ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 12 Juni 2021
Meghan Markle:
Narasi Tentang Keluarga, Perempuan, Dan Rasisme
Oleh
Made Diah Lestari
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
School of Psychology, College of Humanities and Social Sciences
Massey University, New Zealand
Beberapa waktu belakangan ini, publik dikejutkan dengan wawancara Meghan Markle dan Pangeran Harry dengan Oprah Winfrey. Saat wawancara tersebut, segala sesuatu yang selama ini berada di balik pintu kerajaan, yang bagi publik terlihat sebagai sebuah ‘fairy tale’, seketika menampilkan sisi lainnya. Sebetulnya ini bukan kali pertama Kerajaan Inggris membuka diri mereka. Terdapat sejumlah serial di Netflix yang mengangkat cerita mereka atau menjadikan kerajaan sebagai latar dari sebuah cerita. Dan Meghan serta Harry pun melakukan hal yang sama, membagi kisah mereka ke publik lewat setidaknya 4 episode (sesuai penelusuran penulis pada saluran TV on demand); Becoming royal, An African journey, A royal crisis, dan A price of freedom. Seolah-olah seperti sudah dirancang dan diperkirakan sebelumnya bahwa judul episode dari yang pertama hingga yang terakhir mengindikasi kualitas hubungan yang menurun antara Meghan dan Harry dengan Kerajaan Inggris.
Apakah ini riil? Atau memang betul bahwa dunia kita memang panggung sandiwara dengan porsi ‘drama’ yang semakin besar dari waktu ke waktu. Rupayanya hidup dalam ‘drama’ sudah menjadi keseharian kita semua, dan kita sedikit terhibur dengan kondisi ini. Karenanya, narasi-narasi yang Meghan sampaikan dalam wawancaranya, bukanlah sesuatu yang baru dan eksklusif milik Meghan. Dalam konteks keluarga, setidaknya apa yang Meghan sampaikan adalah potret banyak perempuan di dunia ini. Jika boleh jujur, pertanyaan Oprah terkait ‘was silent or silenced’ menjadi tidak relevan, karena sebagian perempuan tidak memiliki pilihan selain keep silent. Jadi Meghan, rasa sakit anda sebetulnya belum seberapa.
Cerita kita tentang hidup sejatinya mengisyarakatkan tentang identitas kita. Mengandung potret tentang siapa kita, siapa orang-orang di sekeliling kita berikut karakternya, dan citra apa yang ingin kita bangun tentang diri kita kepada audien (Bamberg, 2005). Karena ketika kita berbicara tentang orang lain, secara bersamaan kita sebetulnya memperlihatkan kepada dunia siapa kita berikut karakter yang kita miliki (Lestari, dkk., in press). Penjelasan ini sebetulnya sejalan dengan pepatah yang ada di keseharian kita bahwa ‘saat satu jari tertuju pada orang lain, empat jari yang lain tertuju pada diri kita’
Saat bercerita, kita mengacu kepada beragam pilihan narasi publik yang ada. Narasi publik adalah narasi yang dipahami bersama dan dibagikan oleh orang-orang yang ada dalam satu lingkaran tertentu seperti keluarga, organisasi, dan budaya tertentu untuk menjelaskan suatu peristiwa dan membangun cerita personal (Somers, 1994). Dalam kasus Meghan, Meghan menggunakan setidaknya narasi tentang keluarga, perempuan, dan rasisme. Dari awal wawancara, Meghan berbagi tentang bagaimana pengalaman dan relasi sosialnya dengan anggota kerajaan yang lain, tentang persaudaraan, tentang privileges yang dimiliki anggota keluarga tertentu, dan tentang ketidakadilan dalam konteks keluarga. Sederhananya, Meghan mempertanyakan narasi publik yang berkembang selama ini tentang fungsi keluarga. Dan dalam rangka itu, Meghan menempatkan ceritanya dalam persimpangan antara narasi keluarga, posisi perempuan yang termarginalisasi, dan menjadi semakin termarjinalisasi karena ras nya.
Narasi publik berisikan sejumlah subject positions dan dimensi moral yang menjadi standar bagi kita untuk menilai perilaku orang lain (Breheny & Stephens, 2011). Meghan memposisikan sedemikian rupa karakter-karakter yang ada ceritanya, bukan tanpa bertujuan. Cerita selalu bertujuan, yakni menampilkan virtuous identity kita. Tidak jarang, kita menempatkan orang lain sebagai troubled person dan diri kita sebagai korban, untuk menggapai virtuous identity tersebut (Lestari, dkk., in press). Hal inilah yang dilakukan Meghan saat dia bercerita tentang Kate Middleton. Ploting cerita seperti ini sebenarnya sering kita jumpai dalam relasi antar ipar, mertua – menantu, atau sesama perempuan. Kembali lagi bukan sesuai yang sifatnya eksklusif. Lucunya di saat feminisme meneriakkan kesetaraan bagi perempuan, di satu sisi perempuan lah yang justru menjadi monster bagi perempuan lainnya. Tanpa bermaksud menilai siapa yang salah, sekali lagi cerita selalu bertujuan.
Saat ada hal yang tidak sesuai dengan narasi publik, kita menerapkan diri kita dalam posisi trouble, dan dalam rangka memperbaiki identitas kita, kita menegosiasikan beragam narasi alternatif untuk membuat citra kita pulih. Mempertanyakan fungsi keluarga dan menceritakannya di ruang publik adalah hal yang taboo untuk disampaikan oleh perempuan, setidaknya pada budaya tertentu yang menganggap perempuan adalah sumber harmoni dalam keluarga. Dan hal ini pun sepertinya berlaku untuk setiap anggota kerajaan. Meghan menegosiasikan tiga narasi publik tersebut ke dalam ceritanya untuk membangun citra bahwa bercerita di ruang publik bukanlah sesuatu yang buruk dan justru membuat banyak dari kita merasa terhubung dengan ceritanya. Terlepas dari siapa mendukung siapa. Kerajaan Inggris atau Meghan? Atau Tim Bulutangkis Indonesia?
Referensi:
Bamberg, M. (2005). Narrative discourse and identities. In J. C. Meister (Ed.), Narratology beyond literary criticism: Mediality and disciplinarity (Narratologia) (Vol. 6, pp. 213–238). Walter de Gruyter.
Breheny, M., & Stephens, C. (2011). The bonds and burdens of family life: Using narrative analysis to understand difficult relationships. Narrative Works: Issues, Investigations, & Interventions, 1(2), 34–51.
Lestari, M.D., Stephens, C., Morison, T. (in press). Trouble and repair in caregivers' identity.
Somers, M. R. (1994). The narrative constitution of identity: A relational and network approach. Theory and Society, 23(5), 605–649. JSTOR.