ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 17 Sep 2021
Tren Belanja Online Dan Perilaku Pembelian Impulsif
Oleh:
Alfina Pramelia Wulandari dan Mochammad Sa’id
Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang
Di era globalisasi ini, banyak terdapat kemajuan di bidang teknologi yang membuat para produsen dan juga distributor membuka toko dan menjual hasil produksi mereka melalui e-commerce. Hal ini berdampak pada munculnya tren belanja online. Tren berbelanja online memudahkan masyarakat dalam membeli berbagai kebutuhan sehari – hari. Pembeli merasakan kemudahan berbelanja mulai dari pemesanan, variasi produk, hingga transaksi pembayaran (Lestari & Hidayati, 2020). Selain itu, dalam online shop, konsumen juga dimungkinkan untuk melihat dan mencari barang yang ia butuhkan sesuai dengan preferensi, harga, dan kepuasan layanan yang diberikan.
Seiring dengan waktu, tren belanja online juga menunjukkan pergeseran perilaku belanja masyarakat. Belanja pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang biasa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Namun keberadaan berbagai fasilitas dan aplikasi belanja online membuat sebagian masyarakat menjadikan kegiatan berbelanja bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan sekedar memenuhi kepuasan pribadi dan keinginan sesaat. Mereka berbelanja tanpa memikirkan terlebih dahulu apakah barang yang dibeli tersebut bermanfaat atau tidak (Widawati, 2011). Salah satu pemicu terjadi pergeseran perilaku belanja tersebut adalah munculnya tren gaya berbusana yang mempengaruhi masyarakat terutama di kalangan remaja. Sebut saja tren fashion OOTD (outfit of the day).
Perilaku belanja “tanpa pertimbangan” seperti di atas merupakan bentuk pembelian impulsif (impulsive buying). Perilaku ini merupakan bentuk tindakan berbelanja secara berlebihan yang dilakukan secara spontan ketika melihat suatu produk. Perilaku pembelian impulsif termasuk dalam jenis perilaku hedonis, karena dilakukan atas dasar motivasi belanja hedonis (Sholihah et al., 2017). Perilaku tersebut terjadi karena motivasi yang kuat dalam diri individu untuk memenuhi kepuasan psikologisnya.
Riset pada mahasiswa (Putra, 2018) menunjukkan bahwa perilaku pembelian impulsif terjadi karena beberapa faktor. Pertama, adanya pengaruh gaya hidup. Individu cenderung tertarik untuk membeli produk fashionterbaru dan merek terkenal karena menurutnya fashion mencerminkan identitas diri. Pengaruh gaya hidup ini biasanya terjadi pada individu yang sering dan lama menghabiskan waktunya di pusat perbelanjaan atau mal. Semakin sering dan lama individu berada di mal, maka semakin besar peluangnya untuk melakukan pembelian impulsif produk fashion. Peran faktor gaya hidup terhadap kecenderungan pembelian impulsif individu diperkuat oleh hasil-hasil riset lainnya (Ummah & Rahayu, 2020; Sholihah et al., 2017).
Kedua, faktor gender. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya perbedaan menonjol antara wanita dan pria ketika melakukan pembelian impulsif. Wanita lebih cenderung melakukan pembelian impulsif dibandingkan pria, Hal ini disebabkan oleh penawaran produk atau barang yang ditujukan kepada wanita lebih banyak, dimana penawaran tersebut untuk mempengaruhi gaya hidup wanita. Contohnya adalah produk fashion dan makeup. Faktor yang ketiga adalah usia. Berbeda dengan 2 faktor sebelumnya, faktor ini menunjukkan hubungan yang negatif. Artinya, semakin tua umur individu, maka semakin rendah kecenderungan pembelian impulsif yang ia lakukan.
Selain 3 faktor di atas, perilaku pembelian impulsif juga dapat disebabkan oleh pengaruh dan respon dari lingkungan individu. Sebuah riset (Sari & Rachmi, 2018) menyatakan bahwa store layout juga mempengaruhi perilaku pembelian impulsif. Store layout di sini adalah tata letak toko dan penempatan produk.
Di dalam perspektif psikologi sosial, perilaku pembelian impulsif individu dapat dilihat dari teori sikap, dimana konteks sosial mempengaruhi hubungan antara sikap dan perilaku (Baron & Branscombe, 2015). Pada awalnya, saat individu tengah berjalan-jalan ke mal atau toko, secara tidak langsung mereka terlibat ke dalam suatu interaksi sosial. Interaksi yang terjadi adalah ketika seorang penjaga toko yang menawarkan suatu produk yang kemudian memunculkan ketertarikan dari individu untuk menanggapi dengan menghampiri produk yang ditawarkan. Ketika ia mulai melihat atau memegang barang yang ditawarkan, maka muncul pemikiran dalam dirinya untuk membeli meskipun barang tersebut tidak begitu penting. Sikap merespon barang yang ditawarkan tersebut mengarahkan seseorang untuk melakukan pembelian impulsif.
Menurut teori tindakan beralasan (theory of reasoned action), pengambilan keputusan individu untuk berperilaku tertentu merupakan proses rasional yang telah dipikirkan terlebih dulu (Baron & Branscombe, 2015). Namun dalam pembelian impulsif ini, individu melakukan perilaku tersebut tanpa berpikir secara rasional, lebih cenderung karena faktor emosional, sehingga tidak mempertimbangkan terlebih dahulu perihal kegunaan atau manfaat dari produk tersebut (Putra, 2014). Oleh karena itu, perilaku pembelian impulsif tidak dapat disebut sebagai perilaku rasional.
Perilaku pembelian impulsif yang terjadi pada sebagian masyarakat akan berdampak pada kepribadian mereka dan membentuk “gaya hidup belanja” (shopping lifestyle) pada diri mereka. Jika hal itu terjadi secara terus-menerus dan berkepanjangan tentunya akan merugikan diri mereka. Mereka akan hidup boros dan tidak bisa mengatur keuangannya sendiri. Mereka harus bisa mengubah kebiasaan seperti itu dengan cara mengubah sikap dari dalam diri mereka sendiri. Misalnya, dengan membuat rancangan berbelanja atau catatan daftar belanja sehingga bisa melakukan kegiatan belanja yang sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu, persuasi juga bisa dilakukan untuk mengubah sikap masyarakat terhadap berbagai “godaan” berbelanja. Cara ini dilakukan melalui berbagai jenis pesan. Pesan-pesan persuasif tersebut bisa berbentuk sosialisasi/kampanye di media sosial, ataupun pesan secara langsung yang disampaikan oleh komunikator melalui psikoedukasi dan semacamnya. Dengan upaya-upaya ini, perilaku pembelian impulsif yang menjangkiti sebagian masyarakat kita dapat diminimalisasi dan bahkan dicegah.
Referensi:
Baron, R. A., N. R. (2015). Psikologi Sosial. (Jilid I). (Arifah, Raja Falency, Penerj). Jakarta: Erlangga.
Lestari, S. P., & Hidayati, M. (2020). Online shop yang dilakukan oleh mahasiswa di Kota Semarang pada masa pandemi covid 19. Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang, 9(2). http://jurnal.untagsmg.ac.id/index.php/sa/article/view/1798
Putra, F. K. (2018). Pengaruh shopping lifestyle, usia, dan gender terhadap impulse buying produk fashion (Survei pada konsumen produk fashion di Malang Town Square (MATOS). Manajemen Bisnis, 6(1). https://doi.org/10.22219/jmb.v6i1.5383
Putra, B. P. (2014). Analisis Pengaruh Promosi, Emosi Positif, dan Store Environment terhadap Perilaku Impulse Buying. Skripsi. Tidak diterbitkan. Semarang: Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/43914/
Sari, I. M. & Rachmi, A. (2018). Pengaruh store layout dan keragaman produk terhadap keputusan pembelian di Swalayan Sativa Kediri. Jurnal Aplikasi Bisnis, 4(1), 145-148. http://jab.polinema.ac.id/index.php/jab/article/view/187
Sholihah, U. M., Rachma, N., & Slamet, A. R. (2017). Pengaruh shopping life style, fashion involment, hedonic shopping motivation, dan sales promotion terhadap impulse buying di Malang Town Square dan Mall Olympic Garden. Jurnal Ilmiah Riset Manajemen, 6(1).http://riset.unisma.ac.id/index.php/jrm/article/view/427/464
Ummah, N., & Rahayu, S. A. (2020). Fashion involvement, shopping lifestyle dan pembelian impulsif produk fashion. Jurnal Penelitian Psikologi, 11(1), 33-40. https://doi.org/10.29080/jpp.v11i1.350
Widawati, L. (2011). Analisis perilaku “impulse buying” dan “locus of control” pada konsumen di Carrefour Bandung. MIMBAR: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 27(2), 125-132. https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/320