ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 11 Juni 2021
Perlukah Pemahaman Hubungan Industrial Dalam Start Up?
Oleh
Penti Patimatun
Fakultas Psikologi, Universitas YARSI
Pola dasar “hero’s journey” yang dipopulerkan oleh Joseph Campbell merupakan cara yang tepat untuk membayangkan proses perjalanan sebuah start-up. Pola dasar ini menjelaskan bahwa terdapat sebuah pola yang berulang pada mitologi dan agama dalam budaya di seluruh dunia. Campbell mengatakan bahwa setiap pahlawan menghadapi berbagai rintangan yang unik namun memiliki kesamaan pada garis besar setiap ceritanya.
Apabila pola dasar “hero’s journey” dikaitkan dengan start-up, maka dapat terlihat bahwa semua perusahaan dan produk baru diawali dengan sebuah visi. Visi merupakan harapan terhadap apa yang akan dicapai dan sebuah tujuan yang hanya dapat dimiliki oleh beberapa orang. Namun, berawal dari visi inilah yang membedakan wirausaha dari CEO perusahaan besar dengan wirausaha start-up (Blank & Dorf, 2012). Menurut Lee (2018), banyak start-up yang akan gulung tikar seperti start-up lainnya, apabila mereka tidak dapat mengatasi tiga rintangan di bidang ini. Tiga rintangan tersebut, antara lain tekonologi, bisnis, kepemimpinan dan manajemen.
Berdasarkan yang telah Saya sebutkan di atas, salah satu tantangan yang harus dihadapi start-up adalah kepemimpinan dan manajemen. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah perlu manajemen start-upmemahami semua konsep tentang hubungan industrial untuk mengatasi permasalahan tersebut. Menurut Saya, hal ini menjadi perlu seiring dengan berkembangnya start-up yang dirintis.
Hal ini berawal dari informasi mengenai teknologi, kreativitas dan inovasi yang dimiliki oleh sang perintis. Start-up merupakan perusahaan yang beroperasi menggunakan teknologi informasi dan internet, salah satunya melalui website (Perdani, Widyawan, Santoso, 2018). Maka dari itu, wirausaha start-up harus mampu memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki, mengembangkan dan menciptakan ide-ide kreatif di era digital seperti saat ini (Nugraha & Wahyuhastuti, 2017). Menurut Kollman (dalam Asghari & Gedeon, 2010), tahap awal perkembangan start-up disebut tahap pre-seed. Apabila start-up masih dalam tahap awal perkembangan, maka struktur organisasi menyesuaikan peran yang dibutuhkan (Juwita, 2021). Maka dari itu, Saya berkesimpulan bahwa peran sang perintis lah yang paling utama pada tahap awal perkembangan start-up.
Selanjutnya pada tahap seed, ide yang dimiliki oleh sang perintis start-up harus spesifik dan mulai membangun tim yang akan mewujudkan ide tersebut (Asghari & Gedeon, 2010). Menemukan pekerja yang memiliki kesamaan visi, kompeten, dan bertanggung jawab memang tidak mudah. Maka dari itu, wirausaha start-up memerlukan sumber daya manusia untuk dimintai bantuan. Salah satunya ialah penasihat pribadi, seperti mentor, guru, dan pelatih (Blank & Dorf, 2012). Hal ini diperlukan agar kita, sebagai wirausaha start-uptidak memperkerjakan orang yang salah. Ketika wirausaha start-up melakukan kesalahan dalam memilih anggota tim, maka bisa saja menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Namun, seiring dengan berkembangnya start-up, permasalahan akan terus bertambah dimulai dari hubungan antar pekerja yang semakin rumit, perubahan pada pelanggan dan investor. Penasihat pribadi mungkin tidak lagi mencukupi untuk membantu permasalahan ini. Maka dari itu, wirausaha start-up mulai memerlukan penasihat yang mengerti mengenai hubungan industrial, seperti penasihat perusahaan atau HRD.
Menurut Client Sleekr HR (2019), pengelolaan sumber daya manusia merupakan salah satu yang berpengaruh terhadap keberadaan dan perkembangan start-up. Terdapat beberapa peran HRD pada perusahaan start-up, seperti mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan pekerja. Hal ini termasuk mengatur jam kerja dan lembur, tunjangan, hak cuti dan kesehatan okupasi pada pekerja. Selain itu, budaya perusahaan juga merupakan hal penting terhadap keberaaan sebuah perusahaan. Menurut Sadida (2020), sekitar 70% start-up mengalami kondisi “cultural chasm” pada tiga hingga empat tahun pertama. Di mana karyawan merasakan pengalaman buruk karena adanya ketidaksesuaian nilai yang dianut dan pemikiran antar karyawan. Maka dari itu, peran HRD sangat diperlukan dalam membentuk budaya perusahaan yang nantinya akan membangkitkan produktivitas pekerja (Client Sleekr Hr, 2019).
Berdasarkan pemaparan di atas, maka Saya berkesimpulan bahwa manajemen start-up perlu memiliki pengetahuan mengenai hubungan industrial. Hal ini diperlukan seiring berkembangnya star-up yang dirintis. Pada tahap pre-seed, calon wirausaha berperan penting terhadap awal mula munculnya ide untuk memulai start-up. Selanjutnya, pada tahap seed di mana wirausaha mulai membentuk tim untuk mencapai visi dan mewujudkan ide tersebut. Pada proses ini biasanya wirausaha membutuhkan saran ataupun masukkan dari orang-orang yang berpengalaman, seperti guru, mentor, atau pelatih. Namun, seiring dengan berkembangnya start-up, rintangan lain pun mulai bermunculan. Hal ini membuat wirausaha membutuhkan tenaga ahli dalam hubungan industrial, yaitu HRD. Di mana HRD bertugas sebagai pengelola sumber daya manusia, yaitu pekerja atau karyawan start-up.
Referensi:
Asghari, R., & Gedeon, S. (2010, September). Significance and impact of Internet on the entrepreneurial process: E-entrepreneurship and completely digital entrepreneurship. In Proceedings of the 4th European Conference on Innovation and Entrepreneurship (p. 70).
Blank, S & Dorf, B. (2012). The Startup Owner’s Manual: The Step-by-Step Guide for Building a Great Company. Diperoleh dari https://smeportal.unescwa.org/sites/default/files/2019-12/The_Startup_Owner%20s_Manual-A%20step%20by%20step%20guide%20for%20building%20a%20great%20company.pdf
Client Sleekr HR. (2019). Peran Penting HRD Startup dalam Optimalisasi Perkembangan Perusahaan. Diambil pada 9 Januari, 2021, dari https://sleekr.co/blog/peran-hrd-perusahaan-startup-di-indonesia/
Juwita, M. (2021, Januari). Begini Struktur Organisasi Perusahaan Startup yang Ideal. Glints. Diambil dari https://glints.com/id/lowongan/struktur-organisasi-perusahaan-startup/#.X_mybC0Rq01
Lee, O. (2018, Januari). Tantangan Mengembangkan Bisnis Startup di Indonesia. Techinasia. Diambil dari https://id.techinasia.com/talk/tantangan-kembangkan-startup-indonesia
Nugraha, A. E. P., & Wahyuhastuti, N. (2017). Start up digital business: sebagai solusi penggerak wirausaha muda. Jurnal Nusantara Aplikasi Manajemen Bisnis, 2(1), 1-9.
Perdani, M., Widyawan, & Santoso, P. (2018). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN STARTUP DI YOGYAKARTA. Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2018 (SENTIKA 2018).
Sadida, N. (2020). Kapita Selekta, kuliah minggu ke-3: Ada Apa Dengan Start Up (AADS)? [Slide PowerPoint Kuliah]. Diambil dari https://layar.yarsi.ac.id/pluginfile.php/83010/mod_resource/content/2/KAPSEL2020_PT.3_START-UP%20_%20AAD_Start_Up.pptx
The University of Sydney. (2021). Referencing and Citation Styles: APA 6th. Diakses pada 9 Januari, 2021, dari https://libguides.library.usyd.edu.au/c.php?g=508212&p=3476096