ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 8 April 2021
Kesehatan Jiwa Untuk Semua: Pendekatan Preventif Sebagai Mitigasi Risiko Tantangan Kesehatan Jiwa Indonesia
Oleh
Puspita Alwi
Division of Applied Social Psychology Research, Universitas Indonesia
Sehat Jiwa dan Bahagia (@sehatjiwa.id)
Kondisi pandemi Covid-19 secara tidak langsung menempatkan masyarakat pada kondisi yang sama. Kondisi yang tidak pasti ini membuat masyarakat merasakan dampak psikologis dan menyadari masalah yang dimiliki. Lembaga riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) mengungkapkan, berdasarkan data swaperiksa yang dihimpun Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dari Bulan April – Agustus 2020, sebanyak 3.443 orang yang melakukan swaperiksa ternyata mengeluhkan masalah psikologis. Perhatian institusi pun meningkat pada isu ini, banyak sekali organisasi yang meminta program intervensi kesehatan jiwa karena merasa anggotanya membutuhkan dampingan psikologis ini. Ironisnya membutuhkan pandemi Covid-19 untuk membuat isu ini menjadi isu yang disadari dan telihat urgensinya di tengah masyarakat. Kesadaran ini menjadi angin segar untuk kesehatan jiwa di Indonesia. Akan tetapi kesadaran saja tentu belum cukup untuk memitigasi tantangan kesehatan jiwa yang akan dihadapi oleh sistem kita kedepannya. Dilansir dari WHO masalah kesehatan jiwa akan menjadi salah satu beban kesehatan global tertinggi di dunia . Beban ini tentunya tidak hanya akan berdampak pada individu yang memiliki masalah kesehatan jiwa, akan tetapi juga akan berdampak pada sistem sosial disekitarnya seperti teman, keluarga, dan lingkungan kerja (Hock, dkk, 2012). Kondisi pandemi tentunya berpotensi meningkatkan tingkat keparahan dari situasi ini. Tapi apakah kita sudah siap dengan strategi untuk memitigasi kondisi ini?
Dalam konteks Indonesia, kesehatan jiwa hingga saat ini masih tabu untuk dibicarakan. Tak jarang kesehatan jiwa dianggap sebagai pembahasan yang hanya diperhatikan saat permasalahan sudah kompleks dan sulit untuk diselesaikan. Konsep ini membuat masyarakat cenderung melihat kesehatan jiwa sebagai pil yang dicari saat masalah sudah terjadi dan kerap diasosiasikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan penyakit/gangguan. Padahal menurut WHO (2014), kesehatan jiwa adalah kondisi dimana individu bisa mengetahui potensi diri yang dimilikinya, bisa mengatasi stres sehari-hari, bisa produktif, dan mampu berkontribusi untuk lingkungannya. Pengertian ini memperlihatkan bahwa kesehatan jiwa tidak sebatas masalah ada atau tidak ada gangguan, lebih luas lagi kesehatan jiwa merupakan suatu hal yang harus dijaga dan bisa membantu individu mencapai hidup yang lebih bermakna dan bahagia.
Butuh cara pandang yang lebih holistik dalam melihat isu ini, dimana isu ini bukan hanya isu mikro yang akan berdampak kepada individu saja akan tetapi juga ke sistem sosial yang ada disekitarnya. Dalam penanganannya pun kita tidak cukup hanya dengan pendekatan individual dan kuratif saja akan tetapi juga harus mulai mempertimbangkan pedekatan sistemik dan penguatan sistem sosial yang ada melalui program preventif dan promotif. preventif tentunya bisa menjadi intervensi yang kita maksimalkan untuk memitigasi masalah kesehatan jiwa di masyarakat tidak menjadi bom waktu dan memunculkan masalah sosial lainnya. Adapun pendekatan preventif meliputi: pencegahan primer yang menargetkan pada keseluruhan populasi atau pada kelompok dengan risiko masalah mental tinggi, pencegahan sekunder yang berfokus pada deteksi dini dan intervensi awal pada kelompok, dan pencegahan tersier yang berfokus pada pemulihan dan mencegah munculnya kembali masalah kejiwaan (Min dkk, 2014). Tantangan isu kesehatan jiwa kedepannya tidak bisa lagi hanya dilihat dengan lensa kuratif dan individual. Program dan intervensi bersifat preventif harus mulai dimaksimalkan untuk bisa memitigasi kegagalan sistem kesehatan jiwa nasional.
Hal inilah yang coba dilakukan oleh Sehat Jiwa dan Bahagia melalui pembuatan wellbeing curriculum sejak tahun 2018. Pendekatan ini pun dilakukan untuk mebantu individu rentan selama pandemi covid-19 melalui kelompok dukungan psikosial dan program edukasi. Penambahan pengetahuan dan keterampilan dasar ini efektif untuk bisa membantu individu bisa lebih mengenal diri, emosi yang dirasakan, dan masalah yang dihadapi. Selain itu adanya dukungan kelompok juga dilaporkan secara efektif membantu individu untuk bisa lebih menerima dan terbuka dengan masalah yang sedang dijalani. Melalui upaya preventif kita tidak hanya memitigasi kegagalan sistem akan tetapi membantu menurunkan stigma negatif yang melekat pada isu ini dan membantu masyarakat melihat bahwa kesehatan jiwa bukan “pil” yang dicari ketika mereka sudah memiliki masalah kompleks tapi sebagai investasi mereka untuk hidup yang lebih produktif, bermakna dan bahagia
Referensi:
Hock, R. S., Or, F., Kolappa, K., Burkey, M. D., Surkan, P. J., & Eaton, W. W. (2012). A new resolution for global mental health. Lancet (London, England), 379(9824), 1367–1368. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(12)60243-8
Min, J. A., Lee, C. U., & Lee, C. (2013). Mental health promotion and illness prevention: a challenge for psychiatrists. Psychiatry investigation, 10(4), 307–316. https://doi.org/10.4306/pi.2013.10.4.307
WHO (2014). Mental Health: Strengthening our response. Diakses pada 20 Februari 2021 dari https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-strengthening-our-response
The Indonesian Institute (2020). Kesehatan Jiwa dan Resiliensi Sosial. Diakses pada 25 Februari 2021 dari https://www.theindonesianinstitute.com/kesehatan-jiwa-dan-resiliensi-sosial-di-tengah-pandemi/