ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 10 Mei 2021
Ghosting: Cara Mengakhiri yang Benar atau Salah?
Oleh
Rahmita Wahyuni
Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara
Akhir-akhir ini berita perpisahan sepasang kekasih menjadi sorotan publik dengan pihak wanita yang mengatakan bahwa sang pria meninggalkannya begitu saja tanpa ada kabar. Pemutusan hubungan intim antar dua orang (relationship dissolution) atau putus cinta merupakan keadaan berakhirnya suatu ikatan emosional. Berakhirnya suatu hubungan ini tentu saja bisa menjadi hal yang sangat menyakitkan, apalagi jika perpisahan itu merupakan tindakan sepihak dan dilakukan dengan cara tiba-tiba menghilang atau yang disebut dengan ghosting. Istilah ghosting pertama kali muncul pada Urban Dictionary tahun 2006. Ghostingdideskripsikan sebagai “ketika seseorang memutuskan semua komunikasi dengan teman-teman mereka atau orang yang mereka kencani, tanpa peringatan atau pemberitahuan sebelumnya. Kebanyakan mereka menghindari panggilan telepon, media sosial, dan menghindarinya di depan umum.”
Fenomena ini semakin sering terjadi seiring dengan kemajuan digital dan paling banyak muncul dari mereka yang memakai aplikasi kencan online, seperti hasil dari penelitian (Koessler, Kohut & Campbell, 2019) partisipan yang hubungannya berakhir secara ghosting kebanyakan dari mereka bertemu pasangannya secara online. Ada tiga poin utama definisi ghosting menurut Koessler, Kohut & Campbell (2019). Pertama, ghosting merupakan sebuah strategi perpisahan, ditunjukkan dari ekspresi ketidaktertarikan non-verbal yang mana mereka berharap pasangan mereka mengerti dengan “kode” tersebut. Kedua, tidak adanya interaksi seperti mulai menghentikan segala bentuk kontak, tidak ada jawaban untuk panggilan, pesan teks, atau pesan platform media sosial apa pun (misalnya WhatsApp, Line, Facebook, Instagram, Twitter, dll.) atau bahkan memblokirnya. Terakhir, ghosting adalah tindakan menghilang, sesuai namanya pasangan akan tiba-tiba menghilang seperti entah ke mana, secara bertahap semua komunikasi pun akan terputus dan mereka seperti tidak pernah ada di dunia ini. Biasanya proses pemutusan hubungan sering kali sudah dimulai tanpa pasangan menyadari bahwa mereka sedang berada dalam proses tersebut (Rumondor, 2013).
Pada pemutusan hubungan atau putus cinta terdiri dari pihak yang memutuskan (disengager) dan pihak yang diputuskan (recipient). Terdapat lima motivasi seseorang melakukan ghosting menurut Koessler, Kohut & Campbell (2019) :
1. Orientasi pihak yang memutuskan
Beberapa alasan disengager melakukan ghosting adalah menganggap jika melakukan komunikasi secara langsung terlalu banyak drama dan takut melukai perasaan pihak yang diputuskan. Disengagersudah kehilangan minat terhadap pasangannya atau sudah berhubungan dengan orang lain.
2. Orientasi pihak yang diputuskan
Ditinjau dari orientasi pihak yang diputuskan, ghosting dilakukan karena recipient selingkuh, terlalu posesif, memiliki perilaku yang buruk atau hanya ingin sekedar menghindar.
3. Orientasi hubungan.
Mereka menganggap bahwa hubungan yang mereka jalani tidak akan bertahan lama lagi atau tidak serius.
4. Tidak diperlukan penjelasan
Disengager menganggap tidak perlu adanya penjelasan dan pasangan mereka tidak berhak menerima penjelasan.
5. Pilihan terakhir
Salah satu pihak sudah berusaha mengkomunikasikannya dengan baik tetapi hasilnya buruk sehingga disengager pun melakukan ghosting.
Vilhauer (2020) mengungkapkan ghosting menjadi cara yang benar ketika pasangan mengalami hubungan yang tidak sehat, baik secara fisik atau emosional seperti kekerasan, pelecehan seksual dan sebagainya. Jika pasangan sudah melewati batas dan kita sudah berusaha memberi tahu namun pasangan tidak mendengarkan yang mana hal ini membuat diri kita sendiri merasa tidak nyaman dan ketakutan maka hal terbaik yang bisa dilakukan adalah pergi dan menghilang. Tentu hal ini masih menjadi pro dan kontra, walaupun pada kenyataannya berdasarkan hasil penelitian LeFebvre (2019) sebesar 44,2 % (N = 99) pernah mengalami ghosting dan melakukan ghosting. Bagaimana pun juga, ghosting akan membuatrecipient menjadi bertanya-tanya atas apa yang terjadi dan dapat memberikan perubahan emosi beragam yang bisa mengakibatkan trauma.
Jadi, apakah ghosting merupakan cara yang benar atau salah dalam mengakhiri suatu hubungan?
Referensi:
Koessler, R. B., Kohut, T., Campbell, L., Vazire, S., & Chopik, W. (2019). When your boo becomes a ghost: The association between breakup strategy and breakup role in experiences of relationship dissolution. Collabra: Psychology, 5(1).
LeFebvre, L. (2017). Ghosting as a relationship dissolution strategy in the technological age. The impact of social media in modern romantic relationships, 219-235.
LeFebvre, L. E., Allen, M., Rasner, R. D., Garstad, S., Wilms, A., & Parrish, C. (2019). Ghosting in emerging adults’ romantic relationships: The digital dissolution disappearance strategy. Imagination, Cognition and Personality, 39(2), 125-150.
Rumondor, P. C. (2013). Gambaran Proses Putus Cinta pada Wanita Dewasa Muda di Jakarta: Sebuah Studi Kasus. Humaniora, 4(1), 28-36.
Vilhauer, Jennice. 2020. Speaking of Psychology: What to do when you’ve been ghosted.https://www.apa.org/research/action/speaking-of-psychology/ghosting#:~:text=Ghosting%20is%20a%20heartbreaking%20fact,as%20much%20as%20physical%20pain.