesalannya karena masih memusingkan urusan pekerjaan kantor pada kesalahan kecil istri di rumah, maka kondisi itu termasuk dalam work to family conflict

 

 

Work-family Conflict di masa Pandemi  

Work-family conflict di masa pandemi ini ditengarai mengalami kenaikan. Hal yang dimungkinkan terjadi karena domain kerja yang tadinya memiliki waktu dan ruang yang terpisah dengan domain keluarga, menyatu ke dalam ranah keluarga. Secara teoritis, konflik yang terjadi antara dua peran ini dapat diminimalisir ketika masing-masing terjaga pada domainnya, urusan peran keluarga tetap di ranah keluarga dan urusan peran pekerjaan tetap di ranah pekerjaan (Baltes et al., 2009)

 

Dalam menjelaskan work family conflict, teori border maupun teori boundaries menyepakati bahwa semakin tercampur dua peran itu, semakin tinggi konflik peran kerja dan keluarga yang dialami pelaku (Baltes et al., 2009; Kossek et al., 2006). Secara teoritis pada masa pandemi dengan kebijakan kerja dari rumah ini resiko pekerja mengalami work-family conflict akan meningkat tinggi, dan hal ini diaminkan pada temuan riset di Brasil (Lemos et al., 2020), yang menunjukkan pada sebagian responden mengalami peningkatan WFC selam WFH ini, meski tidak di sebagian yang lain. Sedangkan riset yang dilakukan di Kota Bandung menunjukkan bahwa work-family conflict di masa pandemi cukup tinggi dan lebih banyak disebabkan oleh perasaan tidak produktif karena terdistraksi dengan urusan rumah tangga (Retnowati et al., 2020)

 

Riset juga menemukan adanya perbedaan tingkat wfc antara laki-laki dan perempuan menikah yang memiliki anak, dimana tingkat wfc ini lebih tinggi pada perempuan (Frank et al., 2021). Namun berbeda dengan temuan Lemos et al. (2020), yang menemukan bahwa tingkat wfc ini lebih disebabkan adanya faktor jarak antara tempat menjalankan peran kerja dan peran keluarga. Lemos menemukan bahwa WFH yang membuat ranah kerja dan ranah keluarga menyatu, tidak sera merta meningkatkan WFC. Justru dengan WFH perempuan merasa lebih mampu mengontrol perannya sebagai ibu karena berdekatan dengan anak, yang pdada akhirnya membuat si perempuan dapat menjalankan dua peran tersebut secara simultan.

 

Dari temuan tersebut menimbulkan pertanyaan baru, dalam kondisi seperti apa WFH tidak serta merta menaikkan WFC. Teori sumber daya menyebutkan bahwa work-family conflict terjadi karena sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi peran-peran adalah terbatas (Small & Riley, 1990). Berdasarkan hal ini Nurhayati (2019) berpendapat bahwa untuk work-family conflict dapat dikurangi dengan memperkaya sumber daya – seperti memperbaiki perilaku manajemen waktu, menambahkan atau memanfaatkan relasi dan jaringan sosial – seperti dukungan pasangan, melibatkan pihak ketiga atau saudara dalam mengasuh anak, dan memanfaatkan kemajuan teknologi di berbagai bidang – seperti memanfaatkan berbagai aplikasi layanan. Dalam situasi pandemi, faktor-faktor ini perlu mendapat pembuktian lebih lanjut. 

 

 

Referensi:

 

Baltes, B. B., Clark, M. A., & Chakrabarti, M. (2009). Work-life balance: The roles of work-family conflict and work-family facilitation. In G. Nicola, H. Susan, & P. A. Linley (Eds.), Oxford Handbook of Positive Psychology and Work. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780195335446.013.0016

 

Frank, E., Zhao, Z., Fang, Y., Rotenstein, L. S., Sen, S., & Guille, C. (2021). Experiences of Work-Family Conflict and Mental Health Symptoms by Gender among Physician Parents during the COVID-19 Pandemic. JAMA Network Open4(11), 1–12. https://doi.org/10.1001/jamanetworkopen.2021.34315

 

Greenhaus, J. H., & Beutell, N. J. (1985). Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Review10(1), 76–88. https://doi.org/10.5465/AMR.1985.4277352

 

Kossek, E. E., Lautsch, B. A., & Eaton, S. c. (2006). Telecommuting, control, and boundary management: Correlates of policy use and practice, job control , and work – family effectiveness. Journal of Vocational Behavior68, 347–367. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2005.07.002

 

Lemos, A. H. D. C., Barbosa, A. D. O., & Monzato, P. P. (2020). Women in Home Office during the Covid-A9 Pandemic and The Work Family Conflict Configuration. Revista de Administração de Empresas60(6), 388–399. https://doi.org/10.1590/s0034-759020200603

 

Nurhayati, E. (2019). Anteseden Work-Family Conflict Perempuan Menikah dan Bekerja, Studi Pada Dosen Tetap Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta dan Sekitarnya. In Universitas Gadjah Mada.

 

Retnowati, A. N., Aprianti, V., & Agustina, D. (2020). Dampak Work Family Conflict dan Stres Kerja Pada Kinerja Ibu Bekerja Dari Rumah Selama Pandemic Covid 19 di Bandung. Sains Manajemen6(2), 161–166. https://e-jurnal.lppmunsera.org/index.php/SM/article/view/2963

 

Small, S. A., & Riley, D. (1990). Toward a multidimensional assessment of work spillover into family life. Journal of Marriage and the Family52(1), 51–61. https://doi.org/10.2307/352837