ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 12 Juni 2021
Kesejahteraan Psikologis Santri Penghafal
Al-Qu’ran Serta Adab-Adab Dalam Mempelajarinya
Oleh:
Nurzayyana Qamara
Program Studi Magister Psikologi Sains, Universitas Sumatera Utara
Kesejahteraan Psikologis merupakan suatu kondisi dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup serta mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu (Ryff, 1989). Pada setiap tahap perkembangan manusia biasanya disertai dengan berbagai macam tuntutan psikologis yang harus dipenuhi. Demikian pula pada santri penghafal Al-Qur’an yang masih berada di tahap perkembangan remaja, memiliki beberapa tuntutan yaitu dapat menerima kondisi fisik yang dimiliki dan mampu memanfaatkan kondisinya dengan efektif, mendapatkan kebebasan emosional dari orangtua, dapat bergaul secara matang dengan lingkungan masyarakat, dapat mengetahui dan menerima kemampuan diri, dan lain sebagainya. Untuk dapat mewujudkan psikologis yang baik, tentunya faktor-faktor yang mempengaruhi harus terus sangat diperhatikan. Namun ada beberapa kendala yang sering terjadi ketika menghafal Al-Qur’an yaitu adanya rasa jenuh dalam menghafal Al-Qur’an, rendahnya motivasi, gangguan asmara dan sukar menghafal.
Masalah-masalah santri penghafal Al-Qur’an sebenarnya begitu kompleks. Bagi santri yang mampu menghadapi tuntutan dengan baik, maka akan mengarah pada kondisi psikologis yang positif dan mampu terbentuk kesejahteraan psikologis yang baik dalam diri individu. Individu dengan kondisi yang sejahtera berarti individu tersebut mampu menjalani fungsi-fungsi psikologis dalam dirinya. Ryff (1995) menyatakan, seseorang yang jiwanya sejahtera apabila ia tidak sekedar bebas dari tekanan atau masalah mental yang lain. Lebih dari itu, ia juga memiliki penilaian positif terhadap dirinya dan mampu bertindak secara otonomi serta tidak mudah hanyut oleh pengaruh lingkungan. Menurut Schultz, kesejahteraan psikologis adalah sebuah fungsi positif individu yang merupakan tujuan yang diupayakan pencapaiannya oleh individu yang sehat. Lain halnya dengan Hurlock yang mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai sebuah kebutuhan untuk terpenuhinya tiga kebahagiaan, yaitu penerimaan, kasih sayang dan juga pencapaian (Snyder dan Lopez, 2002).
Untuk mencapai kesejahteraan psikologis yang baik bagi santri penghafal Al-Qur’an, hendaklah ia memenuhi adab-adab orang yang mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab At-Tibyanu fi Adabi Hamalatil Qur’ani karangan Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa di antara adab-adab seorang pelajar ialah menjauhi semua faktor yang menyebabkan lalai dari belajar, kecuali bila dibutuhkan. Hendaknya ia menyucikan hati dari segala kotoran, agar layak menerima Al-Qur’an, menghafalnya, dan memetik buahnya. Hendaklah ia rendah hati dan juga bersikap sopan terhadap gurunya, walaupun sang guru lebih muda umurnya, tidak setenar dirinya, tidak semulia nasab dan keshalihannya, serta lainnya (An-Nawawi, 2014).
Fenomena yang terjadi saat ini ialah banyak orang yang berlomba-lomba menghafalkan Al-Qur’an namun melalaikan adab-adab yang harus dimiliki oleh para penghafal Al-Qur’an. Jika adab-adab tersebut terealisasikan dengan baik, maka insyaallah akan tercipta pula kesejahteraan psikologis yang baik. Adab selanjutnnya, hendaknya ia mematuhi guru, berkonsultasi dengannya di setiap permasalahannya, menerima perkataannya sebagaimana pasien cerdas mematuhi saran dokter ahli yang tulus memberi nasihat, dan itu lebih utama.
Berguru Kepada Guru yang Kompeten
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib r.a ia berkata: “Hak seorang guru atasmu adalah kamu mengucapkan salam kepada orang-orang secara umum dan menghaturkan salam khusus untuknya serta duduk di hadapannya. Ketika sedang berada di sisinya janganlah sekali-kali menunjuk-nujuk dengan tangan, mengedip-ngedipkan mata, mengatakan padanya bahwa si fulan mengatakan sesuatu yang berbalikan dengan yang ia katakan, menggunjing seseorang di sisinya, berbisik-bisik di majelisnya, menarik-narik bajunya, mendesaknya ketika ia tidak bersemangat dan jangan pula bosan karena lamanya waktu belajar. Hendaknya ia mempraktikkan adab yang disarankan oleh Ali bin Abi Thalib r.a ini, menanyakan perihal ketidakhadiran gurunya jika memungkinkan, jika tidak hendaknya ia menanyakan hal itu saat di luar majelis.
Berpenampilan Sopan
Hendaknya ia mendatangi gurunya dengan keadaan yang sempurna, rapi, suci telah bersiwak, hatinya sedang tidak disibukkan dengan hal lain, dan tidak masuk sebelum meminta izin jika gurunya berada di tempat yang memerlukan izin sebelum memasukinya. Jika memasuki majelis hendaknya mengucapkan salam kepada orang-orang yang hadir, dan menghaturkan salam khusus padanya; begitu pula ketika hendak beranjak pulang. Janganlah ia melangkahi kumpulan orang-orang akan tetapi hendaknya ia menduduki tempat yang tersisa dari majelis tersebut, kecuali jika sang guru mengizinkannya untuk maju atau orang-orang di sekitarnya mempersilakannya.
Bersikap Sopan dan Bergabung dengan Hadirin
Hendaknya ia juga bersikap baik dan sopan pada hadirin yang menghadiri majelis sang guru karena hal itu merupakan adab terhadap guru dan demi menjaga majelisnya. Duduk di hadapan sang guru sebagai murid dengan tidak meninggikan suara, tertawa, atau banyak bicara jika tidak perlu. Tidak memain-mainkan tangan atau anggota badan lain maupun menoleh ke kanan dan ke kiri tanpa ada keperluan. Tetapi hendaknya ia memperhatikan sang guru dan mendengarkan perkataannya dengan saksama.
Belajar Tatkala Suasana Hati Guru Tenang
Termasuk yang sangat perlu diperhatikan adalah hendaknya ia tidak menyetorkan bacaannya pada sang guru tatkala kondisi hati sang guru sedang gusar, bosan, murka, sedih, gembira, lapar, haus, ngantuk, gelisah, dan sebagainya yang menyusahkan dan menyebabkannya tidak bisa berkonsentrasi dan bersemangat. Hendaknya ia mengambil kesempatan pada waktu-waktu sang guru sedang bersemangat. Di antara adabnya: hendaknya ia bersabar menghadapi sikap keras sang guru dan keburukan perilakunya. Janganlah hal tersebut menghalanginya untuk terus belajar padanya dan meyakini keahliannya, ataupun menafsirkan perkataan dan perbuatannya yang tidak benar sebagai sesuatu yang benar. Tidaklah itu terjadi kecuali karena kurangnya atau malah tidak mendapat taufik sama sekali. Jika sang guru bersikap keras padanya, hendaknya ia mendekati dan menegur sang guru serta mengakui kesalahan-kesalahannya bahwasanya celaan itu memang ada pada dirinya. Hal itu lebih bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat serta lebih menjaga perasaan guru terhadapnya.
Bersemangat Tinggi
Termasuk adab yang ditekankan: hendaknya ia gigih dalam belajar, gigih di setiap waktu selagi memungkinkan, tidak puas dengan yang sedikit jika masih mungkin untuk memperoleh lebih banyak tidak mengerjakan sesuatu yang memberatkan diri yang dikhawatirkan akan menyebabkan kebosanan serta melenyapkan yang telah ia peroleh Dalam hal ini masing-masing orang berbeda sesuai situasi dan kondisi. Jika ia telah hadir di majelis namun tidak mendapati sang guru hendaknya ia mengerjakan tugas yang diberikan; menunggunya, tidak meninggalkan majelis, dan tidak mengganggu kesibukan sang guru Kecuali jika ia tahu bahwa gurunya tidak suka bila ia menunggunya karena sang guru tidak mengajar kecuali pada waktu tersebut. Jika ia mendapati sang guru tengah tidur atau sibuk dengan sesuatu yang penting; hendaklah ia tidak bersikeras meminta izin untuk tidak mengikuti majelis. Akan tetapi hendaklah ia bersabar hingga sang guru terjaga, telah selesai urusannya, atau sebaiknya ia pulang. Sabar lebih utama sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Abbas dan yang lainnya.
Waktu Belajar: Belajar di Waktu Pagi Lebih Baik
Hendaknya ia mempelajari qiraah (bacaan) dari sang guru di pagi hari sebagaimana hadits Nabi SAW:
اللهم بارك لأمتي في بكورها
“Ya Allah, berkatilah umatku pada pagi harinya.” (HR. Abu Daud)
Hendaknya ia konsisten mengulang hafalannya dan tidak mendahulukan orang lain ketika tiba gilirannya karena mendahulakan orang lain (itsar) dalam ibadah hukumnya makruh, berbeda dengan itsar dalam hal terkait kepentingan pribadi yang merupakan sikap yang dianjurkan. Jika menurut pertimbangan guru terdapat maslahat dalam itsar di beberapa kondisi dengan tujuan syar'i hendaknya ia menyarankan hal itu dan murid mematuhinya. Menjalankan tugas dan kewajlbannya, memastikan terlaksananya wasiat, tidak merasa dengki pada temannya terkait kelebihan yang hanya dikaruniakan Allah pada temannya tersebut, dan hendaknya ia tidak berbangga diri karena apa yang telah diperolehnya.
Referensi:
An-Nawawi, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf, Imam. (2014). At-Tibyan: Adab Penghafal Al-Qur’an. Solo: Al-Qowam.
Ryff, C. D. (1989). Happiness is Everything, or is it? Exploration on the meaning of psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081.
Synder, C.R & Lopez, S.J. (2002). Handbook of Positive Psychology. NewYork : Oxford University Press.