ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 24 Des 2021
Memulai Pemahaman Sejarah Psikologi di Indonesia
Oleh
Eko A Meinarno1 & Octaviani Indrasari Ranakusuma2
1Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia & 2Fakultas Psikologi, Universitas YARSI
Sejarah Pendidikan Psikologi di Indonesia
Artikel dari Meinarno dan Saleh (2021) mengenai sejarah psikologi di Indonesia tampaknya perlu ditanggapi. Artikel ini merupakan salah satu bentuk tanggapan dan upaya tindak lanjutnya. Kekhawatiran mereka bahwa psikologi di Indonesia tidak ahistorik menjadi penting dalam pengembangan psikologi sebagai ilmu dan juga alat bantu/penunjang pembangunan bangsa. Dalam sejarah dikenal ungkapan Cicero yakni historia magistra vitae yang berarti sejarah adalah guru kehidupan atau kajian tentang masa lalu harus menjadi pelajaran untuk masa depan (Cakranegara, 2020).
Lembaran pertama pendidikan psikologi adalah pidato dari Slamet Iman Santoso (Santoso, 1952; Santoso, 1975). Saat itu ia mengajukan kalimat “the right Man in the right place”. Pemikiran yang didasari pada kebutuhan pendidikan tepatnya sekolah untuk masyarakat. Keinginan untuk memberi kesempatan bagi banyak kawula muda Indonesia yang saat itu baru merdeka (1945) duduk di sekolah yang tepat dan berguna baginya. Pemikiran yang saat itu didukung oleh pemerintah, bahkan oleh Presiden Soekarno sendiri (Santoso, 1992).
Apakah ide yang disampaikan oleh Santoso terlalu canggih sampai ditegur oleh Presiden Soekarno (yang malah kemudian menyetujui pendirian balai politeknik psikologi pertama di Indonesia)? Atau sebaliknya ide ini cukup sederhana (jika tidak dikatakan kuno), malah masih sejalan dengan pemikiran pemerintah Hindia Belanda pada awal pendirian institusi pendidikan di Indonesia? Pendidikan bergaya Eropa diperkenalkan di Indonesia di akhir abad XIX dan meluas di awal abad XX. Tujuan utamanya adalah menyiapkan tenaga kerja dengan kemampuan terbatas untuk mengisi jabatan-jabatan rendahan di kepegawaian usaha atau pemerintahan Hindia Belanda (Sejarah Nasional Indonesia, 2008).
Sedikit mundur ke akhir abad XIX, pendidikan dalam pengertian pendidikan berbasis Eropa tumbuh Hindia Belanda mulai dari sekolah tingkat dasar hingga pada akhirnya perguruan tinggi. Para lulusan sekolah inilah yang pada tahun-tahun awal abad XX menyuarakan ide Indonesia, bukan Hindia Belanda. Pada satu hal ini, terlihat gejala terbentuknya embrio identitas sosial baru yang dikenalkan kepada seluruh bangsa oleh para terdidik warga Hindia Belanda (lihat sejarah 1908 dan 1928).
Pihak penjajah (penulis menduga semua penjajah akan mendata wilayah dan bangsa yang dijajah) juga sebelumnya membuat profil orang Indonesia, walau bukan dengan sebutan ilmu psikologi. Salah satu ilmuwan yang mempelajari masyarakat khususnya masyarakat Aceh adalah Snouck Hurgronye (1860-an). Jauh sebelumnya juga, bagaimana orang Barat mendeskripsikan orang Indonesia khususnya orang Jawa dilakukan oleh Stanford Raffles, gubernur jenderal yang berasal dari Inggris (Indonesia sempat dijajah Inggris hanya dalam waktu singkat pada 1817). Bahkan hingga 1950-an peneliti barat dalam hal ini Amerika Serikat mendalami pengetahuan orang Indonesia melalui tulisan Clifford Geertz (1983).
Tulisan para ilmuwan (jika Raffles digolongkan juga) tadi masih berlatar ilmu bukan psikologi, setidaknya nuansa ilmu sejarah sangat kuat dan antropologi. Tulisan yang dihasilkan juga masih berorientasi pada hubungan penjajah-terjajah, bukan dalam posisi yang setara seperti riset-riset ilmiah masa kini. Ia menuliskan bagaimana perilaku masyarakat Jawa terhadap sains, seni, rasa, atau bahkan prasangka. Namun apapun yang dihasilkan, adalah modal untuk memahami masyarakat Indonesia saat itu. Dan saat itu apa yang dihasilkan semata untuk kepentingan penjajah.
Psikologi Indonesia untuk Dirinya
Perlunya psikologi Indonesia membuat dan membangun catatan sejarahnya sendiri adalah sebuah keniscayaan. Jika dianalogikan dengan para penjajah yang menggali dan mengkaji orang Indonesia, maka bangsa Indonesia pun butuh untuk mengkaji dirinya sendiri, sebagaimana Raffles meneliti kisah orang Jawa dengan cukup detail sampai berani menuliskan “Saya yakin tak ada orang yang memiliki informasi mengenai Jawa sebanyak yang saya miliki” (Rafless, 1817[2008]). Butuh lebih dari seratus tahun kemudian ada penelitian psikologis yang mencermati stereotip yang beredar di kalangan masyarakat Indonesia (lihat studi disertasi Suwarsih Warnaen, 1979).
Memahami kesejarahan ilmu psikologi bukan semata membicarakan kapan berdirinya satu institusi pendidikan atau kapan tokohnya lahir-wafat. Kesejarahan memiliki banyak aspek. Sebagai contoh, penulis saat mengikuti perkuliahan sejarah psikologi atau kuliah-kuliah yang sifatnya pengantar selalu menemui “pojok sejarah/riwayat tokoh” (lihat Hall & Lindzey, 1985; atau Harré, 2005). Tentu dalam ujian tidak ditanyakan artikel pojokan itu. Namun pembaca bisa membanyangkan mengapa tokoh ini mempunyai ide yang kemudian kita pahami sebagai teori. Contoh dalam pembukaan artikel ini yakni Hitler yang tidak lagi dikenal, padahal kehadirannya membuka peluang pemikiran-pemikiran baru khususnya dalam psikologi sosial (lihat perkembangan teori identitas sosial). Sejarah ilmu psikologi di Indonesia akan memberi pengetahuan mengapa psikologi di Indonesia berbeda nuansanya dengan psikologi yang tumbuh di negara lain. Atau seberapa kita memberi porsi pengetahuan sejarah pengembangan psikologi Indonesia dalam pengajaran/perkuliahan? Seberapa kita memberi bacaan/sumber yang bersifat sejarah khas Indonesia kepada para calon cendekia psikologi Indonesia?
Dua Tokoh
Dalam psikologi di Indonesia, setidaknya terdapat dua ilmuwan tingkat nasional yang mengangkat tema sejarah dalam pengembangan ilmu psikologi. Kedua tokoh ini dianggap meletakkan batu-batu fondasi dari bangunan ilmu psikologi di Indonesia. Pertama adalah Slamet Iman Santoso (1907-2004) yang kebetulan adalah pendiri pendidikan psikologi di Indonesia (pernah menjadi dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan/FKIP Universitas Indonesia). Sebagai psikiater ia sudah dikenal juga di luar negeri (Kline, 1963). Sebagai pendiri pendidikan psikologi di Indonesia setidaknya menulis beberapa buku. Banyak karyanya berupa bunga rampai dari pemikirannya yang diterbitkan di koran atau makalah yang dibawakan pada acara seminar (Santoso, 1979; Santoso, 1985). Dalam satu bagian kisah dirinya yang patut menjadi perhatian adalah ketika dia sebagai murid lulus sekolah dasar yang mampu berbahasa Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis dianggap “bisa menyamai bangsa Belanda dan bahkan lebih baik kami (Belanda)” (Santoso, 1994). Inilah titik kesadaran bahwa dalam pendidikan pun, perlakuan orang Belanda terhadap orang Indonesia adalah tidak setara, dan jika mampu menyamai orang Belanda maka itu menjadi hal yang mengejutkan. Kelak, pada saat pembentukan pendidikan psikologi di Indonesia arahnya jelas yakni untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan bangsanya sendiri.
Tulisan-tulisan Santoso secara kuat menegaskan kebutuhan persiapan pendidikan, cukup detail menjelaskan keperluan alat tulis hingga pembentukan karakter (Santoso, 1979). Hal ini yang kemudian dalam banyak karya tulisnya yang bernuansa pendidikan pengajaran. Penggunaan ilmu psikologi sebagai ilmu terapan juga dicatat oleh Santoso, dalam hal ini adalah untuk seleksi penerimaan anggota militer (dulu disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) (David, 1965; Santoso, 1975; Sarwono, 2004). Untuk bidang pendidikan dan pengajaran psikologi Santoso mengungkapkan pentingnya ilmu-ilmu nonpsikologi untuk mendukung psikologi, yakni filologi, sosiologi, statistik, dan filsafat (Hassan, 1975 dalam Santoso, 1975; Santoso, 1994). Santoso juga dalam tulisannya di jurnal American Journal of Psychiatry (1959) menuliskan bahwa kelahiran psikologi di Indonesia dilatari beberapa hal yaitu kondisi Indonesia yang kekurangan tenaga medis/psikiatri, perbedaan kebudayaan, pengaruh sosial (kondisi politik dunia terhadap Indonesia), masalah keluarga, masalah agama (konservatif dan pembaharuan), persiapan pengajaran dan pendidikan, dan pembaharuan ide (ide barat dan ide tradisional berdasar serapan bahasa).
Mulai berdirinya era Orde Baru, Santoso mulai konsisten dan menyuarakan tentang karakter. Satu idenya yang tetap tercatat adalah lima watak individu untuk dapat menjadi bagian masyarakat yang ideal yakni paandai dan terampil, jujur, berdisiplin, mengetahui kemampuan dan batas kemampuan diri, dan mempunyai rasa kehormatan diri (Santoso, 1979).
Tokoh kedua adalah Sarlito W Sarwono (1944-2016), ilmuwan psikologi sosial. Ia pernah menjadi Dekan Fakultas Psikologi di Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI, dan sebagai salah satu pendiri Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, serta salah satu inisiator berdirinya Konsorsium Psikologi Ilmaih Nusantara (KPIN). Sarwono membangun ide kesejarahan melalui buku Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi (yang dikenal dengan buku SAP, 1986). Hal yang kemudian ia lanjutkan pada artikel dalam buku maupun dalam jurnal yang menceritakan perkembangan pendidikan dan ilmu psikologi di Indonesia (Sarwono, 2004; Sarwono, 2014). Mengenai masalah sosial yang menjadi perhatian psikologi di masanya, ia tulis dalam buku “Masalah-masalah Kemasyarakatan di Indonesia” (1987) dalam lima tema. Kelima tema itu adalah sumber daya manusia, kebudayaan, sistem sosial dan motivasi individual, agama, dan lingkungan hidup.
Sejarah pendidikan psikologi juga ia tulis. Salah satu bagian yang ia sampaikan adalah kurikulum psikologi dari masa ke masa. Ia berhasil merangkum bahwa dalam perjalan waktu sejak 1953-2002 mata ajar yang secara garis besar konsisten menjadi pendukung pendidikan psikologi karena dianggap inti adalah antropologi, biologi, bahasa Inggris, filsafat, fisiologi, sosiologi, dan statistika serta metode penelitian; dan mata pelajaran wajib nasional, seperti kewiraan, Pancasila, dan humaniora dasar termasuk agama (Sarwono, 2004). Catatan lain menunjukkan bahwa ia mengajukan konsep psikologi ulayat pada kongres Ikatan Psikologi Sosial tahun 1999. Ide ini kemudian mewujud pada mata kuliah psikologi ulayat di Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI tahun 2009 (Sarwono, 2012).
Kedua ilmuwan psikologi ini berhasil menyelamatkan sebagian dari kepingan-kepingan sejarah pendidikan psikologi di Indonesia. Mereka menyempatkan diri untuk menuliskan ide-ide dasar pembangunan ilmu psikologi di Indonesia. Psikologi di Indonesia mereka bangun berdasar pengalaman lalu dan memikirkan kegunaan di masa depan. Orientasi kegunaan di masa depan adalah dasar pikir mereka. Memikirkan keperluan alat tulis untuk semua tingkat sekolah di awal-awal kemerdekaan tentu tidak terbayangkan oleh banyak orang saat itu. Keduanya memikirkan dan membuat buku-buku dasar ilmu psikologi dan konsisten mencatat sejarah perkembangannya belum tentu berguna, tapi tidak semua orang melakukannya.
Kedua tokoh berkarya dalam bentuk tulisan tidak sekedar opini pribadi. Tulisan mereka menyajikan kondisi nyata masyarakat Indonesia. Pada saat bersamaan mereka juga tahu bahwa dasar ilmiah empirik tidak dapat ditinggalkan. Kondisi ini yang wujudnya dapat kita lihat dari mata-mata ajar untuk pendidikan psikologi. Tetap pada jalur ilmu psikologi, tapi tidak menafikkan ilmu pendukung agar sarjananya dapat melihat gejala psikologi individu dengan bingkai pikir yang lebih luas.
Sebagai individu, warna dari masing-masing tetap ada beda. Santoso dalam beberapa kesempatan berupaya menegakkan pembentukan karakter. Terbentuknya karakter yang kuat pada tiap-tiap individu akan dapat memajukan bangsa. Sementara Sarwono menggugah kembali para ilmuwan psikologi bahwa Indonesia adalah satu bangsa yang unik. Menjawab itu maka psikologinya sangat mungkin juga menjadi khas juga.
Demi Waktu
Bagi penulis, membicarakan sejarah seperti membicarakan diri sendiri. Mana kala individu tidak tahu hal sederhana masa lalunya (nama ayah-ibu, kapan tanggal lahir, di mana ia lahir dan lain-lain), maka individu seakan menjadi sekedar “dia”, hanya namanya saja. Padahal “dia” adalah produk masa lalu yang akan berjalan ke depan. “Dia” yang nantinya akan membangun sesuatu untuk masa depan, setidaknya masa depan dirinya.
Hal ini juga berlaku pada psikologi sebagai ilmu yang juga tumbuh dan berkembang di Indonesia. Tidak banyak (jika tidak mau dikatakan tidak ada) yang menuliskan tentang apa yang ditumbuhkan dan apa yang dikembangkan dari psikologi di Indonesia. Kelahiran sebagai ide dimulai dari pidato dies natalis Universitas Indonesia di Bandung, tahun 1952. Tahun 1953 terbentuklah lembaga politeknik psikologi (Santoso, 1979; Sarwono, 1986).
Kelahiran pendidikan psikologi di Universitas Indonesia berasal dari Fakultas Kedokteran. Lulusan pertama sarjana psikologi (dulu disebut psikolog karena pendidikan profesi belum dipisahkan seperti sekarang) adalah Fuad Hassan. Lulusan doktoral pertama psikologi di Indonesia adalah Fuad Hassan. Secara kebetulan Guru Besar pertama di bidang psikologi adalah Fuad Hassan.
Bagaimana dengan tumbuh kembang pendidikan psikologi di universitas lain? Catatan yang dituliskan oleh Sarwono (1986) setidaknya tercatat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) yang dibidani Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Padjadjaran (Bandung) yang dibidani Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Dinas Psikologi Angkatan Darat, dan Universitas Airlangga (Surabaya) yang dibidani Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Latar kelahiran fakultas-fakultas psikologi ini, secara sadar atau tidak memberi warna khusus, sehingga walau sama fakultas psikologi, tapi sangat mungkin gaya dan orientasi pengembangan ilmunya tidak sama.
Lantas bagaimana dengan fakultas-fakultas atau jurusan, atau program studi psikologi atau lembaga penelitian yang tergabung dalam Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN)? Penelusuran penulis melalui grup Whatss App KPIN diketahui beberapa data kelahirannya, Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (1973), Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI (1985), Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (1992), Fakultas Psikologi Universitas Azzahra (1995), Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (1999), Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen (2001), Fakultas Psikologi Universitas Jenderal Achmad Yani (2003), Fakultas Psikologi Prof. Dr. Uhamka (2003), Program Studi Psikologi Universitas Bunda Mulia (2003), Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan (2005), Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana (2006), Fakultas Psikologi Universitas Pancasila (2006), Fakultas Psikologi Universitas YARSI (2007), Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (2007), Fakultas Psikologi Universitas Tama Jagakarsa (2007), Program Studi Psikologi Universitas Al Azhar Indonesia (2008), Program Studi Psikologi Universitas Udayana (2009), Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya (2011), Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang (2012), Program Studi Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (2015), dan Division for Applied Social Psychology Research atau DASPR (2017). Tiap-tiap fakultas/prodi/lembaga penelitian ini mempunyai tokoh dan perjalanan sejarahnya sendiri. Tentunya hal ini memberi warna(-warni) dalam pengembangan psikologi Indonesia.
Tentu sejarah masing-masing menjadi penting untuk diungkap. Sebagai pemicu, penulis membagi linimasa tadi menjadi empat era. Dari Era kemerdekaan-orde lama (1950-1970), era Orde baru dan Pembangunan (1971-1997), era Reformasi (1998-2001), dan era Milenial (2002-sekarang). Pembagian era ini berdasar pemahaman bahwa adanya perubahan sosial yang melingkupi Indonesia. Dengan demikian maka kelahiran fakultas-fakultas psikologi di Indonesia sesuai eranya adalah sebagai berikut.
Era kemerdekaan-orde lama (1950-1970) berdiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (Jakarta), Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), dan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Bandung). Era Orde baru dan Pembangunan (1971-1997) berdiri Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (1973), Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (1983), Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI (1985), Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (1992), dan Fakultas Psikologi Universitas Azzahra (1995). Di era Reformasi (1998-2001) berdiri Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (1999), dan Fakultas Psikologi Universitas HKBP Nommensen (2001).
Di era Milenial (2002-sekarang) berdiri Fakultas Psikologi Universitas Jenderal Achmad Yani (2003), Fakultas Psikologi Prof. Dr. Uhamka (2003), Program Studi Psikologi Universitas Bunda Mulia (2003), Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan (2005), Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana (2006), Fakultas Psikologi Universitas Pancasila (2006), Fakultas Psikologi Universitas YARSI (2007), Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (2007), Fakultas Psikologi Universitas Tama Jagakarsa (2007), Program Studi Psikologi Universitas Al Azhar Indonesia (2008), Program Studi Psikologi Universitas Udayana (2009), Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya (2011), Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang (2012), Program Studi Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (2015), dan Division for Applied Social Psychology Research atau DASPR (2017).
Pengungkapan sejarah tiap-tiap kampus psikologi akan menjadi modal dasar bagi para penerus (yang mengelolanya). Dalam hal ini latar sosial di waktu kelahirannya dapat menjadi penanda adanya kebutuhan apa dan tren riset psikologi saat itu. Oleh karenanya pengembangan sains psikologi akan kuat jika tiap-tiap fakultas/departemen/program studi menyadari awal kelahiran dirinya.
Hal yang perlu digarisbawahi, sejarah bukan sekedar lembar-lembar kertas bertumpuk. Sejarah bak nyala lampu minyak yang ada di belakang kita, mudah tertutup badan sendiri, tapi jika menoleh ke belakang maka kita tahu dia nyala untuk kita agar tidak tersesat jika kembali.
Penutup yang Terbuka
……………………………………………………………………………… (hanya akan diisi oleh kita, ilmuwan psikologi di Indonesia, dan masih akan berlanjut)
Referensi:
Cakranegara, JJS. (2020). Membangun Kesadaran Sejarah Kritis dan Integratif untuk Indonesia Maju. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 10(1), 1-18.
David, H. P. (1965). International trends in clinical psychology. Handbook of clinical psychology, 1469-1506.
Geertz, C. (1983). Abangan, santri, priyayi: dalam masyarakat Jawa. Pustaka Jaya.
Hall, C., Lindzey, G. (1985). Introduction to Theories of Personality. Canada. John Willey & Son.
Harré, R. (2006). Key thinkers in psychology. Sage.
Kline, N. S. (1963). Psychiatry in Indonesia. American journal of Psychiatry, 119(9), 809-815.
Meinarno, EA., Saleh AY. Hitler Hilang dalam Sejarah? Perlunya Pemahaman Sejarah Perkembangan Ilmu Psikologi di Indonesia. Proses publikasi. Buletik KPIN, Vo. 7. No. 10, Mei 2021.
Raflles, S. (1817 [2008]). History of Java. Terjemahan. Narasi. Yogyakarta.
Santoso, SI. 1952. Pemeriksaan psikologis sebagai dasar untuk sekolah. Dalam Pembinaan Watak: Tugas Utama Pendidikan. UI Press. Jakarta.
Santoso, SI. (1959). The Social Conditions of Psychotherapy in Indonesia. American Journal of Psychiatry, 115(9), 798–800. doi:10.1176/ajp.115.9.798.
Santoso, SI. 1975. Psychologi sebagai ilmu pengetahuan dan hari depan. Bulan Bintang. Jakarta.
Santoso, SI. 1979. Pembinaan watak: Tugas Utama Pendidikan. UI Press. Jakarta.
Santoso, SI. 1994. Warna-warni pengalaman hidup R. Slamet Iman Santoso. Penyunting Boen S Oemarjati. UI Press. Jakarta.
Sarwono, SW. 1986. Berkenalan dengan aliran-aliran dan tokoh-tokoh psikologi. Bulan Bintang. Jakarta.
Sarwono, SW. 1987. Masalah-masalah Kemasyarakatan di Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta.
Sarwono, SW. (2004). Psychology in Indonesia. Handbook of international psychology, 453-466. Stevens, M. J., & Wedding, D. (Eds.). (2004). Routledge.
Sarwono, SW. (2012). Psikologi ulayat. Jurnal Psikologi Ulayat, 1(1).
Sarwono, SW. (2014). Internationalization of Psychology Education in Indonesia. Psychology Research, 868.
Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan penjajahan di Indonesia. (2008). Balai Pustaka. Jakarta.
Warnaen, S. (1979). Stereotip etnik di dalam suatu bahasa multietnik: satu studi psikologi sosial di Indonesia. Disertasi Program Doktoral Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.