ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 23 Des 2021
Petualangan Proses Belajar Mengajar: Cara Membuat Pihak-pihak yang Belajar Senang Belajar
Oleh
Helsa1 & Eko A Meinarno2
1Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan
2Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Salah satu pengalaman yang mengesankan bagi mahasiswa adalah bagaimana dosennya mengajar. Ada dosen yang mengajar dengan ceramah yang berapi-api, ada yang menjelaskan dengan sangat terstruktur, atau ada yang menjelaskan dengan gim-gim atau permainan kuis.
Cara dosen mengajar beserta kelengkapannya secara prinsip harusnya diketahui oleh mahasiswa dan penyelenggara pendidikan (tingkat sarja sampai tingkat doktoral). Hal ini tercatat dalam rencana pengajaran semester (RPS) yang kita bangun sejak awal tahun ajar. Di dalam bagian ini, dosen memberikan penjelasan tentang bagaimana proses belajar selama satu semester. Bentuknya mulai dari bagaimana mahasiswa akan menjalankan proses belajar, peran dosen dan mahasiswa dalam tiap kali pertemuan/sesi, semua pihak mengetahui bobot atau persentase dari semua kegiatan, dan bahkan memperlihatkan sebuah perkuliahan berorientasi pada mahasiswa (student-centered) atau terpusat pada dosen (Meinarno, 2016).
Untuk menyiapkan mahasiswa (dari tingkat sarjana hingga doktoral) yang berani untuk menggali pengetahuan, menyelaraskan pengetahuan dan kondisi sekitar, sekaligus mampu membangun integrasinya tentu persentase pemelajaran lebih dari 50% ada di tangan mahasiswa. Bahkan bukan tidak mungkin penilaian sebagian diberikan kepada mahasiswa (penilaian antarteman. antarkelompok dll.) maka menjadi indikasi bahwa kuliah tersebut sudah mulai berorientasi pada mahasiswa (Meinarno, 2016).
Metode Pengajaran Era Pandemi (dan mungkin untuk Masa Depan)
Dalam pendidikan, higher order thinking dipercaya sebagai kemampuan penting yang perlu dikembangkan oleh semua peserta didik. Mengembangkan higher order thinking mencakup kemampuan berpikir yang lebih dari sekedar mengingat informasi. Maka dari itu, higher order thinking dapat mendorong keterlibatan peserta didik dalam tugas-tugas yang melebihi tingkat mengingat (remembering) pada taksonomi Bloom, sehingga mendorong peserta didik untuk mencapai tingkat berikutnya yaitu aplikasi/terapan, analisis, sintesis, dan mengevaluasi materi pemelajaran (Meinarno & Lidiawati, 2021; Yen & Halili, 2015). Melalui higher order thinking, peserta didik belajar untuk berpikir lebih dalam dan memproduksi ide-ide baru. Lebih jauh lagi, mengembangkan higher order thinking secara tidak langsung menanamkan prinsip belajar sepanjang hayat bagi peserta didik. Dengan kata lain, kemampuan higher order thinking menjadi modalitas bagi peserta didik untuk beradaptasi dengan dinamika dan tuntutan di dunia nyata dengan cara berpikir (Meinarno & Lidiawati, 2021; Vijayaratnam dalam Yen & Halili, 2015). Tidak mengherankan jika hal ini pantas diberlakukan tidak hanya pada mahasiswa tingkat sarjana, tapi juga tingkat master atau doktoral (pascasarjana).
Meskipun secara prinsip kita memahami pentingnya membantu peserta didik untuk mengembangkan higher order thinking, nyatanya hal ini masih jarang diterapkan dalam proses pendidikan saat ini. Tidak dipungkiri, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada pendidik (teacher-centered learning) masih banyak digunakan dalam institusi pendidikan di Indonesia, tak terkecuali di perguruan tinggi. Padahal, peserta didik bukanlah seperti gelas kosong yang menunggu diisi, melainkan mereka perlu mencari makna dari pengalaman belajarnya (Woofolk, 2016). Oleh karena itu, menerapkan metode pemelajaran yang berpusat pada peserta didik (student-centered learning) perlu menjadi fokus para pendidik saat ini.
Pada prinsipnya, pendekatan student-centered learning adalah pendekatan yang menekankan peserta didik sebagai fokus dalam proses pemelajaran. Dengan mengubah fokus ke peserta didik, maka mereka akan lebih terlibat dalam proses pemelajaran, sehingga membantu mereka untuk memiliki pemahaman yang mendalam dan bermakna tentang materi yang diajarkan (Santrock, 2018). Peserta didik akan lebih memiliki rasa memiliki terhadap materi yang dipelajarinya, mencari tahu bagaimana materi tersebut dapat relevan dengan kehidupannya, serta membangun hubungan kognitif agar materi dapat dipertahankan lebih lama di memori. Peserta didik juga lebih termotivasi, percaya diri, dan lebih tertarik dalam penyelesaian masalah. Dengan kata lain, pendekatan ini dapat melatih higher order thinking mahasiswa (Brookhart, 2010).
Metode pengajaran dengan pendekatan student-centered learning yang dapat diaplikasikan cukup beragam. Beberapa di antaranya adalah problem-based learning, essential questions, guided discovery learning, dan project-based learning (Marhaeni, Santyasa, & Artini, 2018; Santrock, 2018; Wiles & Bondi, 2011; Woofolk, 2016). Problem-based learning menekankan pada pemecahan masalah dalam kehidupan nyata. Metode ini dapat dilakukan dengan memberikan permasalahan nyata kepada mahasiswa agar mereka dapat belajar untuk mengidentifikasi isu dan merancang solusinya.
Essential questions dilakukan dengan memberikan pertanyaan yang merefleksikan inti dari materi kepada mahasiswa, sehingga mereka dapat mengeksplorasi dan mempelajarinya lebih jauh. Melalui metode ini, mahasiswa dapat mengembangkan rasa ingin tahu dan berpikir lebih dalam.
Guided discovery learning dilakukan dengan memberikan topik kepada mahasiswa dan memberikan ruang untuk menemukan informasi yang relevan dengan topik tersebut, sehingga mahasiswa mengkonstruksi sendiri pemahamannya dengan tetap mendapatkan bimbingan dosen.
Sementara itu, project-based learning dilakukan dengan melibatkan mahasiswa dalam program jangka panjang (misalnya selama setengah atau satu semester) di mana mereka akan menghasilkan suatu produk secara nyata. Metode ini dapat mendorong mahasiswa untuk merancang, memecahkan masalah, dan berpikir kritis. Tentunya dalam menerapkan berbagai metode di atas dapat dilakukan secara individual maupun berkelompok.
Pertanyaannya, apakah berbagai metode di atas mungkin dilakukan dalam masa pandemi ini? Tentu bisa! Dalam masa pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini, proses pemelajaran justru diharapkan lebih interaktif dan bukan semata-mata memindahkan kelas luar jaringan (luring) ke platform daring, sehingga situasi ini adalah kesempatan yang baik untuk menerapkan student-centered learning. Penggunaan platform pembelajaran daring (LMS – Learning Management System) serta aplikasi untuk video conferencing seperti Zoom, Microsoft Teams, dan Google Meet dapat memfasilitasi para dosen untuk menerapkan metode pengajaran yang interaktif melalui fitur-fitur yang disediakan.
Pada LMS, dosen dapat mengunggah video tentang penjelasan materi agar mahasiswa dapat menyimaknya terlebih dahulu sebelum kelas dimulai. Menurut Santrock (2018), pengetahuan dasar yang terstruktur dipercaya lebih efektif dikuasai dengan pendekatan teacher-centered learning. Oleh karena itu, pendekatan ini dapat digunakan sebelum masuk ke dalam pembelajaran yang lebih dalam. Bila dosen ingin memastikan pemahaman dasar mahasiswa, berbagai aplikasi atau platform daring juga dapat digunakan seperti dengan memberikan kuis-kuis singkat.
Fitur pembagian kelompok dalam aplikasi video conferencing, seperti pembuatan kanal dan breakout rooms,dapat membantu dosen dalam menerapkan student-centered learning. Metode tersebut dapat memberi ruang bagi mahasiswa untuk belajar berpikir kritis, belajar melalui dialog, dan mengasah kreativitas dalam proses diskusi (Svinicki & McKeachie, 2014). Dosen juga dapat memanfaatkan berbagai fitur seperti ruang diskusi (discussion board), agar mahasiswa lebih aktif saat jam perkuliahan berlangsung. Pemanfaatan fitur ruang diskusi dapat memudahkan dosen mengajak mahasiswa untuk berdiskusi mengenai isu/masalah, pertanyaan, dan proyek yang sedang dirancang. Menurut pengalaman penulis, metode ini juga dapat memfasilitasi mahasiswa yang lebih lambat dalam belajar, karena mereka bisa memiliki waktu yang mereka perlukan untuk memikirkan dan membagikan ide.
Melalui pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa situasi PJJ ini bukanlah hambatan bagi dosen untuk mulai menempatkan mahasiswa sebagai fokus dalam proses pemelajaran. Sedikit demi sedikit modifikasi dalam metode pengajaran dapat mulai diterapkan untuk menjadikan para mahasiswa sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Referensi:
Brookhart, SM. (2010). How to assess higher-order thinking skills in your classroom. ASCD.
Marhaeni, A. A. I. N., Santyasa, I. W., Artini, L. P. (2018). Pembelajaran di perguruan tinggi. Editor: AAIN Marhaeni, Nyoman Dantes, dan Ida Bagus Made Astawa. Rajawali Pers.
Meinarno, E. A. (2016). Persiapan Pengajaran Semester Belum Berakhir. Buletin KPIN, 2(10, Mei).
Meinarno, E. A., & Lidiawati, K. R. (2021). Apakah Persamaan Anak-anak Destrarastra dengan Anak-anak Pandu? Buletin KPIN, 7(17, September).
Santrock, J. W. (2018). Educational psychology. 6th ed. McGraw-Hill Education.
Svinicki, M. D. & McKeachie, W. J. (2014). McKeachie’s Teaching Tips: Strategies, Research and Theory for College and University Teachers. 14th ed. Wadsworth.
Wiles, JW., Bondi, JC. (2011). Curriculum development: A Guide to practice. 8th ed. Pearson.
Woofolk, A. (2016). Educational psychology. 13th ed. Pearson.
Yen, T.S. & Halili, S.H. (2015). Effective teaching of higher-order thinking (HOT) in education. The Online Journal of Distance Education and e-Learning, 3(2), 41-47.