ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 10 Mei 2021
Ketidaksetaraan Gender dalam Lingkungan Kerja
Oleh
Sheila Sabiila & Mochammad Sa’id
Fakultas Pendidikan Psikologi, Universitas Negeri Malang
Ketidaksetaraan gender merupakan topik yang telah lama diperbincangkan di Indonesia. Ketidaksetaraan gender di Indonesia disebabkan karena adanya budaya patriarki yang telah lama melekat dalam budaya Indonesia (Susanto, 2015). Budaya patriarki memposisikan laki-laki untuk mendominasi dan memegang kekuasaan dalam peran kepemimpinan dibandingkan dengan perempuan. Dengan adanya budaya patriarki, timbul perasaan terbelenggu pada perempuan yang melahirkan diskriminasi, dan menimbulkan hambatan pada penyerataan akses di masyarakat. Laporan The Global Gender Gap Report tahun 2020 yang mengkaji ketidaksetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi 85 dari 153 negara di dunia dalam kesetaraan gender. Posisi ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 2018 (Forum, 2019).
Salah satu permasalahan ketidaksetaraan gender yang masih terjadi di Indonesia hingga kini adalah ketidaksetaraan gender dalam lingkungan kerja. Isu ini menyoroti keterbatasan perempuan dalam kesempatan kerja dan ketidaksetaraan perlakuan bagi pekerja perempuan di lingkungan kerja. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia tahun 2015 berada pada 48-51%, jauh lebih rendah dari laki-laki sebesar 83-84%(Ketenagakerjaan, 2015).
Perbedaan Kuantitatif dan Kualitatif
Hal yang paling disoroti dari ketidaksetaraan gender dalam lingkungan kerja yaitu adanya perbedaan kuantitatif dan perbedaan kualitatif antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Perbedaan kuantitatif merujuk kepada perbedaan upah, perbedaan upah juga biasa disebut dengan istilah gender pay gap.Sedangkan perbedaan kualitatif merujuk pada perbedaan tipe pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Perbedaan kualitatif juga menyoroti kesulitan para pekerja perempuan untuk menduduki posisi jabatan tinggi, yang biasa disebut dengan glass ceiling.
Stereotip Gender
Faktor lainnya yang menjadi pendukung ketidaksetaraan gender dalam lingkungan kerja yaitu adanya stereotip gender. Stereotip merupakan sebuah persepsi yang diajukan oleh individu maupun kelompok mengenai kualitas yang memuat adanya perbedaan pada kelompok lainnya (Schneider, 2004). Stereotip juga dapat disebut sebagai ide pemikiran yang membentuk suatu kepercayaan. Stereotip gender ini memiliki ekspetasi terkait karakteristik dan kepribadian yang timbul antara laki-laki dan perempuan (Steg,Buunk, & Rothengatter, 2008). Adanya stereotip gender ini memberikan label bahwa laki-laki dan perempuan memiliki sifat yang sangat bertolak belakang. Sifat maskulin pada laki-laki merujuk pada sifat yang agresif, independent, dan agentic. Sedangkan sifat feminim pada perempuan merujuk pada sifat yang emosional, communal, dan sering berorientasi untuk berada di rumah (Steg, Buunk, & Rothengatter, 2008).
Dalam pekerjaan, kelompok sangat memperhitungkan peran kepemimpinan dan peran gender (Sany & Rahardja, 2016). Peran kepemimpinan berasal dari gagasan bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifatagentic yang dimiliki oleh laki-laki, sedangkan perempuan memiliki karakteristik communal. Sifat agentic ditandai dengan perilaku individu yang tegas, percaya diri, dan suka mengatur pegawainya. Sedangkan karakteristik communal ditandai dengan perilaku yang memedulikan kesejahteraan orang lain, memiliki simpatik yang tinggi, dan suka menolong. Pada stereotip yang terbangun, perempuan tidak layak untuk menempati kursi kepemimpinan karena karakteristik communal yang dimilikinya. Kursi kepemimpinan dianggap sesuai dan dinilai positif apabila ditempati oleh laki-laki karena peran yang ditunjukkan dari sifat agnetic. Sehingga, apabila kursi kepemimpinan ditempati oleh perempuan, peran ini dianggap tidak sesuai dan dinilai secara negatif karena peran dan kompetensinya akan dipertanyakan.
Glass Ceiling
Glass ceiling merupakan peristiwa di mana pekerja perempuan sulit atau tidak dapat mencapai posisi tinggi seperti yang bisa didapatkan oleh pekerja laki-laki (Adams & Funk, 2012). Metafora glass ceilingmenunjukkan bahwa terdapat penghalang yang tinggi yang tidak tampak secara jelas, tetapi sangat dirasakan. Glass ceiling dapat terjadi oleh berbagai faktor, diantaranya yaitu karakteristik kepemimpinan menurut gender dan perbedaan gaya kepemimpinan menurut gender.
Karakteristik Kepemimpinan Menurut Gender
Terdapat konotasi gender pada manajemen pekerjaan karena adanya ungkapan “think manager, think male” (Steg, Buunk, & Rothengatter, 2008). Ungkapan tersebut memiliki arti bahwa kedudukan manajer selalu erat dengan laki-laki. Timbulnya ungkapan tersebut karena karakteristik pemimpin biasanya disamakan dengan karakteristik yang dimiliki oleh laki-laki pada umumnya, dibandingkan dengan karakteristik yang dimiliki oleh perempuan. Walaupun sebagian orang menganggap bahwa sifat feminin pada karakteristik perempuan juga melekat pada karakteristik pemimpin, tetapi secara umum saat mereka diminta untuk mendeskripsikan karakteristik pemimpin mereka tetap menyebutkan laki-laki.
Perbedaan Gaya Kepemimpinan Menurut Gender
Pada 1970an hingga 1980an, banyak peneliti yang menggunakan model dua-dimesi kepemimpinan untuk membedakan antara kepemimpinan task-oriented dan interpersonal-oriented. Kepemimpinan task-orientedmenunjukkan sikap lebih profesional, berorientasi pada tugas dan pekerjaan, dan mempertahankan standar kinerja yang tinggi yang dimiliki oleh laki-laki. Sedangkan kepemimpinan interpersonal-orientedmenunjukkan gaya yang lebih fleksibel, bersikap ramah, kekeluargaan, dan membantu pegawai yang dimiliki oleh perempuan.
Kemudian, pada studi terbaru dilakukan penelitian dengan menggunakan perbedaan antara gaya kepemimpinan transformasional yang sering ditunjukkan oleh perempuan dan gaya transaksional yang sering ditunjukkan oleh laki-laki. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang cocok dimiliki oleh seorang pemimpin lebih condong kepada gaya transformasional dibandingkan transaksional(Steg, Buunk, & Rothengatter, 2008). Tetapi banyak argumen yang tidak setuju terhadap hal ini, ketidaksetujuan ini membuktikan adanya ketidaksetaraan gender dalam lingkungan kerja.
SARAN
Ketidaksetaraan gender dalam lingkungan kerja mengakibatkan pekerja perempuan tidak mendapatkan hak yang sama dengan pekerja laki-laki. Baik laki-laki maupun perempuan seharusnya memperoleh hak yang sama tanpa memandang gender sebagai tolak ukur. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghentikan ketidaksetaraan gender yaitu dengan menghapuskan stereotip gender di lingkungan masyarakat. Dengan hilangnya stereotip gender ini maka akan menghapuskan penilaian subjektif antara laki-laki dan perempuan. Cara lainnya yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan kesempatan kepada pekerja perempuan untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki secara maksimal. Sehingga diharapkan ketidaksetaraan gender dalam lingkungan kerja dapat teratasi.
REFERENSI:
Adams, R. B., & Funk, P. (2012). Beyond the glass ceiling: Does gender matter?. Management science, 58(2), 219-235. https://doi.org/10.1287/mnsc.1110.1452
Forum, W. E. (2019). Global Gender Gap Report 2020. Switzerland: World Economic Forum.
Ketenagakerjaan, S. S. (2015). Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Sany, N., & Rahardja, E. (2016). Membedah stereotip gender: persepsi karyawan terhadap seorang general manager perempuan. Diponegoro Journal of Management, 5(3), 443-451. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/djom/article/view/14233
Schneider, D.J. (2004). The Psychology of Stereotyping. New York: Guilford Press.
Steg, L., Buunk, A. P., & Rothengatter, T. (2008). Applied Social Psychology. United Kingdom: Cambridge University Press.
Susanto, N. H. (2015). Tantangan mewujudkan kesetaraan gender dalam budaya patriarki. Muwazah: Jurnal Kajian Gender, 7(2), 120-130. http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/517