ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 23 Des 2021

Yuk Kita (Psikologi) Respon Merdeka Belajar!

 

Oleh

Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo1 & Eko A Meinarno2

1Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya 

2Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

 

Pengantar

Tulisan ini hendak merespon kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diwakili oleh Menteri Nadiem Makarim, yang dikenal dengan sebutan Mas Menteri yang bernama Merdeka Belajar. Kebijakan ini direspon oleh banyak pihak dengan sudut pandang makro, oleh karena itu artikel ini hendak merespon dengan cara pandang yang mikro, dengan ilmu psikologi sebagai pisau bedahnya. 

 

Kebijakan Mas Menteri tentang Merdeka Belajar secara prinsip mencakup hal-hal berikut. Mahasiswa berkesempatan untuk memperluas wawasan dengan mengeksplorasi pengalaman lapangan yang kemudian dikonversikan menjadi SKS (https://kampusmerdeka.kemdikbud.go.id/). Pengalaman lapangan tersebut beragam, Kemendikbud mengemasnya dalam 8 (delapan) skema, yang terdiri dari pertukaran pelajar, magang/praktik kerja, asistensi mengajar, penelitian/riset, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, studi/proyek independen sampai membangun desa (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020). 

 

Prakteknya

Bagaimanakah prakteknya? Katakanlah ada satu mahasiswa bernama Gita, kebetulan memang ia anak yang tak bisa diam, senangnya jadi bolang alias bocah petualang, gemar masuk ke desa terpencil, selain berinteraksi ia tak segan terlibat dalam berbagai inisiatif perubahan perilaku warga, contohnya perilaku menjaga kebersihan pribadi saat menggunakan fasilitas MCK (Mandi Cuci Kakus). 

 

Nah, si Gita kebetulan berkuliah di Fakultas Psikologi sebuah universitas, di mana tersedia mata kuliah Intervensi Sosial. Program Merdeka Belajar memungkinkan mahasiswa gelisah seperti Gita tidak lagi terpenjara di bangku kuliah, merdeka menjelajah ke aneka desa seraya mempraktikkan capaian pembelajaran mata kuliah Intevensi Sosial tersebut. Pulang dari desa, si Gita membawa pulang luaran yang membuktikan bahwa ia telah punya pengetahuan dan keterampilan, lalu Fakultas Psikologi tempat ia berkuliah melakukan konversi, katakanlah dapat A untuk 2 (dua) sks mata kuliah Intervensi Sosial tersebut. 

 

Lain lagi dengan si Eko, mahasiswa yang gemarnya meneliti. Ia hidup di perpustakaan dan gemar membuat aneka kajian. Maka Eko dapat melakukan satu proyek penelitian secara mandiri meneliti sesuatu hal yang menggelitik apa yang ingin ia gali. Misalnya di Fakultas Psikologi tempat ia berkuliah ada mata kuliah Perilaku Konsumen, lalu Eko membuat riset kualitatif menggali perilaku kelompok ibu-ibu mengkonsumsi cilok dan seblak dengan perspektif ilmiahnya, maka ia bisa membawa hasil penelitiannya dan Fakultas Psikologi mengkonversinya menjadi menjadi nilai dan SKS tertentu, katakanlah dapat A untuk 2 (dua) SKS. Menarik bukan? Artinya dosen maupun kampus bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, mahasiswa bisa menimba ilmu di samudera dunia nyata. 

Satu contoh nyata adalah dua mahasiswa Program Studi Teknik Sipil Universitas Pembangunan Jaya magang di PT Jakarta Toll Road Development (JTD) dalam proyek pembangunan 6 (enam) ruas jalan tol di Jakarta selama 1 (satu) semester. Selesai magang, mereka lancer mengisahkan metode pekerjaan pondasi tiang bor (bored pile) pada pekerjaan pondasi jembatan, lancar menganalisis hasil dari PIT (pile integrity test) menentukan integritas tiang bor beton – semua ini kemudian dikonversikan ke sejumlah mata kuliah di Program Studinya (Setiawan, 2020).

 

Faedah

Kebijakan ini muncul ketika perubahan besar terjadi secara global. Setidaknya di dalam negeri para pemerhati pendidikan juga telah mengajukan kegelisahan sekaligus harapan dalam perubahan global ini. Beberapa isu yang mengemuka di harian bereputasi nasional misalnya mengangkat tema-tema pendidikan di perguruan tinggi diantaranya pendidikan tinggi tidak tanggap perubahan masyarakat (Kamdi, 2018), pengembangan kurikulum dan keterampilan pikir mahasiswa (Bagir, 2019; Budiharto, 2019; Latif, 2019), dan hambatan kultural pendidikan Indonesia (Riza, 2020), lompatan digital masyarakat (Ganie-Rochman, 2019; Setiawan, 2018). 

 

Tema-tema yang diangkat mengerucut pada kebutuhan bangsa terhadap generasi muda yang berketerampilan pikir tinggi dan kompleks. Saat ini industrialisasi sudah tidak lagi membicarakan buruh dan mesin seperti era Weber (Revolusi Industri), tetapi telah membicarakan data yang digital, efisien, keterhubungan, dan penguasaan teknologi. Oleh karena itu dibutuhkan persiapan untuk masyarakat khususnya masyarakat yang memasuki dan menjalani pendidikan di perguruan tinggi. Bentuknya adalah kesiapan karakter individu yang siap belajar dan senantiasa mau belajar (lifelong learning) dan kemampuan integrasi pemikiran. 

 

Penutup: Psikologi Menerima Tantangan Mas Menteri

Apa yang diminta Mas Menteri secara keilmuan telah “diketahui” oleh psikologi. Perubahan dan pengembangan pendidikan bukan semata adanya kelengkapan fisik dan teknologi, tapi perubahan dalam cara pikir. Kita mengetahui bahwa menyatukan cara pikir tidaklah mudah. Membayangkan apa yang dilakukan oleh Universitas Pembangunan Jaya jelas bukan hal mudah. Namun ada jalan tengah yang diajukan yakni batasan kompetensi dari dosen/mata kuliah/universitas dengan mitranya. 

 

Kompetensi ini dalam psikologi, khususnya dalam pengajaran teridentifikasi dari kurikulum dan rancangan pengajaran semester (RPS) sebuah mata kuliah. Identifikasi itu dilihat dari tingkatan apa dari taksonomi yang dicapai. Sebagai contoh, jika si Gita membuat MCK di desa (yang desa memang butuh) sebagai implementasi kuliah Intervensi Sosial yang capaiannya “mahasiswa mampu membuat alat bantu rekayasa sosial”, maka tingkah lakunya sejalan antara kampus dan desa. Kata kerja “mampu membuat” ini dapat diterjemahkan setidaknya selaras antar kedua pihak. 

 

Psikologi sebagai salah satu bidang ilmu yang mempelajari dan meramalkan (prediksi) tingkah laku, secara prinsip siap dan mampu menerima tantangan Mas Menteri. Hal yang paling penting adalah berembugnya para pemangku kepentingan untuk mencapai keselarasan. Pihak-pihak lain bisa jadi belum menentukan capaian atau apa yang hendak dicapai. Keadaan ini malah memungkinkan psikologi dengan keluasan kajian tingkah lakunya bukan hanya berkontribusi pada kampusnya, bahkan bisa menawarkan bantuan kepada pihak lain yang selama ini masih belum menentukan capaian. Secara khusus, KPIN pernah lakukan hal sederhana yakni membuat RPS bersama untuk belasan mata kuliah (awal 2020). Pengerjaan bersama ini memungkin sesama sejawat dosen dalam lingkup kerja sama KPIN melakukan sinkronisasi atas capaian mahasiswa psikologi. 

 

Jadi si Gita dan si Eko, bukan lagi tokoh khayalan, mereka tengah diciptakan oleh kita (psikologi). Di satu kesempatan, si Gita asyik dengan mempraktikkan Intervensi Sosial di desa lewat Merdeka Belajar Membangun Desa, yang ia lanjutkan kembangkan lagi dengan ikut mengajar di sekolah setempat dengan Merdeka Belajar Asistensi Mengajar untuk mata kuliah Psikologi Sekolah. Si Eko tekun mengulik perilaku konsumen lewat Merdeka Belajar Meneliti; yang kemudian ia jadikan sebagai Merdeka Belajar Proyek Independen untuk bisa berpartisipasi dalam kompetisi mahasiswa antar kampus. Di kesempatan berbeda, si Gita dan si Eko asyik bekerja bersama sebagai teman sekelompok karena sama-sama mengambil mata kuliah secara virtual ke kampus lain di jaringan KPIN lewat Merdeka Belajar Pertukaran Pelajar. Mas Menteri pun akan segera bertemu dengan mereka berdua.   

 

 

Referensi:

 

Bagir, H. (2019). Belajar dari pendidikan di Finlandia dan China. Kompas, 28 Agustus. Hlm. 7. 

 

Budiharto, (2019). Pendidikan tinggi di era 4.0. Kompas, 8 November. Hlm. 6. 

 

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, (2020). Buku panduan merdeka belajar-kampus merdeka Edisi ke-1. 

 

Ganie-Rochman, M. (2019). Society 5.0 untuk Indonesia. Kompas, 23 Maret. Hlm. 6.  

 

Kamdi, W. (2018). Pendidikan tinggi 4.0. kompas, 3 Maret. Hlm. 6. 

 

Latif, Y. (2019). Pendidikan di era baru. Kompas, 2 Mei. Hlm. 6. 

 

Riza, S. (2020). Mengapa pendidikan di Indonesia sulit maju. Kompas, 1 Desember. 

 

Setiawan, S. (2018). Transformasi peradaban digital mulai 2020. Kompas, 18 Desember. Hlm. 6.

 

Setiawan, A.A. (2020). Merdeka belajar atau merdeka ujian? https://adv.kompas.id/baca/merdeka-belajar-atau-merdeka-ujian/ Diakses tanggal 21 Juni 2021.