ISSN 2477-1686

 Vol. 7 No. 6 Maret 2021

Wawancara sebagai Proses Pembuatan Profil Kriminal

 

Oleh

Reno Fitria Sari

Fakultas Psikologi, Universitas Paramadina

 

Pada akhir tahun 1900an hingga awal tahun 2000 mulai munculnya kata profil kriminal pada media berita, buku, terutama digunakan pada bagian kepolisian untuk menyebutkan proses dalam pencarian tersangka terhadap suatu kasus tindak kriminal. Saat ini, profil kriminal dilakukan oleh seorang yang disebut profiler yang berlatarbelakang pekerjaan hukum, selain itu juga berasal dari individu yang mempunyai latar belakang pendidikan psikologi, psikiatri, maupun kriminologi (Bartol & Bartol, 2013). Meski belum ada pendidikan formal mengenai bidang ini, namun hingga saat ini, seseorang yang memiliki pengalaman dalam melakukan investigasi kriminal atau peneliti di bidang psikologi dengan sudut pandang tingkah laku dan kriminal dapat disebut profiler (Bartol & Bartol, 2013).

 

Apakah profil kriminal itu? Profil kriminal merupakan bagian keilmuwan dari forensik kriminologi yang menitikberatkan pada pengamatan tingkah laku dan ilmu forensik (Turvey, dkk., 2010). Profil kriminal juga merupakan alat untuk memprediksi sesuatu yang telah terjadi, dengan memahami dan mengetahui penyebab sesuatu kejadian tersebut dapat terjadi (Bloom, 2013). Profil kriminal merupakan suatu metoda yang digunakan untuk mendeteksi suatu kejadian yang telah terjadi dengan mengaplikasikan ilmu forensik, kriminologi, dan juga sosial. Profil kriminal erat kaitannya dengan kasus hukum, yaitu tindak kriminal dalam cakupan hukum pidana maupun hukum perdata. 

 

Profiling dapat digunakan sebagai pendeteksi sebelum terjadi suatu kejadian, pada saat kejadian, maupun setelah kejadian (Bloom, 2013). Mendeteksi sebelum kejadian bertujuan sebagai usaha pencegahan suatu tindak kriminal, deteksi saat proses penyelidikan agar mudah menemukan tersangka, dan sebagai bentuk evaluasi hingga penyusunan treatment agar tindak kriminal dapat diturunkan hingga menurunkan risiko perilaku tindak kriminal berulang. Dr. George Baxter Philips berpendapat bahwa seorang kriminal memiliki sebuah pola yang dapat diamati melalui tingkah laku dan gambaran kepribadian dari pelaku. 

 

Untuk mendapatkan informasi mengenai pelaku terorisme sehingga dapat membuat profiling teroris, tentu dibutuhkan proses pengambilan data yang disebut dengan wawancara (Turvey, 2012). Wawancara digunakan karena melalui wawancara dapat mengidentifikasi mengenai organisasi teror yang diikutinya, pola pikir teroris, tujuan menjadi teroris, serta tindakan yang telah dilakukan oleh seorang teroris (Choudhury, 2006; Turvey, 2012). Kedua, wawancara menjadi salah satu bentuk data yang dapat digunakan dalam merumuskan sebuah pelatihan, saran mengenai terorisme kepada individu yang bekerja dalam penanggulangan terorisme hingga individu yang tidak memiliki pengetahuan mengenai terorisme.

 

Brent. E. Turvey merumuskan strategi wawancara yang dapat digunakan dalam proses identifikasi teroris dengan menggunakan model wawancara Rapport (Turvey, 2012). Pertama perlunya memiliki pedoman yang baik terhadap teknik wawancara yang akan digunakan, dengan saran bahwa pewancara dianjurkan untuk belajar dan mengikuti pelatihan mengenai teknik investigasi wawancara. Sumber bacaan yang dapat dirujuk untuk memperkaya wawasan teknik wawancara investigasi yaitu wawancara investigatif model Milne (2013), model wawancara kognitif Willis (2015), dan wawancara investigatif berdasarkan ilmu psikologi Williamson (2013). Hal ini dapat digunakan untuk membantu pewancara membuat kerangka pertanyaan terhadap kasus terorisme.

 

Penyiksaan atau memberikan ancaman bukan sebuah hal yang baik dilakukan untuk mendapatkan informasi dari teroris (Turvey, 2012). Meskipun, terkadang tujuan wawancara menjadi terhambat atau bahkan tidak tercapai dan membutuhkan pemberian ancaman kecil kepada teroris (Applebaum, 2005). Namun, bentuk penyiksaan atau ancaman saat bertanya dapat diubah dengan memberikan konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti diisolasi, tidak diberikan makan, atau metoda ekstrim untuk mengurangi ketahanan fisik (Applebaum, 2005). Penyiksaan tersebut tidak membuat penyelidikan menjadi baik, bahkan itu mengikis kepercayaan, informasi yang tidak valid, dan membuka peluang tumbuhnya teroris baru (Turvey, 2012).

 

Menyadari bahwa teroris memiliki kebutuhan yang berbeda daripada pelaku kejahatan yang lain (Turvey, 2012). Menurut Turvey (2012), pelaku teroris dengan pelaku kejahatan lainnya memiliki kesamaan seperti bergabung dengan kelompok, adanya rasa balas dendam, dan menggunakan senjata. Namun, kebutuhan ideologis dan motivasi maupun rasional individu bisa sangat berbeda. Oleh karena itu, pewawancara yang baik harus berusaha memahami psikososial dan kebutuhan pribadi dari pelaku tindak kriminal khususnya terorisme. Sehingga, perlunya pewawancara mempelajari data sosiodemografi seorang pelaku terorisme untuk dapat membuat gambaran dasar mengenai dorongan atau motivasi tindakan tersebut dilakukan.

 

Memberikan rasa hormat ketika melakukan wawancara sekalipun yang diwawancarai adalah seorang teroris, yang mungkin cenderung religious yang menganggap dirinya lebih benar, dan tampak sombong. Rasa hormat dan ketulusan merupakan taktik membangun hubungan yang baik bersama dengan yang diwawancara. Namun, pewawancara perlu berhati-hati, karena ketika berhasil membentuk hubungan yang baik, terkadang pewawancara tidak sadar bahwa sedang diperlihatkan tampilan yang ramah, namun hal tersebut manipulatif. Maka, juga dibutuhkan pencocokan hasil wawancara bersama dengan data valid yang lain, seperti hasil wawancara oleh penyidik, atau pewawancara yang lainnya. 

 

Selain itu, pewawancara perlu mengetahui latar belakang budaya dan bahasa yang digunakan oleh individu yang akan diwawancarai. Contoh, jika pelaku terorisme yang sudah diketahui memiliki budaya dalam organisasinya, seperti memanggil laki-laki dengan panggilan ikhwan, dan perempuan dengan akhwat. Maka, pewancara dapat menggunakan panggilan tersebut saat wawancara. 

 

Sebagai tambahan, pewawancara perlu mengetahui asal organisasi teroris yang diikuti karena setiap kelompok memiliki ciri kelompoknya masing-masing. Seperti kelompok Jamaah Anshor Daulah (JAD) yang mudah mengatakan seseorang kafir dan jihad dengan melakukan aksi bom bunuh diri. Serta memahami keyakinan ideologi yang dipegang oleh teroris. Ini membantu pewawancara untuk memahami frustasi yang dimiliki. Contoh, teroris yang merasa adanya ketidakadilan yang dirasakan karena sebagai rakyat yang tidak dibantu pemerintah untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini, membantu pewawancara untuk mengerti kondisi, membangun hubungan baik, dan melancarkan pertanyaan guna mendapatkan informasi yang diperlukan.

 

Referensi:

 

Applebaum, A. (2005). The Torture Myth. The Washington Post, January 12, p. A21.

 

Bartol, M. A., & Bartol, R. C. (2013). Criminal and Behavioral Profiling: Theory, Research and Practice. SAGE Publications, Inc. USA.

 

Bloom, R. (2013). Foundations of Psychological Profiling. Terrorism, Espionage, and Deception. CRC Press, USA.

 

Choudhury, C.A. (2006). Terrorists and Muslims: The Construction, Performance, and Regulation of Muslim Identities in the Post 9/11 United States. Rutgers Journal of Law and Religion 7, 8–48.

 

Milne, R. & Bull, R. (1999). Investigative Interviewing: Psychology and Practice. Wiley, Chichester, England.

 

Turvey, E. B. (2012). Criminal Profiling: An Introduction To Behavioral Evidence Analysis Fourth Edition. Elsevier, USA.

 

Williamson, T. (2005). Investigative Interviewing: Rights, Research and Regulation. Willan, Cullompton, Devon, England.

 

Willis, G. B. (2015). Understanding qualitative research.Analysis of the cognitive interview in questionnaire design. Oxford University Press.