ISSN 2477-1686

Vol. 7 No. 13 Juli 2021

Mengenal Unfinised Business dalam Perspektif Psikologi

 

Oleh 

Ni Made Rai Kistyanti

Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila

 

Unfinished business merupakan sebuah istilah yang sudah cukup dikenal dalam dunia psikologi. Secara sederhana, unfinished business merupakan memori atau emosi yang berhubungan dengan pengalaman di masa lalu. Emosi dan pengalaman tersebut tidak berhasil diekspresikan karena dirasa terlalu menyakitkan. Secara sekilas, mungkin unfinished business terasa sepele untuk sebagian orang, atau mungkin selama kehidupan masih dapat berjalan, unfinished business tersebut secara disadari atau tidak disadari ditekan sehingga tidak lagi dianggap keberadaannya oleh individu tersebut (Viscott, 1996).

 

Lalu, bagaimana dengan seorang wanita yang di saat ini merasa sulit untuk menjalin hubungan romantisdengan seorang pria? Padahal pria tersebut memiliki segala kualitas baik yang menjadi standar untuk laki-laki idaman bagi wanita tersebut. Ada apa di balik keengganan wanita ini untuk percaya, padahal secara rasional,wanita ini memiliki segala alasan untuk mempercayain pria tersebut? Setelah ditelaah lebih lanjut, sang wanita ternyata memiliki pengalaman diselingkuhi oleh pasangannya di masa lalu. Kejadian tersebut amat menyakitkan, namun saat kejadian menyakitkan terjadi, sang wanita ingin terlihat tegar karena tidak ingin membuat khawatir keluarga dan teman-teman di sekitarnya.

 

Kasus di atas merupakan salah satu contoh dari fenomena unfinished business yang ditandai dengan adanya perasaan yang bersifat menetap, perasaan yang berhubungan dengan sosok yang dekat atau pernah dekat, perasaan yang belum berhasil diutarakan dan bersifat problematis atau merugikan individu saat ini. Unfinished business sangat penting untuk diatasi karena ketika unfinished business masih belum diselesaikan, energi individu akan terkunci di masa lalu. Individu terjebak dalam suatu pola di mana dirinya masih menggunakan pengalaman masa lalu sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan, padahal terkadang pengalaman tersebut sudah tidak bersifat relevan (Elliott et al., 2005). Hal ini yang kemudian menyebabkan individu sulit untuk menikmati hidupnya saat ini dengan penuh. Unfinished business yang dimilikinya dapat kembali muncul dalam berbagai bentuk emosi seperi dendam, kebencian, cemas, sedih, ataupun rasa bersalah yang mendalam (Safaria, 2005).

 

Unfinished business dapat diakibatkan oleh berbagai penyebab, baik itu sosok dekat yang tiba-tiba meninggal dunia (O’Leary & Nieuwstraten, 1999) hingga pasangan yang memutuskan hubungan tanpa memberikan penjelasan yang cukup. Secara lebih jelas, beberapa contoh situasi yang dapat menyebabkan unfinished business adalah sebagai berikut:

 

a.  Kedukaan: Sosok dekat yang meninggal dunia sangat sering ditemukan menjadi latar belakang dimilikinya unfinished business pada seseorang. Individu tidak mendapatkan kesempatan untuk ‘berpisah’ atau mempersiapkan diri mengahadapi perpisahan tersebut.

 

b.  Hubungan romantis: Menghadapi putus hubungan dengan pasangan adalah hal yang tidak mudah.Hal ini akan menjadi semakin tidak menguntungkan ketika figur yang meninggalkan tidak memberikan penjelasan mengenai alasan dari perpisahan yang terjadi. Individu menjadi bertanya-tanya akan alasan di balik perpisahan dan tidak berhasil mendapatkan pemahaman akan perpisahan tersebut.

 

c.  Traumatic EventTerdapat situasi ketika individu mengalami situasi tidak menyenangkan yang bersifatintense, seperti menjadi korban bully ataupun korban pemerkosaan. Saat kejadian traumatis tersebut terjadi, individu mungkin belum mampu benar-benar memproses emosi yang dialami atau setelah kejadian berlangsung individu secara sadar ataupun tidak sadar menekan kejadian tersebut karena terlalu menyakitkan untuk diingat kembali. Hal semacam ini sering terjadi dan menjadi unfinished business pada seseorang.

 

d.  Keluarga atau sosok dekat lainnya: Pola asuh dan interaksi sosial yang bersifat tidak menyenangkan ataupun menyakitkan dapat menjadi unfinished business pada seseorang. Individu belum mampu menyuarakan isi hatinya akan situasi tersebut, terbentur dengan norma bahwa dirinya harus patuh pada orang tuanya, atau mungkin individu sudah pernah mencoba menyuarakan isi hati, namun justru menyebabkan semakin buruknya situasi yang dialami. Beberapa contoh peristiwa ini ketika tidak berhasil diolah oleh individu dapat menyebabkan unfinished business.

 

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa unfinished business dalam diri seseorang dapatmerugikan untuk dirinya di masa ini atau terhadap bagaimana dirinya melihat masa depan. Kunci utama dari penyelesaian unfinished business adalah dengan benar-benar memahami dan menghadapi perasaan yang sebelumnya belum sempat diutarakan (Rizal et al., 2020). Tidak mudah memang untuk benar-benar mengakses dan mengakui emosi yang menjadi sumber unfinished business tersebut. Ketakutan dalam mengakses emosi ataupun memori yang tidak menyenangkan sangat wajar untuk dialami oleh seseorang. Namun, sebagaimana yang dinyatakan oleh James Van Praagh (2009) dalam bukunya yang berjudul ‘Unfinished Business: What the Dead Can Teach Us About Life’ bahwa ‘Rasa takut dapat menahan kita di tempat yang sama dan merupakan alasan kita hidup terlalu banyak di masa lalu.’ Jadi, ketika kita ingin menyelesaikan unfinished business, kita harus memiliki keberanian untuk mengenal lebih dekat pengalamanataupun emosi yang dialami di masa lalu serta menemukan pelajaran tersembunyi yang ada di dalamnya.

 

Saat kita mampu melalui sebuah situasi dan memahami pelajaran yang ada di balik situasi tersebut, kita menjadi lebih mudah untuk hidup secara penuh dan bermakna, paham akan apa yang bisa diharapkan dimasa depan, dan yang tidak kalah penting, kita akan mampu untuk memberi insight bagi orang lain mengenai bagaimana sebaiknya mengatasi situasi yang serupa (Lampropoulos & Nicholas, 2001; Praagh, 2009). Oleh karena itu, mulailah dengan keberanian dan kenali emosi yang menjadi sumber unfinished business tersebut sedikit demi sedikit.

 

 

Referensi:

 

Elliott, R., Watson, J. C., Goldman, R. N., & Greenberg, L. S. (2005). Empty chair work for unfinished interpersonal issues. Learning Emotion-Focused Therapy: The Process-Experiential Approach to Change.January, 243–265. https://doi.org/10.1037/10725-012

 

Lampropoulos, G. K., & Nicholas, D. R. (2001). An expressive-cognitive approach to the resolution of unfinished business. Journal of Mental Health Counseling23(4), 328– 341.

 

O’Leary, E., & Nieuwstraten, I. M. (1999). Unfinished business in gestalt reminiscence therapy: A discourse analytic study. Counselling Psychology Quarterly12(4), 395– 411. https://doi.org/10.1080/09515079908254108

 

Praagh, J. Van. (2009). Unfinished Business: What the Dead Can Teach Us About Life.

Harper Collins E-Books.

 

Rizal, S., Danim, S., Hadiwinarto, Darmayana, I. W., Fadila, Apriani, E., & Jurianto. (2020). Gestalt Counseling in Overcoming Unfinished Business. International Conference on Teaching of English and Literature1(1), 370–385.

 

Safaria,Triantoro. 2005. Terapi dan Konseling Gestalt. Yogyakarta: Graha Ilmu.

 

Viscott, D. (1996). Emotional Resilience: Simple Truths for Dealing with Unfinished Business of Your Past. Crown Trade Paperbacks.