ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 4 Februari 2021
Emosi saat Menjadi Mahasiswa yang Tak Pernah Ngampus
Oleh
Ridhoi Meilona Purba, Ade Nur Sri Hayati, & Renaldi Arsyach Panggabean
Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara
Banyak hal baru yang akan dan hanya bisa dilakukan sebagai mahasiswa. Mahasiswa tidak perlu mengenakan seragam, dan bisa bergaya sesuai kepribadiannya. Mahasiswa juga tidak memiliki jadwal belajar dalam kelas selama 5-6 jam, dari hari senin hingga jumat. Mahasiswa tidak harus membawa tas besar berisi buku, catatan dan beragam peralatan belajar. Sehingga, menjadi mahasiswa adalah hal yang sangat dinantikan oleh sebagian besar siswa sekolah menengah atas (SMA).
Berbeda dengan siswa SMA, mahasiswa diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri menjadi intelektual. Mahasiswa secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya. Hal ini tertulis di dalam Undang-undang Nomer 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, mahasiswa harus cerdas, kritis, dan kreatif dalam menjalankan perannya. Mahasiswa dituntut untuk memiliki kematangan dalam berpikir dan mencari alternatif baru dalam memecahkan sebuah masalah, mengambil keputusan, dan membuat rencana belajar dan cara belajar secara umum (Zaini, Munthe, Aryani, & Rosyad, 2002).
Diterima sebagai mahasiswa di perguruan tinggi adalah harapan sebagian besar pelajar SMA dan keluarga. Apalagi jika dapat lulus sesuai di Perguruan Tinggi bergengsi, dan bisa merantau dan mandiri demi mencapai cita-cita. Pengalaman bertemu orang-orang baru dan belajar banyak hal baru akan sangat terbuka. Namun, berbeda dengan mahasiswa yang terdaftar di tahun 2020, dimana seluruh aktivitas perkuliahan dilakukan secara daring. Berdasarkan pengalaman seorang mahasiswa angkatan 2020 yang seharusnya merantau ke Kota Medan, bahwa perasaan bahagia dapat tetap berkumpul bersama keluarga, namun perasaan negatif lebih mewarnai kehidupannya sebagai mahasiswa. Beberapa perasaan tersebut antara lain: rasa sedih belum pernah menjejakkan kaki di kampus, belum pernah bertemu muka dengan teman maupun dosen, segala proses perkuliahan dan pengerjaan tugas dilakukan hanya melalui layar laptop atau ponsel; rasa cemas jika baterai atau jaringan internet tidak mencukupi disaat perkuliahan masih berlangsung; dan rasa marah serta takut jika jaringan hilang seketika disaat harus mengumpulan tugas atau ujian yang memiliki batas waktu.
Emosi biasanya didefinisikan sebagai fenomena multifaset yang melibatkan serangkaian proses psikologis terkoordinasi, termasuk komponen motivasi. Adapun emosi dalam setting akademis, terkait dengan aktivitas pencapaian (misalnya belajar) atau hasil pencapaian (sukses dan gagal). Pada dasarnya, emosi dalam setting akademis ini menghasilkan dua kelompok emosi pencapaian, yaitu: emosi aktivitas dan emosi hasil. Emosi aktivitas mencakup emosi yang sedang berlangsung yang dialami saat terlibat dalam aktivitas pencapaian. Sedangkan emosi hasil mencakup emosi prospektif yang terkait dengan kesuksesan dan kegagalan di masa yang akan datang (Boekaerts & Pekrun, 2015).
Boekaerts dan Pekrun (2015) dalam chapter buku berjudul Emotions and emotion regulation in academic settings, menuliskan beberapa hal terkait emosi akademik dan motivasi. Pertama, emosi akademik positif seperti kesenangan belajar, harapan, dan kebanggaan terbukti berhubungan positif dengan minat dan motivasi intrinsik, sedangkan emosi negatif seperti marah, cemas, malu, putus asa, dan kebosanan berhubungan negatif dengan variabel motivasi. Kedua, mengaktifkan emosi-emosi positif (seperti sukacita, harapan, dan bangga) menguatkan motivasi belajar, sebaliknya menonaktifkan emosi-emosi negatif (hopelessness, kebosanan) akan menurunkan motivasi belajar. Ketiga, pengaruh emosi tersebut terhadap motivasi belajar secara keseluruhan bervariasi. Efek dari aktifnya emosi sifatnya lebih komplek. Menonaktifkan emosi positif (kelegaan, relaksasi) dan mengaktifkan emosi negatif (kemarahan, kecemasan). Misalnya, perasaan santai yang mengikuti kesuksesan dapat diharapkan untuk mengurangi motivasi langsung untuk terlibat kembali dengan konten pembelajaran tetapi memperkuat motivasi jangka panjang untuk melakukannya. Sedangkan pengaktifan emosi negatif, kemarahan, kecemasan, dan rasa malu telah ditemukan dapat mengurangi motivasi intrinsik, tetapi emosi ini dapat memperkuat motivasi ekstrinsik untuk menginvestasikan upaya untuk menghindari kegagalan, terutama ketika harapan untuk mencegah kegagalan dan mencapai kesuksesan menguntungkan.
Pada bagian akhir artikel ini penulis mengambil kesimpulan bahwa, meskipun mahasiswa baru pada khususnya, harus dapat menjalani perkuliahan daring dengan baik. Beberapa saran yang dapat diberikan untuk tetap termotivasi belajar, beberapa hal berikut dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukan:
1. Aktifkan emosi positif dan non aktifkan emosi negatif atas apapun terkait pembelajaran daring, dengan cara: bersyukur masih bisa kuliah meski secara daring, berpikir positif atas dampak negatif dari perkuliahan daring (tidak ada biaya transport, tetap dekat dengan keluarga), hadirkan suasana yang menyenangkan, lakukan sedikit aktivitas fisik (tertawa, stretching), sediakan aksesoris atau warna yang cerah, dengarkan musik, lagu yang disukai sebelum perkuliahan sinkronous dimulai, atau selama perkuliahan asyncrhonous, ciptakan lingkungan sosial yang mendukung seperti kelompok belajar.
2. Nonaktifkan emosi positif dan aktifkan emosi negatif atas beberapa hal terkait pembelajaran daring, dengan cara: ambil jeda sementara, bersantailah sejenak, lampiaskan kemarahan sesekali (langsung ataupun tidak langsung), saat Anda merasa malu atau cemas suatu waktu tidak masalah. Semua ini dapat Anda lakukan namun jangan berlama-lama. Selanjutnya, Anda dapat merencanakan upaya-upaya yang lebih terbaik di masa yang akan datang.
Referensi:
Boekaerts, M., & Pekrun, R. (2015). Emotions and emotion regulation in academic settings. Handbook of educational psychology, Third Edition, Chapter 6 (pp. 76-90). New York: Taylor & Francis.
Undang-undang nomer 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Repbulik Indonesia Tahun 2012 Nomer 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomer 5336)
Zaini, H., Munthe, B., Aryani, S. A, & Rosyad, R. (2002). Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: CTDS IAIN Sunan Kalijaga.