ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 4 Feb 2022
Dinasti Politik Pejabat Daerah Rawan Korupsi?
Oleh
Raisa Rakhmania & Juliana Murniati
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta
Korupsi dalam Tubuh Dinasti Politik
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di Indonesia membuka peluang kepada warga untuk menduduki jabatan kepala daerah. Sejak Pilkada langsung diselenggarakan pada tahun 2005, pertumbuhan dinasti politik di daerah semakin subur. Hingga 2015, dalam kurun waktu 10 tahun terdapat total 59 kepala daerah yang merupakan bagian dari dinasti politik (Nagara Institute, 2020). Jumlah ini bertambah setelah disahkannya putusan MK Nomor 33/ PUU-XIII/2015 yang membuat dinasti politik menjadi legal pada 2015 (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2015). Pada Pilkada 2020, terdapat 124 calon kepala daerah yang bertarung memperebutkan jabatan politik (Nagara Institute, 2020).
Dinasti politik merupakan sistem kekuasaan dimana calon penerus kekuasaan memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana atau penguasa terdahulu (Susanti, 2017). Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam rilis media tahun 2017 mengungkapkan pada tahun 2013 hingga 2017 terdapat enam kasus kepala daerah yang memiliki dinasti politik ditangkap karena korupsi (ICW, 2017). Hingga 2021, tercatat beberapa kasus baru terkait pejabat daerah anggota dinasti politik yang tertangkap kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Martiar & Rita, 2021).
Faktor Pendukung Perilaku Korupsi Pejabat Daerah dalam Dinasti Politik
Pengaruh lingkungan dan sosial berperan penting dalam perkembangan diri seorang anak. Bioecological model of human development (Bronfenbenner & Morris, 2006) digunakan untuk melihat hal yang mempengaruhi seorang individu dari waktu ke waktu sehingga ia berkembang dan memiliki karakteristik tertentu.
Kasus korupsi yang terjadi dalam tubuh dinasti politik bukan serta merta terjadi begitu saja. Ada kondisi biopsikologis dan ekologis yang berperan dalam terjadinya peristiwa tersebut. Kondisi tersebut akan dijelaskan dalam model bioekologi Bronfenbenner. Pada model ini, terdapat empat komponen yang berpengaruh, yaitu Process, Person, Context, and Time (PPCT).
Process merupakan pusat inti dari perkembangan manusia. Dalam Process, terjadi interaksi timbal balik antara individu dengan obyek, dengan individu lain dan dengan lingkungan yang berkelanjutan. Hal ini disebut Proximal Process. Terjadinya korupsi merupakan proses integrasi antara person, context dan time. Processpada koruptor meliputi kedudukannya sebagai individu (Person), siapa saja dan apa saja yang berinteraksi dengan individu tersebut (Context), dan waktu sehingga terjadinya perilaku korupsi (Time).
Person adalah atribut personal dengan karakteristik biopsikologi yang berpengaruh dalam proses proksimal. Dalam Person, terdapat hal yang mempengaruhi, yaitu force, resource, dan demand. Force merupakan watak/disposisi yang mendukung atau menghambat perilaku. Pada Hierarki Maslow, (Feist & Feist, 2018), jika kebutuhan dasar yang bersifat materiil sebagai tujuan utama dan bagian dari aktualisasi diri, maka seseorang akan melakukan hal apapun untuk mencapai keinginan termasuk dengan melakukan korupsi. Dengan kata lain, koruptor cenderung memiliki watak serakah yang tidak pernah puas.
Resources adalah potensi alami dalam diri. Pada koruptor, terdapat sikap oportunis, pintar membangun relasi, dan mampu meyakinkan orang, sehingga terpilih menjadi pejabat. Demand merupakan karakteristik fisik yang mencegah atau mengundang reaksi dari lingkungan sekitar. Demand pada pelaku korupsi dalam dinasti pejabat politik berupa status sebagai orang Indonesia, pria atau wanita, usia muda, dan memiliki kekerabatan dengan pejabat terdahulu.
Context dalam PPCT dilihat berdasarkan konteks ekologi terdiri dari empat subsistem, yaitu mikro, meso, ekso dan makro. Dalam sistem mikro, dorongan partai politik untuk memakmurkan partai, gaya hidup keluarga yang mewah, bisa menjadi pencetus perilaku korupsi (Suparman, 2020). Selain itu, penerus yang melakukan korupsi mencontoh perilaku pendahulunya. Hal ini berkaitan dengan social learning theory dari Albert Bandura. Bandura mengungkapkan bahwa cara manusia belajar salah satunya meniru perilaku orang lain (Bandura dalam Feist & Feist, 2018). Tindakan yang dilakukan oleh koruptor dalam lingkaran keluarga disebabkan ada faktor observasi dan meniru. Pengaruh budaya juga melekat dalam konteks mikro seseorang.
Dalam teori sosiokultural Vygotsky dan diperkuat oleh pernyataan Markus Kitayama bahwa budaya adalah produk dari aktivitas manusia. Sehingga nilai dan budaya sudah tertanam dalam tatanan mikro dan menjadi nilai yang dianut seseorang (Vélez-Agosto dkk, 2017). Masyarakat Indonesia yang kolektif berpengaruh dalam perilaku korupsi yang terjadi dalam dinasti politik, karena perilaku ini biasanya melibatkan orang lain, bukan individu yang bergerak sendiri (Zaloznaya, 2014). Dalam konteks meso, dorongan dan interkoneksi dari keluarga dan partai memperkuat seseorang melakukan tindak korupsi.
Sistem ekso bisa dikaitkan dengan posisi istri dalam pergaulan kalangan menengah atas dapat mendorong individu melakukan korupsi. Dalam sistem makro, terdapat andil dari sistem pemerintahan dan politik. Sistem politik di Indonesia memiliki celah untuk pejabat berwenang melakukan korupsi. Negara demokrasi terbuka dan memberi peluang bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam kegiatan politik (Gunanto, 2020). Namun hal tersebut dimanfaatkan dinasti politik untuk berkembang dan membangun kerajaan politiknya (Susanti, 2017). Dalam data yang dirilis oleh ICW (2017) terkait praktik korupsi pejabat, beberapa pejabat ingin mempertahankan kekuasaannya di daerah tersebut. Oleh karena itu mereka berusaha melakukan berbagai cara agar kerabatnya bisa menduduki posisi strategis dalam pemerintahan (Susanti, 2017).
Gambar 1: Model Subsistem individu dalam dinasti politik adaptasi Model Bioekologis Bronfenbenner (Boon dkk, 2016)
Time adalah dimensi waktu dalam perkembangan manusia. Pelaku korupsi tidak secara impulsif melakukan korupsi. Dalam dinasti politik, penerus kekuasaan yang terlibat korupsi akan melihat dan mempelajari perilaku seniornya. Kemudian, ia terlibat tindak korupsi merupakan kronologi dalam dimensi waktu atau disebut kronosistem. Dimensi waktu dibagi menjadi tiga, yaitu mikro, meso, dan makro. Koruptor sebelum melakukan tindakan korupsi melewati proses yang membutuhkan waktu. Sebagai contoh, waktu mikro adalah satu hari yang diperlukan untuk membangun relasi politik, relasi ini terus berlanjut pada pertemuan berikutnya menjadi waktu meso. Relasi politik dibangun dan menjadi kuat hingga menghasilkan tindakan korupsi merupakan bagian dari waktu makro.
Gambar 2: Bagan Penerapan PPCT diadaptasi dari Bagan Krebs (2009)
Kesimpulan
Perilaku korupsi memungkinkan diwariskan kepada penerus dalam dinasti politik. Hal tersebut karena ada faktor yang mendukung, yaitu kondisi bioekologi yang sama dalam perkembangan hidup individu dalam dinasti politik. Tidak hanya atribut personal, konteks ekologi mulai dari mikro hingga makro memberi kontribusi pada perilaku seseorang. Dengan adanya hubungan timbal balik dari komponen PPCT pada pejabat yang bertindak korupsi, maka ada kemungkinan bagi penerusnya untuk melakukan tindakan yang sama.
Referensi:
Boon, Helen J., Alison Cottrell & David King. (2016). Disasters and Social Resilience: A bioecological approach. Routledge.
Bronfenbrenner, U., & Morris, P. A. (2006). The bioecological model of human development. Dalam R. M. Lerner & W. Damon (Eds.), Handbook of Child Psychology: Theoretical Models of Human Development(pp. 793–828). John Wiley & Sons Inc.
Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T.A. (2018). Theories of Personality (9th Edition). McGraw-Hill Education.
Gunanto, Djoni. (2020). Tinjauan kritis politik dinasti di Indonesia. SAWALA Jurnal Administrasi Negara, 8(2), 177-191.https://doi.org/10.30656/sawala.v8i2.2844
Indonesia Corruption Watch (ICW). (2017, 17 Januari). Rilis Media: Dinasti Politik, Korupsi Kepala Daerah, dan Pilkada serentak 2017. ICW. https://www.antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/Press%2520Release%2520Dinasti%2520Politik%2520Korupsi%2520Kepala%2520Daerah%2520dan%2520Pilkada%2520Serentak.pdf
Krebs, Ruy. J. (2009). Bronfenbrenner’s bioecological theory of human development and the process of development of sports talent. International Journal of Sport Psychology, 40(1), 108–135. https://www.researchgate.net/profile/Duarte-Araujo-3/publication/38183786_Ecological_approaches_to_cognition_and_action_in_sport_and_exercise_Ask_not_only_what_you_do_but_where_you_do_it/links/0912f50aff778383cd000000/Ecological-approaches-to-cognition-and-action-in-sport-and-exercise-Ask-not-only-what-you-do-but-where-you-do-it.pdf#page=113
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2015, 9 Juli). Mahkamah Konstitusi legalkan dinasti politik. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11405
Martiar, N.A.D & Rita S. (2021, 17 Oktober). Dinasti Politik Berujung Korupsi. Kompas. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/10/16/dinasti-politik-berujung-korupsi
Nagara Institute. (2020, Oktober). Riset Nagara Institute: Dinasti Politik Dalam Pemilihan Kepala Daerah. Nagara Institute. https://nagarainstitute.com/wp-content/uploads/2020/10/NASKAH-DINASTI-POLITIK-NAGARA-NAGARA-INSTITUTE-1.pdf
Suparman, Fana. (2020, 11 Desember). KPK Sebut Pejabat Kaya Bukan Jaminan Tidak Korupsi. Berita Satu. https://www.beritasatu.com/nasional/708617/kpk-sebut-pejabat-kaya-bukan-jaminan-tidak-korupsi
Susanti, Martien H. (2017, 2 September). Dinasti politik dalam pilkada di Indonesia. Journal of Government and Civil Society, (1). http://dx.doi.org/10.31000/jgcs.v1i2.440
Vélez-Agosto, N. M., Soto-Crespo, J. G., Vizcarrondo-Oppenheimer, M., Vega-Molina, S., & García Coll, C. (2017). Bronfenbrenner’s bioecological theory revision: Moving culture from the macro into the micro. Perspectives on Psychological Science, 12(5), 900–910. https://doi.org/10.1177/1745691617704397
Zaloznaya, M. (2014). The social psychology of corruption, why it does not exist. Socially Compas. 8(2), 187 –202. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/soc4.12120