ISSN 2477-1686

 Vol. 7 No. 4 Februari 2021

 

Pengaruh Bullying terhadap Tingkat Kecemasan Sosial pada Korbannya

 

Oleh

 

Breaniza Dhari

Fakultas Psikologi, Universitas YARSI

 

 

Apakah anak yang menjadi korban bullying mempunyai risiko lebih tinggi akan mengalami kecemasan sosial dibandingkan dengan anak yang tidak menjadi korban bullying? Selain itu apakah harga diri mempengaruhi dan menyebabkan kecemasan sosial terhadap anak yang menjadi korban bullying? Pertanyaan-pertanyaan ini akan muncul ketika kita membahas mengenai pengaruh bullying terhadap tingkat kecemasan sosial pada korbannya. Dalam essay ini penulis akan menjelaskan tentang pertanyaan-pertanyaan yang ada di atas.

 

Sebelumnya saya akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan bullying beserta unsur dan jenisnya. Dikutip dari kajianpustaka.com yang dituliskan oleh Riadi (2018), bullying adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang merasa lebih kuat kepada korban yang secara fisik atau mental lemah dengan tujuan untuk membuat korban menderita. Bullying ini bisa dilakukan dengan cara melukai secara fisik, verbal atau emosional. Perilaku bullying juga melibatkan kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki oleh pelaku, namun tidak dimiliki oleh korban sehingga korban tersebut berada dalam keadaan tidak mampu untuk mempertahankan diri dan melawan perilaku yang diterimanya tersebut. 

 

Menurut Coloroso (2006), terdapat empat unsur perilaku bullying terhadap seseorang, yaitu yang pertama ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku bullying tersebut bisa dilakukan oleh orang yang kuat, lebih besar, lebih tua, lebih terkenal, lebih tinggi dalam status sosial, berasal dari ras yang berbeda atau pun berjenis kelamin yang berbeda. Sebagian besar anak yang melakukan tindak bullying dapat menciptakan ketidakseimbangan. Kedua yaitu mempunyai niat untuk melukai atau mencederai, yang berarti tindak bullying ini menyebabkan luka pada psikologis atau luka fisik pada korban, sedangkan pada pelaku memerlukan tindakan untuk dapat melukai sehingga timbul rasa senang di hati sang pelaku saat menyaksikan hal tersebut. Selanjutnya yang ketiga adalah ancaman agresi lebih lanjut. Kedua belah pihak, pihak pelaku maupun pihak korban mengetahui bahwa tindak bullying itu mungkin saja akan terjadi kembali yang berarti bisa terjadi berkali-kali. Adapun yang terakhir yaitu teror. Bullying merupakan kekerasan sistematik yang dilakukan pelaku untuk mengintimidasi korbannya. Teror yang terus-menerus menghantui korban merupakan tujuan dari tindakan bullying tersebut. Setelah itu terdapat jenis-jenis perilaku bullying menurut Coloroso (2006), yang dapat dikelompokkan menjadi empat bentuk, yaitu:

 

1.    Bullying secara verbal 

Bullying secara verbal adalah bentuk bullying yang sangat sering dan sangat mudah dilakukan. Bentuk bullying secara verbal inilah yang biasanya menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya dan menjadi awal daripada kekerasan yang lebih lanjut.

 

2.    Bullying secara fisik 

Bullying secara fisik ini paling sering terjadi dan sangat mudah untuk diidentifikasi, namun bullying ini tidak sebanyak bullying dalam bentuk lain. Contoh bullying secara fisik yaitu memukuli, menendang, merusak serta menghancurkan barang-barang milik anak yang tertindas, dan lain-lain.

 

3.    Bullying secara relasional 

Bullying secara relasional merupakan bentuk bullying yang dilakukan dengan cara memutuskan relasi-hubungan sosial seseorang dengan tujuan untuk menurunkan harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian, penghindaran dan pengucilan seperti lirikan mata, cibiran, tawa mengejek dan lain sebagainya. Bullying secara relasional ini adalah bentuk bullying yang sangat sulit dideteksi dari luar.

 

4.    Bullying elektronik 

Bullying elektronik ini termasuk bentuk bullying yang dapat dilakukan oleh pelakunya dengan menggunakan sarana elektronik seperti handphone, computer, internet, chatting room, jenis sosial media lainnya. Bentuk bullying ini biasanya ditujukan untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan, gambar atau rekaman video dan film yang bersifat mengintimidasi, menyudutkan dan menyakiti.

 

Kecenderungan perilaku bullying yang dilakukan oleh seseorang anak salah satunya disebabkan karena permasalahan yang berhubungan dengan penolakan teman sebayanya sehingga perilaku bullying tersebut menjadi salah satu bentuk agresi di kalangan mereka. Wiyani (2012) mengungkapkan bahwa tindak bullyingsangat disepelekan atau kurang diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali orang yang masih menganggap bahwa tindak bullying itu tidak terlalu berbahaya, namun sebenarnya tindak bullying dapat memberikan dampak negatif bagi korbannya. 

 

Seorang anak yang mengalami tindak bullying yang dilakukan oleh teman-temannya di sekolah maupun di luar sekolah akan menimbulkan rasa tidak percaya diri, tidak aman dan cemas. Hal tersebut didukung oleh penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Hasil penelitian-penelitian tersebut sebagian besar menjelaskan bahwa anak yang menjadi korban tindak bullying akan mengalami kecemasan yang tinggi serta dapat bepengaruh terhadap harga diri anak tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zaerosi, M. (2017) pada siswa kelas II SDN Wonocolo 1 Taman Sidoarjo ini menunjukkan bahwa anak yang menjadi korban bullyingsebagian besar (67,6%) mengalami kecemasan dan hampir seluruhnya (82,4%) tidak mengalami depresi. World Health Organization, 2015 (dalam Febriana, 2016), menyebutkan bahwa perawat jiwa merupakan tenaga kesehatan terbesar yang ada di seluruh dunia yaitu sebesar 40%, maka dari itu diharapkan perawat mampu melakukan intervensi untuk mengurangi kecemasan pada korban bullying

 

Kecemasan merupakan respon emosi manusia yang sangat normal dan sering terjadi yang melibatkan aspek-aspek seperti perilaku, afektif serta kognitif terhadap bahaya, hal tersebut dipandang normal sebagai bagian dari masa kanak-kanak. Perasaan khawatir yang sangat berlebihan dan tidak terkontrol juga termasuk kecemasan yang merupakan respons terhadap stimuli internal maupun eksternal yang dapat menimbulkan gejala emosional, kognitif, fisik serta tingkah laku (Baradero, 2015). Dampak kecemasan tersebut tergantung pada tingkat perkembangan anak serta pengembangan keterampilan mengatasi masalah pada usia itu. Pada anak sekolah dampak yang sangat sering terjadi yaitu perubahan pola tidur, perubahan pola makan, kegelisahan, perasaan tidak berharga, self-efficacy yang buruk, kesulitan berkonsentrasi, perasaan mudah tersinggung, menarik diri, kinerja sekolah yang buruk, mimpi buruk, perilaku agresif, kekhawatiran berlebihan dan sebagainya. 

 

Selain itu tingkat harga diri dapat mempengaruhi dan menimbulkan kecemasan sosial pada anak. Pada masa remaja membutuhkan harga diri yang tinggi sehingga pada anak tersebut muncul rasa percaya diri, menghargai diri sendiri dan terlihat kuat. Jika kebutuhan harga diri tersebut tidak terpenuhi, maka muncul rasa rendah diri, tidak berharga dan merasa tidak berdaya dengan mental yang lemah. Kondisi yang biasanya dialami oleh anak yang menjadi korban bullying adalah terlihat menyendiri, pendiam, gelisah dan cemas (SEJIWA, 2008).

 

Kernis (2006) mengatakan bahwa harga diri yang sehat dapat mengevaluasi diri dengan positif dan dapat percaya diri terhadap dirinya sendiri. Coopersmith (dalam Trisakti dan Astuti, 2014) mengatakan bahwa individu yang mempunyai harga diri tinggi akan merasa lebih percaya bahwa ia berharga, mampu, berarti dan mendapatkan rasa kasih sayang dari individu lain. Individu yang memiliki harga diri rendah akan mengalami kesulitan dalam menjalani interaksi sosial yang memicu kecemasan sosial. Hal itu yang menjadi kemungkinan bahwa harga diri mempengaruhi dan menyebabkan kecemasan sosial pada anak yang menjadi korban bullying. Taylor, Peplau dan Sears (2009) mengatakan bahwa self-esteem atau penghargaan diri merupakan hasil evaluasi dan menilai kualitas-kualitas tentang dirinya sendiri.

 

Dari penjelasan di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa suatu individu yang melakukan tindakan bullyingmemiliki harga diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang menjadi korban perilaku tersebut. Oleh karena itu, individu yang menjadi korban bullying akan mengalami kecemasan sosial yang tinggi karena dipengaruhi oleh kepemilikan harga diri yang rendah atau self-esteem yang kurang dari individu tersebut.

 

Referensi :

 

Dwipayanti, I. A., & Indrawati, K. R. (2014). Hubungan antara tindakan bullying dengan prestasi belajar anak korban bullying pada tingkat sekolah dasar. Jurnal psikologi udayana, 1(2), 251-260.

 

Khoirunnisa, M. L., Maula, L. H., & Arwen, D. (2018). Hubungan tindakan bullying dengan tingkat kecemasan pada pelajar sekolah menengah kejuruan (smk) pgri 1 tangerang. Jurnal JKFT, 3(2), 59-69.

 

Tirsae, O. V. 2016. Pengaruh Harga Diri terhadap Kecemasan Sosial pada Remaja Korban Bullying di Palangkaraya, Kalimantan TengahSkripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Keperawatan dan Kebidanan. Universitas Nahdlatul Ulama : Surabaya.

 

Utami, T. W., Astuti, Y. S., & Livana, P. H. (2019). Hubungan kecemasan dan perilaku bullying anak sekolah dasar. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(1), 1-6.

 

Zaerosi, M. (2017). Gambaran Kecemasan Dan Kejadian Depresi Pada Anak Korban Bullying Di Sdn Wonocolo 1 Taman Sidoarjo. Skirpsi. Tidak Diterbitkan. Universitas Nahdhatul Ulama Surakarta.