ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 14 Juli 2021
Bahagia Di Tengah Ketidakpastian Ketika Pandemi Berdasarkan Pendekatan Psikologi Masyarakat Jawa
Oleh:
Yohan Kurniawan1 & Yudi Tri Harsono2
1Fakulti Pengajian Bahasa dan Pembangunan Insan, Universiti Malaysia Kelantan
2Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang
Pandemik Covid-19 yang terjadi sejak akhir 2019 masih berlangsung sehingga hari ini walaupun vaksin untuk Covid-19 telah pun ditemukan dan sudah disuntikkan kepada rakyat di Indonesia, akan tetapi tidak ada jaminan rakyat kebal terhadap virus Covid-19 dan lebih buruknya, virus ini memiliki berbagai variasi sehingga memiliki kekebalan terhadap vaksin yang ada saat ini. Situasi ini menyebabkan masyarakat menjadi tidak tenang, merasa tidak aman dan penuh dengan kekuatiran tertular virus Korona.
Perasaan kuatir ini menyebabkan seseorang menjadi stres dan tidak bahagia. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya gangguan Psikologi seperti Depresi, Obsessive Compulsive, trauma, dan sebagainya. Gangguan jiwa atau gangguan mental adalah sindrom yang dialami oleh seseorang yang berhubungan dengan suatu gejala penderitaan dan kelemahan atau keterbatasan dalam satu atau lebih fungsi penting manusia serta berkaitan dengna peningkatan resiko kematian, rasa nyeri, disability atau kehilangan kebebasan (Wicaksono, 2016). Menurut ICD-10 Clasification of Mental & Behavioural Disorder mengatakan bahwa disability adalah keterbatasan/kekurangan untuk melaksanakan suatu aktivitias pada tingkat personal seperti melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari, perawatan diri bagi kelangsungan hidup berupa mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar, dan buang air kecil (Wicaksono, 2016). Ciri-ciri konsep gangguan jiwa dalam diri seseorang adalah:
1. Terdapat gejala klinis berupa: gangguan pola perilaku dan gangguan pola Psikologik.
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” pada individu seperti rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi pada organ tubuh dan lain-lain.
3. Gejala klinis tersebut juga menyebabkan terjadi disability dalam aktivitias kehidupan seharian individu tersebut.
Konsep bahagia yang dimiliki oleh setiap manusia ini berbeda-beda, ada individu yang merasa bahagia kalau memiliki harta kekayaan berkelimpahan, ada juga individu yang merasa bahagia karena sehat walaupun hidup dalam kemiskinan, beberapa individu merasa bahagia karena mendapatkan pekerjaan seperti yang diidam-idamkan sejak lama, dan sebagainya. Konsep bahagia pada masyarakat barat dan timur adalah berbeda, dan salah satu konsep hidup yang cukup terkenal di Indonesia adalah budaya bahagia masyarakat Jawa. Budaya bahagia ini berhubungan dengan pandangan hidup atau sikap mental masyarakat Jawa (Endraswara, 2012). Pandangan hidup ini berhubungan dengan pola pikir masyarakat Jawa. Pola pikir merupakan pedoman hidup masyarakat dalam mengembangkan gagasan mereka (Endraswara, 2012). Pola pikir masyarakat Jawa ini dipengaruhi oleh unsur sentral budaya orang Jawa yaitu sikap rila, nrima, dan sabar (Endraswara, 2012). Sikap-sikap ini yang membentuk sikap bahagia pada masyarakat Jawa. Sikap rila atau disebut juga eklas yaitu sikap sedia untuk menyerahkan segala milik, kemampuan, dan hasil karya kepada Sang Pencipta (Tuhan). Sikap nrima yaitu sikap merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang harus dijalankan, tidak melawan dan selalu mengucapkan syukur kepada apa yang diperolehnya. Sikap sabar yaitu sikap tidak ada hasrat, tidak terburu-buru, tidak mudah marah. Ketiga sikap senral budaya orang Jawa ini membentuk satu sikap yaitu sikap pasrah. Ketika seorang Jawa telah memiliki sikap pasrah secara fisik dan mental maka kebahagiaan hidup dapat dirasakan oleh individu tersebut.
Perasaan bahagia yang dimiliki oleh orang Jawa berhubungan dengan sikap hidup mereka. Sikap hidup orang Jawa ini dapat dilihat dalam Serat Sasangka Jati yaitu dalam Hastasila atau delapan sikap dasar (Musman, 2018). Terdapat tiga hal yang mendasari sikap hidup orang Jawa yaitu eling (sadar), pracaya (percaya), dan mituhu (setia). Eling (sadar) adalah kesadaran untuk selalu berbakti kepada Tuhan Yang Mahatunggal sehingga mereka dapat bersifat hati-hati dalam bertindak, mengerti yang benar dan salah, dan sebagainya. Pracaya (percaya) adalah percaya kepada suksma sejati atau utusan-Nya yang disebut dengan Guru Sejati Mituhu (setia) adalah sikap selalu setia dalam melaksanakan segala perintah-Nya atau yang disampaikan melalui utusan-Nya.
Untuk mencapai kebahagiaan, masyarakat Jawa banyak melakukan “laku”. Laku adalah usaha atau upaya yang dijalankan seseorang untuk mencapai kebahagiaan (Musman, 2018). Salah satu laku yang sering dijalankan oleh masyarakat Jawa adalah puasa hati dan batin. Puasa hati dan batin ini bertujuan untuk mengontrol tingkah lakunya dan untuk memberi ketenangan hati sehingga dapat menimbulkan perasaan bahagia. Masyarakat Jawa memiliki berbagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan yaitu melalui sikap memayu hayuning bawana yaitu suatu persepsi dari masyarakat Jawa yang memandang dunia ini cantik dan indah sehingga perlu dijaga atau dipelihara (Musman, 2018), karena kecantikan dan keindahan ini membawa kebahagiaan kepada manusia. Untuk mempercantik dunia ini, menurut Pranoto (Musman, 2018) terdapat tiga hubungan dalam kehidupan yangperlu dijaga oleh manusia yaitu hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan Tuhan.
Hubungan antara manusia dengan manusia ini bertujuan untuk membentuk hubungan yang harmonis dalam masyarakat yang majemuk melalui sikap tenggang rasa serta menghormati perbedaan dan mencari kesamaan dalam perbedaan. Hubungan antara manusia dengan alam semesta yaitu hubungan ini akan menyebabkan manusia menyadari bahwa alam telah banyak memberikan kesejaheraan pada manusia. Melalui alam, manusia dapat belajar banyak sehingga wajib untuk menjaga dan memelihara alam. Sedangkan hubungan manusia dengan Tuhan dinyatakan dengan menyadari siapa diri kita di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa dan mengikuti aturan-aturan Tuhan. Terbentuknya hubungan antara manusia dengan ketiga unsur tersebut akan menyebabkan timbulnya perasaan bahagia dalam kehidupan manusia.
Selain ketiga unsur di atas, untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya, masyarakat Jawa tidak terlepas dengan kearifan lokal dan tradisi yang bersifat metafisika. Ketika terjadi pandemi covid-19 sejak awal 2020 masyarakat Jawa kembali kepada kearifan lokal yang telah lama dilaksanakan oleh generasi terdahulu bagi menangkal wabah penyakit seperti mengkonsumsi jamu dari bahan-bahan alamiah dan dikenali sebagai empon-empon, memasak sayur lodeh 7 warna (menggunakan 7 jenis sayuran), menyediakan air dalam perigi yang terbuat dari tanah liat untuk membasuh tangan dan kaki sebelum masuk ke dalam rumah. Meditasi juga banyak dilakukan oleh beberapa masyarakat Jawa sewaktu terjadi wabah Covid-19 terutamanya masyarakat Jawa yang mengikuti aliran Kejawen. Beberapa ritual juga dijalankan bagi menghalau pandemi wabah Covid-19 ini.
Perbuatan dan perilaku yang dilakukan oleh masyarakat Jawa tersebut bertujuan untuk memberikan “perasaan tenang” kepada masyarakat Jawa. Apabila mereka merasa tenang maka mereka dapat merasa “bahagia” sewaktu pandemi Covid-19. Perpaduan antara sifat masyarakat Jawa yaitu sikap rila, nrima, dan sabar serta budaya dan adat Jawa dengan aturan-aturan medis seperti penggunaan masker pelindung, hand sanitizer, dan menjaga jarak 1-2 meter ketika berada di tempat umum menyebabkan masyarakat Jawa merasa lebih aman dan dapat hidup bahagian di tengah wabah Covid-19.
Referensi:
Endaswara, S. (2012). Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.
Musman, A. (2018). Bahagia Ala Oang Jawa. Yogyakarta: Pustaka Jawi.
Wicaksono, Y. I. (2016). Gejala Gangguan Jiwa dan Pemeriksaan Psikiatri Dalam Praktek Klinis. Malang: Media Nusa Creative.