ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 4 Februari 2021
Menangkal Stigma Kesehatan Mental di Indonesia
Oleh
Risma Jayanti
Magister Profesi Psikologi, Universitas Persada Indonesia Y.A.I
Stigma tentang isu kesehatan mental masih melekat kuat pada masyarakat Indonesia. Beberapa stigma yang kerap kali ditemui, seperti pengidap skizofrenia (yang disebut masyarakat awam sebagai orang gila) dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat magis atau supernatural; depresi dianggap karena kurang beriman ataupun kurang bersyukur; orang dengan kepribadian introvert seringkali dihubungkan dengan orang yang anti-sosial; dan mengidap berbagai isu kesehatan mental masih dianggap sebagai aib diri maupun keluarga. Kondisi demikian penyebab paling mendasar isu kesehatan mental di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Disamping adanya faktor lain, diantaranya adalah minimnya tenaga medis juga fasilitas kesehatan mental, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di daerah atau pelosok; akses layanan kesehatan mental yang tidak mudah dan mahal; dan kesadaran masyarakat yang memang masih rendah terhadap kesehatan mental.
Sebenarnya pemerintah telah membuat pengaturan tentang kesehatan jiwa masyarakat yang telah tertuang dalam UU no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa. Dalam UU tersebut upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dilaksanakan oleh pemerintah, pemda dan masyarakat, yang detilnya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Yang menjadi permasalahan adalah implementasi UU kesehatan jiwa ini masih sangat minim. Menurut artikel CNN (2018), minimnya implementasi itu disebabkan oleh tak adanya peraturan turunan sebagai tindak lanjut dari UU Kesehatan Jiwa. Ya, pantas saja isu kesehatan mental di Indonesia terus tumbuh subur? karena memang tidak ditangani serius oleh pemerintah.
Namun tunggu dulu.. coba kita tengok ke sisi yang lain, yakni era digitalisasi saat ini..
Ternyata cukup banyak ditemukan seperti media, komunitas, tenaga profesional, konsultan, dsb di platformmedia sosial yang mengedukasi dan mengkampanyekan isu kesehatan mental kepada masyarakat. Mereka juga menampilkan konten video atau tulisan insipiratif dari sudut pandang atau kisah-kisah penyintas (survivor). Disamping itu, mereka memberikan layanan-layanan psikologi profesional, seperti coaching dan konseling yang dapat dengan mudah diakses oleh pengguna media sosial. Melihat fenomena ini, apakah artinya kesadaran terhadap kesehatan mental saat ini malah semakin meningkat? Bisa saja ini menjadi tren ini yang memang baru merangkul kalangan generasi muda. Bukankah pendekatan dan metode seperti ini cukup efektif untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda akan kesehatan mental? Yang tentu saja dapat membantu masyarakat untuk mengakses bantuan profesional dengan mudah.
Penulis merumuskan langkah-langkah menangani stigma tentang isu kesehatan mental di Indonesia:
1. Dimulai dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan terdekat
Mengedukasi diri sendiri tentang ilmu kesehatan mental. Terus mengembangkan diri untuk menjadi pribadi yang ‘sadar’ dan dapat menjaga kesehatan diri, baik fisik maupun mental agar tumbuh menjadi pribadi yang positif. Apabila telah ‘selesai’ dengan diri sendiri, maka mendukung kita untuk membangun kehidupan eksternal (keluarga, pekerjaan, dsb) secara lebih sehat dan positif. Lingkungan yang sehat dan positif akan menjadi media/wadah yang baik untuk orang-orang sekitar kita juga tumbuh secara sehat dan positif. Kita juga harus mengedukasi orang-orang sekitar tentang kesehatan mental dengan pendekatan dan metode yang humanis. Bangun keluarga dan lingkungan yang aware terhadap kesehatan mental, agar mereka juga dapat menularkan energi positif kepada orang lain diluar, serta tidak menjadi orang yang mudah menjudge dan membangun stigma negatif terhadap penyintas gangguan mental.
2. Peran Pemerintah
Sudah jelas pemerintah harus dengan serius menangani persoalan kesehatan mental ini. Mereview kembali UU dan segera membuat peraturan turunan untuk menjawab poin-poin dalam UU tersebut. Promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif seperti apa program nyatanya?
- Untuk anak muda gunakan pendekatan basis digital (media sosial) dan gandeng Influencer yang punya citra positif dan pengaruh besar untuk generasi muda. Untuk orang tua, bisa gunakan cara-cara konvensional. Gunakan dan perbanyak spanduk, billboard, roll banner dsb di lokasi/tempat yang strategis di rumah sakit, jalan, pasar, dsb yang berisi pesan persuasif untuk mengedukasi dan mengajak masyarakat khususnya kalangan orang tua, untuk mendapat informasi yang edukatif tentang kesehatan mental. Maupun menggunakan media, seperti TV atau radio.
- Memperbanyak dan menempatkan tenaga kesehatan jiwa (Psikiater, Psikolog, dsb), serta meningkatkan fasilitas kesehatan yang merata di seluruh Indonesia.
- Masukkan dalam lingkup pendidikan. Kenalkan siswa tentang ilmu kesehatan mental sejak dini. Kemas secara menarik sesuai dengan perkembangan psikologis usia siswa.
3. Optimalisasi peran komunitas dan organisasi formal maupun non formal untuk mengkampanyekan isu-isu kesehatan mental.
Melakukan edukasi dan kampanye melalui platform digital maupun mengadakan kegiatan-kegiatan tentang kesehatan mental.
Yang terpenting adalah menghilangkan stigma dengan membangun kesadaran masyarakat terlebih dahulu agar mereka memahami pentingnya kesehatan mental (terbentuk mindset baru). Kemudian, masyarakat memerlukan AKSES bantuan profesional yang mudah.
“Ketika masyarakat merasa sedang mengalami tekanan mental, lantas harus kemana dan menghubungi siapa????”
Mungkin kita dapat bangun narasi, siapapun yang butuh bantuan psikologis, silahkan dapat menghubungi ‘sebuah nomer telepon’ yang aktif 24 jam untuk melayani. Nomor telepon itu menjadi ‘milik masyarakat.’
Referensi:
CNN (2018, 13 October). Beleid UU Kesehatan Jiwa yang 'Tak Tentu Arah'. www.cnnindonesia.com. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20181013083109-255-338154/beleid-uu-kesehatan-jiwa-yang-tak-tentu-arah
UU Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. Retrieved from https://ipkindonesia.or.id/media/2017/12/uu-no-18-th-2014-ttg-kesehatan-jiwa.pdf