ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 10 Mei 2021
Pertolongan Pertama Psikologi di Situasi Krisis:
Agar Penyintas Tak Bertambah Duka
Oleh
Muhammad Iqbal, Ph.D
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana
Di awal tahun 2021 disaat pandemi covid-19 beragam bencana pun terjadi. Jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ-182 di perairan Kepulauan Seribu, tanah longsor di Sumedang dan gempa bumi dengan potensi Tsunami di Majene, bencana banjir di pulau Kalimantan, Sulawesi, Bogor dan Erupsi Gunung Merapi di beberapa daerah yang menyebabkan kehilangan harta benda dan nyawa (orang tua, suami, istri, anak, maupun teman), termasuk masa depan dan harapan hidup layak.
Akibatnya, penyintas banyak mengalami masalah kesehatan baik fisik dan psikis. Selama ini ketika terjadi bencana bantuan dukungan psikologi masih minim (Yuwanto et.al, 2018). Fokus pemerintah dan regu penolong masih kepada bantuan kesehatan fisik. Padahal, tubuh (fisik) dan mental (psikis) adalah satu kesatuan (psychophysical parallelism) (Heidelberger, 2001) yaitu tubuh dan mental bukan hubungan sebab akibat, keduanya bekerja secara bersamaan pada waktu yang sama dalam merespon satu kondisi.
Ketika terjadi situasi krisis keluhan fisik dapat terjadi seperti sulit tidur, kehilangan nafsu makan, pusing, mual, keringat dingin, gangguan kulit, mudah lelah dan kehilangan tenaga (Erita, et al., 2019). Secara afektif menjadi mudah marah, cemas, merasa bersalah, takut, putus asa, sedih (Anam et.al, 2018). Secara kognitif menjadi kebingungan, kehilangan orientasi, sulit konsentrasi, sulit mengambil keputusan, merasa tidak berdaya, kehilangan makna hidup. Secara perilaku menjadi mudah menangis, menarik diri, tidak sabar, mudah tersinggung (Thoyibah, et. al., 2019).
Setiap orang berbeda-beda menyikapi musibah atau situasi krisis, ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang cepat melupakan, ada yang sulit melupakan, semua bergantung dari keimanan, spiritualitas, ketahanan, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki (Iqbal, 2019). Beberapa individu dapat melewati situasi krisis tersebut dengan mudah, namun tidak sedikit pula yang mengalami kesulitan dalam melewati kondisi krisis ini. Faktor resiliensi/daya tahan dan keimanan sangat penting dalam situasi seperti ini, termasuk tentang akhlak dan aqidah pemahaman tentang kehidupan dan kematian yang ini merupakan ajaran agama dalam meyakininya (Iqbal, 2019) untuk itu perlu upaya intervensi yang cepat melalui dukungan psikologis bagi para penyintas mengingat kemungkinan terjadinya dampak psikologis seperti trauma jangka panjang bagi penyintas atau Post Traumatic Syndrome Disorder (PSTD), maka dari itu perlu dilakukan antisipasi dan pertolongan pertama psikologi atau Psychological First Aid (PFA).
PFA adalah model intervensi sederhana dan cepat untuk membantu penyintas maupun masyarakat yang menghadapi situasi krisis (WHO, 2011). PFA dirancang untuk mengurangi tekanan awal yang disebabkan keadaan krisis dan menumbuhkan fungsi adaptif jangka pendek dan jangka panjang, serta koping yang positif bagi para penyintas (Yuwanto et al., 2018).
Pengalaman penulis dalam menangani orang-orang yang kehilangan anggota keluarga akibat bencana dan kecelakaan menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat religiusitas dan spritualitas serta pemahaman agamanya maka semakin cepat mereka bisa pulih dan menerima kenyataan dan bisa bangkit dengan segera dari rasa duka dan kesedihan dan sebaliknya, semakin rendah tingkat religiusitas dan spiritualitas serta pemahaman agama tentang kehidupan dan kematian maka semakin lama ia akan terpuruk dalam kesedihan bahkan mengarah kepada depresi dan gangguan kejiwaan.
Menurut WHO (2011) Dalam situasi kirisis/bencana PFA bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak harus psikolog atau orang yang berlatar belakang pendidikan psikologi, PFA bisa dilakukan oleh teman, relawan, orang tua, keluarga, guru, tetangga, namun berpegang pada lima prinsip utama (4 M) dalam PFA yaitu mempersiapkan diri (prepare), melihat (look), mendengarkan (listen), menghubungkan (link), sebagai dasar pelaksanaan Psychological First Aid (PFA) dalam berbagai situasi krisis seperti memberikan bantuan kepada penyintas dan siapapun yang membutuhkan bantuan segera ketika menghadapi kondisi krisis.
1. Mempersiapkan diri (Prepare)
Sebelum membantu orang lain yang menghadapi situasi krisis, “helper“ perlu mempersiapkan diri. Memastikan dalam keadaan sehat baik fisik maupun mental, karena memberikan bantuan kepada penyintas dalam situasi krisis memerlukan sebuah kesabaran, kekuatan dan keikhlasan.
2. Melihat (Look)
Seorang helper dituntut untuk peka terhadap situasi helpee. Helper dapat membantu penyintas untuk tetap tenang dan berada dalam lingkungan yang aman serta melihat apa yang dibutuhkan penyintas saat itu, seperti terpenuhinya kebutuhan dasar (pakaian, makan, minum), ditempatkan di lokasi yang aman dan nyaman. Helper juga perlu mengetahui latar belakang agama, sosial budaya penyintas, karena pendekatan sosial budaya sangat penting untuk ,mengamati kebutuhan helpee. Untuk itu sebelum turun ke lokasi bencana perlu mendalami situasi sosial budaya setempat.
3. Mendengarkan (Listen)
Sebagai relawan “helper”, keterampilan mendengarkan bertujuan melakukan pendekatan kepada helpee dan membantu mereka untuk merasa tenang. Mendengarkan adalah hal utama yang dilakukan untuk memahami situasi helpee, membuat mereka lebih tenang dan mampu melewati kondisi krisisnya. Helpeebelum memerlukan nasihat apalagi ceramah, karena pikiran dan emosi mereka belum stabil, yang ia perlukan adalah didengarkan keluhan dan kekhawatirannya. Bahasa tubuh adalah hal yang penting dalam berinteraksi dengan helpee, pastikan menghormati dan menunjukan kehadiran sebagai relawan memberikan kenyaman (Winurini, 2014) dengan memperhatikan hal-hal berikut: Lakukan dengan kontak mata, mendengarkan, menggunakan hati untuk menunjukkan perhatian tulus dan respect terhadap helpee.
4. Menghubungkan (Link)
Seorang helper harus menyadari akan keterbatasan perannya dalam memberikan bantuan. Oleh karena itu, helper membutuhkan berbagai bantuan pihak lain seperti dokter, psikolog, lembaga pendidikan, instansi pemerintah, dan lain sebagainya yang dapat membantu helpee keluar dari kondisi krisisnya, termasuk mempertemukan penyintas dengan keluarga terdekatnya. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi yang lengkap, mendapatkan akses layanan bagi helpee dan memberikan dukungan sosial dari banyak pihak terhadap helpee.
Referensi:
Anam, C., Sholichah, M., & Kushartati, S. (2018). Intervensi Psikososial Untuk Menurunkan Ptsd Dan Meningkatkan Resiliensi Warga Penyintas Bencana Tanah Longsor Di Banjarnegara. Psikoislamedia Jurnal Psikologi,3(1).
Erita, Mahendra, D., & Batu, A. (2019).Buku Materi Pembelajaran Manajemen Gawat Darurat Dan Bencana. Jakarta: Universitas Kristen Indonesia.
Heildeberger,M.(2001). The Mind-Body Problem In The Origin Of Logical Empiricism: Herbert Feigl And Psychophysical Parallelism. Pittsburgh, Pa: University Of Pittsburgh Press, 233-262.
Iqbal, M.(2019). “Dzikrul Maut” Training To Increase The Mental Health Of Prisoners At Lembaga Pemasyarakatan Salemba (Community Service Program). International Conference on Community Development 2019.
Thoyibah, Z., Dwidiyanti, M., & Mulianingsih, M. (2019). Gambaran Dampak Kecemasan Dan Gejala Psikologis Pada Anak Korban Bencana Gempa Bumi Di Lombok. Journal Of Holistic Nursing And Health Science, 2(1), 31-38.
WHO.(2011).Psychological first aid: Guide for field workers.Geneva: WHO Press.
Winurini,S.(2014). Kontribusi Psychological First Aid (Pfa) Dalam Penanganan Korban Bencana Alam. Info Singkat Kesejahteraan Sosial, 6(3), 9 – 12.
Yuwanto, L., Hartanti, & Tjiong, Y. (2018). Intervensi Psikologi Bagi Penyintas Bencana. Tangerang: Cerdas Pustaka.