ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 17 Sep 2021
Peran Self-Control Pada Shopaholic
Oleh:
Fahira Dwianti Siregar
Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara
Pada zaman ini kita hidup di zaman modern yang mana kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan dengan mudah. Kebutuhan manusia ialah suatu hal yang tidak bisa dihindari. Namun sadarkah bahwa kebanyakan dari kita seringkali tidak dapat menahan diri untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Perilaku adaptif dalam berbelanja ini disebut dengan shopping addiction dan sebutan bagi seseorang yang mengalami shopping addiction adalah shopaholic. Shopaholic merupakan sebutan untuk seseorang yang sangat suka berbelanja namun sudah melebihi kewajaran. Individu yang mengalami shopping addiction ialah individu yang tidak mampu dalam menahan keinginannya untuk berbelanja sehingga menghabiskan banyak uang dan waktu meskipun hal-hal yang dibeli tidak selalu dibutuhkan (Wahyuningsih & Fatmawati, 2016).
Seorang shopaholic akan berbelanja di luar kendali. Mereka akan terus menerus belanja meskipun telah jauh terbenam dalam hutang. Mereka akan belanja saat tertekan secara emosional dan menggunakan belanja sebagai mekanisme bertahan hidup. Alasan mereka tidak berhenti belanja karena mereka sungguh-sungguh menemukan kenikmatan dalam belanja dan merasa harus membeli barang-barang tersebut. Orang-orang yang mengalami kecanduan dalam berbelanja sering kali merasa cemas, gelisah, dan depresi ketika keinginannya untuk membeli suatu barang tidak terpenuhi. Individu shopaholic tidak dapat membedakan antara kebutuhan dan juga keinginan. Mereka hanya membeli barang untuk memenuhi keinginannya.
Tahu kah kalian bahwa shopaholic termasuk dalam gangguan psikologis yaitu Obsessive Compulsive Disorder(OCD) karena shopaholic melakukan kegiatan belanja secara berulang-ulang. Gangguan OCD yaitu gangguan kecemasan yang membuat seseorang ingin melakukan suatu perilaku secara berulang-ulang yang dalam hal ini adalah berbelanja. Individu shopaholic cenderung tidak dapat mengendalikan dan mengontrol dirinya untuk berbelanja sehingga melakukan apa saja secara berulang dan terus-menerus agar keinginannya terpenuhi (Wahyuningsih & Fatmawati, 2016). Gangguan OCD yang sudah sulit untuk dikendalikan dapat diatasi dengan menggunakan terapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Terapi CBT ini dapat mengurangi rasa kecemasan pada seseorang yang mengalami OCD, sekaligus juga dapat mengurangi dan mengendalikan pikiran yang tidak logis dalam belanja. Gangguan OCD ini dapat menyerang siapa saja, perempuan mapun laki-laki. Pada kasus shopaholic, individu ini merasa tidak puas dalam berbelanja sehingga selalu memiliki dorongan untuk terus berbelanja.
Ada berbagai macam alasan mengapa seseorang menjadi shopaholic, diantaranya ialah tingkat stres yang berlebihan, gaya hidup hedonis yang menjadikan belanja sebagai hal yang mutlak, dan ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain. Benson (2000) menyatakan bahwa beberapa penyebab seseorang menjadi shopping addict ialah karena ia mengalami masa kecil yang kurang bahagia, merasa ditolak, kurang diperhatikan, dan tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Sehingga saat ia dewasa dan memiliki finansial yang mencukupi, individu-individu seperti ini akan membalas dendam rasa ketidakpuasan yang dialami saat kecil. Tetapi kebayakan dari mereka tidak dapat menghentikan kebiasaan ini sehingga akan terus berulang dan membuat kecanduan.
Salah satu cara agar individu tidak menjadi shopaholic ialah dengan mengontrol dirinya aka keinginan untuk berbelanja. Menurut Averill (Ghufron & Risnawati, 2010) kontrol diri ialah kemampuan individu dalam mengubah perilaku, mengelola informasi yang ia inginkan dan yang tidak diinginkan, dan kemampuan individu dalam memiliki tindakan yang akan dilakukan berdasarkan hal yang ia yakini. Ciri-ciri kontrol diri diantaranya adalah kemapuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan mengantisipasi peristiwa, kemampuan menafsirkan peristiwa, dan kemampuan mengambil keputusan (Ghufron & Risnawati, 2010). Penyebab utama seseorang berbelanja secara berlebihan yaitu karena ketidakmampuan dalam mengontrol cara berpikir untuk tidak berbelanja secara berlebihan, sehingga individu tidak pernah merasa puas sebelum ia berbelanja, walaupun pada akhirnya ia akan menyesal.
Faktor yang dapat mempengaruhi kontrol diri individu ialah, faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal termasuk lingkungan disekitarnya, seperti keluarga, teman, maupun tetangga. Sedangkan faktor internal ialah seperti usia (Harahap, 2017). Meskpun terdapat faktor eksternal yang akan mempengaruhi kontrol diri seseorang, tetaplah diri sendiri sebagai poin yang paling penting. Karena mengendalikan diri tidaklah mudah, sebab musuh terbesar manusia bukanlah berada di luar dirinya, tetapi berada di dalam dirinya sendiri.
Terdapat beberapa manfaat jika seorang shopaholic dapat mengendalikan dirinya, seperti pengeluaran yang lebih terkontrol, hidup menjadi lebih tertib dan teratur, dan hubungan dengan lingkungan sosial menjadi lebih baik. Individu yang memiliki pengendalian diri yang baik dapat menahan dirinya hanya untuk membeli hal-hal yang berupa kebutuhan dan tidak selalu mengikuti hawa nafsu untuk membeli yang hanya sekedar keinginan saja.
Referensi:
Benson, A. L. (2000). I Shop, There For I am: Compulsive Buying and The Search For Self. Narthvale: Jason Aronson Inc.
Ghufron, M. N., & Risnawati, R. S. (2010). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Harahap, J. Y. (2017). Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Ketergantungan Internet di Pustaka Digital Perpustakaan Daerah Medan. Jurnal Edukasi , 3 (2), 131-145.
Wahyuningsih, W., & Fatmawati. (2016). The Influence Of Hedonic Lifestyle Shopping Addiction, Fashion Involvement On Global Brand Impulse Buying. Jurnal Bisnis , 7 (20), 278-300.