ISSN 2477-1686

 Vol. 6 No. 22 November 2020

The Highly Sensitive Person: Apakah Ada Kaitannya dengan Kecenderungan Depresi?

Oleh

Ni Made Adinda Putri Puspitarani dan

Ni Luh Indah Desira Swandi

Program Studi Psikologi, Universitas Udayana

 

Highly Sensitive Person (HSP) merupakan istilah kepribadian yang mengacu pada sensitivitas atau responsivitas individu terhadap stimulus internal atau eksternal termasuk rangsangan lingkungan dan sosial (Aron dalam Acevedo, 2014). Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Elaine N. Aron yang dalam risetnya menunjukkan bahwa lebih dari 100 spesies dan sekitar 20% dari populasi manusia adalah HSP (Acevedo dalam Natalia, 2019). Namun, istilah ini tampaknya belum cukup populer di Indonesia, bahkan di dunia.

Orang dengan HSP memiliki aktivitas saraf yang jauh lebih aktif dari orang pada umumnya. Hal ini yang menyebabkan mereka memiliki kondisi tubuh yang lebih sensitif dan peka terhadap berbagai hal, baik suara, sentuhan, bau, suhu, atau perasaan (Machdy, 2019). Tak ayal, bila kinerja otak HSP bekerja lebih maksimal sehingga lebih rentan mengalami kewalahan. Akibatnya, mereka akan mengalami kecemasan, kemarahan, hingga depresi yang acapkali tidak diketahui penyebabnya oleh orang lain (O’Rourke dalam Natalia, 2019).

 

Apa kaitannya dengan depresi?

Berbicara mengenai HSP dan kesehatan mental, Cooper (2015) memaparkan terkait peningkatan sensitivitas pada HSP yang berkontribusi terhadap strategi mengontrol emosi. Jika dianalogikan, HSP layaknya termometer yang mudah mencapai titik didih akibat sulitnya mengontrol emosi, sehingga perilaku ini sering dikaitkan dengan stigma negatif, seperti gangguan kepribadian, bipolar, neurotik, atau psikosis (Cooper dalam Natalia, 2019). Mirisnya, berbagai stigma tersebut sejatinya semakin meningkatkan intensi HSP untuk menarik diri dari pertemuan besar, karena kecemasan yang berlebihan. Jika hal ini terus berlanjut, maka bukan tidak mungkin orang dengan HSP lebih memiliki kecenderungan depresi bahkan tendensi bunuh diri.

Tinggal di kota besar, tumbuh di lingkungan keluarga yang penuh keributan, atau berada di situasi keramaian bagaikan boomerang yang dapat menghancurkan HSP. Namun, sebagian besar orang akan menganggap perilaku tersebut sebagai hal yang terlalu berlebihan, sensitif, dan lebay. Jika HSP tidak berada di lingkungan yang suportif, maka mereka akan mempercayai label-label tersebut dan mulai merasa inferior, berbeda, bahkan membenci dirinya. Kebencian terhadap diri sendiri inilah yang mengantarkan HSP pada lubang depresi (Machdy, 2019).

Salah satu kasus bunuh diri yang cukup menyita perhatian publik adalah Robin William. Beliau merupakan aktor sekaligus komedian asal Amerika Serikat yang mengakhiri hidupnya karena depresi. Citra dirinya yang menghibur masyarakat nyatanya begitu kontradiktif dengan kepribadiannya yang cenderung introvert, pendiam, dan penyerap (Kelly, 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aron, banyak dari HSP yang memiliki depresi, kecemasan, dan gangguan lainnya. Parahnya, mereka akan cenderung memikirkan dan merasakan depresi dengan sangat mendalam, karena didasari perilaku alamiah mereka yang suka berpikir dan berefleksi (Aron dalam Machdy, 2019).

Kendati demikian, kepribadian HSP sejatinya dapat dikelola dengan baik agar tidak berimbas pada kecenderungan depresi. Salah satunya dengan grounding atau kembali ke diri sendiri setiap merasa lelah (Machdy, 2019). Teknik grounding menekankan pada fokus terhadap momen saat ini, yang terbukti berkontribusi dalam meningkatkan kualitas tidur, menurunkan hormon kortisol, rasa sakit, stres, kecemasan, dan depresi (Oschman, 2015). Grounding dapat dilakukan dengan menutup mata dan menarik napas di mana pun berada, menikmati setiap langkah saat berjalan kaki tanpa alas di atas rumput, menghirup aroma terapi, atau mandi dengan air yang menyegarkan. Dengan berfokus pada hal-hal saat ini, maka akan mengurangi intensi kecemasan pada individu dengan HSP.

 

Referensi:

Aron, E. N. 2013. The Highly Sensitive Person: How to Thrive When the World Overwhelms You. New York: Harmony Books.

Acevedo, B. P., Aron, E. N., Aron, A., Sangster, M. D., Collins, N., & Brown, L.L. (2014). The Highly Sensitive Brain: an fMRI Study of Sensory Processing Sensitivity and Response to Others’ Emotions. Brain and Behavior: 1-15.

Cooper, T. (2015). Thrive: The Highly Sensitive Person and Career. Ozark: Invictus Publishing, LLC.

Kelly. (2014). Robbin Williams, Suicide, and Depression (Artikel). Diakses pada tanggal 12 Oktober 2020 dari  http://highlysensitiveperson.net/robin-williams-suicide/

Machdy, R. 2019. Loving The Wounded Soul: Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Natalia, J. R., Bernathsius, J. (2019). Highly Sensitive Person dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental. Jurnal Keperawatan Jiwa, 7(3), 317-322.

Oschman, J. L., Chevalier, G., Brown, R. (2015). The Effects of Grounding (Earthing) on Inflammation, The Immune Response, Wound Healing, and Prevention and Treatment of Chronic Inflammatory and Autoimmune Diseases. Journal of Inflammation Research, 8, 83-96.