ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 15 Ags 2021

Aku, Kamu, Kita Apakah Bisa Bersama?

 

Oleh:

Elmaya Sari Pulungan

Faskultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara

 

Di Indonesia, kita hidup di masyarakat dalam keberagaman suku seperti suku batak, jawa, madura, bugis dan lainnya, budaya yang beragam seperti tarian daerah, pakaian adat, dan rumah adat, ras yang beragam seperti ras Papua Melanesiaras Veddoid, ras Proto Melayu dan lainnya, dan keberagaman agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Keberagaman dalam masyarakat disebut masyarakat multikultural. Multikulturalisme yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalamkesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002).

 

Dalam masyarakat multikultural, sering kali kita melihat atau mendengar, suatu daerah mengunggulkan daerahnya, suatu kepercayaan atau agama menghina agama lainnya, atau suatu budaya terlalu menjunjung tinggi budaya mereka yang menyebabkan terjadinya konflik antar budaya, namun penyebab yang paling mendasari konflik pada masyarakat multikultural ialah keragaman budaya.

 

Hal ini sesuai dengan pernyataan Mohammadzadeh (2016) yang menyebutkan kasus-kasus atau konflik antar etnis paling banyak terjadi di negara ataupun kota-kota yang memiliki beragam budaya. Untuk menghindari konflik budaya, kita harus saling menerima keberagaman dan memahami keberagaman yang ada. Upaya untuk menerima dan memahami keberagaman yang ada serta menghindari kesalahpahaman yang melahirkan konflik kita harus memiliki sikap Universal Diverse Orientation atau UDO.

 

Miville, et al. (1999) mendefinisikan Universal Diverse Orientation (UDO) sebagai sikap terhadap orang lain yang inklusif sekaligus menganggap adanya keunikan pada setiap individu dengan cara menyadari dan menerima bahwa setiap individu memiliki kesamaan serta perbedaan, dimana pengalaman sebagai seorang individu menciptakan rasa keterhubungan antar satu sama lain sekaligus memberikan kesadaran bahwaterdapat keberagaman diantara manusia. Dari pengertian UDO tersebut dapat dilihat adanya hubungan antara komponen kognitif, perilaku serta afektif, dimana setiap individu memahami, bersikap, dan berperilaku terhadap lingkungan serta orang-orang dengan beragam budaya yang memiliki persamaan dan perbedaan.

 

Menurut Miville, et al. (1999) UDO memberi refleksi mengenai kesadaran dan penerimaan pada perbedaan maupun persamaan yang ada di dalam diri setiap individu. Apabila setiap individu dapat saling menyadari akan persamaan yang ada diantara mereka, hal ini dapat membuat seorang individu merasakan hubungan yang lebih dekat antar individu. Sedangkan dengan memahami serta menyadari bahwa adanya perbedaan diantara individu dapat membuat individu lebih menyadari kekhasan atau keunikan yang dimiliki. Terdapat beberapa faktor penting yang mempengaruhi individu dalam mengembangkan sikap UDO atau sikap untuk menerima perbedaan dan persamaan yang dimiliki, yaitu faktor demografisfaktor pengetahuan, lingkungan, interaksi, dan kepribadian (Thompson, Brossart, Carlozzi, & Miville, 2002; Straus & Connerley, 2003)

 

Salah satu faktor yang mempengaruhi UDO adalah faktor kepribadian. Orang-orang dengan kepribadian openness to experience memiliki level UDO yang tinggi (Thompson, Brossart, Carlozzi, & Miville, 2002). Orang-orang dengan kepribadian dan pemikiran yang terbuka lebih mudah untuk menerima perbedaan yang ada disekitarnya, yang terkait dengan mindfulnessBishop, et al. (2004) menyebutkan mindfulness adalah suatu orientasi yangdikarakteristikan dengan keingintahuan, openness dan penerimaan. Mindfulness memungkinkan seorang individu untuk secara terus menerus memunculkan kategori mental yang baru, senantiasa terbuka dengan informasi dan pengalaman baru, serta menyadari berbagai pandangan yang berbeda atau multiple perspective (Matsumoto & Juang, 2008).

 

Mindfulness terkait dengan regulasi emosi, menurut Yusainy, et al. (2018) mindfulness sebagai suatu regulasi emosi dikawal oleh atensi yang diberikan oleh individu terhadap pengalaman disertai acceptance terhadap pengalaman tersebut sebagai epidose hidup yang tidak perlu disikapi secara berlebihan, sehingga dapat menfasilitasi person-oriented function dengan cara mendekatkan afek menuju netral. Mindfulness juga dapat meningkatkan kontrol diri. Berdasarkan hasil penelitian Kabat-Zinnet al. (Afandi, 2012), menyebutkan melalui pendekatan mindfulness, pengontrolan diri dapat dilakukan dengan meningkatkan kemampuan dalam mengontrol perhatian terhadap berbagai tingkat kognitif, emosi, perilaku, tubuh, dan pengalaman interpersonal. Memiliki mindfulness menjadikan seseorang memiliki kemampuan dalam penyesuaian dengan kebutuhan, perasaan, nilai-nilai yang sesuai dengan situasi tertentu (Ciarrochiet al, 2010 dalam Afandi, 2012) termasuk dalam keberagaman.

 

Mindfulness juga mempengaruhi subjective well-being (Brown & Ryan, 2003)Hasil penelitian Putra & Primanita (2020) menemukan teknik mindfulness efektif untuk meningkatkan subjective well-being pada seseorang. Dimana mindfulness mampu meningkatkan pengalaman dengan afek positif dan menurunkan pengalaman dengan afek negatif dan kemampuan yang lebih baik dalam merespon peristiwa yang penuh tekanan (Putra & Primanita, 2020).

 

Sehingga dengan mindfulness seseorang akan mampu meregulasi emosinya, melakukan kontrol diri dan meningkatkan subjective well-being yang dapat membantu individu meningkatkan sikap Universal Diverse Orientation (UDO) untuk menerima persamaan dan perbedaan antar individu, kelompok, budaya dan keberagaman lainnya yang akhirnya membantu aku, kamu dan kita hidup bersama dalam keberagaman.

 

REFERENSI

 

Afandi, N. A. (2012). Pengaruh Pelatihan Mindfulnessterhadap Peningkatan Kontrol Diri Siswa Sma. Pamator, Vol. 5, No. 1, Hal. 19-28.

 

 

Bishop, S. R., Lau, M., Shapiro, S., Carlson, L., Anderson, N. D., Carmody, J., . . . Devins, G. (2004). Mindfulness: A Proposed Operational Definition. Clinical Psychology: Science And Practice, Apa, Doi:10.1093/Clipsy/Bph077.

 

Brown, K. W., & Ryan, R. M. (2003). Benefit Of Being Present: Mindfullness And Its Role In Psychological Well-Being. Journal Of Personality & Social Psychology, Vol. 84, No. 4, 822-848.

 

Langer, E. J., & Moldoveanu, M. (2000). The Construct Of Mindfullnes. Journal Of Social Issues, Vol. 56, No. 1, 1-9.

 

Matsumoto, D., & Juang, L. (2008). Culture And Psychology (Fourth Edition). Canada: Thomson Wadsworth.

 

Miville, M. L., Gelso, Pannu, Liu, Touradji, Holloway, & Fuertes. (1999). Appreciating Similarities And Valuing Differences: The Miville-Guzman Universality-Diversity Scale. Journal Of Counseling Psychology, 46, 291-307.

 

Mohammadzadeh, H. (2016). The Causes Of Ethnic Conflict In Multi-Ethnic Societies. Tehran, Iran: Payame Noor University.

 

Putra, Y. Y., & Primanita, R. Y. (2020). Teknik Mindfulness Untuk Peningkatansubjective Well-Being Pekerja Sosial Napza. Jurnal Suluah Komunitas, Vol. 1, No. 1, 32-38.

 

Straus, J. P., & Connerley, M. L. (2003). Demographics, Personality, Contact, And Universal-Diverse Orientation: An Exploratory Examination. Human Resource Managemen, 42, 159.

 

Suparlan, P. (2002). Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural. Jurnal Antropologi Indonesia, 98-105.

 

Thompson, R., Brossart, D. F., Carlozzi, A. F., & Miville, M. L. (2002). Five Factor Model ( Big Five) Personality Traits And Universal Diverse Orientation In Counselor Trainees. The Journal Of Psychology, 136, 561–572.

 

Yusainy, C., Nurwanti, R., Dharmawan, I. R., Andari, R., Mahmuda, M. U., Tiyas, R. R., . . . Anggono, C. O. (2018). Mindfulness Sebagai Strategi Regulasi Emosi. Jurnal Psikologi , Vol. 17 No. 2, 174-188.