ISSN 2477-1686
Vol. 7 No. 1 Januari 2021
Tawakal Sebagai Formula Kebahagian
Oleh:
M. Agus Wahyudi, M.Psi
Progam Studi Psikologi Islam, IAIN Surakarta
Kebutuhan sehari-hari yang dilakukan manusia seperti, makan, minum, berangkat sekolah-kuliah, bekerja, dan lain sebagainya, membutuhkan yang namanya harapan. Dan, harapan merupakan cerita dalam alam pikiran bawah sadar manusia. Carl Jung mengatakan, pertumbuhan dan perkembangan manusia dipengaruhi oleh pengalaman dan juga harapan (Jung dalam Hall & Lindzey, 1993)
Jika ikan membutuhkan air agar bisa hidup, maka manusia membutuhkan harapan supaya tetap hidup, harapan bagaikan udara. Oleh karena itu, harapan kita di masa depan menjadi salah satu stimulus dalam menjalani kehidupan saat ini. Memiliki kehidupan yang berkualitas dan bahagia menjadi idaman setiap individu.
Harapan dan motivasi adalah dua hal yang berdampingan, bagaikan dua sisi mata uang. Motivasi berasal dari istilah latin yang artinya “bergerak” (Wilcox, 2018). Jadi, motivasi dapat diartikan sesuatu yang menggerakkan kita. Dalam psikologi Islam, salah satu faktor penggerak perilaku manusia selain harapan, emosi, pengalaman, lingkungan ada yang namanya takdir yakni salah satu faktor penggerak perilaku manusia (Wahyudi, 2020).
Kebahagiaan merupakan kebutuhan dasar manusia. Lemahnya akal, dapat menjadikan manusia tidak tepat memaknai kehidupan, terkhusus soal kebahagiaan. Ketidaktepatan dalam memaknai kebahagiaan akan menghambat datang kebahagiaan. Misal, beranggapan kalau kekayaan, pangkat, jabatan merupakan satu-satunya sumber kebahagiaan serta terhindar dari hal yang tidak menyenangkan.
Pemahaman diatas akan memberikan dorongan perilaku manusia untuk mendapatkan dan mengejar itu semua supaya memperoleh kebahagiaan, salah satunya dengan cara kerja keras. Jika hasil dari kerja kerasnya tidak sesuai harapan, maka bukan kebahagiaan yang didapati, justru mengalami kondisi perasaan stress, panik, frustasi, bahkan depresi (Bakri & Saifuddin 2019).
Kebahagiaan bukanlah kehidupan yang terbebas dari masalah, seperti kesulitan, kemiskinan, dan hal tidak menyenangkan lainnya. Akan tetapi, kebahagiaan terwujud ketika kita mampu menyelesaikan permasalahan. Maka permasalahan kehidupan dapat dimaknai sebagai jalan alternatif menuju kebahagiaan (Manson, 2018)
Menatap masa depan salah satu yang dijadikan harapan untuk menjalani kehidupan saat ini supaya menjadi lebih baik, terkontro, dan berkualitas. Namun terdapat beberapa individu yang menjadikan masa depan sebagai momok yang manakutkan. Rasa takut inilah yang menjadikan perilaku individu menjadi destruktif. Sehingga menjadikan kehidupan individu tidak optimal dan jauh dari kondisi bahagia.
Dalam ajaran Islam terdapat model seni hidup yang disebut tawakal. Ilmu tasawuf menempatkan tawakal sebagai maqam (tingkatan) yang harus dilalui individu dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, selain sikap sabar dan syukur. Tanpa sabar, tawakal, dan syukur, upaya taqarrab ila Allah akan menjadi sia-sia (Bakri, 2020). Maka, selain sabar dan syukur, sikap tawakal memiliki peran penting dalam kehidupan spiritualitas individu serta dalam perilaku kehidupan manusia setiap hari.
Tawakal diartikan dengan sikap pasrah diri kepada kehendak Allah, dan percaya sepenuh hati atas kepada Allah (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiai). Tawakal memiliki dua dimensi pokok. Pertama, dimensi kerelaan hati terhadap sesuatu yang terjadi. Kedua, dimensi usaha secara optimal untuk memperoleh yang terbaik (Rusdi, 2016). Maka, tawakal merupakan gabungan antara sebuah upaya dan kemudian berserah diri kepada Allah.
Dengan demikian, sikap tawakal dapat dijadikan formula dalam memperoleh kebahagiaan hidup, individu yang bertawakal berarti sudah tidak perlu memfokuskan seluruh perhatiaannya terhadap apa yang akan terjadi, termasuk perhatian mereka mengenai masa depan mereka. Karena terlalu mengkhawatirkan masa depan diri sendiri akan menjadikan hidup tidak optimal, bahkan akan dirundung perasaan cemas, panik, stress, yang semua itu menjadi aitem-aitem yang berlawanan dengan kondisi bahagia. Memang mengaplikasikan sikap tawakal dalam kehidupan tidak semudah memahami tawakal itu sendiri. Bahkan terdapat ungkapan kerja keras yang cerdas adalah tawakal.
Referensi
Bakri, S. (2020). Akhlaq Tasawuf, Dimensi Spiritual dalam Kesejarahan Islam. Efudepress.
Bakri, S. & Ahmad Saifuddin. (2019). Sufi Helaing, Integrasi Tasawuf dan Psikologi dalam Penyembuhan Fisik dan Psikis. Depok: PT. RajaGrafindo.
Hall. (1993). Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Kanisius.
Manson, M. (n.d.). The Subtle Art of Not Giving a Fuck. HarperOne.
Rusdi, A. (2016). Tawakal dalam Psikologi Islam dan Konstruksi Alat Ukurnya. Universitas Islam Indonesia.
Wahyudi, M. A. (2020). Psychological Well-Being Sufism Practitioners as A Sufistic Counceling. Konseling Religi, 11(1), 145–159.
Wilcox, L. (2018). Psikologi Kepribadian, Menyelami Misteri Kepribadian Manusia. IRCiSoD.