ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 11 Juni 2021
Apakah Kamu Seorang Impostor dari Kacamata Rational Emotive Behavior Therapy?
Oleh
Sharli Fitria Aa Sriron, Raudetuzzahra Salma Madani, Warda Andriyani, dan Laila Meiliyandrie Indah Wardani
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana
Antara Impostor dan Crewmate
“Siapa yang bunuh?”
“Itu yang warna biru, aku tadi melihatnya di cafetaria”
“Wah, ayo kita report!”
Ayo ngaku, siapa disini yang senang sekali bermain salah satu game online ini? Yap Among Us. Pasti pada kenal dengan salah satu game yang naik daun dipertengahan tahun 2020 ini. Yang dimana set lokasi dari game ini sendiri di luar angkasa. Wow. Game yang sangat populer dari semua kalangan, tidak hanya anak-anak namun ikut meracuni para orang tua juga. Memang tidak dapat dipungkiri, bermain game bersama teman-teman dapat menjadi pilihan destinasi yang tepat untuk menghilangkan kejenuhan di tengah situasi pandemi yang masih bertahan hingga saat ini. Tidak hanya itu bermain game membuat hari-hari kita menjadi sedikit lebih berwarna dan menjadi sebuah hiburan tersendiri. Bak sebuah film, dimana ada pemeran protagonis disanalah ada antagonis. Begitu pun didalam permainan ini, ada yang dinamakan crewmate yang merupakan sebuah karakter protagonis untuk menjalankan sebuah misi di luar angakasa agar bisa memenangkan babak permainan. Namun tidak semudah yang kita bayangkan, karena pasti ada tantangan untuk para crewmate yaitu impostor. Sang impostor akan menjalankan perannya sebagai antagonis. Bersikap layaknya crewmate namun diam-diam melakukan kejahatan dengan menggunakan kekuatannya untuk menghalangi para crewmate dengan cara membunuh atau melakukan sabotase. Itulah karakter antagonis yang diperankan impostor. Dua karakter ini memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menjaga pesawat yang mereka tumpangi namun diantara mereka harus bersaing siapakah yang akan mendapatkan pesawat tersebut.
Crewmate dan impostor tidak hanya ada didalam permainan game Among Us. Percaya? Pernah kah kita merasa saat mengalami kekalahan namun kita tidak dapat menerimanya. Kita pasti akan selalu mencari-cari alasan dan kekurangan dari seseorang. Kita tidak sudi melihat keberhasilan yang diraih oleh seseorang. Hal ini dinamakan dengan Fenomena Impostor atau Impostor Phenomenon. Apa itu Fenomena Impostor? Fenomena ini merupakan sebuah fenomena yang bisa dikatakan sebagai sebuah fenomena yang tidak tabu lagi bagi kita dimana seseorang merasa bahwa dirinya telah menipu orang lain, dia bukanlah seperti sosok yang sebenarnya atau palsu, bahkan dia selalu merasa kurang memiliki kemampuan atau kepandaian atas dirinya. Menganggap bahwa kesuksesan yang dia raih merupakan sebuah faktor yang berasal dari luar kemampuan dirinya seperti faktor keberuntungan, kesalahan saat proses penilaian, penampilan yang mendukung dan peran dari orang lain (Wulandari dan Tjundjing, 2007).
Makna dibalik Game Among Us
Fenomena Impostor dapat kita saksikan dari ramainya orang yang bermain game Among Us. Hal ini pun menunjukan bahwa betapa menyenangkan sekali ketika kita dapat menuduh orang lain yang tidak bersalah. Setelah lempar batu malah sembunyi tangan. Itulah si impostor.
“Sumpah, tadi sibiru ada di cafeteria dekat mayat! Hati-hati ya sama dia.” Wah siapa nih yang suka kaya gini kalau ketahuan impostor? Padahal the real impostor adalah dia. Namun dia menuduh temannya sendiri sebagai pembunuh. Pikiran ini pasti pernah dialami oleh setiap manusia. Albert Ellis mengatakan bahwa sebuah pikiran berperan untuk merugikan orang lain disebut dengan pikiran irrasional. Irrasional berarti segala sesuatu konsekuensi dari pikiran, emosi atau perilaku yang merusak diri sendiri bahkan mengahancurkan diri sendiri yang secara signifikan sehingga mengganggu keberlangsungan hidup dan kebahagiaanya sendiri (Hirmaningsih dan Minauli, 2015). Jadi hasil penilaian yang dipercaya oleh individu menjadi sebuah pikiran lalu menimbulkan suatu masalah disebut dengan irrational belief. Sesuatu yang merugikan tentulah tidak baik.
Pikiran-pikiran yang tidak dapat dibuktikan, tidak masuk akal atau logis dan lebih menekankan kepada emosi yang terganggu disebut juga dengan berpikir irasional (Turner, 2016). Seperti apa sih berfikir irasional itu?
1. Demands. Cara berpikir irasional ini berupa sebuah tuntutan atau ekspektasi kita yang tidak realistis bahkan bisa dikatakan absolut terhadap suatu kejadian. Jika kita sering mendengar seseorang mengucapkan “Itu jelek, sebaiknya pakai ini” atau “Pilihan aku lebih baik dari kamu” ini merupakan salah satu contoh dari berpikir irasional.
2. Awfulizing. Pernah merasakan sakit hati karena seseorang melebih-lebihkan suatu kejadian dari yang sebenarnya terjadi? Ini juga merupakan salah satu ciri dari berpikir yang irasional. Berpikir irasional ini dengan melebih-lebihkan suatu hal yang berdampak negatif dari suatu situasi sehingga menimbulkan kejadian yang membuat seseorang perang batin atau menyakitkan.
3. Low frustration tolerance. Pikiran irasional dari low frustastion tolerance ini sangat tidak toleran terhadap suatu kondisi yang tidak ada kenyamanan. Sehingga kenyamanan merupakan suatu kondisi yang wajib baginya. Hal ini disebabkan apabila seseorang tidak mendapatkan apa yang diinginkan maka ia pun akan mengambil kesimpulan bahwa kejadian tersebut sangat berat bagi dirinya dan tidak bisa untuk ditoleransi lagi.
4. Global evaluation of human worth. Berpikir irasional yang terakhir adalah suatu penilaian yang diberikan bukan kepada orang lain melainkan terhadap dirinya sendiri dengan membuat suatu atrribut pada dirinya bahwa ia telah gagal sehingga ia membenci dirinya sendiri.
Impostor Menurut Rational Emotive Behavior Theraphy (REBT)
Pernah mendengar pepatah yang berbunyi, “Habis manis, sepah dibuang?” Kita berperilaku baik dan ramah di awal, namun seiring berjalannya waktu kita meninggalkan orang yang telah percaya dengan kita karena suatu alasan bahwa kita sudah tidak membutuhkan orang tersebut. Inilah makna tersirat dari permainan game ini jika dikaitkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Simak yuk ciri-ciri impostor dibawah ini.
1. Pembohong. Seperti yang kita tau, seorang pembohong yaitu suka menipu, selalu berpura-pura dan suka menuduh orang yang tidak bersalah. Perasaan seseorang ketika berbohong adalah tertekan, merasakan stress dan juga terancam. Hal ini akan ditunjukkan melalui bentuk respon secara fisiologis. Untuk mendeteksi kebohongan orang lain, pada zaman dahulu menggunakan kekerasan dan paksaan, tetapi menurut penegak hukum hal seperti itu tidak mendapatkan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan (Gunadi dan Harjoko, 2012). Alat untuk pendeteksi kebohongan yang ramah saat ini sudah banyak berkembang seperti deteksi dari bentuk tulisan tangan, isi content tulisan tangan, analisis suara dan gestur.
2. Munafik atau bermuka dua. Didalam agama islam, ada 3 syarat seseorang dapat dikatakan sebagai munafik, yaitu omongan yang dusta, tidak pernah tepat janji dan berkhianat. Apabila berada dalam situasi yang mendekam ia selalu diliputi dengan perasaan takut, dan selalu menyodorkan banyak alasan agar menjauhi situasi mendekam.
3. Licik. Makna dari licik disini yaitu orang-orang yang suka mengelabui dan diam-diam mempunyai rencana yang jahat.
4. Toxic People. Ciri-ciri dari impostor ini ia berperilaku Perfectionist, senang sekali memuji orang lain namun sangat berlebihan, merusak semangat dan mental, tidak mau untuk take and give dan meragukan kemampuan diri sendiri.
Begitu banyak sekali ciri-ciri dari impostor ini. Kepribadian seperti ini sangatlah tidak sehat menurut Albert Ellis dalam teori Rational Emotive Behavior Theraphy (REBT). Maka dibutuhkan untuk seseorang yang mengalami hal ini untuk melakukan terapi dari Albert Ellis ini yang mana bertujuan untuk mengubah pikiran irrasional menjadi rasional. Berpikir secara irrasional sudah menjadi sebuah adaptasi dan menjadi kebiasaan jika terus dilakukan didalam kehidupan sehari-hari.
Manusia diciptakan tuhan dan dilahirkan ke dunia ini dengan potensi-potensi yang luar biasa. Melalui REBT ini, ada 2 potensi yang dapat kita kenal yaitu potensi-potensi untuk berpikir rasional dan potensi-potensi untuk berpikir irasional. Manusia merupakan makhluk yang rasional namun sumber dari ketidakbahagiaanlah yang menyebabkan kita untuk berpikir irasionalitas merupakan ungkapan dari kakek terapi psikologi kognitif, Albert Ellis. Salah satu sumber dari ketidakbahagiaan adalah selalu menyalahkan segala sesuatu yang terjadi sehingga terjadilah gangguan emosional. Marilah kita belajar untuk lebih bersyukur dan menerima apapun dengan ikhlas atas apa yang tuhan telah anugerahkan kepada kita. Kita dianugerahi kemampuan untuk mampu melatih diri sendiri sehingga mampu untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang merusak diri sendiri. Mulailah untuk meningkatkan kesadaran diri, mengindari perilaku berbohong, bertindak seperti orang yang munafik bahkan hindarilah segala sesuatu hubungan dengan toxic people yang pastinya sangat merugikan diri sendiri dan membawa dampak buruk bagi lingkungan sekitar.
“Let's clear the life of a parasite that does not bring the same benefits at all.”
Referensi:
Gunadi, I. G. A., & Harjoko, A. (2012). Telaah Metode-metode Pendeteksi Kebohongan. IJCCS (Indonesian Journal of Computing and Cybernetics Systems, 6(2), 35-46. https://doi.org/10.22146/ijccs.2150
Hirmaningsih, H., & Minauli, I. (2015). Efektivitas rational Emotive Behavior Theraphy Untuk Meningkatkan Harga Diri Pada Anak Enuresis. Jurnal Psikologi, 11(2), 64-70.
Turner, M. J. (2016). Rational Emotive Behavior Theraphy (REBT), Irrational and Rational Beliefs, and the Mental Health of Athletes. Frontiers in Psychology, 7(1423). https://dx.doi.org/10.3389%2Ffpsyg.2016.01423
Wulandari, A. D., & Tjundjing, S. (2007). Impostor Phenomenon, Self-Esteem, dan Self-Efficacy. Indonesian Psychological Journal, 23(1), 63-73.