ISSN 2477-1686
Vol. 8 No. 3 Feb 2022
Metaverse (Metasemesta) Datang! Psikologi Bagaimana?
Oleh
Christiany Suwartono1 dan Eko A. Meinarno2
1Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
2Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Pendahuluan
Lebih dari dua dekade lalu, tepatnya tahun 1999 muncul film The Matrix. Film ini menceritakan bahwa manusia yang saat ini ada sebenarnya hanya individu yang tersambung dengan alat dari mega komputer. Mega komputer ini yang memberikan ruang dan waktu agar seakan manusia hidup di dalamnya. Tahun 2009, sepuluh tahun kemudian muncul film dengan tema mirip, manusia menggunakan robot mirip manusia yang dihubungkan dengan manusia nyata. Robot mirip manusia itulah yang ada di dunia nyata, sementara manusia yang sesungguhnya ada di rumah dalam posisi tidur mengendalikan robot tadi. Ternyata, jauh sebelumnya, Neal Stephenson menulis novel "Snow Crash" memasukkan istilah "metaverse" dalam novel fiksi ilmiahnya tahun 1992. Dalam novel tersebut, orang-orang menggunakan avatar digital dari diri sendiri untuk menjelajahi dunia daring. Avatar digital (selanjutnya disebut avatar) adalah ilustrasi grafis dari seseorang atau karakter seseorang berupa gambar dua dimensi (2D), seperti yang sering kita lihat di platform/forum media sosial, atau sosok tiga dimensi (3D), seperti yang kita lihat di permainan daring atau dunia virtual (Damer & Hinrichs, 2014; XpertVR, 2021).
Itu Menjadi Nyata
Ide untuk membentuk dan menampilkan diri dengan avatar di dalam dunia maya perlahan mewujud. Pada pertengahan 2003, ada sebuah panggung multimedia di dunia maya bernama “Second Life”. Pada platform ini, seseorang bisa membuat avatar (diri dalam dunia maya) untuk dirinya dan memiliki “Second Life” atau kehidupan kedua di dunia maya. Oktober 2021, Mark Zuckenberg, pembuat Facebook, membuat sebuah terobosan teknologi yang dijuluki Metaverse (The Metaverse and How We'll Build It Together -- Connect 2021). Teknologi metaverse (selanjutnya akan diindonesiakan menjadi meta semesta) ini bentuk yang lebih “nyata” dari sekedar layar komputer/laptop/telepon pintar kita. Konon, meta semesta ini mampu mengaburkan batas antara kenyataan dan dunia virtual.
Meta Semesta
Konsep ini masih baru, sehingga butuh pemahaman yang cukup mendasar. Metaverse adalah kata majemuk dari transendensi meta dan alam semesta dan mengacu pada dunia virtual tiga dimensi di mana avatar terlibat dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Park & Kim, 2022). Sebagian peneliti menyatakan bahwa meta semesta membangun lingkungan simulasi digital dengan menggunakan augmented reality (AR), virtual reality (VR), dan blockchain, dengan konsep media sosial, untuk menciptakan ruang bagi interaksi antarmanusia yang meniru dunia nyata (Damer & Hinrichs, 2014; Today Digital, 2022). Meta semesta memiliki lingkungan terukur yang dapat menampung dan mengakomodasi banyak orang, yang hal ini sangat penting untuk memperkuat makna sosialnya. Banyak perubahan di dunia ini tanpa banyak disadari, mulai memanfaatkan meta semesta seperti dunia hiburan, misalnya konser musik (konser Travis Scott di 2020, Arian Grande dan Justin Bieber di 2021) dan peragaan busana (merk Louis Vuitton, Balenciaga, Gucci, Givenchy, dan RTFKT).
Psikologi Sosial Bermeta Semesta
Meta semesta pada awalnya merupakan hasil dari imajinasi, yang mendorong berbagai kreasi dan inovasi dan selanjutnya akan menjadi sebuah realitas? Dunia berubah, entah ke arah lebih baik atau lainnya. Kajian psikologi sosial untuk metaverse mungkin dalam proses berkembang juga. Hal ini lumrah sebagaimana cara pikir psikologi sosial awal, amat memperhatikan keluasan gejala sosial (Alcock & Sadava, 2014). Hal ini sebagaimana kita tahu bahwa banyak area kajiannya yang bersinggungan dengan antropologi dan sosiologi (Alcock & Sadava, 2014; Sarwono & Meinarno, 2018).
Psikologi sosial yang “mengadalkan” keberadaan orang lain/situasi sosial nyata, padahal dalam meta semesta manusia tidak berhadapan dengan stimuli yang nyata. Definisi awal psikologi sosial yang diajukan oleh G Allport menuliskan: “suatu upaya untuk memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang dipengaruhi orang lain, baik secara nyata, imajiner, maupun kehadiran secara langsung (Allport, dalam Hafiz, 2018). Namun temuan awal psikologi sosial sangat bersifat fisik seperti eksperimentasi Tripplet (1898). Secara singkat, individu yang bersepeda berbarengan dengan orang lain akan lebih cepat daripada dia bersepeda sendirian. Hal ini berarti keberadaan orang lain membuat individu lain akan mengeluarkan usaha lebih, dalam hal ini kecepatan bersepeda. Riset klasik lainnya yang dilakukan oleh LaPiere (1934) yang akhirnya menegakkan bagaimana sikap dan tingkah laku. Dampaknya dalam penelitian psikologi sosial adalah untuk berespon, kita tidak mesti melulu perlu kehadiran obyek. Kita cukup membayangkannya saja.
Petikan definisi psikologi sosial dari Allport G Allport yakni “…..perilaku seseorang dipengaruhi orang lain, baik secara nyata, imajiner, maupun kehadiran secara langsung …” mau tidak mau membuka peluang meta semesta masuk dalam ranah psikologi sosial. Keberadaan meta semesta tampaknya akan memberi cara baru dalam melihat keberadaan orang lain. Potongan kalimat “..untuk menciptakan ruang bagi interaksi antarmanusia yang meniru dunia nyata (Damer & Hinrichs, 2014; Today Digital, 2022). “Menciptakan ruang”, yang dulu dalam psikologi sosial adalah ruang nyata atau situasi sosial. Ada batas fisik dan waktu setidaknya. Dengan meta semesta ruangan itu diciptakan dengan kehendak mandiri dan bisa jadi tanpa kontrol. Individu mampu memberi batasan sendiri, cara menjalankannya, atau bahkan kehadiran individu di meta semesta dapat memicu individu lainnya mencipta ruang-ruang baru. Ruang-ruang baru, yang jika di dunia nyata tidak mudah dibuat atau dikreasi ulang. Meta semesta pun seakan “kita mencipta keberadaan diri untuk keberadaan orang lain”.
Salah satu aspek dari meta semesta ini orang dapat membangun gambaran idealnya secara nyata di ruang baru itu. Orang dewasa muda ketika menggunakan sosial media, mereka seringkali menunjukan sisi ideal dari mereka (Michikyan, Dennis, & Subrahmanyam, 2014). Dalam dunia maya, seseorang merasa bebas dan “dibebaskan” untuk mencantumkan foto diri yang ia anggap sesuai, yang mencerminkan karakteristik-karakteristik tersebut. Sebagian besar, dikarenakan kesan yang ingin dibentuk adalah sebagai orang disukai oleh orang lain (Albright & Simmens, 2014). Pada meta semesta ini, foto diri diwakilkan oleh avatar. Benar-benar menyerupai tubuh fisik kita di dunia nyata, sekaligus kita seakan masuk di dalam dunia meta semesta, dunia pararel dengan dunia nyata yang kita tinggali.
Psikologi sosial tentu bersinggungan dengan keberadaan meta semesta. Jika selama ini mengandalkan ruang nyata dan adanya interaksi yang berwujud fisik, maka dalam waktu dekat, ruang dan interaksi itu akan tidak nyata. Konteks ruang dan waktu juga konsep-konsep standar saat ini akan berubah mengikuti semesta baru ini. Setidaknya, ada ruang baru bagi individu menyatakan dirinya tidak lagi dalam hukum psikologi sosial yang ada saat ini.
Penutup
Dalam kondisi pandemi saat ini kebutuhan untuk dapat bersosialisasi dengan tetap menjalankan protokol kesehatan dapat dibantu oleh kehadiran meta semesta. Meta semesta memungkinkan interaksi sosial dalam bisnis sampai belajar mengajar tetap berjalan, nyaris tanpa hambatan. Untuk psikologi sosial, sebagai ranah ilmu yang dinamis, sensitif terhadap banyak ide baru, tampaknya meta semesta adalah area baru yang perlu dijelajahi.
Referensi:
Albright, J. M., Simmens, E. (2014). Flirting, cheating, dating, and mating in a virtual world. Dalam The Oxford handbook of Virtuality. Penyunting Mark Grimshaw. Oxford University Press. Oxford.
Alcock, J. & Sadava, S. (2014). An Introduction to social psychology: Global perspectives. London: SAGE Publications Ltd.
Damer, B., Hinrichs, R. (2014). The virtuality and reality avatar cyberspace. Dalam The Oxford handbook of Virtuality. Penyunting Mark Grimshaw. Oxford University Press. Oxford.
Hafiz, S. E. (2018). Pendahuluan. Dalam Psikologi Sosial: Pengantar dalam Teori dan Penelitian. Penyunting ardiningtyas Pitaloka, Zainal Abidin dan Mirra N Milla. Salemba Humanika. Jakarta.
LaPiere, R. T. (1934). Attitudes vs. actions. Social forces, 13(2), 230-237.
Michikyan, M., Dennis, J., & Subrahmanyam, K. (2015). Can You Guess Who I Am? Real, Ideal, and False Self-Presentation on Facebook Among Emerging Adults. Emerging Adulthood, 3(1), 55–64. https://doi.org/10.1177/2167696814532442
Park, S. M., & Kim, Y. G. (2022). A Metaverse: taxonomy, components, applications, and open challenges. IEEE Access PP (99):1-1. DOI:10.1109/ACCESS.2021.3140175.
Sarwono, S.W., & Meinarno, E. A. (2018). Pengantar psikologi sosial. Dalam Psikologi Sosial. Penyunting Eko A Meinarno dan Sarlito W Sarwono. Jakarta: Salemba Humanika
Stephenson, N. (1992). Snow crash. New York: Bantam Books.
Today Digital (2022). Metaverse Meaning – What is this New World Everyone’s Talking About? https://www.xrtoday.com/mixed-reality/metaverse-meaning/ Diakses 30 Januari 2022.
XpertVR (2021). What Is A Digital Avatar? And why are avatars so important to the future?https://xpertvr.ca/what-is-a-digital-avatar/#:~:text=Digital%20Avatar%20Defined%3A,in%20games%20or%20virtual%20worlds. Diakses 30 Januari 2022.